saya jadi teringat perdebatan kecil kita dimana kita memiliki perbedaan penafsiran terhadap pancasila.
maaf kali ini, saya tidak akan mengintepretasi pada dua pernyataan Sang Buddha tsb, karena saya tidak ingin dikatakan menggunakan penafsiran untuk mencari kemenangan.
bukan anda, tapi ada yg berkata begitu secara tidak langsung.
jadi kali ini, saya hanya memberikan bold intinya.
dan sebuah pertimbangan lain,
bila menolong wanita tapi dikatakan melanggar vinaya, karena dikatakan tidak boleh dekat dengan wanita. apakah tidak terasa aneh? apakah tidak merasa ada yg salah?
yg membuat vinaya yg salah, apa pembacanya yg salah dalam mencerna vinaya tsb?
Baiklah, saya tidak akan memaksa...
Saya bukan bhikkhu, tapi saya mau menjelaskan prinsip dasar Vinaya di sini. Vinaya adalah kode etik yang dipegang oleh seorang bhikkhu selama ia masih berstatus sebagai bhikkhu. Seorang bhikkhu tunduk di bawah Vinaya, yang salah satunya adalah "tidak berdekatan dengan wanita". Di Vinaya Pitaka dan Atthakatha, ada penjelasan lanjut mengenai mengapa seorang bhikkhu tidak boleh berdekatan dengan wanita. Jika ada teman-teman lain yang mempunyai referensi akuratnya, saya harap bisa di-
share di sini.
Dalam kasus Tanzan (bhiksu yang menolong wanita dengan menggendongnya), letak kesalahan bhiksu tersebut bukan pada "memberi pertolongannya". Letak kesalahannya berada di "menggendong wanitanya". Harap dipisahkan jelas mengenai perbuatan baik dan pelanggaran Vinaya-nya. Ini sangat mudah dipahami. Kalau Anda kurang paham, saya bisa memberi contoh yang lain...
Misalnya seorang bhiksu memiliki Vinaya untuk tidak berkata dusta (berbohong). Suatu saat, ada seorang pembunuh yang mengejar seorang wanita muda. Wanita muda itu meminta pertolongan sang bhiksu untuk melindunginya dari pembunuh. Wanita itu bersembunyi di suatu tempat, dan sang pembunuh datang menghampiri sang bhiksu. Bhiksu itu kemudian berkata: "aku melihat wanita itu pergi ke arah sana". Kemudian, pembunuh itu pergi ke arah yang ditunjukkan sang bhiksu; sehingga wanita itu pun akhirnya selamat dari ancaman sang pembunuh. Dalam hal ini, pertolongan yang diberikan sang bhiksu adalah hal yang baik. Namun jangan berdalih bahwa ucapan dusta sang bhiksu itu tidak melanggar Vinaya. Kedua hal ini harus dipertimbangkan sendiri-sendiri.
Apa tujuan Vinaya ditetapkan dengan keras? Sebab, bila Vinaya tidak ditegakkan; maka para bhikkhu / bhiksu bisa semakin melenceng dari ketentuan Sang Buddha. Hari ini kita mengenal kisah dimana seorang bhiksu tidak melanggar Vinaya meskipun sudah menggendong wanita. Esok hari, banyak orang yang beranggapan bahwa seorang bhiksu tidak apa-apa untuk berdekatan dengan wanita. Lusa hari, banyak bhiksu lain yang tidak menjaga jarak dengan wanita. Hari-hari berikutnya, akan ada lagi kekenduran Vinaya yang lainnya.
Anda bisa lihat sendiri, Aliran Buddhisme Theravada adalah aliran yang sangat ketat menjaga Vinaya. Sesuai petunjuk Sang Buddha, patuh pada Vinaya akan membuat usia Dhamma bertahan lebih lama. 2500 tahun sudah berlalu, namun Aliran Theravada masih tetap bertahan sebagaimana 2500 tahun yang lalu. Tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi dalam tubuh Theravada. Semua Aliran Theravada baik di Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Indonesia, Kamboja, Laos, ... Australia; memiliki pemahaman Dhamma dan Vinaya yang sama. Bandingkan dengan Aliran Mahayana yang ternyata malah terberai menjadi banyak cabang (Sukhavati, Zen, Tien Tai, Avatamsaka, Nichiren, Dhyana, Vinaya, Yogacara, Tantra, ...), dan tiap cabang pun memiliki pemahaman Dharma dan Vinaya yang cukup berbeda.
Fondasi pemahaman Vinaya terletak pada
kepatuhan. Jika sudah memiliki sikap kepatuhan, seorang bhikkhu / bhiksu sudah bisa melihat bahwa:
Vinaya memang ditegakkan demi kelangsungan Dhamma itu sendiri. Memang keras, namun saya harus patuh untuk mempertahankan usia Dhamma. Selain itu, aspek Vinaya tentu saja mengatur kehidupan seorang bhikkhu. Seorang bhikkhu memiliki tujuan hidup untuk bertapa. Sangat ironis melihat petapa (bhikkhu / bhiksu) zaman sekarang tidak semuanya bersikap sebagai seorang petapa. Dan di samping hal ini, seorang bhikkhu sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk turun ke "lumpur duniawi". Tidak ada kewajiban seorang bhikkhu untuk menolong wanita yang takut pakaiannya basah.
Di zaman Sang Buddha, ada seorang wanita yang terkena musibah sehingga menjadi tidak waras. Wanita itu bernama Patacara. Pada saat itu, Patacara yang kehilangan akal sehat, sambil menangis dan tidak memakai pakaian; mendatangi Sang Buddha. Patacara menghampiri Sang Buddha dalam kondisi tanpa pakaian. Namun Sang Buddha sama sekali tidak menyentuhnya. Hingga akhirnya ada seorang pria yang memberikan pakaian untuk Patacara, supaya Patacara tidak lagi ditertawakan karena tanpa pakaian. Sang Buddha kemudian berkata pada Patacara, dan singkat cerita... Patacara akhirnya mendapatkan akal sehatnya kembali. Inilah sikap Sang Buddha, yang tetap konsisten untuk menjaga jarak dengan wanita. Sang Buddha tetap tidak menyentuh wanita meski dengan alasan apapun. Jika seorang bhiksu Zen dihadapkan pada kasus ini, saya sangat ragu apakah bhiksu tersebut masih bisa konsisten pada Vinaya atau tidak.
Maaf jika terlalu panjang. Jika Anda masih tidak sependapat dengan saya, maka saya pikir ini adalah hak Anda.