Sorry baru ol dan diskusi sudah berjalan jauh dan OOT.. Saya jawab tentang pandangan saya mengenai cerita Tanzan menggendong gadis. Dan setelahnya saya harap diskusi kembali pada alur semula.
Yaitu: Apakah dalam Mahayana, vinaya tidak bersifat mengikat secara total, melainkan boleh diambil dan tidak diambil?
sebenarnya saya menjelaskan dari sisi dibalik vinaya tsb, yaitu makna serta tujuan dari vinaya. bukan menerapkan vinaya tsb lalu digunakan untuk mengetuk palu apakah Bhikku tsb melanggar(bersalah) atau tidak melanggar(tidak bersalah).
dan saya menjelaskan dari sisi pelaku, yaitu menempatkan diri kita sebagai Bhikku itu sendiri. karena kita juga meditasi dan menyadari apa yg timbul dan lenyap, walaupun tingkat metidasi kita belum setinggi para Bhikku, setidak2 masih bisa mendapatkan gambaran kira2 apa jadinya bila kita ada di sisi Bhikku itu sendiri.
seperti bila Bhikku tsb diminta tolong oleh umat agar bermain gitar dan bernyanyi karena suaranya bagus, sama seperti Bhikku menolong menyeberangkan gadis dengan menggendong.
sejujurnya saya tidak mengerti mengapa hal yg seperti ini diributkan, maka saya hendak menjelaskannya dari sisi lain yaitu salah satu kisah Zen dimana jelas dari 2 sisi.
Wah.. Bro bilang bertanya bukan untuk menggunakan vinaya sebagai palu pengetuk apakah terjadi pelanggaran atau tidak, tetapi Bro bertanya soal itu. Bertanya demikian ya dapet jawaban demikian. Pertanyaannya harus diganti jika memang bukan itu maksud Bro.
Memberi pendapat apakah melanggar atau tidak bukanlah sesuatu hal yang salah. Setiap orang pemikiran dan pendapatnya masing2, saling share di forum bukan hal yang salah.
Terkadang hanya berdasarkan pendapat sendiri, kita berpikir kita sudah benar. Tetapi ketika pendapat itu dibawa ke muka umum dan dikonfrontir, barulah kita tahu bahwa pendapat kita salah, setidaknya dalam pandangan umum. Meskipun pandangan umum bukan parameter menentukan benar-salah secara mutlak, pun itu seharusnya menjadi sebuah masukan bagi kita..
Jika memang mau berpikir sampai sisi lain, seharusnya para anggota Sangha tersebut sebelum melakukan sesuatu kontroversial tersebut hendaknya mempertimbangkan terlebih dulu apa konsekuensi dari tindakan itu. Dalam buddhisme belakangan, yang demikian dinamakan Sampajanna - pemahaman jernih.
Ketika seorang memutuskan untuk menjalani kehidupan monastik, maka seseorang telah 100% menjadi pengikut Buddha dan bukan lagi pengikut dunia. Sebaliknya, jika masih ingin berpijak di dua perahu, maka jangan mencukur kepala dan memakai jubah. Apalagi jika memang bersuara emas, silakan jadi penyanyi. Berbakat gitar? Silakan menjadi gitaris. Tidak ada pertolongan berfaedah besar dari bernyanyi dan memainkan gitar bagi para gadis muda selain mendapatkan kritik.
Misalnya Ajahn Sujato, murid Ajahn Brahm. Ketika memutuskan untuk menjadi bhikkhu, beliau meninggalkan karir musiknya. Dan setelah menjadi bhikkhu pun beliau tidak kembali ke karir terdahulu atau kembali ke kebiasaan lama, apalagi membuat pembenaran atas hal itu.
btw, saya jawab dulu.... AFAIK, vinaya Theravada & Mahayana adalah sama bersifat mengikat selamanya.
OK, kini saya clear soal ini.. Thanks atas jawabannya Bro. Grp sent
tujuannya ingin menolong, tidak ada nafsu yg timbul, tidak merasakan nikmatnya menggendong wanita
Referensinya dari mana Bro?
Silakan baca sebuah kutipan perspektif yang menjelaskan mengenai cerita Tanzan menggendong gadis.
With such an understanding let us now examine an oft-quoted Zen story; indeed, popular enough to be cited by even non-Buddhist writers as their own.
Two Zen monks, Tanzan and Ekido, traveling on pilgrimage, came to a muddy river crossing. There they saw a lovely young woman dressed in her kimono and finery, obviously not knowing how to cross the river without ruining her clothes. Without further ado, Tanzan graciously picked her up, held her close to him, and carried her across the muddy river, placing her onto the dry ground.
Then he and Ekido continued on their way. Hours later they found themselves at a lodging temple. And here Ekido could no longer restrain himself and gushed forth his complaints:
“Surely, it is against the rules what you did back there…. Touching a woman is simply not allowed…. How could you have done that? … And to have such close contact with her! … This is a violation of all monastic protocol…”
Thus he went on with his verbiage. Tanzan listened patiently to the accusations.
Finally, during a pause, he said, “Look, I set that girl down back at the crossing. Are you still carrying her?”
(Based on an autobiographical story by Japanese Zen master Tanzan)
Tanzan (1819-1892) was a Japanese Buddhist priest and professor of philosophy at the Japanese Imperial University (now the University of Tokyo) during the Meiji period. He was regarded as a Zen master, and figured in several well-known koans, and was also well-known for his disregard of many of the precepts of everyday Buddhism, such as dietary laws. I’m not sure if there is anything virtuous in this.
The first thing we should note is that this is an autobiographical Zen story; it probably did not happen, not exactly in this manner, anyway. For if it did, then it has a serious ethical problem, where one is good at the cost of the perceived evil or foolishness of another. I think it was the Irish playwright, George Bernard Shaw (1856-1950) who quipped, “There are bad women because there are good women.”
Indeed, a bodhisattva who is regarded as good or compassionate on account of the evil or lack in others, would actually be a selfish person, as the bodhisattva is not independently good. A true bodhisattva is one who, being himself highly virtuous, is capable of inspiring goodness in another, even if it is to the bodhisattva’s apparent disadvantage.
Tanzan’s self-told tale has a serious moral flaw if he made himself appear virtuous on account of Ekido’s concern for the Vinaya. Such a person as Ekido, however, was simply rare in Meiji Japan, where priests were as a rule non-celibate (on account of the nikujiki saitaiior “meat-eating and marriage” law of 1872). As such, it was likely than Tanzan had invented a Vinaya-respecting monk as a foil for his self-righteousness.
On the other hand, Tanzan’s tale also evinces his serious lack of understanding of the Vinaya rules. For, in a real life situation, even a Vinaya-observing orthodox Theravada monk would help this lady in every way he could, or he would ask his colleague or some other suitable persons to help the woman. If a Vinaya-keeping monk has helped the woman, he has done a good deed by breaking a minor rule, for which he only needs to confess before another monk, and remind himself not to wander into improper places the next time. There is no need of any skillful means here, only common sense.
mungkin bro Jerry harus mencari lagi makna dibalik koan ini
Thanks for suggestion, bro.. Saya memahami pesan ceritanya Tanzan, tetapi tetap saja bagi saya sebuah pelanggaran haruslah diakui sebagai pelanggaran. Tidak perlu membuat pembenaran apalagi yang melecehkan pihak lain. Itu pun jika kejadiannya benar terjadi. Bagaimana pun, sekali lagi saya tekankan, cerita Tanzan diragukan kebenarannya.
Mengakui pelanggaran dan kesalahan butuh kebesaran hati. Tetapi menghindari pengakuan dan melecehkan pihak lain hanya menunjukkan kepicikan pemikiran.
NB: Btw yang terakhir ini komen saya tentang Tanzan, bukan Bro Wen. Saya edit & tambahkan agar tidak ada misunderstanding aja. Agar tidak sampai terjadi kesalahpahaman seperti Bro Riky di thread sebelah.
Be happy,