Saya mau tahu apakah menurut pendapat Anda, Bhikkhu Anuruddha tidak bersalah dalam hal ini?
sebenarnya saya no comment, karena saya belum mencapai apa2 dibandingkan Bhikkhu Anuruddha Thera sehingga tidak etis bila saya memberikan label apakah bersalah atau tidak bersalah.
pendapat saya adalah bersalah tapi tidak bersalah, tidak bersalah tapi bersalah.
Sorry baru ol dan diskusi sudah berjalan jauh dan OOT.. Saya jawab tentang pandangan saya mengenai cerita Tanzan menggendong gadis. Dan setelahnya saya harap diskusi kembali pada alur semula.
Yaitu: Apakah dalam Mahayana, vinaya tidak bersifat mengikat secara total, melainkan boleh diambil dan tidak diambil?
sebenarnya saya menjelaskan dari sisi dibalik vinaya tsb, yaitu makna serta tujuan dari vinaya. bukan menerapkan vinaya tsb lalu digunakan untuk mengetuk palu apakah Bhikku tsb melanggar(bersalah) atau tidak melanggar(tidak bersalah).
dan saya menjelaskan dari sisi pelaku, yaitu menempatkan diri kita sebagai Bhikku itu sendiri. karena kita juga meditasi dan menyadari apa yg timbul dan lenyap, walaupun tingkat metidasi kita belum setinggi para Bhikku, setidak2 masih bisa mendapatkan gambaran kira2 apa jadinya bila kita ada di sisi Bhikku itu sendiri.
seperti bila Bhikku tsb diminta tolong oleh umat agar bermain gitar dan bernyanyi karena suaranya bagus, sama seperti Bhikku menolong menyeberangkan gadis dengan menggendong.
sejujurnya saya tidak mengerti mengapa hal yg seperti ini diributkan, maka saya hendak menjelaskannya dari sisi lain yaitu salah satu kisah Zen dimana jelas dari 2 sisi.
btw, saya jawab dulu.... AFAIK, vinaya Theravada & Mahayana adalah sama bersifat mengikat selamanya.
tujuannya ingin menolong, tidak ada nafsu yg timbul, tidak merasakan nikmatnya menggendong wanita
Referensinya dari mana Bro?
Silakan baca sebuah kutipan perspektif yang menjelaskan mengenai cerita Tanzan menggendong gadis.
With such an understanding let us now examine an oft-quoted Zen story; indeed, popular enough to be cited by even non-Buddhist writers as their own.
Two Zen monks, Tanzan and Ekido, traveling on pilgrimage, came to a muddy river crossing. There they saw a lovely young woman dressed in her kimono and finery, obviously not knowing how to cross the river without ruining her clothes. Without further ado, Tanzan graciously picked her up, held her close to him, and carried her across the muddy river, placing her onto the dry ground.
Then he and Ekido continued on their way. Hours later they found themselves at a lodging temple. And here Ekido could no longer restrain himself and gushed forth his complaints:
“Surely, it is against the rules what you did back there…. Touching a woman is simply not allowed…. How could you have done that? … And to have such close contact with her! … This is a violation of all monastic protocol…”
Thus he went on with his verbiage. Tanzan listened patiently to the accusations.
Finally, during a pause, he said, “Look, I set that girl down back at the crossing. Are you still carrying her?”
(Based on an autobiographical story by Japanese Zen master Tanzan)
Tanzan (1819-1892) was a Japanese Buddhist priest and professor of philosophy at the Japanese Imperial University (now the University of Tokyo) during the Meiji period. He was regarded as a Zen master, and figured in several well-known koans, and was also well-known for his disregard of many of the precepts of everyday Buddhism, such as dietary laws. I’m not sure if there is anything virtuous in this.
The first thing we should note is that this is an autobiographical Zen story; it probably did not happen, not exactly in this manner, anyway. For if it did, then it has a serious ethical problem, where one is good at the cost of the perceived evil or foolishness of another. I think it was the Irish playwright, George Bernard Shaw (1856-1950) who quipped, “There are bad women because there are good women.”
Indeed, a bodhisattva who is regarded as good or compassionate on account of the evil or lack in others, would actually be a selfish person, as the bodhisattva is not independently good. A true bodhisattva is one who, being himself highly virtuous, is capable of inspiring goodness in another, even if it is to the bodhisattva’s apparent disadvantage.
Tanzan’s self-told tale has a serious moral flaw if he made himself appear virtuous on account of Ekido’s concern for the Vinaya. Such a person as Ekido, however, was simply rare in Meiji Japan, where priests were as a rule non-celibate (on account of the nikujiki saitaiior “meat-eating and marriage” law of 1872). As such, it was likely than Tanzan had invented a Vinaya-respecting monk as a foil for his self-righteousness.
On the other hand, Tanzan’s tale also evinces his serious lack of understanding of the Vinaya rules. For, in a real life situation, even a Vinaya-observing orthodox Theravada monk would help this lady in every way he could, or he would ask his colleague or some other suitable persons to help the woman. If a Vinaya-keeping monk has helped the woman, he has done a good deed by breaking a minor rule, for which he only needs to confess before another monk, and remind himself not to wander into improper places the next time. There is no need of any skillful means here, only common sense.
mungkin bro Jerry harus mencari lagi makna dibalik koan ini
[spoiler]
Apakah benar demikian bahwa dalam Mahayana (termasuk Tantrayana dan mazhab-mazhab Mahayana yang lain), keseluruhan sila & vinaya anggota Sangha tidak bersifat mengekang total melainkan sewaktu-waktu ada poin tertentu yang dapat dilepas untuk menghindari pelanggaran?
sebelum saya menjawab pertanyaan bro Jerry, saya ingin menanyakan 1 hal terlebih dahulu.
dalam kisah Zen mengenai Bhikku membawa gadis menyeberangi sungai, apakah Bhikku tsb melanggar vinaya menurut bro Jerry?
Kisah Zen tersebut maksudnya bukan melegalkan penggendongan gadis oleh Bhiksu, tapi membawa pesan bahwa keterikatan pikiran jauh lebih berbahaya.
Bhiksu menggendong gadis hanyalah perbandingan contoh ekstrim perbuatan jasmani dengan pikiran atau batin seorang Bhiksu yang lain.
apakah maksud anda berarti bahwa tindakan Bhikku besar(yg menggendong gadis) adalah salah walaupun tujuannya ingin menolong, tidak ada nafsu yg timbul, tidak merasakan nikmatnya menggendong wanita, dan pencapaiannya adalah salah? dan yg seharusnya dilakukan adalah seperti Bhikku kecil(yg bertanya) yaitu seharusnya tidak menolong dan membiarkan gadis itu sendiri?
Kalo merujuk pada kisah tsb,
Ya, Bhiksu yang anda sebut Bhiksu Besar, salah. Karena melanggar Vinaya,
dan si gadis toh bisa jalan sendiri, gak perlu digendong.
Si gadis kan ceritanya cuman takut basah, bukan lumpuh, bukan keseleo ato luka.
Yaa.... biarin ajah dia jalan ndiri... gak perlu digendong2, toh akibatnya cuman basah, bukan luka dsb.
Tapi sekali lagi, hal di atas bukan esensi dari kisah tersebut.
Tetapi sebuah analogi pada sebuah kisah yang sangat efektif untuk menunjukkan pesan yang ingin disampaikan.
sebenarnya hal diatas termasuk dalam essensi dari kisah tsb, yaitu yg satu memegang baku vinaya, dan yg satu sudah menjiwai dengan vinaya.
yg memegang baku vinaya adalah Bhikku kecil dalam kisah tersebut dimana memegang erat vinaya, tanpa mengetahui alasan dan makna mengapa dalam vinaya dicantumkan tidak boleh dekat dengan wanita.
yg sudah menjiwai dengan vinaya adalah Bhikku besar dalam kisah tsb dimana sudah mengetahui alasan dan makna mengapa dalam vinaya dicantumkan tidak boleh dekat dengan wanita, yaitu tidak ada nafsu yg timbul dan atau tidak mengikuti nafsu itu.
vinaya dibuat agar para Bhikku dapat berjalan dijalan yg benar, salah satunya yaitu agar tidak ikut dalam nafsu yg timbul, sehingga ada peraturan untuk menghindari kedekatan dengan wanita.
yg perlu digarisbawahi adalah alasan/penyebab dibalik dibuatnya sebuah vinaya, bukan hanya menjalankan vinaya tanpa mengerti alasan/penyebab dibuatnya sebuah vinaya.
ya, semua Bhikku bisa menggunakan alasan seperti, "saya sudah tidak memiliki nafsu lagi". namun kebenarannya hanya dia dan guru diatasnya yg mengetahui pencapaiannya apakah dia sudah benar2 tidak memiliki nafsu lagi.
menolong dengan nafsu, menolong dengan tulus.
melanggar tapi sebenarnya tidak melanggar, tidak melanggar tapi sebenarnya melanggar.
yg perlu digarisbawahi, jangan mengatakan bahwa ini dapat disamakan dengan membunuh. ada jurang yg sangat dalam sebagai pembatasnya antara menolong dan membunuh. walaupun dua2nya berakar pada nafsu dan kepuasan, namun tujuannya adalah beda.
[/quote][/spoiler]
Bagi saya, Bhikku yang telah menjiwai vinaya tidak akan melanggar vinaya.
Justru Bhikku yang tidak menjiwai vinayalah yang melanggar vinaya.
Telah bebas dari nafsu tidak dapat jadi patokan karena tidak ada alat yang dapat mengukurnya.
Jadi alasan di atas tidak dapat digunakan sebagai patokan tidak melanggar vinaya.Lagipula, sekali lagi,
Dalam cerita Zen tersebut, si gadis hanya takut basah, bukan tenggelam. (mohon dikoreksi bila salah)
Saya hanya menangkap pesan tentang kemelekatan di dalam pikiran.
Soal Vinaya yang dilanggar hanya sebagai analogi ekstrem di dalam ke-Bhiksu-an
yang merupakan pencetus kemelekatan di dalam pikiran Bhiksu yang tidak menggendong gadis.[/quote]
yg hijau,
ya, tidak ada alat yg bisa mengukurnya dan karena tidak dapat mengukurnya maka tidak dapat digunakan sebagai patokan tidak melanggar vinaya.
karena tidak ada yg bisa mengukurnya bukankah seharusnya umat awam seperti kita tidak sembarangan mengetuk palu?
yg biru
ya, saya setuju. bagaimana kita ubah cerita tsb menjadi seorang Bhikku yg bermain gitar? seorang gadis meminta tolong agar Bhikku tsb bermain gitar dan bernyanyi karena wanita itu rindu akan sebuah lagu yg mengingatkan pada orang tua nya. dan lalu dia akhir nya Bhikku kecil bertanya kenapa anda bermain gitar? dan Bhikku besar menjawab sudah saya letakan lagu, nyanyian dan permainan gitar tsb dari tadi, kenapa kamu masih membawanya?
sama saja bukan?
hanya sebuah pesan tentang kemelekatan di dalam pikiran dan mengenai vinaya yang dilanggar hanya sebagai analogi ekstrem di dalam ke-Bhiksu-an
yang merupakan pencetus kemelekatan di dalam pikiran Bhiksu yang tidak bermain gitar dan bernyanyi?
Ada sebuah Kisah Zen yang menceritakan bahwa ada dua orang murid yang sedang berselisih pendapat. Lalu sang guru (bhiksu) datang dan menengahi keduanya. Kedua murid masih saja berselisih pendapat. Lalu sang guru membunuh seekor kucing yang ada di dekat mereka, dan mengajarkan suatu penjelasan kepada kedua muridnya. Dikatakan bahwa: Kedua muridnya pun menjadi tercerahkan, sang guru yang membunuh kucing itu adalah melakukan perbuatan upaya kausalya, dan kucing yang dibunuh pun melakukan karma baik.
Jadi, apakah seorang bhiksu yang sudah "menjiwai Vinaya"; juga bisa melakukan perbuatan seperti membunuh?
bro upasaka, koan yg anda maksudkan adalah koan "kelas berat". tidak bisa hanya menggunakan nalar dan hati untuk mengertinya. dan rasanya bukan sebuah tindakan bijaksana bila membahas koan ini dengan semudah ini. banyak para Zen master yg memberikan penjelasan akan koan ini.
kl tidak salah koan ini salah satu penyebab terpecahnya Zen menjadi dua aliran yaitu Rinzai dan Soto.
namun bila bro upasaka mengerti, saya banyak pertanyaan mengenai koan ini, karena saya memang tidak mengerti terhadap koan ini