Musik dan Tarian adalah rangkaian bunyi dan gerakan yg dirangkai sedemikian rupa agar nyaman didengar, tujuannya jelas: untuk dinikmati. Dan sesuatu yg nikmat adalah memanjakan panca indera.
Semuanya yang kita lihat di sekitar kita bisa bertendensi memanjakan panca indera, entah itu gunung, langit, arakan awan, vihara yang megah, patung Buddha yang elok. Semuanya yang kita dengar bisa menjadi "indah" tanpa diduga, misalnya kicauan burung, suara angin, ombak pantai, suara alunan orang membaca paritta/mantra/dharani. Mengapa kita harus cemas dengan hal kecil seperti itu? Sebenarnya bukan obyek-obyek itu yang memanjakan panca indera kita, tetapi kitalah memanjakan objek-objek indera tersebut.
Ada musik yang dengan sengaja dibuat agar enak didengar, tapi toh malah menyiksa orang yang tidak menyukainya. Ada tarian yang hendak dibuat-buat menjadi memikat, tapi apa boleh buat terlihat tidak serasi bagi tidak dapat menikmatinya. Karena itu, suatu objek disebut memikat atau menyiksa, menggoda atau memuakkan, semuanya bukan karena objek tersebut sendiri yang bermasalah, namun pikiran itulah yang membeda-bedakannya.
Berbahagialah orang yg bisa melihat bahwa segala sesuatunya itu netral. Tapi tidak banyak orang yg begini.
Hampir semua orang yg mendengarkan musik tujuannya adalah untuk menikmati alunan nadanya...
Bisakah Bro mencontohkan orang yg mendengarkan musik hanya untuk mendengarkan syairnya, tanpa mengindahkan alunan nadanya? Justru itu, musik dibuat untuk dinikmati alunan nadanya, lirik hanyalah pelengkap.
Nada dan alunan dalam musik memberikan penegasan dan penekanan pada bagian syair-syair yang dibawakan. Bahkan dalam banyak kejadian ketika sebuah syair dinyanyikan atau dilantunkan dengan berirama, maka akan membantu orang yang melantunkannya untuk mengingatnya kembali dengan mudah dibandingkan hanya dihapalkan mentah-mentah. Mungkin saja umat Buddha ada yang tergoda untuk menikmati alunan nadanya, namun jika hal tersebut ternyata malah membantunya terus mengingat isi sebuah syair bukankah itu justru lebih baik. Dalam kasus ini kalau syairnya adalah sepotong bait dari sutra atau paritta, bukankah berarti membantu umat Buddha untuk semakin dekat dengan Ajaran Sang Buddha, meski masih dalam tataran permukaan? Bahkan sepotong syair yang sederhana dan terlihat tidak menarik, ketika diucapkan nada dan irama yang sesuai, kadang-kadang maknanya akan terasa lebih mengena.
Lantas manakah yang pelengkap, lirik atau alunan nadanya? Pada dasarnya alunan nada adalah sesuatu yang sangat abstrak. Kalau anda mendengar musik instrumenal misalnya, dalam hal ini tanpa memperhatikan judulnya, anda bisa membayangkan secara bebas apa yang hendak disampaikan oleh sebuah komposisi. Mungkin yang terasa hanya suasana emosinya, misalnya apakah ini lagu yang datar, monoton, ceria, sedih, penuh kemarahan atau rumit, tapi itupun sangat subjektif penghayatannya. Semuanya tergantung suasana emosi kita ketika itu. Jadi musik itu sendiri hanya memberikan konteks suasana emosi yang hendak dibangun. Sedangkan lirik, justru yang membatasi pemaknaan kita akan sebuah lagu. Ia adalah yang menjelaskan pesannya. Maka sebenarnya lirik dan alunan nada, sebenatnya keduanya saling memperkuat pesan yang hendak disampaikan.
Dalam hal ini, menurut saya, musik yang cocok untuk menyampaikan Dharma adalah yang cenderung tidak terlalu banyak gejolak emosinya. Nadanya harus monoton, naik turun secara statis, namun mendamaikan seperti ombak lautan. Akan tetapi semuanya relatif. Bagi umat Buddha pemula, mungkin musiknya cukup tidak membawa emosi yang negatif saja, misalnya tidak rancak, tidak melankolis ataupun penuh amarah. Untuk liriknya, jelas, isinya semuanya harus berbicara tentang dharma. Tidak bisa lain.
Jika saja musik bisa membantu kita mengikis LDM, maka Sang Buddha tidak perlu menganjurkan kita untuk menghindari musik dan tarian bukan?
Soal ini sudah kujelaskan sebelumnya, yang dicegah adalah musik, tarian, nyanyian yang identik dengan mengenakan perhiasan dan menghias diri, yaitu untuk hiburan semata.
Selain untuk menghibur, memang apalagi kegunaan 'musik'?
Sebagai contoh, Konfusius menganggap musik sebagai alat untuk mendidik budi pekerti manusia. Bangsa Eropa melihat musik sebagai simbol tingginya peradaban, pemain musik adalah orang jenius yang cerdas bukan cuma penghibur. Bahkan zaman sekarang, dunia kedokteran pun percaya jika seorang bayi rajin didengarkan musik klasik dari kecilnya akan membantu merangsang saraf-saraf otak bagian kecerdasan. Bangsa-bangsa didunia menggunakan musik untuk meningkatkan kecintaan pada tanah air. Para leluhur pun banyak melestarikan nilai-nilai
yang hendak diajarkan dengan lagu-lagu sederhana yang diwariskan turun-temurun.
Tapi, orang yang tidak paham melihat musik hanya untuk menghiasi berpesta, menghibur diri di kala susah dan tenggelam dalam alunan nada yang bergejolak. Menurut saya, itulah yang ditentang oleh sila tersebut.
Tarian apakah yg disajikan ke penonton yg bukan untuk hiburan? Bisakah dicontohkan?
Tarian-tarian di Bali pada awal dibuat untuk ritual keagamaan. Tarian-tarian di keraton Solo, dilakukan oleh putri-putri solo untuk melatih mengekang tingkah laku mereka agar tetap halus dan terkendali. Tarian para sufi di Turki dilakukan sebagai salah satu bentuk "meditasi" mereka. Saya bahkan pernah melihat sekelompok penari dari Taiwan (namanya "Chi Body Theatre", kalau nggak salah) yang memperlihatkan bagaimana menari bisa melatih mereka membangkitkan kesadaran pengenalan terhadap tubuh mereka, meningkatkan kesadaran spiritual mereka dan menyeimbangkan antara batin dan tubuh. Nah, susahnya kita saat ini hanya mengenal tarian sebagai hiburan, sehingga tidak dapat menarik manfaat darinya. Ketika mendengar tentang tarian, selalu langsung lari ke bayangan pesta pola, goyangan penuh nafsu, hiburan, dan kesenangan belaka. Tarian sebagai "tontonan" tidak mesti berarti langsung bermakna "hiburan". Tontonan sifatnya lebih netral. Dalam tontonan ada pesan. Pesan itulah yang paling penting untuk ditangkap.
Karena disini dibahas soal tarian, maka saya menyampaikan hal yg pernah saya lihat sendiri: seringkali vihara dalam memperingati hari tertentu, mengundang para Bhikkhu, duduk dibaris terdepan dan disuguhkanlah acara2. Salah satu acaranya yaitu: tarian dari muda-mudi Vihara. Para gadis melenggak-lenggok dengan baju tanpa lengan sambil melambai2kan saputangan sutra.... di depan para Bhikkhu.
Kalau yang begituan, sih memang namanya tarian hanya untuk hiburan. Ketika menggunakan gadis muda dengan pakaian seksi, jelas itu cenderung bertendensi nafsu. Tarian yang kumaksudkan tidaklah demikian. Tidak harus gadis muda, tidak harus menggunakan pakaian seksi, tidak harus melenggak lenggok gemulai di atas panggung. Yang hendak kukatakan adalah ketika sebuah gerak diolah dengan begitu baiknya, kadang-kadang bisa menjadi alat penyampaian pesan yang lebih baik ketimbang kata-kata.
Kita sebagai umat awam, seharusnya menyokong tekad para Bhikkhu. Hal ini bisa terjadi krn 'pembenaran2' salah satunya seperti yg kita bahas sekarang... kawan2 malah mengatakan nanti bisa saja ada band thrashmetal yg membawakan lagu2 Dhamma...
Tentu, kalau trashmetal, saya juga tidak setuju. Nadanya cenderung agresif dan penuh kemarahan. Menghasilkan sifat yang tidak sabaran dan penuh nafsu. Seperti yang kukatakan tadi, tidak semua jenis musik cocok untuk menyampaikan dharma. Kalau anda menganggap hal demikian adalah 'pembenaran', saya lebih suka menamakannya sebagai 'fleksibiltas'
sedikit demi sedikit kelonggaran/pembenaran yg lama2 akan menjauh dari esensi Ajaran.
Kalau saya belajar dari Buddhisme Zen, esensi Ajaran tidaklah pernah mati. Esensi Ajaran sudah ada di dalam setiap semua orang. Tidak akan rusak hanya dengan sedikit penyesuaian
Buddha Dhamma tentu saja tidak menganut ajaran 'Tidak Boleh', namun 'hindari hal2 yg tidak bermanfaat bagi perkembangan batin'.
Nah, apakah melihat para gadis melenggak-lenggok membawakan tarian 'Dhamma' akan bermanfaat bagi perkembangan batin?
Tergantung. Jika yang bersangkutan kemudian mendapatkan hikmah tertentu dari pengalamannya, maka tentu saja bermanfaat untuk perkembangan batinnya. Dan bahkan kalau seandainya sempat muncul nafsu dalam dirinya dan kemudian ia berusaha untuk mengatasinya ataupun sesudah berlarut-larut lama baru dapat keluar, semuanya adalah proses menuju perkembangan batin. Sorry, jawaban saya memang kurang relevan dengan diskusi kita, tapi apa yang ingin kusampaikan adalah: perkembangan batin dicapai dengan naik dan turun yang dirasakan dan terus dipelajari. Tidak ada yang namanya perkembangan batin selalu mengharapkan jalan yang mulus. Kalau seorang anggota sangha tergoda hanya oleh pemudi vihara yang berpakaian seksi, lantas apa jadinya nanti kalau ia bertemu dengan 3 putri mara yang cantik2
Apakah seorang Bhikkhu yg memainkan alat musik sesuai dengan tekadnya untuk mengikis LDM nya?
Bagi kita umat awam, kegiatan menyanyikan dan mendengarkan lagu2 (liriknya Dhamma / bukan), tentu sah2 saja. Tapi kita tetap dianjurkan untuk menghindari hal2 tsb, kalau tidak bisa sepenuhnya, yah pada hari2 tertentu saja. Kenapa dianjurkan untuk dihindari? Krn musik dan tarian, pada dasarnya adalah kegiatan hiburan dan kesenangan semata. Tidak ada manfaatnya sama sekali untuk membebaskan kita dari LDM...
Jika memang musik dan tari2an memang sungguh bermanfaat untuk menyampaikan Dhamma, tentu sedari awal Sang Buddha dan para Bhikkhu telah membawa sitar kemana2 dan menari2 didepan orang2....
Kenapa Sang Buddha tidak melakukannya, tentu ia memiliki alasan tertentu. Bisa jadi misalnya, masyarakat di mana Sang Buddha hidup banyak yang menganggap bahwa memainkan alat musik, nyanyian dan tarian adalah perbuatan yang rendah dan tidak pantas bagi seorang petapa. Tapi ini cuma dugaan loh. Saya tidak mau berspekulasi soal ini. Hati Sang Buddha lebih dalam daripada samudera, siapa yang sanggup membacanya