//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - Indra

Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8 9
61
Kapak yang Tajam dan Berat
A Honed and Heavy Ax
Ajahn Chandako


Kapak
 
Bayangkan anda ingin menebang sebatang pohon mati dengan sebuah kapak. Agar berhasil maka kapak harus tajam dan cukup berat. Tetapi di manakah tajam dan berat itu dimulai? Jelas bahwa bahkan dengan usaha keras jika menggunakan pisau cukur atau pemukul baseball maka tidak akan berhasil.

Dalam konteks praktik meditasi Buddhis, kapak yg berat dapat mengumpamakan ketenangan (samatha), ketajamannya mengumpamakan pandangan terang (vipassana). Kedua aspek meditasi ini memainkan peran penting dalam mencerahkan makhluk-makhluk pada sifat realitas dan membebaskan mereka dari penderitaan. Dengan memeriksa teks-teks kuno yang berasal dari Sang Buddha serta beberapa pendekatan populer, tulisan ini akan mencoba untuk mengupas tentang hubungan yang saling mendukung antara kedua tonggak pengembangan spiritual ini.

Kata ‘vipassanā’ telah dihubungkan dengan teknik meditasi tertentu atau suatu gaya praktik Buddhis dalam tradisi theravada. Akan tetapi apa yang diajarkan oleh Sang Buddha adaalah ‘samatha/vipassanā’. Samatha berarti keheningan dan ketenangan yang dihasilkan dari perhatian terus-menerus pada suatu obyek, proses atau persepsi. Vipassanā merujuk pada penglihatan jelas. Ketika keduanya hadir, batin dan pikiran seseorang menjadi seimbang. Samatha adalah memusatkan, penerimaan dan tidak membeda-bedakan tanpa syarat. Samatha adalah tenang, cerah, bersinar, diam secara internal dan penuh kebahagiaan. Kedamaian batin yang dihasilkan adalah emosi yang halus. Vipassanā di pihak lain, muncul dari sisi batin yang melihat. Vipassanā membedah, menyelidiki, membandingkan, membedakan dan mengevaluasi. Vipassanā mengamati dan menganalisis perubahan, sifat tanpa-diri dan tidak memuaskan dari segala fenomena jasmani dan batin yang terkondisi.

Sementara samatha menghasilkan energi, vipassana menerapkannya pada usaha. Kedua ini pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai cara berbeda dari meditasi Buddhis dengan tujuan yang berbeda, melainkan hanya dua tema yang saling berkaitan dari jalan harmonis praktik Dhamma yang mengarah menuju Nibbana, pencerahan. Hasil gabungannya adalah kebijaksanaan: perubahan persepsi mendalam yang menyelaraskan pemahaman kita dengan kebenaran-kebenaran alami. Sang Buddha mengajarkan berbagai macam tema meditasi dalam menjawab kebutuhan dan kecenderungan berbeda-beda dari para individu yang terlibat, tetapi semua itu tergabung dan terjalin dalam ketenangan dan pandangan terang ke dalam kain lentur dan kuat dari kebebasan. Bersama-sama, Baik Samatha maupun Vipassanā bekerja untuk membebaskan batin.

Sebelum melanjutkan lebih jauh lagi, mungkin perlu untuk memgklarifikasi beberapa termonilogi. Samatha sesungguhnya bersinonim dengan samādhi, perhatian atau konsentrasi terpusat. Sammā-samādhi, samādhi benar atau sempurna, adalah faktor ke delapan dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Agar samādhi menjadi ‘benar’ dan mengarah menuju Nibbāna, maka harus ada kesadaran jernih penuh perhatian (sati) dari momen ke momen. Suatu kondisi samādhi tanpa kesadaran jernih juga dapat merasakan kedamaian dan menenangkan tetapi bukan bagian dari jalan Buddhis. Samādhi yang muncul dari kondisi-kondisi batin yang tidak bermanfaat disebut ‘samādhi salah’ (micchā samādhi), karena tidak mengarah menuju Nibbāna. Kesempurnaan samādhi disebut jhāna. Setelah Sang Buddha wafat, komentar pada ajaran asli memperkenalkan banyak konsep-konsep dan istilah-istilah baru. Misalnya, samādhi ‘penyerapan penuh’ (appanā) merujuk pada jhāna. Samādhi ‘akses’ (upacara) adalah konsentrasi yang tidak semendalam jhāna tetapi berada pada ‘ambang batasnya’. Samādhi ‘saat ke saat’ (khanika) merujuk pada kesadaran terus-menerus yang muncul karena perhatian penuh pada berbagai obyek perhatian berbeda secara berturut-turut, bukan pada satu obyek meditasi tunggal. Hal ini secara efektif mendefinisikan ulang samadhi sebagai kesadaran penuh perhatian.

Tidak diketahui secara persis kapan samatha dan vipassanā mulai dibedakan sebagai cara praktik Dhamma yang berbeda. Mungkin tidak lama setelah Sang Buddha wafat. Tentu saja, pada masa komentar [1] istilah samathayānika dan vipassanāyānika telah digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang penekanan utamanya (atau ‘kendaraan’) adalah salah satu atau lainnya. Di sinilah istilah “meditator pandangan terang kering” (sukhavipassaka) pertama kali ditemukan. Hal ini merujuk pada orang yang hanya mengembangkan samādhi saat ke saat atau mempraktikkan meditasi pandangan terang tanpa samatha sama sekali, hanya mempertahankan pengamatan saat ke saat yang tidak berkesinambungan dari proses perubahan jasmani dan batin. Pada titik ini dalam sejarah rujukan-rujukan masih sedikit dan singkat. Hanya dalam literatur sub-komentar samathayāna dan vipassanāyāna dijelaskan dan digambarkan sebagai jalan praktik yang berbeda. Penambahan komentar ini telah menjadi topik kontroversi, khususnya pertanyaan yang telah sering kali diajukan sehubungan dengan apakah samādhi saat ke saat memenuhi faktor samādhi benar dari Jalan Mulia Berunsur Delapan.

[1] Visuddhimagga dan komentar-komentar lainnya ditulis  pada abad V AD oleh Acariya Buddhaghosa.


Samādhi Benar

Sang Buddha mengajarkan bahwa adalah mustahil untuk mencapai Nibbāna tanpa menyempurnakan seluruh delapan bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dalam kumpulan AjaranNya, sutta-sutta, definisi yang dicakup oleh samādhi benar pada Sang Jalan itu adalah empat jhāna pertama.

“Dan apakah, Teman-teman, samādhi benar itu? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, setelah melampaui kondisi-kondisi batin yang tidak bermanfaat, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kebahagiaan, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang karenanya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang nyaman yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah samādhi benar.

Ini disebut Kebenaran Mulia Jalan menuju lenyapnya penderitaan.” (DN 22.21 – MN 141.31)

“’Dhamma ini adalah untuk seorang dengan samādhi, bukan untuk seorang yang tanpa samādhi.’ Demikianlah dikatakan. Untuk alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama ... jhāna ke dua ... jhāna ke tiga ... jhāna ke empat.” (AN 8.30)

“Aku katakan, Para Bhikkhu, bahwa hancurnya racun batin adalah bergantung pada jhāna pertama ... jhāna ke delapan.” (AN 9.36)


Kemudian apakah pengalaman jhāna itu? Energi pikiran perlahan-lahan menarik diri dari penghamburan yang biasanya di berbagai pintu indria dan berkumpul secara internal. Segala emosi negatif atau kondisi batin tidak bermanfaat menjadi lenyap. Sensasi memiliki tubuh lenyap. Ia merasa ringan dan gembira, dan pikirannya menjadi diam tanpa memikirkan apa pun. Kesadaran pikiran kemudian diarahkan dengan lebih sungguh-sungguh pada refleksi pikiran itu sendiri, biasanya dialami sebagai cahaya terang, hingga hubungan subyek/obyek melebur menjadi suatu pengalaman kesatuan. Kemudian pikiran menjadi terpusat, tidak bergerak dan bergembira. Tidak ada perhatian pada dunia eksternal. Apa yang tersisa adalah sifat dasar pikiran “mengetahui”, tanpa batas dan kesadaran jernih. Keadaan ini dapat bertahan dari beberapa menit hingga beberapa hari. Pengalaman meditasi mendalam demikian membentuk dasar ilmu kebatinan pada tradisi spiritual. Suatu kejernihan dan kemurnian yang meliputi segalanya, suatu rasa kesatuan mendalam, dan kebahagiaan memuaskan yang dalam – hal-hal ini adalah tanda-tanda jhāna.

62
Meditasi / 16 Vipassana Nana
« on: 20 August 2011, 06:08:49 PM »
1.   Namarupa pariccheda nana

Pengetahuan yang mampu membedakan antara kondisi-kondisi batin dan jasmani.

Dalam nana ini, atau kebijaksanaan atau pengetahuan, meditator mampu membedakan nama (fenomena batin) dan rupa (fenomena jasmani). Misalnya, ia menyadari naik dan turunnya gerakan perut adalah rupa dan pikiran yang mengetahui gerakan-gerakan ini adalah nama. Gerakan kaki adalah rupa dan kesadaran pada gerakan itu adalah nama.

Meditator mampu membedakan nama dan rupa sehubungan kelima indria sebagai berikut:

1.   Ketika melihat suatu bentuk, mata dan warna adalah rupa; kesadaran penglihatan adalah nama.
2.   Ketika mendengar suatu suara, suara itu sendiri dan mendengar adalah rupa, dan kesadaran pendengaran adalah nama.
3.   Ketika mencium sesuatu, bau itu sendiri dan hidung adalah rupa, dan kesadaran penciuman adalah nama.
4.   Ketika mengecap sesuatu, rasa kecapan dan lidah adalah rupa, dan kesadaran pengecapan adalah nama.
5.   Ketika menyentuh sesuatu, apa pun yang dingin, panas, lunak atau keras ketika disentuh, ini adalah rupa, dan kesadaran sentuhan adalah nama.

Sebagai kesimpulan, dalam nana ini meditator menyadari bahwa keseluruhan tubuh adalah rupa dan batin (atau kesadarn sensasi tubuh) adalah nama. Hanya nama dan rupa yang ada. Tidak ada makhluk, tidak ada diri, tidak ada “aku”, tidak ada “dia”, dan sebagainya. Ketika duduk, tubuh dan gerakannya adalah rupa dan kesadaran duduk itu adalah nama. Tindakan berdiri adalah rupa dan kesadaran berdiri adalah nama. Tindakan berjalan adalah rupa dan kesadaran berjalan adalah nama.

2.   Paccaya pariggaha nana

Pengetahuan hubungan Sebab-dan-akibat antara kondisi-kondisi batin dan jasmani.

Dalam beberapa kasus, rupa adalah sebab dan nama adalah akibat, seperti misalnya, ketika gerakan muncul an kesadaran mengikuti. Pada waktu lain, nama adalah sebab dan rupa adalah akibat; misalnya: keinginan untuk duduk adalah sebab dan tindakan duduk adalah akibat; dengan kata lain, aktivitas kehendak mendahului perbuatan jasmani.

Beberapa karakteristik nana ini adalah:

1.   Perut mungkin naik, tetapi tidak segera turun.
2.   Perut mungkin turun secara mendalam dan tetap pada posisi itu dalam waktu yang lebih lama dari biasanya.
3.   Naik dan turunnya perut sepertinya lenyap, tetapi ketika disentuh dengan tangan, gerakan itu masih terasa.
4.   Kadang-kadang ada perasaan menderita dengan intensitas yang bervariasi.
5.   Beberapa meditator mungkin sangat terganggu oleh penglihatan atau halusinasi.
6.   Naik dan turunnya perut dan kesadaran pada gerakan itu muncul pada momen yang sama.
7.   Seseorang mungkin terkejut oleh tubuh yang miring ke depan atau ke belakang.
8.   Meditator menganggap bahwa kehidupan ini, kehidupan berikut dan semua kehidupan, diturunkan hanya dari interaksi sebab dan akibat. Hanya terdiri dari nama dan rupa, proses batin dan jasmani. Satu gerakan perut naik terdiri dari dua tahap.

3.   Sammasana nana

Pengetahuan proses batin dan jasmani sebagai tidak memuaskan dan bukan-diri

Beberapa karakteristik dari nana ini:

1.   Meditator mempertimbangjan nama dan rupa, sebagai yang dialami melalui jelima indria, sebagai memiliki tiga karakteristik anicca (ketidak-kekalan), dukkha (ketidak-memuaskan atau penderitaan), dan anatta (bukan-diri).
2.   Meditator melihat bahaw satu gerakan perut baik memiliki tiga tahap: berasal-mula, berlangsung, dan lenyap. Satu gerakan perut turun juga memiliki tiga tahap yang sama.
3.   Ada perasaan menderita yang lenyap secara perlahan, setelah tujuh atau delapan pengamatan.
4.   Ada banyak nimitta (penglihatan atau gambaran batin) yang lenyap secara perlahan setelah beberapa pengamatan.
5.   gerakan naik dan turunnya perut tampak lenyap setelah interval yang lama atau sebentar.
6.   Nafas mungkin cepat, lambat, halus, tidak teratur atau terhalang.
7.   Pikiran mungkin menjadi kacau, yang menunjukkan bahwa pikiran menyadari ketiga karakteristik ketidak-kekalan, ketidak-memuaskan, dan bukan-diri.
8.   Tangan dan kaki meditator mungkin terkunci atau gemetar.
9.   Beberapa dari sepuluh vipassanupakilesa (ketidak-sempurnaan atau kekotoran pandangan terang) mungkin muncul dalam nana ini.

Sepuluh ketidak-sempurnaan Pandangan Terang (vipassanupakilesa)

Seorang meditator yang tidak berpengalaman mungkin akan bingung ketika menghadapi pengalaman-pengalaman berikut ini, sang meditator mungkin saja tergoda untuk melekati pengalaman-pengalaman ini, meyakininya sebagai sesuatu yang penting, alih-alih melanjutkan mencatat muncul dan lenyapnya fenomena batin dan jasmani pada saat ini. Pada saat-saat demikian tuntunan seorang guru adalah sangat penting.

Obhasa (Cahaya terang)

Obhasa adalah kekotoran pandangan terang yang pertama.

Meditator mungkin melihat manifestasi cahaya berikut ini:
a.   Ia mungkin melihat cahaya yang menyerupai kunang-kunang, obor atau lampu mobil.
b.   Ruangan mungkin menjadi menyala, memungkinkan sang meditator melihat tubuhnya sendiri.
c.   Ia mungkin melihat cahaya yang tampak seperti menembus dinding.
d.   Ada cahaya yang memungkinannya melihat berbagai tempat di depan matanya.
e.   Ada cahaya terang yang seolah-olah sebuah pintu terbuka. Beberapa meditator akan mengangkat tangannya seolah-olah hendak menutupnya; beberapa lainnya membuka matanya untuk melihat apa yang menyebabkan cahaya itu.
f.   Terlihat suatu penglihatan bunga berwarna-warni bercahaya terang yang dikelilingi oleh cahaya.
g.   Mungkin melihat bermil-mil lautan.
h.   Berkas cahaya seperti memancar dari jantung dan tubuh sang meditator.
i.   Mungkin terjadi halusinasi seperti melihat seekor gajah.

Piti (Kegembiraan atau Kegairahan)

Piti adalah kekotoran pandangan terang yang ke dua. Ada lima jenis piti.

1.   Khuddka piti (kegairahan minor)

Kondisi ini dikarakteristikkan sebagai berikut:
a.   Meditator melihat cahaya putih.
b.   Mungkin muncul perasaan dingin atau pusing dan merinding.
c.   Meditator mungkin bisa menangis atau merasa ketakutan.

2.   Khanika piti (Kegairahan saat ke saat)

Karakteristik piti ini adalah:
a.   Melihat kilasan cahaya.
b.   Melihat percikan cahaya.
c.   Gemetar gugup.
d.   Perasaan kaku di sekujur tubuh.
e.   Perasaan seolah-olah semut-semut merayapi tubuh.
f.   Perasaan panas di sekujur tubuh.
g.   Menggigil.
h.   Melihat warna merah.
i.   Bulu badan sedikit berdiri.
j.   Gatal seolah-olah semut-semut merayapi wajah dan tubuhnya.

3.   Okkanta piti (banjir kegairahan)

Dalam piti ini:
a.   Tubuh berguncang dan bergetar.
b.   Wajah, tangan dan kaki gemetar.
c.   Terjadi guncangan besar seolah-olah tempat duduk akan terbalik.
d.   Mual dan kadang-kadang mungkin sampai muntah.
e.   Perasaan berirama bagaikan ombak yang memecah di pantai.
f.   Riak-riak energi seolah-olah mengalir di sekujur tubuh.
g.   Tubuh bergetar bagaikan tongkat kayu yang terpasang di aliran sungai.
h.   Melihat cahaya kuning cerah.
i.   Tubuh bergoyang kesana kemari.

4.   Ubbenka piti (kegairahan yang menggembirakan)

Dalam piti ini:
a.   Tubuh terasa seolah-olah membesar atau bergerak ke atas.
b.   Ada perasaan seolah-olah serangga merayap di wajah dan tubuh.
c.   Mungkin terjadi diare.
d.   Tubuh condong ke depan atau ke belakang.
e.   Merasa seolah-olah kepalanya digerakkan ke belakang dan ke depan oleh orang lain.
f.   Terjadi gerakan mengunyah dengan mulut terbuka atau terutup.
g.   Tubuh mengayun bagaikan pohon tertiup angin.
h.   Tubuh condong ke depan dan nyaris terjatuh.
i.   Terjadi gerakan gelisah pada tubuh.
j.   Terjadi gerakan melompat pada tubuh.
k.   Tangan dan kaki terangkat atau gemetar.
l.   Tubuh condong ke depan atau mungkin berbaring.
m.   Cahaya perak keabuan mungkin terlihat.

5.   Pharana piti (kegairahan yang merembes)

Dalam piti ini:
a.   Perasaan sejuk menyebar di sekujur tubuh.
b.   Kedamaian pikiran muncul sekali-sekali.
c.   Muncul perasaan gatal di sekujur tubuh.
d.   Muncul perasaan mengantuk dan meditator tidak ingin membuka matanya.
e.   Meditator tidak berkeinginan untuk bergerak.
f.   Terjadi sensasi penyiraman dari kaki ke kepala atau sebaliknya.
g.   Tubuh merasa sejuk seolah-olah sedang mandi atau menyentuh es.
h.   Meditator melihat warna-warni biru atau hijau zamrud.
i.   Perasaan gatal seolah-olah serangga merayap di wajah mungkin terjadi.

Passadhi

Kekotoran vipassana ke tiga adalah passadhi yang berarti “Ketenangan faktor-faktor batin dan kesadaran.” Dikarakteristikkan sebagai berikut:

a.   kondisi hening dan damai yang menyerupai pencapaian pandangan terang.
b.   Tidak ada kegelisahan atau pengembaraan.
c.   Pengamatan penuh perhatian menjadi mudah.
d.   Meditator merasa sejuk nyaman dan tidak gelisah.
e.   Meditator merasa puas dengan kekuatan pengamatan.
f.   Muncul perasaan yang miripd engan jatuh teridur.
g.   Muncul perasaan ringan.
h.   Konsentrasi kuat dan tidak ada kelengahan.
i.   Pikiran sangat jernih.
j.   Seorang yang kasar, kejam atau tanpa belas-kasihan akan menyadari bahwa dhamma sungguh mendalam.
k.   Seorang kriminal atau pemabuk akan mampu meninggalkan kebiasaan buruknya dan berubah menjadi seorang yang sama sekali berbeda.

Sukha

Kekotoran vipassana ke empat adalah sukha yang bermakna “kebahagiaan” dan memiliki karakteristik sebagai berikut:

a.   Muncul perasaan nyaman.
b.   Karena perasaan menyenangkan maka meditator berkeinginan untuk melanjutkan latihan untuk waktu yang lama.
c.   Meditator berkeinginan untuk memberitahukan kepada orang lain tentang hasil yang telah ia capai.
d.   Meditator merasa bangga dan bahagia yang tak terhingga.
e.   Beberapa mengatakan bahwa mereka belum pernah mengetahui kebahagiaan demikian.
f.   Beberapa merasa sangat berterima kasih kepada guru-guru mereka.
g.   Beberapa meditator merasa bahwa guru mereka selalu siap memberikan bantuan.

Saddha

Kekotoran vipassana berikutnya adalah saddha yang didefinisikan sebagai semangat, tekad atau ketetapan hati, dan memiliki karakteristik sebagai berikut:

a.   Praktisi memiliki keyakinan yang terlalu berlebihan.
b.   Ia berkeinginan agar semua orang mempraktikkan vipassana.
c.   Ia mengajak mereka yang berhubungan dengannya untuk berlatih.
d.   Ia berkeinginan untuk membalas budi kepada pusat meditasi.
e.   Meditator berkeinginan untuk mempercepat dan memperdalam latihannya.
f.   Ia berkeinginan untuk melakukan perbuatan baik, berdana dan membangun dan memperbaiki bangunan-bangunan dan peninggalan-peninggalan Buddhis.
g.   Ia merasa sangat berterima kasih kepada orang yang mengajaknya berlatih.
h.   Ia berkeinginan untuk memberikan persembahan kepada gurunya.
i.   Seorang meditator berkeinginan untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu atau bhikkhuni.
j.   Ia berkeinginan untuk tidak berhenti berlatih.
k.   Ia berkeinginan untuk pergi dan menetap di tempat yang tenang dan damai.
l.   Meditator memutuskan untuk berlatih dengan sepenuh hati.

Paggaha

Kekotoran vipassana berikutnya adalah paggaha yang berarti pengerahan usaha atau kegigihan dan didefinisikan sebagai berikut:

a.   Kadang-kadang meditator berlatih terlalu keras.
b.   Ia mungkin bermaksud untuk berlatih tanpa mengenal lealh, bahkan sampai mati.
c.   Meditator terlalu berlebihan dalam mengerahkan usahanya sehingga perhatian dan pemahaman murni menjadi lemah, menyebabkan kekacauan dan kurangnya konsentrasi.

Upatthana

yang berarti “perhatian,” adalah kekotoran vipassana berikutnya dan dikarakteristikkan sebagai berikut:

a.   Kadang-kadang konsentrasi berlebihan pada pikiran menyebabkan meditator meninggalkan pengamatan saat ini dan cenderung memikirkan masa lalu atau masa depan.
b.   Meditator mungkin terlalu memikirkan apa yang terjadi di masa lalu.
c.   Meditator memiliki ingatan samar tentang kehidupan lampau.

Nana

Vipassanakilesa berikutnya adalah nana yang berarti “pengetahuan” dan didefinisikan sebagai berikut:

a.   Pengetahuan teoritis menjadi rancu dengan praktik. Meditator salah memahami namun menganggap bahwa ia benar. Ia mungkin menjadi suka pamer dan suka membantah gurunya.
b.   Seorang meditator mungkin berkomentar mengenai berbagai obyek. Misalnya ketika perut baik ia akan berkata “naik” dan ketika turun ia akan berkata “turun.”
c.   Meditator mungkin mempertimbangkan berbagai prinsip yang telah ia ketahui atau pelajari.
d.   Masa kini tidak dapat digenggam. Biasanya adalah “berpikir” yang memenuhi pikiran. Hal ini disebut sebagai “pengetahuan yang berdasarkan pada pikiran,” jinta nana.

Upekkha

Kekotoran vipassana ke sembilan adalah upekkha yang bermakna tidak peduli atau tidak membeda-bedakan. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

a.   Pikiran meditator tidak membeda-bedakan, tidak menyenangkan juga tidak tidak-menyenangkan, tidak lengah. Naik dan turunnya perut menjadi tidak jelas dan sering kali tidak teramati.
b.   Meditator tidak penuh perhatian, sering kali memikirkan hal yang tidak jelas.
c.   Naik dan turunnya perut kadang-kadang teramati.
d.   Pikiran tidak terganggu dan damai.
e.   Meditator tidak membeda-bedakan sehubungan dengan kebutuhan tubuh.
f.   Meditator tidak terpengaruh ketika berhubungan dengan obyek-obyek yang baik ataupun buruk. Pengamatan penuh perhatian diabaikan dan perhatian dipeerbolehkan untuk mengikuti obyek-obyek luar hingga sangat jauh.

Nikanti

Vipassanakilesa ke sepuluh adalah nikanti yang berarti “kepuasan” dan memiliki karakteristik sebagai berikut:

a.   Meditator merasa puas pada berbagai obyek.
b.   Ia puas dengan cahaya, kegembiraan, kebahagiaan, keyakinan, usaha, pengetahuan dan keseimbangan.
c.   Ia puas dengan berbagai nimitta (penglihatan).

63
DhammaCitta Press / Perlukah DC Press menerbitkan Visuddhi Magga
« on: 11 August 2011, 09:19:13 PM »
Access to Insight baru saja menerbitkan buku Path of Purification (Visuddhimagga) oleh Bhadantacariya Buddhaghosa terjemahan Bhikkhu Nanamoli dalam bentuk PDF yg bisa di-download di http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/nanamoli/PathofPurification2011.pdf

Visuddhimagga — The Path of Purification: The Classic Manual of Buddhist Doctrine and Meditation, translated from the Pali by Bhikkhu Ñāṇamoli.

"The Visuddhimagga is the 'great treatise' of Theravada Buddhism, an encyclopedic manual of Buddhist doctrine and meditation written in the fifth century by the great Buddhist commentator, Bhadantacariya Buddhaghosa. The author's intention in composing this book is to organize the various teachings of the Buddha, found throughout the Pali Canon, into a clear and comprehensive path leading to the final Buddhist goal, Nibbana, the state of complete purification. In the course of his treatise Buddhaghosa gives full and detailed instructions on the forty subjects of meditation aimed at concentration, an elaborate account of the Buddhist Abhidhamma philosophy, and detailed descriptions of the stages of insight culminating in final liberation"

Semoga bermanfaat.

NB: Yg gak bisa berbahasa Inggris, mungkin harus nunggu versi bahasa Indonesia-nya terbitan DC. Mudah2an dr pihak DC ad yg mau terjemahkan ke bahasa Indonesia & menerbitkannya dlm bentuk e-book yg bisa di-download gratis... :)

Saya jg pernah liat bukuny di perpustakaan vihara, kalo gak salah dibagi jd 3 jilid.... Mgkn DC bs menerjemahkan kembali dg lebih baik.... sekedar usul... :)

mohon masukan dari rekan2 semua untuk vote polling di atas, dan mohon jelaskan juga alasan anda _/\_

Buku ini setebal hampir 800 halaman dalam font yg agak kekecilan dalam edisi english, yg jika diterjemahkan mungkin bisa mencapai 2 kalinya atau +/- 1500 hal. jika akan diterbitkan dalam bentuk cetakan, tentu saja memerlukan biaya yg cukup besar. jadi mohon dipertimbangkan juga dari segi manfaat dan biaya/effort yg kita keluarkan.

64
Kesempatan Berbuat Baik / Bantuan untuk adik Bro Haa ...
« on: 20 July 2011, 10:31:33 PM »
Teman-teman seDC,

saya merasa berkewajiban untuk membuka topik ini, untuk mengajak semua rekan2 DC untuk membantu teman kita Hendra Susanto, yg kita semua sudah kenal sebagai komandan DC Press. Hendra Susanto adalah seorang pekerja DC yg telah berkontribusi sangat besar untuk kita para member, kerja kerasnya telah membuahkan hasil yg sangat bermanfaat bagi kita serta umat Buddha seluruh indonesia dalam bentuk buku2 terbitan DC Press. Untuk segala kerja kerasnya ini, Bro Hendra tidak pernah mendapat bayaran sama sekali

Sekarang telah datang kesempatan bagi kita untuk memberikan balas jasa kepada Bro Hendra dalam bentuk dukungan demi kesembuhan adik kandung dari Bro Hendra yg sedang sakit saat ini.

Berikut ini adalah sedikit informasi mengenai adik Bro Hendra:

nama: Herman Susanto
usia: 27
kondisi: Kanker Paru Stadium 4



historis: setelah selesai bermain futsal, dada terasa sakit dan badan tidak bisa digerakkan. Dicek ternyata paru2 ada cairan. Setelah dikeluarkan cairannya, ternyata darah dan hasil pemeriksaan lab terhadap darah tersebut menyatakan bahwa Kanker Paru Stadium 4. Setelah lebih dari 2 minggu dirumah sakit, direncanakan pada tgl 21 24 Juli ini akan berobat ke Penang.

Note: Jika anda mengenal dia, harap tidak memberitahukan kondisinya ke Herman ataupun orangtuanya bahwa sudah Kanker Stadium 4 agar tidak panik. Sekarang ini dirahasiakan oleh Hendra.


Mohon bantuannya untuk melakukan perbuatan baik (misalnya fangsen atau donor darah) dan melimpahkan jasanya ke Herman, ataupun bantuan materi bisa transfer ke rekening DC (BCA Business Park Kebon Jeruk, 6560708091 A/N Benny) dengan kode belakang 8. Misalnya Rp 10.008,-

Karena Bro Hendra adalah salah satu pekerja inti dalam DC, jadi Tuhan DC memutuskan untuk memfasilitasi penggalangan dana ini dan menggunakan rekening resmi DC.

biaya yg diperlukan tentu saja akan sangat besar. maka, tanpa mengecilkan dukungan moril dari rekan2 semua, kami akan lebih menghargai dukungan yg lebih nyata dalam bentuk materi ($), biarpun kecil nilainya tapi kalo rame, kan bisa jadi banyak juga.


Terima kasih atas dukungan teman2 semua.

NB:
Bro Hendra, mohon click "thanks" untuk mengkonfirmasi bahwa postingan saya ini benar dan bukan rekayasa

65
Theravada / Buddha berikutnya, Ariya Metteya
« on: 17 July 2011, 07:51:20 AM »
The Coming Buddha, Ariya Metteyya

Sayagyi U Chit Tin

tulisan berikut ini saya terjemahkan dari http://what-buddha-said.net/library/Metteyya/arimet01.htm

tulisan ini adalah rangkuman dari berbagai teks dalam tradisi Theravada dari SriLanka dan Burma, walaupun jelas bukan bersumber dari Tipitaka.

 [at]  mods: kalau salah kamar, silakan dipindah.

66
Seremonial / Happy Birthday Citta
« on: 03 July 2011, 09:22:26 AM »
Cittooooo .... Happy birthday yo ... \;D/ \;D/ \;D/

67
Studi Sutta/Sutra / bagaimana Angulimala mencapai Kearahatan
« on: 01 July 2011, 08:13:25 AM »
silakan baca sutta lengkapnya MN 86 Angulimala Sutta

Quote

16. Tidak lama, berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh, Yang mulia Angulimāla, dengan mengalami oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia mengetahui secara langsung: “‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” [104] Dan Yang Mulia Angulimāla menjadi salah satu dari para Arahant.


adakah yg tau, bagaimana atau dengan metode apa Angulimala berlatih hingga mencapai Kearahatn? mohon sertakan rujukannya juga, dari atthakatha juga boleh, karena sutta tidak menjelaskan hal ini.

_/\_

68
Diskusi Umum / Rendah Diri Adalah Kesombongan?
« on: 29 June 2011, 08:49:46 PM »
Dalam Buddhisme, sikap membanding2kan diri sendiri dengan orang lain apakah merasa lebih tinggi, setara, bahkan lebih rendah adalah kesombongan.

mudah dimengerti jika merasa lebih tinggi dari orang lain adalah kesombongan.

merasa setara juga masih masuk akal jika dianggap sombong.

tapi merasa lebih rendah dari orang lain, suatu sikap yg kadang2 dipuji oleh masyarakat umum dan disebut rendah hati. mengapa sikap seperti ini juga dianggap sebagai kesombongan? mari kita bahas

69
Saya sering mendengar banyak komentar dari umat Buddha yang idealis maupun bhikkhu senior tentang berdagang atau berbisnis tanpa melakukan kecurangan, penipuan atau ketidak-jujuran. Menurut saya konsep seperti hanya omong kosong. Hanya orang yang tidak mengerti dunia bisnis yang bisa mengatakan bahwa ada cara untuk menjalankan bisnis dengan kejujuran 100% dan tanpa musavada. ^-^


Begini saja, silakan anda menyebutkan bisnis apa yg menuntut bahwa harus musavada untuk menjalankan bisnis itu. nanti baru kita evaluasi apakah mungkin untuk menghilangkan faktor musavada itu.



[gmod=Your kind attention please.]Thread ini adalah topic splitted dari thread Pandangan Sang Buddha Tentang Makan Daging.[/gmod]

70
Pengembangan DhammaCitta / selamat kepada new GMs
« on: 20 June 2011, 10:32:44 AM »
baru sadar setelah melihat ada 2 nama berwarna biru,

Selamat bertugas kepada Pak Kainyn_Kutho dan Pak Upasaka atas jabatan barunya sebagai Global Moderator.

jadi ingat masa lalu betapa nikmatnya kebrutalan Glomod dan betapa menderitanya ketika tidak dapat aktif berdikusi karena tuntutan jabatan. semoga para glomod baru ini tidak mengulangi kisah lama dan dapat bertugas dengan lebih baik lagi, demi Dhammacitta ini.

 ^:)^ ^:)^

71
koko wa meninggal, wa sekarang di husada

Turut berduka cita


72
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / Mahayana vs Theravada
« on: 09 May 2011, 08:17:55 AM »
Sengaja bikin judul yg sedikit provokatif, agar lebih mengundang pembaca. akan tetapi, artikel ini intinya memang menjelaskan tentang Mahayana dan Theravada yg dieksplorasi dari Sutta-sutta dan Sutra-sutra.

berikut ini adalah sedikit perangsang bagi para pembaca:

Quote
Saya akan membahas kedua pandangan secara berurutan, dan dimulai dengan para Arahant kuno. Walaupun Sang Buddha adalah yang pertama dalam menemukan sang jalan menuju kebebasan, hal ini bukan berarti bahwa para siswa Arahant secara egois memetik manfaat dari sang jalan dan tidak melakukan apa pun demi makhluk lain. Sebaliknya, dalam sutta-sutta kita dapat melihat bahwa banyak di antara mereka yang menjadi guru-guru besar secara sukarela yang mampu memimpin orang lain menuju kebebasan. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Sāriputta, Mahākaccāna, Mogāllana, dan Ānanda. Ada Bhikkhu Puṇṇa yang pergi ke negeri Sunāparanta yang barbar, membahayakan hidupnya untuk mengajar Dhamma kepada orang-orang di sana. Ada para bhikkhunī seperti Khemā dan Dhammadinnā, yang adalah para pembabar yang mengagumkan, Patācārā, yang adalah ahli disiplin, dan banyak lainnya. Selama empat ratus tahun, teks-teks Buddhis dilestarikan secara lisan, disampaikan dari guru-guru kepada murid-murid, dan jelas ada ribuan bhikkhu dan bhikkhunī yang mengabdikan hidupnya untuk mempelajari teks-teks ini dan mengajarkannya kepada murid-murid, semuanya demi untuk melestarikan Dhamma dan Vinaya yang baik ini di dunia.

Teladan yang dibentuk oleh para siswa Arahant Sang Buddha telah menjadi model bagi para pengikut sosok ideal Arahant sepanjang sejarah. Walaupun mereka yang mengikuti sosok ideal ini tidak melakukan sumpah sombong seperti para pengikut sosok ideal bodhisattva, namun mereka terinspirasi oleh teladan Sang Buddha dan para siswa besarNya demi mengangkat spiritual dan moral orang lain hingga sebatas kemampuan mereka: melalui pengajaran, contohnya, dan melalui pengaruh spiritual langsung, yang dipicu oleh perintah Sang Buddha untuk “mengembaralah demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.”  ---> ini menjelaskan pertanyaan "theravada egois"

pokoknya bacaan menarik deh, selengkapnya silakan klik http://dhammacitta.org/dcpedia/Para_Arahant,_Boddhisattva,_dan_Buddha_(Bodhi)



73
Theravada / Sekilas tentang Abhidhamma
« on: 25 March 2011, 06:38:04 PM »
Spoiler: ShowHide

dikutip dari bagian PENDAHULUAN dari buku THE COMPREHENSIVE MANUAL OF ABHIDHAMMA" by Naradha Mahathera, Edited by Bhikkhu Bodhi, Introduction by U Rewata Dhamma & Bhikkhu Bodhi

-------------------------------------------


PENDAHULUAN

Inti dari buku ini adalah ringkasan dari filosofi Buddhis abad pertengahan yang berjudul Abhidhammatha Saṅgaha. Karya ini diduga berasal dari Ācariya Anuruddha, seorang terpelajar Buddhis yang tentangnya sangat sedikit dikenal bahkan mengenai negeri dari mana ia berasal dan abad yang tepat dari kehidupannya masih dipertanyakan. Namun demikian, terlepas dari ketidak-jelasan seputar penulis ini, tuntunan kecilnya ini telah menjadi salah saatu buku yang paling penting dan paling berpengaruh dalam Buddhisme Theravada. Dalam Sembilan bab singkat yang menempati sekitar lima puluh halaman cetakan, penulis menjelaskan ringkasan yang sangat mengagumkan dari tubuh doktrin Buddhis yang mendalam dan sulit dipahami yang disebut dengan Abhidhamma. Demikianlah keterampilannya dalam menangkap inti dari sistem tersebut, dan dalam menatanya dalam format yang sesuai demi kemudahan pemhaman, bahwa kaeyanya telah menjadi standard utama dalam pembelajaran Abhidhamma di seluruh negera Buddhis Theravada di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di negera-negara ini, khususnya di Burma di mana pembelajaran Abhidhamma dilakukan dengan lebih tekun, Abhidhammattha Saṅgaha dianggap sebagai kunci penting untuk membuka gudang kekayaan besar dari kebijaksanaan Buddhis ini.

Abhidhamma

Di jantung filosofi Abhidhamma adalah Abhidhamma Piṭaka, satu dari kelompok Kanon Pāli yang dikenal oleh Buddhisme Theravada sebagai versi ajaran Buddha yang memiliki otoritas. Kanon ini dikompilasi pada tiga konsili Buddhis yang diadakan di India pada abad-abad awal setelah wafatnya Sang Buddha: pertama, di Rājagaha, diadakan tiga bulan setelah Parinibbāna Sang Buddha oleh lima ratus bhikkhu senior di bawah pimpinan Bhikkhu Mahākassapa; ke dua, di Vesālī, seratus tahun kemudian, dan ke tiga, di Pāṭaliputta, dua ratus tahun kemudian. Kanon yang dihasilkan dari konsili-konsili ini, yang dilestarikan dalam Bahasa India Tengah yang sekarang disebut Pāli, dikenal sebagai Tipitaka, tiga “keranjang” atau kumpulan ajaran. Kumpulan pertama, Vinaya Piṭaka, adalah buku disiplin, berisi aturan-aturan perilaku bagi para bhikkhu dan bhikkhunī dan peraturan-peraturan yang mengatur Sangha, perkumpulan monastic. Sutta Piṭaka, kumpulan ke dua, mengumpulkan khotbah-khotbah Sang Buddha yang dibabarkan oleh Beliau dalam berbagai kesempatan di masa pengajaranNya selama empat puluh lima tahun. Dan kumpulan ke tiga adalah Abhidhamma iṭaka, “keranjang” doktrin “lebih tinggi” atau “istimewa.”

Kelompok besar ke tiga dari Kanon Pāli berisi karakter yang sangat berbeda dari kedua kelompok lainnya. Sementara Sutta dan Vinaya melayani suatu tujuan praktis yang jelas, yaitu, menyampaikan pesan kebebasan yang gambling dan membabarkan metode latihan personal, Abhidhamma Piṭaka menyajikan penampakan sistematika abstrak dan sangat teknis dari doktrin. Kumpulan ini terdiri dari tujuh buku: Dhammasaṅgaṇī, Vibhaṅga, Dhātukathā, Puggalapaññatti, Kathāvatthu, Yamaka, dan Paṭṭhāna. Tidak seperti sutta-sutta, buku-buku ini bukanlah catatan khotbah-khotbah dan diskusi-diskusi yang terjadi dalam kehidupan nyata; melainkan, naskah-naskah yang lengkap yang mana prinsip-prinsip doktrin tersusun secara metodis, terdefinisikan secara rinci, dan ditabulasi serta diklasifikasikan secara cermat. Walaupun tidak diragukan bahwa asal-usulnya disusun dan disampaikan secara lisan dan hanya dituliskan belakangan, bersama dengan bagian Kanon lainnya pada abat pertama B.C., namun buku-buku ini memperlihatkan kualitas-kualitas pemikiran yang terstruktur dan konsistensi yang tepat melebihi dokumen-dokumen tertulis.

Dalam tradisi Theravada Abhidhamma Piṭaka sangat dihormati, dihargai sebagai mahkota dari naskah-naskah Buddhis. Sebagai contoh dari penghormatan tinggi ini, di Sri Lanka Raja Kassapa V (abad ke sepuluh A.C.) menatahkan keseluruhan Abhidhamma Piṭaka pada lempengan emas dan buku pertama dihias dengan permata, sedangkan raja lainnya, Vijayabāhu (abad ke sebelas) biasanya mempelajari Dhammasaṅganī setiap pagi sebelum melakukan tugas-tugas kerajaannya dan menyusun terjemahannya dalam Bahasa Sinhala. Akan tetapi, jika dibaca sepintas lalu, penghormatan yang diberikan pada Abhidhamma ini tampaknya sulit dimengerti. Teks-teks ini tampak sekadar latihan pelajaran dalam memanipulasi kelompok-kelompok istilah doktrin, berat dan dengan pengulangan yang membosankan.

Alasan mengapa Abhidhamma Piṭaka begitu dihormati menjadi jelas sebagai akibat dari
Pembelajaran saksama dan perenungan mendalam, yang dilakukan dengan keyakinan bahwa buku-buku kuno ini memiliki sesuatu yang penting untuk disampaikan. Ketika seseorang mendekati naskah-naskah Abhidhamma dengan semangat demikian dan memperoleh pandangan-pandangan terang ke dalam implikasi luasnya dan kesatuan organiknya, maka ia akan menemukan bahwa naskah-naskah itu berusaha tidak kurang daripada mengungkapkan pandangan komprehensif dari totalitas kenyataan yang dialami, suatu pandangan yang ditandai dengan luasnya jangkauan, kelengkapan sistematis, dan ketepatan analitis. Dari sudut pandang Theravada ortodox, sistem yang dibabarkan bukanlah khayalan pikiran spekulatif, bukan penggabungan gambar mosaic dari hipotesis-hipotesis metafisika, melainkan suatu pengungkapan atas sifat sejati dari kehidupan yang dipahami oleh pikiran yang telah menembus totalitas segala sesuatu baik dalam hal kedalamannya maupun dalam hal rinciannya. Karena karakter ini, maka tradisi Theravada menganggap Abhidhamma sebagai ungkapan yang paling sempurna yang mungkin dari pengetahuan Buddha yang tanpa halangan (sabbaññutā-ñāṇa). adalah pernyataanNya tentang bagaimana segala sesuatu yang muncul dalam pikiran seorang Yang Tercerahkan Sempurna, yang disusun menurut kedua kutub ajaran: penderitaan dan lenyapnya penderitaan,

Sistem yang diungkapkan oleh Abhidhamma Piṭaka secara bersamaan adalah filosofi, psikologi, dan etika, semuanya terintegrasi dalam suatu kerangka dari program kebebasan. Abhidhamma dapat digambarkan sebagai filosofi karena mengajukan suatu  ontology, suatyu perpektif atas sifat-sifat sesungguhnya. Perspektif ini telah disebutkan sebagai “teori dhamma” (dhammvāda). Secara singkat, teori dhamma menyatakan bahwa kenyataan tertinggi terdiri dari keberagaman unsur-unsur dasar yang disebut dhamma. Dhamma bukanlah suatu konsep yang tersembunyi di balik fenomena, bukan “hal-hal dalam dirinya sendiri” sebagai lawan dari “hanya penampakan,” melainkan komponen mendasar dari kenyataan. Dhamma-dhamma ini jatuh dalam dua kelompok besar: dhamma yang tidak terkondisi, yang adalah Nibbāna, dan dhamma yang terkondisi, yang adalah fenomena batin dan jasmani dari saat ke saat yang merupakan proses pengalaman. Dunia dari banyak obyek yang dikenal dan individu yang beretahan, menurut teori dhamma, adalah gagasan konseptual yang dibangun oleh pikiran dari data mentah yang diberikan oleh dhamma. Entitas-entitas dari kerangka referensi kita setiap hari hanya memiliki kenyataan kesepakatan yang dibangun di atas lapisan dasar dhamma. Adalah dhamma itu sendiri yang memiliki kenyataan mutlak; keberadaan pasti “dari pihaknya sendiri” (sarūpato) tanpa bergantung pada proses data secara konseptual oleh pikiran.
 
Konsepsi demikian atas sifat kenyataan tampaknya telah dijelaskan secara implisit dalam Sutta Piṭaka, khususnya penjelasan Sang Buddha tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria, unsur-unsur, sebab-akibat yang saling bergantungan, dan sebagainya, namun konsepsi itu tetap berdiam di sana secara diam-diam di latar belakang sebagai penyokong bagi ajaran-ajaran Sutta yang diformulasikan secara lebih pragmatis. Bahkan di dalam Abhidhamma Piṭaka sendiri teori dhamma tidak diungkapkan sebagai suatu prinsip filosofis eksplisit; hal ini baru muncul belakangan, di dalam Komentar. Namun demikian, walaupun hanya implisit, teori itu tetap menjadi focus dalam perannya sebagai prinsip yang mengatur di balik tugas Abhidhamma yang lebih nyata, yaitu proyek sistematika.

Proyek ini dimulai dari dasar pemikiran bahwa untuk mencapai kebijaksanaan yang mengetahui segala sesuatu “sebagaimana adanya,” suatu irisan tajam harus ditarik antara jenis-jenis entitas itu yang memiliki kemutlakan nyata, yaitu, dhamma, dan jenis-jenis entitas yang ada hanya sebagai bangunan konseptual tetapi secara keliru dianggap sebagai kenyataan mutlak. Berlanjut dari perbedaan ini, Abhidhamma mengemukakan jumlah dhamma yang pasti sebagai blok bangunan dari kenyataan, yang sebagian besar ditarik dari Sutta-sutta. Kemudian berkembang untuk mendefinisikan seluruh istilah-istilah doktrin yang digunakan dalam Sutta-sutta dalam cara-cara yang mengungkapkan identitasnya dengan kemutlakan ontologis yang dikenali oleh sistem. Dengan berdasarkan atas definisi ini, Abhidhamma mengelompokkan dhamma ke dalam suatu jaring kelompok yang telah ditentukan sebelumnya dan modus-modus keterkaitan yang menggaris-bawahi tempat-tempatnya di dalam struktur sistem. Dan karena sistem itu dianggap sebagai refleksi sesungguhnya dari kenyataan, ini berarti bahwa pengelompokan tersebut dengan tepat menunjukkan tempat dari masing-masing dhamma di dalam keseluruhan struktur kenyataan.

Usaha Abhidhamma untuk memahami sifat kenyataan, berlawanan dengan ilmu pengetahuan klasik Barat, tidak berlanjut dari sudut pandang pengamat netral yang melihat ke arah dunia eksternal. Fokus utama Abhidhamma adalah memahami sifat pengalaman, dan dengan demikian kenyataan yang padanya difokuskan adalah kenyataan sadar, dunia yang dialami dalam pengalaman, terdiri dari baik pengetahuan maupun yang diketahui dalam makna terluas. Karena alasan ini usaha filosofis Abhidhamma bergeser menjadi psikologi fenomenogikal. Untuk memfasilitasi pemahaman atas realitas yang dialami, Abhidhamma memulai dengan suatu analisis terperinci pada batin seperti yang terlihat pada meditasi introspektif. Abhidhamma mengelompokkan kesadaran dalam berbagai jenis, menguraikan faktor-faktor dan fungsi-fungsi dari masing-masing jenis, menghubungkannya dengan obyek-obyeknya dan landasan-landasan fisiologisnya, dan menunjukkan bagaimana jenis kesadaran yang berbeda saling terkait satu sama lain serta dengan fenomena materi untuk membentuk proses keberlangsungan pengalaman.

Analisis batin ini bukanlah didorong oleh keingin-tahuan teoritis melainkan oleh tujuan praktis yang utama dari ajaran Sang Buddha, yaitu pencapaian kebebasan dari penderitaan. Karena Sang Buddha menelusuri penderitaan hingga pada sikap kita yang ternoda – orientasi batin yang berakar pada keserakahan, kebencian, dan kebodohan – psikologi fenomenologikal Abhidhamma juga menggunakan karakter etika psikologi, memahami kata “etika” bukan dalam pengertian sempit aturan morlitas melainkan sebagai tuntunan lengkap bagi kehidupan mulia dan pemurnian batin. Dengan demikian kita melihat bahwa Abhidhamma membedakan kondisi-kondisi batin secara prinsipil berdasarkan pada criteria etikal: bermanfaat dan tidak bermanfaat, faktor-faktor yang indah dan kekotoran-kekotorannya. Skema kesadaran mengikuti rancangan hirarki yang bersesuaian dengan tingkatan-tingkatan kemurnian berturut-turut yang dicapai oleh para siswa Sang Buddha melalui praktik jalan Sang Buddha. Rancangan ini melacak kemurnian batin melalui peningkatan pencerapan meditative, jhāna-jhāna lam-bermateri-halus dan alam tanpa-materi, kemudian melalui tingkatan-tingkatan pandangan terang dan kebijaksanaan jalan dan buah lokuttara. Akhrinya, menunjukkan keseluruhan skala pengembangan etikal yang memuncak pada pesempurnaan kemurnian yang dicapai dengan kebebasan batin dari segala kekotoran yang tidak dapat dibalikkan.

Seluruh tiga dimensi Abhidhamma – filosofis, psikologis, dan etikal – memperoleh pembenaran akhirnya dari dasar ajaran Buddha, program kebebasan yang disebutkan dalam Empat Kebenaran Mulia. Pengamatan ontologis atas tangkai dhamma dari ajaran Buddha bahwa kebenaran mulia penderitaan, yang diidentifikasikan dengan dunia fenomena terkondisi sebagai keseluruhan, harus dipahami sepenuhnya (pariññeya).  Kekotoran batin dan persyaratan pencerahan yang menonjol dalam skema pengelompokannya, menunjukkan fokus psikologis dan etis,  menghubungkan Abhidhamma dengan kebenaran mulia ke dua dan ke empat, asal-mula penderitaan dan jalan menuju lenyapnya. Dan keseluruhan cara pengelompokan dhamma ini yang dijelaskan oleh sistem ini mencapai puncaknya dalam “unsur tidak terkondisi” (asaṅkhatā dhāty), yang adalah Nibbāna, yang adalah kebenaran mulia ke tiga, yaitu lenyapnya penderitaan.

74
DA BEI ZHOU
(TA PEI COU / MAHAKARUNA DHARANI)

Dirangkum oleh
Muljadi Nataprawira


Na Mo Ta Pei Kwan She Yin Phu Sa
Terpujilah Yang Maha Welas Asih Avalokitesvara Bodhisatva

Na Mo Ta Pei Kwan She Yin Phu Sa
Terpujilah Yang Maha Welas Asih Avalokitesvara Bodhisatva

Na Mo Ta Pei Kwan She Yin Phu Sa
Terpujilah Yang Maha Welas Asih Avalokitesvara Bodhisatva



Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye
 
Namo Ratna Triayi

Dengan kesungguhan hati dan penuh sujud saya pergi berlindung kepada Tri Ratna.

[Na Mo = (1) berlindung, (2) mempersembahkan seluruh kehidupan dan tunduk dengan penuh sujud; He La Ta Na = Permata; To La Ye = Tiga; Ye = penghormatan]

[Keputusan pergi berlindung kepada Tri Ratna merupakan tekad untuk menempuh Jalan Buddha menuju kebebasan, di mana kita meyakini (1) pencapaian-pencapaian Sang Buddha sebagai seorang Guru dan (2) keampuhan Dhamma sebagai sarana terpercaya menuju kebebasan serta (3) keteladanan Sangha. Istilah “Sangha” di sini mengacu ke Ariya Sangha, yang terdiri dari empat pasang makhluk suci (cattari purisayugani attha purisa-puggala). Kita menyadari bahwa tugas menempuh Jalan merupakan tanggung jawab penuh kita sendiri. Kita tidak menganut pandangan “berkah / penyelamatan” dari seorang dewa atau juru selamat. Acuan: A.G.S. Kariyawasan, Buddhist Ceremonies and Rituals of Sri Lanka.]


Na Mo O Li Ye
 
Namo Ariayi

Dengan penuh sujud, (di bawah kaki para Buddha & Bodhisattva), saya bertekad untuk menjunjung tinggi Kesucian dengan belajar & berupaya menjauhkan diri dari semua kejahatan dan dari semua dharma yang tidak baik / pandangan salah.

[Na Mo = (1) berlindung, (2) mempersembahkan seluruh kehidupan dan tunduk dengan penuh sujud; O Li Ye = (1) Yang Bijaksana, (2) Yang Suci; (3) Yang Jauh dari Semua Kejahatan dan dari pandangan salah / dharma yang tidak baik]

Po Lu Cie Ti Suo Po La Ye
 
Avalokitesvara Ariayi

Saya bersujud kepada Avalokitesvara,
Yang Mendengarkan Suara Dunia dalam Perenungan & Penyelidikan Agung.

[Po Lu Cie Ti = (1) Perenungan & Penyelidikan, (2) Terang / Cahaya Yang Menerangi Alam Semesta; Suo Po La Ye = (1) Kebahagiaan, (2) Suara -> Po Lu Cie Ti Suo Po La Ye dapat diartikan sebagai Yang Mendengarkan Suara Dunia dalam Kebahagiaan Kontemplatif Agung, yang tak lain adalah Bodhisattva Avalokitesvara]


Phu Ti Sa To Po Ye
 
Bodhisattva Bayai

Saya bersujud kepada Bodhisattva,
Yang menyeberang menuju Penerangan Sempurna.

[Phu Ti = Penerangan Sempurna; Sa To = menyeberang; Po Ye = bersujud / memberi hormat]


Mo He Sa To Po Ye
 
Mahasattva Bayai

Saya bersujud kepada Makhluk Agung,
Yang telah gigih berlatih tanpa takut dan penuh semangat (untuk mencapai Penerangan Sempurna).

[Mo He = Agung; Sa To (di sini berarti) = Ia yang pahlawan, Ia yang gagah berani, tanpa takut dan penuh semangat / gigih berlatih; Po Ye = bersujud / memberi hormat]


Mo He Cia Lu Ni Cia Ye
 
Maha Karunikayai

Saya bersujud kepada Sang Hati Welas Asih Agung.

[Mo He = Agung; Cia Lu = Welas Asih; Ni Cia = Hati; Ye = menghormat]


Nan
 
Aum



Sa Po La Fa Yi
 
Satpravar Ariayi
(Saya memusatkan pikiran kepada)
Yang Tak Terbatas Pengetahuannya dan Dihormati Para Suci, Permata Buddha,

[Sa Po La = Yang Tak Terbatas Pengetahuannya; Fa Yi = Yang Dihormati Para Suci  Sa Po La Fa Yi secara utuh merepresentasikan Permata Buddha]


Suo Ta Na Ta Sie
 
Sutranatrasa
Permata Dharma dan Permata Sangha Yang Tiada Taranya.

[Suo Ta Na = Permata Dharma; Ta Sie = Permata Sangha. Suo Ta Na juga berarti Yang Termulia, Yang Teragung, Yang Tak Terkalahkan]


Na Mo Si Ci Li To Yi Meng A Li Ye
 
Namo Siri Dharma Ariayi

Dengan kesungguhan hati dan penuh sujud, saya – yang tanpa substansi-diri (anatta) – pergi berlindung kepada Yang Bijaksana,

[Na Mo = pernyataan bersujud & berlindung; Si Ci Li = dengan sepenuh hati; To Yi Meng = saya yang tanpa substansi-diri; A Li Ye = Yang Bijaksana]
    [Anatta
   Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anatta dalam bahasa Pali berarti "Tiada-Aku". Sebagai konsep, ia merupakan antipola dari kata Atta yang berarti "Aku". Dalam falsafah buddhis Anatta menunjukkan bahwa segenap hal-ihwal sesunguhnya tidak mempunyai inti yang tetap dan makna yang inheren dan langgeng. Dalam praktek bersemedi Anatta ditunjukkan melalui pengamatan diri sendiri, dimana tubuh, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran dapat timbul dan menghilang, bergerak dan berubah tanpa kemampuan pengamat untuk menghentikan atau menciptakannya. Proses lahiriyah (perubahan sel2 badan dsb.) dan kejiwaan (timbulnya perasaan dan pikiran misalnya) berjalan tanpa ada pengaruh dari pengamat secara sadar tapi timbul akibat persyaratan persyaratannya sendiri. Konsep Anatta adalah konsep Buddhis yang paling sulit dipahami sebab manusia terbiasa untuk memandang dengan titik-tolak diri sebagai referensi. Dalam praktek semedi, diri sendiri (yang merupakan kesatuan dari elemen lahiriyah dan bathiniyah) justru menjadi objek bagi pengamat, berkat pengamatan ini timbul pengetahuan bahwa proses proses lahiriyah dan bathiniyah berjalan sendiri diluar kehendak "Aku". Fakta ini diungkapkan dengan postulasi "Tiada-aku". Beberapa ciri pengalaman bathin yang menunjukkan tanda tanda Anatta adalah: 1. Tidak adanya kemampuan mempengaruhi hal-ihwal; 2. Apresiasi tentang hal-ihwal tidak kekal; 3. Dalam mengamat diri dan hal ihwal terasa kekosongan nilai. Titik terakhir ini oleh sebagian umat buddhis dianggap sangat penting dan disebut Sunyata (kekosongan). Anatta dan Sunyata merupakan dua kata bagi fenomena yang sama, tapi dilihat dari sudut pandang yang berbeda.]

Po Lu Cie Ti Se Fo La Ling To Po
 
Avalokitesvara Rindhabiya

Avalokitesvara, Sumber Terang, Bodhisattva Yang Mendengarkan Suara Dunia dalam Perenungan & Penyelidikan Agung di Istana Welas Asih.

[Po Lu Cie Ti = (1) Perenungan & Penyelidikan, (2) Terang / Cahaya Yang Menerangi Alam Semesta; Se Fo La = (1) Bahagia, (2) Suara Dunia; Ling To Po = pulau di atas laut  merepresentasikan “tempat tinggal” Bodhisattva di mana terdapat sebuah istana yang disebut “Istana Welas Asih”


Na Mo Na La Cin Ce
 
Namo Narakundhi

Dengan kesungguhan hati dan penuh sujud saya pergi berlindung kepada Kemuliaan dan Kasih Yang Sempurna,

[Na Mo = pernyataan bersujud & berlindung; Na La = Yang Mulia; Cin Ce = Kasih, dalam arti perlindungan kasih sayang dari Yang Penuh Welas Asih]


SI Li Mo He Pu Tuo Sa Mi
 
Hiri Maha Ratna Sammi

Kemurnian Hati Yang Tanpa Kemelekatan, Cahaya Kebijaksanaan Agung (Sumber Kebajikan & Penerangan Sempurna),

[Si Li = Batin Yang Murni Tanpa Kemelekatan; Mo He = Agung; Pu Tuo Sa Mi = Cahaya Kebijaksanaan]


Sa Pho Ah Tha Tou Su Peng
 
Sarva Adhadhu Subhiayi

Keseimbangan Batin yang Tak Terkondisi, Tanpa Pandangan & Tanpa Kemelekatan,

[Sa Pho = Batin yang seimbang; Ah Tha Tou = Batin yang tak terkondisi; Su Peng = Tanpa Pandangan & Kemelekatan. Pandangan & Kemelekatan secara bersama-sama merupakan “pelayan yang sigap” bagi batin untuk menanggapi sesuatu pada saat terjadinya kontak  batin langsung menggenggam dan melekat padanya.]


Ah Se Yin
 
Asikin

Kerendahan Hati (tanpa belenggu kesombongan) bersama Ketenangan Batin (tanpa    belenggu kegelisahan), di dalam Dharma Yang Tiada Bandingannya,

[Ah Se Yin = (1) Dharma Yang Tiada Bandingannya; (2) Kerendahan Hati; (3) Ketenangan Batin]


Sa Po Sa To Na Mo Po Sa To Na Mo Po Chie
 
Sattva Satta Namava Sattha Nama Bhaga

Kemuliaan Bodhisattva (Kebodhisattvaan), Hakikat Asal Kebuddhaan, Yang Dimuliakan Dunia.

[Sa Po Sa To = Tubuh & Hati Agung Bodhisattva; Na Mo Po Sa To = Pangeran Dharma; Na Mo Po Chie = Yang Dimuliakan Dunia]


Mo Fa The Tou
 
Marva Trata

(Saya akan berupaya mengembangkan Kebodhisattvaan di dalam diri saya agar semua Bodhisattva menjadi) kerabat surgawi dan sahabat duniawi(ku hingga tercapai Pandangan Terang);

[Mo Fa The Tou = Kerabat Surgawi, Sahabat Duniawi]

Ta Che Ta
 
Siddhartha Trata

Seiring dengan itu, saya mencoba merenungkan Mantra Prajna Paramita agar terbuka Mata Kebijaksanaan.

[Ta Che Ta = (1) Mata Kebijaksanaan, (2) demikianlah mantra itu berlangsung]


Nan, Ah Po Lu Si
 
Aum Avalokes

Aum, Avaloki, Bodhisattva Yang Melalui Kebijaksanaan Mendengarkan Suara Dunia,

[Ah Po Lu Si = Bodhisattva Yang Menggunakan Kebijaksanaan untuk Mendengarkan Suara Dunia]


Lu Cia Ti
 
Lokati
 
Yang bertransformasi ke dalam Kekosongan Dunia, demi keselamatan semua makhluk,

[Who Appears Transformably in the Vanity Fair of Worlds to Save All of the Sentient Beings. Boutsulin Vihara, The Great Compassionate Heart Dharani]


Cia Lo Ti
 
Kaloti

Dalam wujud Simpati Agung, Kasih Sayang Agung, Tuntunan (di atas Jalan Arya Berlapis Delapan) ke lenyapnya penderitaan, Pengarahan makhluk hidup ke pengembangan Bodhicitta, ke pelaksanaan Tugas Agung Bodhisattva, dan ke penyelesaian karma di Jalan Kebebasan.

[Cia Lo Ti = (1)Yang Simpatik, Penuh Kasih Sayang Agung, Penyelamat & Penyembuh Semua Makhluk dari penderitaan dan tekanan; (2) “Pelaku” di Jalan Kebebasan yang membawa makhluk mengembangkan Bodhicitta, melaksanakan tugas agung Bodhisattva dan menyelesaikan karma]


Yi Si Li
 
Iseri

Saya bertekad untuk melaksanakan Ajaran Bodhisattva yang menuntun ke Pantai Seberang; saya akan berupaya untuk menyelaraskan perbuatan saya dengan Ajaran Bodhisattva Yang Mendengarkan Suara Dunia,

[Yi Si Li = selaras dengan Ajaran. Pengucapan baris ini seharusnya merupakan tekad untuk menegakkan Ajaran Bodhisattva]


Mo He Phu Thi Sa To
 
Maha Bodhisattva

Bodhisattva Agung Yang Memiliki Pandangan Terang di Jalan Kebebasan, Yang Mahaberani dalam menegakkan Bodhicitta, dalam menumbuhkan Perilaku Agung menuju Kebuddhaan serta dalam menyempurnakan Samadhi dan Kebijaksanaan,

[Mo He = Agung; Pu Ti = Yang Telah Mencapai Penerangan di Jalan Kebebasan; Sa To = Yang Mahaberani dalam menegakkan Bodhicitta, menumbuhkan Perilaku Agung menuju Kebuddhaan  merepresentasikan kesempurnaan Bodhisattva di dalam Samadhi maupun Prajna]


Sa Po Sa PO
 
Sattva Sattva

demi manfaat dan kebahagiaan semua,

[Sa Po Sa Po = manfaat dan kebahagiaan untuk semua]


Mo La Mo La,
 
Mara Mara

seiring dengan kehendak Beliau memupuk berkah dan mendorong pertumbuhan kebijaksanaan demi pencapaian kemuliaan kesucian,

[Mo La Mo La = (1) bertambah dan tumbuh, (2) sesuai dengan kehendakMu, (3) yang menambah berkah, mendorong pertumbuhan kebijaksanaan, dan membuat semuanya menjadi mulia seperti kehendaknya, selaras dengan hatinya]

Mo Si Mo Si Li Tho Yin
 
Mahes Mahes Rudrajin

(Yang dengan) Batin Terluhur – Diam, Tenang, Tanpa Kegelisahan, Bebas dari Sukkha & Dukkha, Terkendali tanpa putus, – Hati Bunga Teratai,

[Mo Si Mo Si = (1) tanpa kata, kondisi batin tertinggi; (2) tanpa kegelisahan, tanpa sukkha dan dukkha, terkendali secara terus-menerus; Li Tho Yin = Hati Bunga Teratai]


Chi Lu Chi Lu Chie Meng
 
Guru Guru Karma

tanpa belenggu batin, menembus pengertian Dharma, sempurna melaksanakan Dharma,

[Chi Lu Chi Lu = (1) menegakkan Dharma, (2) hiasan berguna, (3) tiup kulit keong dan lepaskan batasan  menembus pengertian Dharma; Chie Meng = (1) memperhatikan urusan, (2) kebaijkan dan jasa baik  menekuni hal-hal yang bermanfaat dan mebuahkan jasa kebajikan, menyempurnakan pelaksanaan Dharma]


Tu Lu Tu Lu Fa Se Ye Ti
 
Turu Turu Varjayati

melepaskan semua ikatan hingga tiba di Pantai Seberang, mencapai Penerangan Sempurna,

[Tu Lu Tu Lu = (1) menyeberangi samudra, (2) terang dan luhur  setelah menyeberangi lautan samsara (berarti melepaskan semua ikatan), orang mendapatkan Cahaya Kebijaksanaan dan meraih Kemurnian serta mendarat di Pantai Seberang; Fa Se Ye Ti = (1)Tak Terbatas dan Agung, (2) mengatasi kelahiran dan kematian]


Mo He Fa Se Ye Ti
 
Maha Varjayati

(melalui) Jalan Dharma Teragung Yang Tak Terbatas –

[Mo He = Agung; Fa Se Ye Ti = Jalan Dharma yang tak terbatas]

To La To La
 
Dhara Dhara

Meditasi, Samapatti, dengan batin yang teguh dalam keseimbangan.

[Meditation, SAMAPATTI, with the Mind Being Held in Equilibrium. Boutsulin Vihara, The Great Compassionate Heart Dharani]


Ti Li Ni
 
Trini

(Dengan) keteguhan dalam mematuhi Aturan di Jalan Arya, (dengan) keteguhan dalam upaya memadamkan nafsu,

[Ti Li Ni = (1) sangat berani, bersemangat tinggi, (2) telah padam, bersih dan luhur, (3) melingkupi, memegang dan memutuskan  bertekad memegang Aturan di Jalan Arya]


Se Fo La Ye
 
Sarva Raya

(bersama) Perhatian Murni,

[Se Fo La Ye = “Isvara” (Sansekerta) = (1) perhatikan dan renungkan, (2) kendalikan, (3) air kebijaksanaan yang memadamkan api nafsu, (4) kilatan cahaya kebijaksanaan yang mengatasi kegelapan batin / menghapus ketidaktahuan]


Ce La Ce La
 
Chara Chara
(saya bertekad untuk) bergerak maju di dalam Dharma.

[Ce La Ce La = (1) menjalani / menempuh jalan, (2) gerak jalan teratur sesuai perintah  bergerak maju dalam kepatuhan]


Mo Mo Fa Mo La
 
Nama Varmara

Dengan menerima dan memegang Dharma Agung Yang Tiada Tandingannya, saya bertekad untuk berupaya membebaskan diri dari noda batin (lobha, dosa dan moha),

[Mo Mo = saya menerima dan memegang; Fa Mo La = (1) Vajra Dharma Agung Penakluk Mara, (2) Yang Tak Terkalahkan, Bersih dari Noda, (3) Yang Tiada Bandingannya


Mu Ti Li
 
Mukti

menuntun diri menuju Kebebasan.

[Mu Ti Li = pembebasan]

Yi SI Yi SI
 
Trihes Ihes

Dengan menerima dan memegang Sila,

[Yi Si Yi Si = patuh pada ajaran, berbuat sesuai dengan ajaran]


Se Na Se Na
 
Sarma Sarma

saya bertekad untuk berupaya menegakkan Pikiran Benar, melenyapkan kebodohan, mencapai Kebijaksanaan Agung.

[Se Na Se Na = (1) Kebijaksanaan Agung  kondisi tanpa pikiran salah dan tanpa kebodohan, (2) Tekad Agung]

[Tiadanya ketidaktahuan = kebijaksanaan. Bagaikan cermin yang hanya memantulkan obyek tanpa obyek pernah melekat padanya, ia yang memiliki kebijaksanaan akan hanya sekedar memperhatikan obyek dan membiarkannya berlalu tanpa melekat padanya]



75
Pojok Seni / My at work favourites
« on: 11 February 2011, 09:04:32 AM »
ODEON (Brazilian Tango)

Piano Version
Spoiler: ShowHide

&feature=related [/youtube]





Guitar Version
Spoiler: ShowHide

&feature=related [/youtube]

Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8 9