Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Pūjā ca pūjanīyānaṁ, etammaṅgalamuttaman’ti
Menghormat kepada yang patut dihormat, itulah berkah utama.
(Mahāmaṅgala Sutta, Sutta Nipāta, Khuddaka Nikāya)
Dalam kehidupan beragama, orang senantiasa mempermasalahkan tradisi yang dilakukan dalam suatu agama, yang sebenarnya bukan merupakan masalah pokok dari ajaran agama tersebut, sehingga banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut tradisi dan bukan mengenai ajaran yang pokok. Seperti halnya bila seseorang mau makan. Sebagai penduduk Indonesia yang makanan pokoknya nasi, tentunya bila sudah ada nasi, apapun lauk-pauknya semestinya tidak dipermasalahkan, yang penting nasinya sudah ada. Namun pada kenyataannya, orang-orang ketika akan makan cenderung menanyakan tentang lauk-pauknya. Bahkan kadang kala hanya makan lauknya saja daripada nasinya, karena lauk lebih enak daripada nasi
Orang-orang merasa belum kenyang jika belum makan nasi. Walaupun sudah makan begitu banyak lauk-pauk, ia merasa masih kurang, maka ia mencari makanan lagi. Begitu pula dalam beragama, orang-orang cenderung menyoroti masalah tradisi suatu agama yang selanjutnya dipermasalahkan dan diperdebatkan, sehingga ajaran pokoknya menjadi kabur dan mereka tidak mengetahuinya dengan benar.
Sementara orang beranggapan bahwa segala macam sistem pemujaan yang diajarkan oleh kepercayaan atau agama apapun pasti merupakan suatu praktik yang benar serta dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Tampaknya, mereka tidak menyadari bahwa apabila suatu pemujaan ditujukan pada objek yang salah, apalagi dipraktikkan dengan pandangan sesat (micchādiṭṭhi), justru menimbulkan akibat yang sebaliknya. Hanya pemujaan yang ditujukan pada objek yang tepat dan dilandasi dengan pandangan benar (sammādiṭṭhi) sajalah yang sesungguhnya dapat memberikan hasil yang setimpal.
Penerapan Āmisa Pūjā terhadap Tiratana
Āmisa Pūjā berarti pemujaan dengan persembahan. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan serta dipenuhi dalam menerapkan cara pemujaan, tiga hal itu ialah:
1). Vatthu Sampadā = kesempurnaan dalam materi, dalam arti materi yang dipersembahkan untuk memuja harus diperoleh dengan tidak menyimpang dari Dhamma, bukan dari hasil mencuri, menipu, atau korupsi.
2). Cetanā Sampadā = kesempurnaan dalam kehendak, dalam arti ada kehendak (niat, maksud) yang tulus pada saat sebelum memuja (pubba-cetanā), tepat pada saat memuja (muñca-cetanā), dan pada saat sesudah memuja (aparāpara-cetanā);
3). Dakkhiṇeyya Sampadā = kesempurnaan dalam objek pemujaan, dalam arti objek yang dipuja harus merupakan objek yang memang patut dipuja.
Āmisa Pūjā kepada Sang Buddha
Ketika Sang Buddha masih ada, tentu sangat mudah melakukan āmisa pūjā kepada Sang Buddha, yaitu dengan cara mempersembahkan barang-barang/materi. Kendatipun sudah lama mencapai Kemangkatan Mutlak, pemujaan terhadap Sang Buddha masih dapat diterapkan pada dewasa ini, yaitu dengan tiga cara:
1. Dhātucetiya: Stupa yang dibangun sebagai tempat persemayaman relik/peninggalan jasmaniah (sarīrikadhātu) Sammāsambuddha.
2. Paribhogacetiya: Candi yang dibangun di empat tempat yang mempunyai nilai-nilai Buddhis. Pada jaman sekarang ini, yang dirujuk tidak lain ialah tempat Bodhisatta Siddhattha Gotama terlahirkan untuk yang terakhir kalinya di Taman Lumbini, Kapilavatthu (jatatthana); tempat petapa Gotama meraih Pencerahan Agung di Hutan Uruvela, Buddhagaya (abhisambuddhaṭṭhāna); tempat Sang Buddha Gotama membabarkan ajaran untuk pertama kalinya di Taman Rusa Isipatana, Baranasi (dhammacakkappavattanaṭṭhāna); dan tempat Beliau mencapai Kemangkatan Mutlak di Kebun Sala, Kusinara (parinibbutaṭṭhāna). Selain itu, benda/barang yang pernah dipergunakan oleh Sang Buddha Gotama semasa hidup-Nya seperti: jubah, mangkuk, saringan air, ikat pinggang, pisau cukur, jarum, dan lain-lain hingga pohon Bodhi (ficus religiosa) dapat digolongkan sebagai Paribhogacetiya.
3. Uddesikacetiya: Benda/barang yang melambangkan atau mencerminkan karakteristik Buddhis seperti rupang Buddha, jejak tapak kaki (siripāda) Sang Buddha, dan lain-lain.
Āmisa Pūjā terhadap Dhamma
Pemujaan terhadap Dhamma pada dewasa ini dapat diterapkan dalam berbagai bentuk, misalnya: menyokong penerbitan Kitab Suci Tipiṭaka (Pāḷi), Kitab Ulasan (Aṭṭhakathā), Kitab Tafsiran (Ṭīkā), Kitab Sub-tafsiran (Anuṭīkā) ataupun majalah dan buku Buddhis; berperan serta dalam segala kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan kelestarian Dhamma, ajaran murni Sang Buddha.
Āmisa Pūjā terhadap Saṅgha
Pemujaan terhadap Saṅgha yang dapat diterapkan pada dewasa ini, pada dasarnya, tidaklah berbeda dengan pemujaan terhadap Saṅgha pada jaman Sang Buddha Gotama. Pemujaan ini dapat diterapkan dengan memenuhi kebutuhan hidup pokok para bhikkhu anggota Saṅgha, yaitu jubah (civara), makanan (piṇḍapāta), tempat berteduh (senāsana), obat-obatan (bhesajja).
Pahala Āmisa Pūjā
Apabila diterapkan secara benar terhadap objek pemujaan yang patut dipuja, Āmisa Pūjā niscaya akan membuahkan banyak pahala bagaikan biji unggul yang ditanam dengan baik di ladang yang subur. Memperoleh usia panjang (āyu), kecantikan/ ketampanan (vañño), kebahagiaan (sukha), dan kekuatan (bala) adalah pahala-pahala yang dijamin secara pasti dalam Dhammapada 109. Sementara itu, dalam Buddhavagga dinyatakan bahwa seseorang yang memuja mereka yang patut dipuja akan memperoleh jasa yang tak terukur dan tak ternilai besarnya. Terbebas dari Alam Kesengsaraan selama beberapa kappa; menikmati kebahagiaan di Alam Kebahagiaan selama beberapa kehidupan; menjadi raja-diraja selama beberapa kali; menjadi Pacceka Buddha, adalah buah dari memuja yang patut dipuja dengan benar.
(27 Januari 2008)