Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)

(1/7) > >>

seniya:
Ini adalah terjemahan dari The Madhyama Āgama (Middle-Length Discourses) vol. II yang diterjemahkan oleh Bhikkhu Analāyo dkk dari Taishō Tripitaka no. 26 (T 26). Volume II ini terdiri dari bagian 7-11 yang berisi kotbah 72-131. Berikut adalah terjemahan bagian ketujuh yang terdiri dari kotbah 72-86 (MĀ 72-86).

seniya:
MADHYAMA ĀGAMA VOLUME II
Sebagai tindakan Dhammadāna, Bhikkhu Anālayo telah membebaskan
pembayaran atas terjemahan Madhyama Āgama
(Kotbah-Kotbah Menengah), Volume II-IV
Pendahuluan Volume II
Volume ini mewakili bagian kedua dari Madhyama Āgama (Kotbah-Kotbah Menengah) dalam BDK English Tripiṭaka (Seri Pertama). Volume I terjemahan ini muncul pada tahun 2013; sekarang, setelah tiga tahun karya yang lebih jauh, terjemahan tiga Volume sisanya telah diselesaikan.

Pendahuluan umum pada Volume I oleh Kepala Penyunting Marcus Bingenheimer (pp. xv–xxviii) menyediakan informasi latar belakang penting tentang topik-topik seperti genre kumpulan teks yang disebut as Āgama- Āgama and Nikāya- Nikāya; Madhyama-āgama secara khusus; perihal-perihal di mana Madhyama-āgama sampai diterjemahkan dari bahasa sumber India ke dalam bahasa Mandarin pada abad keempat Masehi, yang menghasilkan teks yang berjudul Zhong ahan jing (nomor 26 dalam edisi Taishō dari Tripiṭaka Mandarin); dan pada awal abad keduapuluh satu, tahap pertama proyek ini, yang akan menghasilkan sebuah terjemahan Inggris lengkap dari versi Mandarin.

Pendahuluan tambahan pada Volume II ini menjelaskan beberapa rincian tentang transisi dari tahap pertama menuju tahap kedua dan terakhir ini. Pendahuluan Volume III akan membahas padanan Pāli pada kotbah-kotbah Madhyama-āgama, dan pendahuluan Volume IV [akan membahas] bagian-bagian Madhyama-āgama.

Empat Volume, Dua Tim Penerjemah

Kumpulan yang disebut Madhyama-āgama terdiri atas dua ratus dua puluh dua kotbah yang dikelompokkan secara agak tidak teratur ke dalam delapan belas bagian. Tujuh puluh satu kotbah pertama dari kotbah-kotbah ini, yang membentuk bagian 1 sampai 6, diterjemahkan dalam Volume I (lihat Vol. I, Daftar Isi, pp. xi-xiii). Sisanya seratus lima puluh satu kotbah berada dalam Volume II (bagian 7-11), Volume III (bagian 11-14), dan Volume 15-18).

Pekerjaan penerjemahan dan penyuntingan untuk Volume I dilakukan oleh sebuah tim dari delapan orang (untuk rinciannya lihat Vol. I, Pendahuluan, p. xxv). Untuk Volume II sampai IV pekerjaan ini dilakukan oleh lima dari delapan orang penerjemah dan penyunting yang bekerja untuk volume pertama: Marcus Bingenheimer, William Chu, dan Shi Chunyin, bersama dengan Bhikkhu Anālayo dan Roderick S. Bucknell, yang berbagi peran sebagai penyunting keseluruhan. Salah satu tugas utama adalah untuk memeriksa dengan teliti semua draf terjemahan atas keakuratan, kekonsistenan istilah, dan gaya [bahasa] yang sesuai, serta untuk merevisinya di mana pun yang dianggap perlu.

Walaupun perhatian diambil untuk memastikan bahwa Volume II sampai IV secara umum mempertahankan kelanjutan istilah dan gaya [bahasa] dari Volume I, dua pengecualian telah dimasukkan. Ini layak untuk disebutkan di sini, tidak hanya untuk memberitahukan para pembaca, tetapi juga untuk menggambarkan jenis keputusan yang sulit yang sering harus diambil oleh para penerjemah teks Buddhis Mandarin.

Pengecualian pertama berhubungan dengan istilah Mandarin berpasangan jue and guan. Ini menunjuk pada dua faktor pertama dari absorpsi meditatif pertama (Pāli jhāna) dan berhubungan dengan istilah Pāli berpasangan vitakka and vicāra. Di Volume I jue and guan diterjemahkan sebagai “awal dan kelangsungan pikiran,” karena itu (atau sesuatu yang mirip) adalah bagaimana istilah Pāli yang berhubungan kadang kala diterjemahkan. Namun di Volume II sampai IV istilah jue and guan dalam konteks yang sama diterjemahkan sebagai “kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].” Kami meyakini frasa ini berhasil dalam menangkap makna kedua istilah itu ketika mereka digunakan di tempat lain dalam Madhyama-āgama Mandarin. Perubahan ini dibuat dengan pengakuan penuh bahwa terdapat suatu ketegangan antara tujuan kembar menghasilkan suatu terjemahan teks Mandarin yang tepat dan mempertimbangkan teks India yang mendasarinya.

Masalah muncul ketika seseorang menghasilkan suatu terjemahan Inggris dari sebuah terjemahan dari bahasa India aslinya (tentang masalah demikian lihat Roderick S. Bucknell, “Taking Account of the Indic Source-text,” dalam Konrad Meisig ed., Translating Buddhist Chinese, Problems and Prospects [Wiesbaden: Harrassowitz, 2010], pp. 45–52). Dalam mengenali tantangan-tantangan yang disajikan oleh suatu proses demikian, para penyunting telah mengikuti prinsip bahwa dalam kerangka kerja keseluruhan kerjasama, masing-masing mengambil perhatian khusus terhadap, dan tanggung jawab atas, salah satu dari dua dimensi proses penerjemahan. Dengan demikian, Roderick S. Bucknell telah memberikan perhatian khusus pada keakuratan terjemahan Inggris dalam mencerminkan teks-sumber Mandarin, sedangkan Bhikkhu Anālayo telah menekankan melihat bahasa India asli yang mendasarinya, dan juga menyediakan anotasi komparatif yang bersesuaian.  Diharapkan bahwa sebagai hasil dari kolaborasi, penerjemahan yang disajikan di sini memberikan keadilan bagi teks Mandarin seperti yang kita miliki sekarang dan bagi teks pendahulu India yang tidak ada lagi.

Pengecualian kedua pada prosedur penerjemahan diadopsi untuk Volume I berkaitan dengan rumusan familiar yang biasanya muncul pada akhir setiap kotbah. Dalam Volume I rumusan ini diterjemahkan sebagai “Setelah mendengar perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik,” dengan frasa “para bhikkhu” kadang kala diganti dengan beberapa deskriptor lain, berdasarkan pendengar yang dirincikan. Namun dalam volume ini dan sisanya, frasa ini diterjemahkan sebagai “Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat” (lagi dengan “para bhikkhu” kadang kala diganti dengan beberapa kata lain berdasarkan pendengarnya). Perbedaan dalam ungkapan ini mencerminkan ketidakpastian atas makna ungkapan Mandarin fengxing dalam konteks yang diberikan. Di Volume I fengxing dipahami sebagai bermakna “mengingat dengan baik”; di Volume II sampai IV, berdasarkan pembahasan yang disajikan oleh Bhikkhu Anālayo dalam Madhyama-āgama Studies (Taipei: Dharma Drum Publishing Corporation, 2012), pp. 521–525, ini dipahami sebagai bermakna “menerima dengan hormat.”

Di antara beberapa perubahan lebih umum yang diperkenalkan dalam Volume II sampai IV yang patut dicatat berhubungan dengan kutipan kotbah-kotbah Pāli yang sepadan. Jika sebuah kotbah Madhyama-āgama memiliki padanan Pāli, maka dikutip dalam sebuah catatan akhir yang dilekatkan pada judul dari kotbah yang dikutip (untuk Volume II-IV kumpulan catatan kaki disusun oleh Bhikkhu Anālayo). Tiga buah informasi tentang kotbah yang sepadan diberikan: judul Pāli-nya; “tanda pengenal,” yang merincikan Nikāya dan nomor seri di dalamnya; serta volume dan halaman dalam edisi Pali Text Society (PTS). Yang kedua dari hal ini, tanda pengenal, adalah suatu hal baru yang tidak disediakan dalam Volume I. Ia menyampaikan informasi yang berguna – khususnya jika kotbah yang dikutip terletak dalam Saṃyutta-nikāya atau Aṅguttara-nikāya, karena dalam kasus-kasus demikian nomor seri berperan untuk mengidentifikasi  saṃyutta atau nipāta. Sebagai contoh, untuk Madhyama-āgama kotbah 73, “Tentang Para Dewa,” padanan Pāli-nya dikutip sebagai “AN 8.64,” yaitu, kotbah no. 64 dalam Aṅguttara Buku Delapan (Aṭṭhaka-nipāta). Penomoran semua kotbah Pāli mengikuti edisi PTS, suatu kebiasaan yang kadang kala tidak diikuti dalam terjemahan Inggris yang baru-baru ini diterbitkan.

seniya:
Bagian 7
Tentang Raja Usia Panjang

72. Kotbah tentang Riwayat Raja Usia Panjang<1>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita.
Pada waktu itu sejumlah bhikkhu dari Kosambī sedang bertengkar dan berselisih satu sama lain.<2> Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu dari Kosambī:

Para bhikkhu, janganlah bertengkar dan berselisih! Mengapakah demikian?
Jika seseorang [berusaha] menghentikan perselisihan dengan perselisihan,
Pada akhirnya ia tidak akan melihatnya berhenti.
Hanya dengan kesabaran, perselisihan dapat dihentikan.
Ini adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi.

Mengapakah demikian? Pada masa lampau yang jauh terdapat seorang raja Kosala bernama Usia Panjang, dan terdapat seorang raja Kāsi bernama Brahmadatta. Kedua raja ini selalu berselisih dan berperang satu sama lain. Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya. Setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Brahmadatta dari Kāsi secara pribadi memimpin mendekatnya armada pasukannya, dengan maksud untuk berperang dengan Raja Usia Panjang dari Kosala.

Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi telah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, datang untuk berperang denganku.”

Setelah mendengar hal ini, Raja Usia Panjang dari Kosala juga mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Usia Panjang dari Kosala secara pribadi memimpin armada pasukannya keluar menuju perbatasan [antara kedua kerajaan]. Ia memerintahkan [armada pasukannya] berbaris dalam barisan perang dan bertempur, menghancurkan dan membinasakan [musuhnya].

Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala menangkap seluruh armada pasukan berunsur empat Raja Brahmadatta – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan ia bahkan menangkap hidup-hidup Raja Brahmadatta dari Kāsi sendiri. Setelah menangkap Raja Brahmadatta, ia lalu membebaskannya, dengan berkata, “Engkau adalah seorang yang sedang menderita. Oleh sebab itu janganlah melakukan hal ini lagi!”

Kedua dan ketiga kalinya Raja Brahmadatta dari Kāsi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya. Setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Brahmadatta dari Kāsi secara pribadi memimpin mendekatnya armada pasukannya, dengan maksud untuk berperang dengan Raja Usia Panjang dari Kosala. Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi telah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, datang untuk berperang denganku.”

Setelah mendengar hal ini, Raja Usia Panjang dari Kosala berpikir, “Aku telah menaklukkan [Raja Brahmadatta].  Mengapakah aku perlu menaklukkannya lagi? Aku telah mengalahkannya. Mengapakah aku perlu mengalahkannya lebih jauh? Aku telah melukainya. Mengapakah aku perlu melukainya lagi? Bahkan dengan satu pukulan aku dapat mengalahkannya.”

Setelah berpikir demikian, Raja Usia Panjang tetap tenang dan tidak lagi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan tidak secara pribadi [memimpin] mendekatnya [armada pasukannya]. Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi dapat mendekati dan menghancurkan [musuhnya], dan ia menangkap seluruh armada pasukan berunsur empat Raja Usia Panjang dari Kosala – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya.

Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi mendekat dan menangkap seluruh armada pasukanku yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakiku.” Ia lebih lanjut berpikir, “Pertengkaran adalah sangat aneh! Pertengkaran adalah sangat jahat! Mengapakah demikian? Setelah menaklukkan, seseorang akan ditaklukkan lagi. Setelah mengalahkan, seseorang akan dikalahkan lagi. Setelah melukai, seseorang akan dilukai lagi. Biarlah aku sebaiknya pergi ke Benares, ditemani hanya oleh seorang istriku, dengan mengendarai bersama sebuah kereta.” Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala berangkat menuju Benares, ditemani hanya oleh seorang istrinya, dengan mengendarai bersama sebuah kereta.<3>

Raja Usia Panjang dari Kosala berpikir lagi, “Biarkanlah aku sebaiknya pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar.” Setelah berpikir demikian, Raja Usia Panjang dari Kosala pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar. Karena pembelajarannya yang luas, ia mengubah namanya menjadi Guru Usia Panjang. Guru Usia Panjang lebih lanjut berpikir, “Apa pun yang harus dipelajari, aku sekarang telah memperolehnya. Biarlah aku pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong, serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarku, akan sangat bergembira dan terhibur.”

Setelah berpikir demikian, Guru Usia Panjang pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarnya, sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian [kalangan] luar para pelayan Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar tentang Guru Usia Panjang, [kalangan] menengah, ... [kalangan] dalam para pelayan dan brahmana penasihat (purohita) semuanya mendengar tentangnya secara bergiliran. Ketika mendengar tentangnya, brahmana penasihat memanggilnya untuk datang dan berkunjung. Kemudian Guru Usia Panjang mendekati brahmana penasihat dan, berdiri di depannya dengan wajah ceria, ia memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya, brahmana penasihat sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian brahmana penasihat berkata kepada Guru Usia Panjang, “Sejak saat ini engkau dapat tinggal bergantung padaku. Aku akan menyediakan [segala kebutuhan] bagimu.” Guru Usia Panjang berkata, “Yang mulia, aku memiliki seorang istri, bagaimanakah dengannya?” Brahmana penasihat menjawab, “Guru, engkau dapat membawanya bersama untuk tinggal dalam rumahku bergantung padaku. Aku akan menyediakan [segala kebutuhan] baginya [juga].” Kemudian Guru Usia Panjang membawa istrinya ke rumah brahmana penasihat untuk tinggal bergantung padanya, dan brahmana penasihat menyediakan [segala kebutuhan] bagi mereka.<4>

Belakangan istri Guru Usia Panjang, [yang sedang hamil,] mengalami kesedihan dan kekhawatiran dalam pikirannya, berpikir, “Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari [upacara] penajaman pedang.” Setelah memiliki pemikiran ini, istri Guru Usia Panjang berkata kepada suaminya. “Dalam pikiranku aku mengalami kesedihan dan kekhawatiran, dan aku memiliki pemikiran: ‘Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang’.”

Guru Usia Panjang berkata kepada istrinya, “Sayangku, janganlah memiliki pemikiran demikian! Mengapakah? Kita telah dihancurkan oleh Raja Brahmadatta. Sayangku, untuk tujuan apakah engkau ingin melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dengan pedang mereka terhunus, [dan mengapakah engkau berpikir]: ‘Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang’?” Istrinya menjawab, “[Suamiku] yang terhormat, jika aku dapat memperoleh [air itu], aku akan hidup. Jika aku tidak memperolehnya, aku pasti akan mati, tak diragukan lagi.”

Kemudian Guru Usia Panjang mendekati brahmana penasihat dan, berdiri di hadapannya dengan wajah sedih, memainkan musik dengan suara yang tidak menyenangkan dan memilukan. Ketika mendengarnya brahmana penasihat tidak bergembira.<5>

Atas hal ini brahmana bertanya, “Guru, sebelumnya engkau berdiri di hadapanku dan, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya aku sangat bergembira dan terhibur. Mengapakah engkau sekarang berdiri di hadapanku dengan wajah sedih dan memainkan musik dengan suara yang tidak menyenangkan dan memilukan, sedemikian sehingga ketika mendengarnya aku tidak bergembira? Guru Usia Panjang, apakah tubuhmu tidak menderita penyakit? Apakah pikiranmu tidak bersedih dan khawatir?”

Guru Usia Panjang menjawab, “Yang mulia, tubuhku tidak menderita [penyakit], tetapi pikiranku sedang bersedih dan khawatir. Yang mulia, istriku mengalami kesedihan dan kekhawatiran dalam pikirannya, berpikir, ‘Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari [upacara] penajaman pedang.’

“Aku menjawab istriku, ‘Sayangku, janganlah memiliki pemikiran demikian. Mengapakah? Mempertimbangkan situasi kita sekarang, sayangku, untuk tujuan apakah engkau pergi melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dengan pedang mereka terhunus; [mengapakah engkau berpikir:] ‘Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang?’

“Istriku menjawab, ‘[Suamiku] yang terhormat, jika aku dapat memperoleh [air itu], aku akan hidup. Jika aku tidak memperolehnya, aku pasti akan mati, tidak diragukan lagi.’ Yang mulia, jika istriku tidak sepenuhnya sehat, aku tidak [dapat] bekerja dengan baik.”

Brahmana penasihat bertanya, “Guru, dapatkah aku mengunjungi istrimu?” [Guru Usia Panjang] menjawab, “Anda dapat mengunjunginya, yang terhormat.”

Kemudian brahmana penasihat, ditemani oleh Guru Usia Panjang, mendekati sang istri.

Pada waktu itu istri Guru Usia Panjang sedang mengandung seorang putra yang bajik. Brahmana penasihat, melihat bahwa istri Guru Usia Panjang sedang mengandung putra yang bajik, berlutut dengan lutut kanannya pada lantai, merentangkan tangannya dengan telapak tangannya disatukan terhadap istri Guru Usia Panjang, dan berkata tiga kali, “Seorang raja Kosala akan lahir, seorang raja Kosala akan lahir!” Ia memerintahkan para pelayannya, “Jangan biarkan seseorang pun mengetahui hal ini!”

Brahmana penasihat berkata, “Guru, janganlah bersedih atau khawatir. Aku dapat memastikan bahwa istri anda dapat melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, dan kemudian ia akan dapat meminum air dari penajaman pedang.”

Kemudian brahmana penasihat pergi menemui Raja Brahmadatta dari Kāsi. Ketika tiba ia berkata, “Baginda seharusnya mengetahui: sebuah bintang keberuntungan telah muncul. Semoga Baginda memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan secara perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, untuk menunjukkan kekuatan armada pasukan seraya mereka melakukan [upacara] penajaman pedang dalam air. Semoga Baginda sendiri pergi keluar untuk menyaksikannya. Baginda, melakukan hal ini pasti akan menguntungkan.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan kepala armada pasukan, “Petugas, engkau seharusnya mengetahui: sebuah bintang keberuntungan telah muncul. Petugas, segeralah memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, untuk menunjukkan kekuatan armada pasukan seraya mereka melakukan penajaman pedang dalam air. Aku sendiri akan pergi keluar untuk menyaksikannya. Melakukan hal ini pasti akan menguntungkan.”

Kemudian kepala armada pasukan, ketika menerima perintah ini dari raja, memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya melakukan penajaman pedang dalam air. [Raja] Brahmadatta sendiri pergi keluar untuk menyaksikannya.

Sebagai akibatnya, istri Guru Usia Panjang dapat melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urusan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, menunjukkan kekuatan armada pasukan itu. Ia juga dapat meminum air dari penajaman pedang. Setelah ia minum air dari penajaman pedang, kesedihan dan kekhawatiran lenyap dan ia segera melahirkan seorang putra yang bajik. Ketika ia diberi nama, ia disebut Pangeran Kehidupan Panjang. Ia dipercayakan kepada orang [lain] untuk membesarkannya secara diam-diam dan perlahan-lahan tumbuh dewasa.

Seperti raja ksatria yang dinobatkan yang memerintah di dunia setelah memperoleh wilayah yang luas, Pangeran Kehidupan Panjang [mempelajari] berbagai jenis keahlian, seperti menunggangi gajah dan menunggangi kuda, menjinakkan dan mengendalikannya, memacu, menembak untuk olahraga, bertinju, melempar jaring dan melempar pengait, mengendarai kereta perang, dan mengendarai kereta kuda. Ia menguasai semua keahlian yang bagus dengan cara ini dan memenangkan berbagai jenis kontes yang halus. Ia tiada taranya di dunia dalam keteguhan hati dan terkemuka dalam kecerdasannya. [Walaupun ia tetap] merahasiakan dan menyembunyikan diri dengan baik, namun tiada yang tidak ia kuasai sepenuhnya.<6>

Kemudian [Raja] Brahmadatta mendengar bahwa Raja Usia Panjang dari Kosala telah mengubah namanya, dengan menjadi seorang “guru”, dan sedang berdiam di kota Benares.<7> [Raja] Brahmadatta memerintahkan para petugasnya, “Para petugas, segera pergilah dan tangkap Raja Usia Panjang dari Kosala, ikat tangannya di belakangnya, dudukkan ia di atas seekor keledai, dan pukullah sebuah genderang rusak yang menghasilkan suara seperti ringkikan keledai. Setelah mengumumkan perintah ini secara luas, bawalah ia melalui pintu gerbang selatan, dudukkan ia di bawah sebuah papan tanda, dan tanyailah ia dengan ketat.”

Setelah menerima perintah ini, para petugas dengan cepat pergi dan menangkap Raja Usia Panjang dari Kosala, mengikat tangannya di belakangnya, mendudukkannya di atas seekor keledai dan, dengan memukul sebuah genderang rusak yang menghasilkan suara seperti ringkikan keledai, mereka mengumumkan perintah itu secara luas dan membawanya melalui gerbang selatan. Mendudukkannya di bawah sebuah papan tanda, mereka menanyainya dengan ketat.<8>

Pada waktu itu Pangeran Kehidupan Panjang mengikuti ayahnya, dengan berdiam di belakangnya atau pada sisi kiri atau kanannya. Ia berkata kepada ayahnya, “Baginda, janganlah takut! Baginda, janganlah takut! Aku di sini. Aku pasti akan dapat menyelamatkanmu. Aku pasti akan dapat menyelamatkanmu.”

Raja Usia Panjang dari Kosala menjawab, “Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya berlatih cinta kasih.”

Orang-orang mendengar Raja Usia Panjang mengucapkan kata-kata ini dan bertanya kepada raja, “Apakah yang kamu katakan?”

Raja menjawab orang-orang itu, “Pangeran ini adalah cerdas; ia pasti akan memahami kata-kataku.”

Kemudian Pangeran Kehidupan Panjang memohon kepada para keluarga mulia di kota Benares, “Para yang mulia, perbuatlah jasa dengan melatih kedermawanan dan dedikasikan kepada Raja Usia Panjang dari Kosala: ‘Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!’”

Kemudian para keluarga mulia di kota Benares, ketika dimohon oleh Pangeran Kehidupan Panjang, berbuat jasa dengan melatih kedermawanan dan mendedikasikannya kepada Raja Usia Panjang dari Kosala: “Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!”

Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar bahwa para keluarga mulia di Benares berbuat jasa dengan melatih kedermawanan dan mendedikasikannya kepada Raja Usia Panjang dari Kosala, dengan mengatakan: “Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!” Ketika mendengar hal ini ia menjadi sangat ketakutan dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. [Ia berkata,] “Apakah ini tidak menyebabkan para keluarga mulia di kota Benares ini memberontak melawanku? Biarlah aku menyelesaikan masalah ini! Biarlah aku sekarang, pertama-tama, dengan segera mengakhiri masalah ini!”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan para pelayannya, “Segera pergilah dan bunuh Raja Usia Panjang dari Kosala! Potonglah ia menjadi tujuh bagian!” Setelah menerima perintah ini, para pelayan dengan segera pergi dan membunuh Raja Usia Panjang dari Kosala dan memotongnya menjadi tujuh bagian.

Kemudian Pangeran Kehidupan Panjang memohon kepada para keluarga mulia di kota Benares, “Para yang mulia, lihatlah ini! Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Marilah, para yang mulia. Dengan kain sutra baru bawalah bersama-sama [sisa-sisa tubuh] ayahku. Minyakilah tujuh bagian jenazah itu semuanya dengan wewangian. Kumpulkan kayu wangi, kremasikan beliau, dan letakkan [abunya] dalam sebuah tempat pemujaan.

“Sampaikan pesan ini kepada [Raja] Brahmadatta atas namaku: ‘Pangeran Kehidupan Panjang dari Kosala mengatakan hal ini, “Apakah engkau tidak takut bahwa keturunan [Raja Usia Panjang] kelak akan memberimu kesulitan?”’”

Kemudian, didorong oleh Pangeran Kehidupan Panjang, para keluarga mulia di kota Benares membawa bersama-sama sisa-sisa tubuh [raja] dengan menggunakan kain sutra baru, membawa tujuh bagian jenazahnya dan meminyakinya semuanya dengan wewangian. Mereka mengumpulkan kayu wangi, mengkremasinya, dan meletakkan [abunya] dalam sebuah tempat pemujaan.<9>

Kemudia mereka menyampaikan pesan ini kepada [Raja] Brahmadatta: “Pangeran Kehidupan Panjang dari Kosala mengatakan hal ini: ‘Apakah engkau tidak takut bahwa para keturunan [Raja Usia Panjang] kelak akan memberimu kesulitan?’”

Kemudian istri Raja Usia Panjang [yang berduka] berkata kepada Pangeran Kehidupan Panjang, “Engkau seharusnya mengetahui bahwa Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahmu, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Marilah, Pangeran. Biarlah kita meninggalkan Benares, dengan mengendarai bersama sebuah kereta. Jika engkau tidak pergi, engkau akan bertemu malapetaka.”

seniya:
Kemudian istri Raja Usia Panjang dan Pangeran Kehidupan Panjang meninggalkan Benares, dengan mengendarai bersama sebuah kereta. Pada waktu itu Pangeran Kehidupan Panjang berpikir, “Biarlah aku sebaiknya sekarang pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar.” Setelah berpikir demikian, Pangeran Kehidupan Panjang pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar. Karena pembelajarannya yang luas, ia mengubah namanya menjadi Guru Kehidupan Panjang.

Guru Kehidupan Panjang lebih lanjut berpikir, “Apa yang harus dipelajari sekarang telah kugapai. Biarlah aku kembali ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarku, akan sangat bergembira dan terhibur.”

Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarnya, sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian [kalangan] luar para pengikut Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar tentangnya, [kalangan] menengah para pengikut, ... [kalangan] dalam para pengikut, dan brahmana penasihat semuanya mendengar tentangnya secara bergiliran; dan demikian juga Raja Brahmadatta dari Kāsi, yang memanggilnya untuk datang dan berkunjung.<10>

Guru Kehidupan Panjang mendekati Raja Brahmadatta dari Kāsi dan, berdiri di hadapannya dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya, Raja Brahmadatta dari Kāsi sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata kepadanya, “Guru, sejak saat ini engkau dapat tinggal bergantung padaku; aku akan menyediakan [segala kebutuhan] bagimu.” Kemudian Guru Kehidupan Panjang tinggal bergantung pada Raja Brahmadatta dari Kāsi, yang menyediakan [segala kebutuhan] baginya.

Belakangan [raja] mempercayai Guru Kehidupan Panjang dan, dengan cara menugaskannya suatu tanggung jawab, raja menyerahkannya pedang [yang menyimbolkan jabatan] pengawal.

Pada waktu itu Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan kusirnya, “Persiapkanlah kereta, aku ingin pergi berburu.” Ketika menerima perintah ini, kusir langsung mempersiapkan kereta. Ketika ini telah siap, ia kembali dan berkata, “Kereta telah dipersiapkan dan siap melayani Baginda.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi, bersama dengan Guru Kehidupan Panjang, pergi keluar [dari Benares], dengan mengendarai kereta itu. Guru Kehidupan Panjang berpikir, “Raja Brahmadatta dari Kāsi ini adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Biarlah aku sekarang mengendarai kereta dengan cara sedemikian sehingga ia menjadi terpisah dari armada pasukan berunsur empat, masing-masing menuju tempat yang berbeda.” Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang mengarahkan kereta itu sehingga ia terpisah dari armada pasukan berunsur empat, masing-masing menuju tempat yang berbeda.

Pada saat ini Raja Brahmadatta dari Kāsi, setelah menjumpai bagian jalan yang berlumpur dan tertekan oleh angin panas, merasa menderita dan kehausan. Lelah dan berharap untuk berbaring, ia turun dari kereta dan, menggunakan lutut Guru Kehidupan Panjang sebagai bantal, ia beristirahat.

Kemudian Guru Kehidupan Panjang berpikir lagi, “Raja Brahmadatt dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Sekarang ia berada dalam tanganku. Aku seharusnya membalas dendam.”

Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang mengeluarkan pisau tajamnya, memegangnya pada leher Raja Brahmadatta dari Kāsi, dan berkata, “Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu.” Kemudian Guru Kehidupan Panjang berpikir lagi, “Bagiku [membunuhnya] adalah salah. Mengapakah demikian? Aku ingat bagaimana ayahku, dulu sekali, ketika ia didudukkan di bawah papan tanda, saat menjelang kematian, berkata kepadaku, ‘Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’.” Mengingat hal ini, [Guru Kehidupan Panjang] menarik pisau itu dan menaruhnya kembali ke dalam sarungnya.

Pada waktu itu Raja Brahmadatta dari Kāsi sedang bermimpi di mana ia melihat hal ini, “Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, sedang memegang sebilah pisau tajam pada leherku, berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu’.” Ketika melihat hal ini, ia menjadi sangat ketakutan dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. Ia begitu terkejut sehingga ia terbangun. Terbangun, ia berkata kepada Guru Kehidupan Panjang, “Engkau harus mengetahui bahwa dalam mimpiku aku melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, memegang sebilah pisau tajam pada leherku dan berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu, sekarang aku akan membunuhmu’.”

Ketika mendengar hal ini, Guru Kehidupan Panjang berkata, “Baginda janganlah takut! Baginda janganlah takut! Mengapakah demikian? Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala itu, adalah diriku sendiri.<11> Baginda, aku berpikir demikian: ‘Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Sekarang ia berada dalam tanganku. Aku seharusnya membalas dendam.’

“Baginda, aku mengeluarkan pisau tajamku, memegangnya pada leher anda, dan berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu.’ Baginda, aku berpikir lagi, ‘Bagiku [membunuhnya] adalah salah. Mengapakah demikian? Aku ingat bagaimana ayahku, dulu sekali, ketika ia sedang didudukkan di bawah papan tanda, saat menjelang kematian, berkata kepadaku, “Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih”.’ Mengingat hal ini, aku menarik pisau itu dan menaruhnya kembali ke dalam sarungnya.”

Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata, “Pangeran, engkau berkata hal ini, ‘Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! – Aku memahami makna hal ini. [Tetapi,] Pangeran, engkau juga berkata, ‘Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’ – apakah makna dari hal ini?”

Pangeran Kehidupan Panjang menjawab, “Baginda, ‘Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’ bermakna seperti ini, [apa yang sedang kulakukan sekarang].”

Ketika mendengar hal ini, Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata, “Pangeran, sejak sekarang seluruh kerajaan kukuasai diberikan kepadamu, dan kerajaan awal ayahmu dikembalikan kepadamu. Mengapakah demikian? Apa yang telah engkau lakukan – yaitu, mengampuni hidupku – adalah sangat sulit dilakukan.”

Ketika mendengar hal ini, Pangeran Kehidupan Panjang berkata, “Kerajaan awal Baginda milik Baginda. Kerajaan awal ayahku dapat dianggap telah dikembalikan [kepadaku].”<12>

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi kembali dengan kereta bersama dengan Pangeran Kehidupan Panjang. Ia memasuki kota Benares, duduk di aula utama, dan berkata kepada menterinya, “Para menteri, jika kalian melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, apakah yang akan kalian lakukan?”

Ketika mendengar hal ini, beberapa menteri berkata, “Baginda, jika aku melihatnya, aku akan memotong tangannya.” Yang lain berkata, “Baginda, jika aku melihatnya, aku akan memotong kakinya.” Yang lain lagi berkata, “Aku akan membunuhnya.”
Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata kepada para menterinya, “Para menteri, jika kalian ingin melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, inilah dia. Janganlah memunculkan kehendak jahat terhadap pangeran ini! Mengapakah demikian? Apa yang telah dilakukan pangeran ini – yaitu, mengampuni hidupku – adalah sangat sulit dilakukan.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan agar Pangeran Kehidupan Panjang dimandikan seperti layaknya seorang raja, diminyaki dengan wewangian raja, dipakaikan pakaian kerajaan, dan duduk di atas sebuah tahta emas. Kemudian ia menikahkan putrinya dengan pangeran dan mengizinkannya kembali ke kerajaannya sendiri.

Para bhikkhu, semua penguasa, para raja ksatria yang dinobatkan, adalah para pemimpin kerajaan-kerajaan besar. Dalam memerintah kerajaan mereka, mereka sendiri melatih kesabaran dalam menghadapi cercaan dan juga memuji kesabaran; mereka sendiri melatih cinta kasih dan juga memuji cinta kasih; mereka sendiri melatih kebajikan dan juga memuji kebajikan.

Para bhikkhu, kalian juga seharusnya seperti demikian. Setelah meninggalkan rumah demi keyakinan dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan, kalian seharusnya melatih kesabaran dalam menghadapi cercaan dan juga memuji kesabaran; diri kalian sendiri melatih cinta kasih dan juga memuji cinta kasih; diri kalian sendiri melatih kebajikan dan juga memuji kebajikan.

Terhadap hal ini, beberapa orang bhikkhu [di Kosambī] yang mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha menjawab, “Sang Bhagavā adalah guru Dhamma [tetapi] biarlah beliau sekarang, untuk sementara, berhenti [ikut campur]. Mereka [dari kelompok lain] sedang memberitahukan kami apa yang harus dilakukan. Apakah kami [juga] tidak memberitahukan mereka apa yang harus dilakukan?”<13>

Kemudian Sang Bhagavā tidak bergembira dengan perilaku para bhikkhu dari Kosambī, dengan sikap mereka, dengan pelatihan mereka, atau dengan praktik mereka. Beliau bangkit dari tempat duduk beliau dan mengucapkan syair-syair ini:

Dengan sedikit kata-kata yang terucap
Mereka membelah Sangha yang paling dihormati.
Ketika Sangha yang mulia terbelah,
Tiada seorang pun dapat menegur dan menghentikan mereka.

[Raja Kāsi] membunuh [raja Kosala] dengan memotong tubuhnya;
Merebut gajah, hewan ternak, kuda, dan harta bendanya;
Menghancurkan kerajaannya, memusnahkannya sepenuhnya.
[Namun,] seperti di masa lampau, ia mencapai perdamaian.

Tetapi kalian, karena ucapan celaan sepele,
Tidak dapat menjalankan pengendalian [diri] dan [hidup] dalam kerukunan.
Jika kalian tidak mempertimbangkan apa yang benar-benar penting,
Bagaimanakah belenggu kebencian dapat dipadamkan?

Dengan banyak ucapan cacian, hardikan, dan celaan,
Seseorang [masih] dapat menjalankan pengendalian [diri] dan [hidup] dalam kerukunan.
Jika ia mempertimbangkan apa yang benar-benar penting,
Belenggu kebencian pasti dapat dipadamkan.

Jika seseorang [berusaha] mengakhiri perselisihan dengan perselisihan,
Ia tidak akan melihatnya berakhir.
Hanya melalui kesabaran seseorang dapat mengakhiri perselisihan.
Prinsip ini seharusnya dihormati.

Marah terhadap seorang bijaksana dan manusia sejati,
Mengucapkan kata-kata yang tidak bertanggung jawab,
Mencaci maki seorang bijaksana mulia –
Seseorang yang melakukan hal ini direndahkan dan bodoh,
[Berpikir,] “Orang lain tidak memahami apa yang penting;
Hanya aku sendiri yang dapat mengetahuinya!”

[Namun,] jika seseorang dapat memahami apa yang penting,
Maka kemarahannya akan padam.
Jika seseorang menemukan seorang teman yang tenang
Yang bijaksana dan juga melatih apa yang bermanfaat,
Masing-masing dapat melepaskan pemikiran tetapnya
Seraya mereka bergembira dalam selalu membantu satu sama lain.

Jika seseorang tidak menemukan seorang teman yang tenang
Yang bijaksana dan melatih hanya apa yang bermanfaat,
Maka [daripada] seperti seorang raja yang memerintah kerajaannya dengan tegas,<14>
Jadilah bagaikan seekor gajah yang sendirian di alam liar.

Berlatih sendiri, dengan tidak melakukan kejahatan,
Bagaikan seekor gajah yang sendirian di alam liar.
Berlatih sendiri, dengan melakukan apa yang bermanfaat dan unggul,
Menghindari pertemanan dengan mereka yang jahat.

[Jika seraya] berlatih, seseorang tidak menemukan seorang teman yang bajik,
Seseorang yang sama dengannya [dalam sikap],
Maka ia seharusnya berniat teguh untuk berdiam sendirian,
Dengan menghindari pertemanan dengan mereka yang jahat.

Ketika Sang Bhagavā telah mengucapkan syair-syair ini, beliau meninggalkan [tempat itu], dengan mengadakan perjalanan melalui angkasa dengan kekuatan batin beliau, dan beliau tiba di desa Bālakaloṇakāra.<15> Pada saat itu Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya, sedang berada di desa Bālakaloṇakāra. Siang dan malam ia tidak mengantuk; ia dengan penuh semangat berlatih sang jalan, berdiam dengan tekad untuk terus-menerus terkonsentrasi dan mengembangkan hal-hal yang diperlukan [untuk berlatih] sang jalan.<16>

Yang Mulia [Bhagu], putra orang Sakya, melihat Sang Buddha datang dari kejauhan. Ketika melihat beliau, [Bhagu] mendekat untuk menyambut beliau. Ia membawakan jubah [luar] dan mangkuk Sang Buddha serta mengatur tempat duduk untuk Sang Buddha dan air untuk mencuci kaki beliau. Sang Buddha, setelah mencuci kakinya, duduk pada tempat duduk [yang dipersiapkan] oleh Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya. Setelah duduk, beliau berkata, “Bhikkhu Bhagu, apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya, menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

Sang Bhagavā bertanya lagi, “Bhikkhu Bhagu, dengan cara bagaimanakah engkau dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Bhagu menjawab, “Sang Bhagavā, siang dan malam aku tidak mengantuk; aku dengan penuh semangat berlatih sang jalan, berdiam dengan tekad untuk terus-menerus terkonsentrasi dan mengembangkan hal-hal yang diperlukan [untuk berlatih] sang jalan. Sang Bhagavā, dengan cara ini aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”<17>

Sang Bhagavā berpikir, “Anggota keluarga ini sedang berdiam dengan nyaman. Biarlah aku mengajarkannya Dharma.” Setelah berpikir demikian, beliau mengajarkan Dharma kepada Yang Mulia Bhagu, dengan mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya. Setelah mengajarkannya Dharma dengan berbagai cara terampil, setelah mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya, [Sang Buddha] bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan [tempat itu], menuju Hutan Rakkhitavana.<18> Memasuki Hutan Rakkhitavana, beliau pergi ke bawah sebatang pohon, membentangkan alas duduknya, dan duduk bersila.

Sang Bhagavā lebih lanjut berpikir, “Aku telah dapat menjauh dari para bhikkhu Kosambī itu dengan perselisihan-perselisihan mereka yang sering terjadi, sikap saling bermusuhan, membenci, dan kemarahan mereka, pertengkaran mereka di antara mereka sendiri. Aku tidak bergembira dalam mengingat daerah itu, tempat di mana para bhikkhu Kosambī berdiam.”

Tepat pada saat itu terdapat seekor gajah besar, pemimpin kawanan gajah, yang telah meninggalkan kawanannya dan, dengan mengembara sendirian, datang ke Hutan Rakkhitavana. Memasuki Hutan Rakkhitavana, ia pergi menuju sebatang pohon sāla yang mengagumkan dan berdiri bersandar pada pohon sāla yang mengagumkan itu.

Kemudian gajah besar itu berpikir, “Aku telah dapat menjauh dari kawanan gajah itu – para gajah betina, gajah jantan, anak gajah besar dan kecil. Kawanan gajah itu selalu berjalan di depanku, menginjak-injak rumput dan membuat air menjadi berlumpur. Pada waktu itu aku harus makan rumput yang terinjak-injak dan minum air berlumpur. Sekarang aku dapat makan rumput segar dan air jernih.”

Kemudian Sang Bhagavā, dengan pengetahuan atas pikiran makhluk lain, mengetahui pemikiran dari pikiran gajah itu. Beliau mengucapkan syair-syair itu:

Seekor gajah seperti para gajah [lainnya],
Dengan tubuh sempurna dan diberkahi dengan gading.
Pikiran seseorang juga seperti pikiran-pikiran [orang lain],
Jika ia bergembira dalam berdiam sendirian di hutan.

Kemudian Sang Bhagavā membawa jubah dan mangkuk beliau dan pergi dari Hutan Rakkhitavana menuju Hutan Pācīnavaṃsa. Pada waktu itu terdapat tiga orang anggota keluarga yang tinggal bersama di Hutan Pācīnavaṃsa: Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila. Para yang mulia itu sedang berlatih dengan cara ini.<19>

Siapa pun di antara mereka yang datang kembali pertama kali dari mengumpulkan dana makanan akan mengatur tempat-tempat duduk, mengambil air, dan meletakkan perlengkapan untuk mencuci kaki: alas kaki, kain untuk menyeka kaki, kendi air, dan mangkuk mandi. Jika ia dapat menghabiskan makanan yang telah ia terima, ia akan menghabiskannya, tetapi jika terdapat sisa makanan ia akan menaruhnya di dalam sebuah wadah dan menutupnya. Setelah menyelesaikan makannya, ia akan menyimpan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya, dan, dengan alas duduk di atas bahunya, pergi ke dalam gubuk untuk duduk bermeditasi.

Siapa pun di antara mereka yang datang kembali terakhir dari mengumpulkan dana makanan akan memakan semua makanan itu jika ia dapat melakukannya, dan jika makanan itu tidak cukup, ia akan mengambil dari makanan yang sebelumnya tersisa dan memakannya sampai ia merasa cukup. Jika masih terdapat sisa makanan, ia akan mengosongkannya pada tanah kosong atau ke dalam air yang tidak mengandung makhluk hidup.

Ia akan mengambil perlengkapan makan dan, setelah mencucinya dengan bersih dan menyekanya, ia akan menaruhnya pada satu sisi. Ia akan mengumpulkan dan menggulung alas duduk dan menyimpan perlengkapan untuk mencuci kaki, mengumpulkan alas kaki, kain untuk menyeka kaki, kendi air, dan mangkuk mandi. Setelah menyapu aula makan dan memercikinya [dengan air], sehingga lantai bersih dan bebas dari sampah, ia akan menyimpan jubah dan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya dan, dengan alas duduk di atas bahunya, pergi ke dalam gubuk untuk duduk bermeditasi.<20>

Pada sore hari, jika yang pertama dari para yang mulia ini bangkit dari duduk bermeditasi melihat bahwa kendi air atau mangkuk mandi kosong dari air, ia akan membawanya dan pergi mengambil [air]. Jika ia bisa, ia akan membawanya kembali dan menempatkannya pada satu sisi.

Jika ia tidak bisa [membawa kendi air yang penuh], ia akan memberi isyarat dengan tangannya pada bhikkhu lain, dan keduanya akan membawanya bersama dan menempatkannya pada satu sisi, tanpa berbicara satu sama lain, tanpa bertanya apa pun satu sama lain. Sekali dalam lima hari para yang mulia ini akan berkumpul mendiskusikan Dhamma bersama-sama atau mempertahankan keheningan luhur.

seniya:
Kemudian penjaga taman [Hutan Pācīnavaṃsa], yang telah melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, menghentikan beliau, dengan berkata, “Pertapa, pertapa, janganlah memasuki taman ini. Mengapakah demikian? Dalam taman ini terdapat tiga orang anggota keluarga, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila. Jika mereka melihat anda, mereka mungkin menolak.”

Sang Bhagavā berkata, “Penjaga taman, jika mereka melihatku, mereka pasti akan mengizinkan. Mereka tidak akan menolak.”<21>

Kemudian Yang Mulia Anuruddha, yang telah melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, menegur penjaga taman itu, dengan berkata, “Janganlah menolak Sang Bhagavā, penjaga taman! Janganlah menghentikan Sang Sugata! Mengapakah demikian? Ini adalah [guru] mulia kami yang datang; ini adalah Sang Sugata kami yang datang.”

Yang Mulia Anuruddha datang keluar untuk menyambut Sang Bhagavā. Ia membawa jubah [luar] dan mangkuk Sang Buddha. Yang Mulia Nandiya mengatur tempat duduk untuk Sang Buddha, dan Yang Mulia Kimbila membawakan air untuk Sang Buddha.

Pada waktu itu Sang Buddha, setelah mencuci tangan dan kakinya, duduk pada tempat duduk yang dipersiapkan oleh yang mulia itu. Setelah duduk, beliau bertanya, “Anuruddha, apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

Sang Bhagavā bertanya, “Anuruddha, dengan cara apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Adalah perolehan besar bagiku, adalah manfaat besar bagiku, bahwa aku berlatih bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.” Sang Bhagavā, terhadap teman-teman dalam kehidupan suci ini aku selalu melatih perbuatan jasmani dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan; aku melatih perbuatan ucapan dengan cinta kasih dan perbuatan pikiran dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan.

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Biarlah aku sekarang melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini.” Kemudian, Sang Bhagavā, aku melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini. Sang Bhagavā, aku tidak pernah memiliki bahkan satu pun pemikiran yang menolak. Sang Bhagavā, adalah dengan cara ini sehingga aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.

[Sang Buddha] bertanya kepada Yang Mulia Nandiya [pertanyaan yang sama dan mendapat] jawaban yang serupa. Kemudian [Sang Buddha] juga bertanya kepada Yang Mulia Kimbila, “Apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Kimbila menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

[Sang Buddha] bertanya, “Kimbila, dengan cara apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Kimbila menjawab:

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Adalah perolehan besar bagiku, adalah manfaat besar bagiku, bahwa aku berlatih bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.” Sang Bhagavā, terhadap teman-teman dalam kehidupan suci ini aku selalu melatih perbuatan jasmani dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan; aku melatih perbuatan ucapan dengan cinta kasih dan perbuatan pikiran dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan.

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Biarlah aku sekarang melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini.” Kemudian, Sang Bhagavā, aku melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini. Sang Bhagavā, aku tidak pernah memiliki bahkan satu pun pemikiran yang menolak. Sang Bhagavā, adalah dengan cara ini sehingga aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.

Sang Bhagavā memuji mereka:

Bagus, bagus, Anuruddha! Dengan cara ini engkau selalu bersama-sama dalam kerukunan, dalam kenyamanan dan tanpa pertentangan, dalam satu pikiran, dalam satu guru, bercampur [bagaikan] air dan susu. Apakah engkau [juga] mencapai suatu keadaan adi manusiawi, suatu keadaan istimewa, suatu kediaman yang damai dalam ketenangan?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Sang Bhagavā, dengan cara ini selalu bersama-sama dalam kerukunan, dalam kenyamanan dan tanpa pertentangan, dalam satu pikiran, dalam satu guru, bercampur [bagaikan] air dan susu, kami mencapai suatu keadaan adi manusiawi, suatu keadaan istimewa, suatu kediaman yang damai dalam ketenangan. Sang Bhagavā, aku mencapai cahaya [internal] dan kemudian penglihatan bentuk-bentuk; [tetapi] penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, engkau belum menembus tanda itu, yaitu tanda mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk. Maka penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] segera lenyap kembali.

Sebelumnya, Anuruddha, ketika aku belum mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku juga mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk; [tetapi] penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, dengan berlatih secara tekun, tanpa lalai, dengan jasmani tenang dan damai, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, tanpa kebingungan, aku mencapai konsentrasi dan keterpusatan pikiran.

Anuruddha, aku berpikir demikian, “Dengan berlatih secara tekun, tanpa lalai, dengan jasmani tenang dan damai, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, tanpa kebingungan, aku telah mencapai konsentrasi dan keterpusatan pikiran.”
[Aku berpikir demikian,] “Apa yang tidak ada di dunia ini,<22> dapatkah aku melihatnya dan mengetahuinya?” Keragu-raguan ini, kekotoran ini, muncul dalam pikiranku. Karena kekotoran keragu-raguan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kurangnya perhatian muncul. Karena kekotoran kurangnya perhatian ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kurangnya perhatian juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi muncul.<23> Karena kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi muncul ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kelambanan dan ketumpulan muncul. Karena kekotoran kelambanan dan ketumpulan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kelambanan dan ketumpulan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran semangat berlebihan muncul. Karena kekotoran semangat berlebihan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang kuat menangkap seekor lalat dan menggenggamnya terlalu kuat, sehingga lalat itu akan mati, dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran semangat berlebihan muncul.<24> Karena kekotoran semangat berlebihan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran semangat berlebihan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kurangnya semangat muncul. Karena kekotoran kurangnya semangat ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang kuat menangkap seekor lalat dan menggenggamnya terlalu longgar, sehingga lalat itu akan terbang menjauh, dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran kurangnya semangat muncul. Karena kekotoran kurangnya semangat ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kurangnya semangat juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran ketakutan muncul. Karena kekotoran ketakutan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang mengadakan perjalanan sepanjang suatu jalan didekati dari keempat arah oleh para pencuri jahat. Setelah melihat mereka [mendekat], orang itu ketakutan dan bergemetar, dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. Dengan cara yang sama, Anuruddha, kekotoran ketakutan muncul dalam pikiranku. Karena kekotoran ketakutan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, dan kekotoran ketakutan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kegirangan muncul. Karena kekotoran kegirangan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang awalnya telah mencari suatu harta karun tersembunyi menemukan empat harta karun tersembunyi.<25> Setelah melihat [harta karun itu] ia memunculkan kegirangan. Dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran kegirangan muncul. Karena kekotoran kegirangan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version