Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Buddhisme Awal

Pasangan Beda Agama

(1/2) > >>

Lindaaoct_:
Namo Buddhaya  _/\_ ,

Teman" saya ingin meminta pendapat teman mengenai hal ini, apabila kita menjalin hubungan dengan pasangan kita yang beda agama (bukan agama Buddha) apakah kalian akan tetap melanjutkan hubungan tsb atau kalian memutuskan untuk break ? Si umat Buddha ini tidak berniat untuk pindah keagama yang dianut sama si pasangannya ini. mohon saran dari teman" sekalian.

Terima Kasih.

Lex Chan:
Sebenarnya sulit untuk menjawab pertanyaan ini tanpa informasi yang lebih lengkap (misalnya bagaimana latar belakang kedua orang tersebut, apa yang menjadi motivasi awal mereka berdua ketika menjalin hubungan pacaran, bagaimana hubungan mereka pada saat pacaran, dst), jadi saya sharing pengalaman saya saja yg barangkali bisa membantu untuk menjawab.

Terlepas dari latar belakang agama, suku, pendidikan, usia, dst, pada umumnya dua orang yang berpacaran itu ingin mengenal satu sama lain lebih jauh, membina hubungan lebih dekat, dan kemudian pada suatu saat akan memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan pacaran hingga pernikahan. Jika di tengah jalan merasa bahwa tidak dapat melanjutkan hubungan hingga pernikahan (karena alasan apapun), ya tidak apa2. Tidak perlu memaksakan diri untuk terus berpacaran. Justru lebih baik segera putus agar masing2 punya kesempatan untuk membina hubungan dengan orang lain.

Tetapi jika keduanya setelah berpacaran sekian lama (masa waktu bisa bervariasi, secara umum minimal beberapa bulan hingga beberapa tahun) merasa cocok, dapat saling percaya, saling membutuhkan, finansial mendukung, dan sudah siap secara mental untuk menikah, maka yang namanya perbedaan latar belakang segala macam itu bukan alasan yang kuat untuk tidak menikah. Walaupun jika ada ketidaksetujuan dari pihak keluarga, jika keduanya sudah memutuskan untuk menikah maka sebenarnya mereka akan mencari cara untuk meyakinkan pihak keluarga untuk merestui pernikahan mereka.

Saya share saja pengalaman pacaran saya yang mungkin bisa membantu menjawab:

1. Saya pertama kali berpacaran pada waktu SMA dengan seorang gadis beragama lain. Memang pada waktu itu saya ragu2 dengan hubungan kami karena memang beda agama. Waktu itu memang saya masih naif, dan mungkin juga karena masih muda jadi mudah terombang-ambing. Saya sering dengar nasihat entah dari guru, teman2, keluarga, dst bahwa menikah dengan pasangan yang beragama itu penting. Akibatnya karena ragu2, saya kurang serius menjalin hubungan kami sehingga pacar saya saat itu merasa tidak mau membuang waktu dengan saya kalau saya tidak serius. Akhirnya kami berpisah setelah berpacaran 5 tahun.

2. Pacar kedua saya seorang Buddhis. Sebelum berpacaran dengannya, saya kenal dia karena dia pacar teman saya. Kemudian kami tidak pernah ketemu lagi selama sekian lama karena kita berdua tinggal di kota yang berbeda. Kemudian tidak sengaja ketemu dia di sosmed dan mulai berkomunikasi lewat internet. Saat itu baru tahu kalau dia sudah tidak berpacaran lagi dengan teman saya. Setelah berhubungan sekian lama di dunia maya, saya itu saya memutuskan untuk "menembak" dia lewat telepon dan kemudian kami pacaran. Terlepas dari kesamaan agama kami, terus terang memang sulit untuk membina hubungan jika kami berdua berada di kota yang berbeda. Akhirnya kami berpisah setelah berpacaran sekitar 6 bulan. Tidak lama kemudian dia sudah berpacaran dengan orang lain yang tinggal sekota dengannya. Saya rasa perpisahan ini yang terbaik untuk kami berdua, supaya bisa memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan berikutnya.

3. Pacar ketiga saya seorang atheis. Pada awalnya orangtua si dia kurang setuju kami berpacaran, bukan karena agama saya tetapi karena latar belakang saya yang lainnya. Walaupun begitu kami tetap pacaran. Setelah berpacaran selama sekitar 1 tahun, kami berdua merasa cocok dan berpikiran untuk menikah. Kami pun masing2 mengutarakan niat kami kepada orangtua. Pada waktu itu kami berdua berusia 28 tahun, jadi kami berdua berpikir mungkin sebaiknya melakukan persiapan dulu dan menikah tahun depannya. Menurut kebudayaan pacar saya tidak baik menikah pada usia 29 tahun maka kami berpikir untuk menikah pada usia 30 tahun saja. Saya tidak tahu apakah ini kebetulan, ataukah memang dijadikan alasan orangtua pacar saya untuk menunda pernikahan kami karena mereka kurang setuju dengan hubungan kami. Kemudian orangtua saya yang percaya dengan shio mengatakan tidak baik untuk menikah pada usia 30 tahun. Bukan karena orangtua saya tidak setuju, melainkan karena orangtua saya percaya shio. Kebetulan pada saat kami berusia tahun 30, tahun itu adalah tahun ular (tahun ciong dengan shio kami berdua), sehingga orangtua saya menganjurkan untuk menikah pada tahun berikutnya yaitu tahun kuda. Setelah melalui lika-liku, singkat cerita akhirnya kami berdua menikah pada tahun kuda pada saat berusia 31 tahun.

----------

Jika saya flash back ke belakang, saya sebenarnya menyesal ketika putus dengan pacar saya yang pertama. Dia gadis yang baik, cerdas dan ceria. Apalagi kami berdua merasa cocok. Saya menyesal karena keraguan saya untuk membina hubungan dengan pacar yang berbeda agama malah membuat hubungan kami menjadi berantakan. Semenjak itu kami tidak berhubungan lagi karena saya tahu tidak lama kemudian dia punya pacar yang baru. Akhirnya dia menikah duluan, tetapi saya tidak menyangka ketika dia mengundang saya ke acara pernikahannya. Sayangnya saya tidak bisa menghadiri acara pernikahannya karena saya tinggal di kota yang berbeda. Saat ini kami masih berhubungan sebagai teman.

Pacar kedua seiman dengan saya, tapi yah karena memang kami berdua tinggal di kota yang berbeda sehingga sulit untuk mempertahankan hubungan. Kalau saya pikir2 lagi memang hubungan kami lucu. Bagaimana bisa berpacaran tanpa ketemu langsung orangnya walaupun sebelumnya sudah kenal. Tidak bisa melihat langsung orangnya, menyentuhnya, kencan bersama, makan bersama, dst. Yang pasti kenal sebagai teman itu berbeda tidak bisa disamakan dengan kenal sebagai pacar. Maka wajar kalau hubungan kami tidak bertahan lama. Setelah kami berdua putus, saya bertemu lagi dengannya ketika mengunjungi kota tempat dia tinggal. Ya untuk sekedar ngobrol, dan juga memberikan sesuatu yang sempat saya janjikan tetapi belum terealisasi kepadanya.

Pacar saya yang ketiga sekarang menjadi istri saya. So far so good, kami cukup bahagia dengan pernikahan kami apalagi setelah mempunyai anak. Yah, sesekali pun masih bisa bertengkar tetapi dalam batas wajar. Yang saya rasakan adalah perbedaan keyakinan bukan sesuatu yang relevan di dalam membina hubungan. Mungkin bagi sebagian orang ada pengaruhnya, tetapi bagi kami berdua tidak relevan. Saya pun tidak akan ambil pusing jika suatu saat nanti anak saya memilih keyakinan yang berbeda dengan keyakinan saya (entah dia juga jadi atheis seperti mamanya ataukah memilih keyakinan lain), karena pada dasarnya itu di luar kendali saya. Yang bisa saya wariskan kepada anak saya adalah bagaimana menjadi orang yang baik bagi dirinya sendiri dan bagi orang2 lain di sekitarnya.

Nah, kembali lagi ke pertanyaan awal "apakah sebaiknya melanjutkan atau menghentikan hubungan?"
Saya kembalikan lagi kepada kedua belah pihak, apakah keduanya merasa perbedaan keyakinan itu relevan di dalam membina hubungan keluarga?
Jika relevan, memang sebaiknya hentikan saja.
Jika tidak relevan, why not?  _/\_

DeNova:

--- Quote from: Lex Chan on 12 May 2017, 09:29:29 AM ---Sebenarnya sulit untuk menjawab pertanyaan ini tanpa informasi yang lebih lengkap (misalnya bagaimana latar belakang kedua orang tersebut, apa yang menjadi motivasi awal mereka berdua ketika menjalin hubungan pacaran, bagaimana hubungan mereka pada saat pacaran, dst), jadi saya sharing pengalaman saya saja yg barangkali bisa membantu untuk menjawab.

Terlepas dari latar belakang agama, suku, pendidikan, usia, dst, pada umumnya dua orang yang berpacaran itu ingin mengenal satu sama lain lebih jauh, membina hubungan lebih dekat, dan kemudian pada suatu saat akan memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan pacaran hingga pernikahan. Jika di tengah jalan merasa bahwa tidak dapat melanjutkan hubungan hingga pernikahan (karena alasan apapun), ya tidak apa2. Tidak perlu memaksakan diri untuk terus berpacaran. Justru lebih baik segera putus agar masing2 punya kesempatan untuk membina hubungan dengan orang lain.

Tetapi jika keduanya setelah berpacaran sekian lama (masa waktu bisa bervariasi, secara umum minimal beberapa bulan hingga beberapa tahun) merasa cocok, dapat saling percaya, saling membutuhkan, finansial mendukung, dan sudah siap secara mental untuk menikah, maka yang namanya perbedaan latar belakang segala macam itu bukan alasan yang kuat untuk tidak menikah. Walaupun jika ada ketidaksetujuan dari pihak keluarga, jika keduanya sudah memutuskan untuk menikah maka sebenarnya mereka akan mencari cara untuk meyakinkan pihak keluarga untuk merestui pernikahan mereka.

Saya share saja pengalaman pacaran saya yang mungkin bisa membantu menjawab:

1. Saya pertama kali berpacaran pada waktu SMA dengan seorang gadis beragama lain. Memang pada waktu itu saya ragu2 dengan hubungan kami karena memang beda agama. Waktu itu memang saya masih naif, dan mungkin juga karena masih muda jadi mudah terombang-ambing. Saya sering dengar nasihat entah dari guru, teman2, keluarga, dst bahwa menikah dengan pasangan yang beragama itu penting. Akibatnya karena ragu2, saya kurang serius menjalin hubungan kami sehingga pacar saya saat itu merasa tidak mau membuang waktu dengan saya kalau saya tidak serius. Akhirnya kami berpisah setelah berpacaran 5 tahun.

2. Pacar kedua saya seorang Buddhis. Sebelum berpacaran dengannya, saya kenal dia karena dia pacar teman saya. Kemudian kami tidak pernah ketemu lagi selama sekian lama karena kita berdua tinggal di kota yang berbeda. Kemudian tidak sengaja ketemu dia di sosmed dan mulai berkomunikasi lewat internet. Saat itu baru tahu kalau dia sudah tidak berpacaran lagi dengan teman saya. Setelah berhubungan sekian lama di dunia maya, saya itu saya memutuskan untuk "menembak" dia lewat telepon dan kemudian kami pacaran. Terlepas dari kesamaan agama kami, terus terang memang sulit untuk membina hubungan jika kami berdua berada di kota yang berbeda. Akhirnya kami berpisah setelah berpacaran sekitar 6 bulan. Tidak lama kemudian dia sudah berpacaran dengan orang lain yang tinggal sekota dengannya. Saya rasa perpisahan ini yang terbaik untuk kami berdua, supaya bisa memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan berikutnya.

3. Pacar ketiga saya seorang atheis. Pada awalnya orangtua si dia kurang setuju kami berpacaran, bukan karena agama saya tetapi karena latar belakang saya yang lainnya. Walaupun begitu kami tetap pacaran. Setelah berpacaran selama sekitar 1 tahun, kami berdua merasa cocok dan berpikiran untuk menikah. Kami pun masing2 mengutarakan niat kami kepada orangtua. Pada waktu itu kami berdua berusia 28 tahun, jadi kami berdua berpikir mungkin sebaiknya melakukan persiapan dulu dan menikah tahun depannya. Menurut kebudayaan pacar saya tidak baik menikah pada usia 29 tahun maka kami berpikir untuk menikah pada usia 30 tahun saja. Saya tidak tahu apakah ini kebetulan, ataukah memang dijadikan alasan orangtua pacar saya untuk menunda pernikahan kami karena mereka kurang setuju dengan hubungan kami. Kemudian orangtua saya yang percaya dengan shio mengatakan tidak baik untuk menikah pada usia 30 tahun. Bukan karena orangtua saya tidak setuju, melainkan karena orangtua saya percaya shio. Kebetulan pada saat kami berusia tahun 30, tahun itu adalah tahun ular (tahun ciong dengan shio kami berdua), sehingga orangtua saya menganjurkan untuk menikah pada tahun berikutnya yaitu tahun kuda. Setelah melalui lika-liku, singkat cerita akhirnya kami berdua menikah pada tahun kuda pada saat berusia 31 tahun.

----------

Jika saya flash back ke belakang, saya sebenarnya menyesal ketika putus dengan pacar saya yang pertama. Dia gadis yang baik, cerdas dan ceria. Apalagi kami berdua merasa cocok. Saya menyesal karena keraguan saya untuk membina hubungan dengan pacar yang berbeda agama malah membuat hubungan kami menjadi berantakan. Semenjak itu kami tidak berhubungan lagi karena saya tahu tidak lama kemudian dia punya pacar yang baru. Akhirnya dia menikah duluan, tetapi saya tidak menyangka ketika dia mengundang saya ke acara pernikahannya. Sayangnya saya tidak bisa menghadiri acara pernikahannya karena saya tinggal di kota yang berbeda. Saat ini kami masih berhubungan sebagai teman.

Pacar kedua seiman dengan saya, tapi yah karena memang kami berdua tinggal di kota yang berbeda sehingga sulit untuk mempertahankan hubungan. Kalau saya pikir2 lagi memang hubungan kami lucu. Bagaimana bisa berpacaran tanpa ketemu langsung orangnya walaupun sebelumnya sudah kenal. Tidak bisa melihat langsung orangnya, menyentuhnya, kencan bersama, makan bersama, dst. Yang pasti kenal sebagai teman itu berbeda tidak bisa disamakan dengan kenal sebagai pacar. Maka wajar kalau hubungan kami tidak bertahan lama. Setelah kami berdua putus, saya bertemu lagi dengannya ketika mengunjungi kota tempat dia tinggal. Ya untuk sekedar ngobrol, dan juga memberikan sesuatu yang sempat saya janjikan tetapi belum terealisasi kepadanya.

Pacar saya yang ketiga sekarang menjadi istri saya. So far so good, kami cukup bahagia dengan pernikahan kami apalagi setelah mempunyai anak. Yah, sesekali pun masih bisa bertengkar tetapi dalam batas wajar. Yang saya rasakan adalah perbedaan keyakinan bukan sesuatu yang relevan di dalam membina hubungan. Mungkin bagi sebagian orang ada pengaruhnya, tetapi bagi kami berdua tidak relevan. Saya pun tidak akan ambil pusing jika suatu saat nanti anak saya memilih keyakinan yang berbeda dengan keyakinan saya (entah dia juga jadi atheis seperti mamanya ataukah memilih keyakinan lain), karena pada dasarnya itu di luar kendali saya. Yang bisa saya wariskan kepada anak saya adalah bagaimana menjadi orang yang baik bagi dirinya sendiri dan bagi orang2 lain di sekitarnya.

Nah, kembali lagi ke pertanyaan awal "apakah sebaiknya melanjutkan atau menghentikan hubungan?"
Saya kembalikan lagi kepada kedua belah pihak, apakah keduanya merasa perbedaan keyakinan itu relevan di dalam membina hubungan keluarga?
Jika relevan, memang sebaiknya hentikan saja.
Jika tidak relevan, why not?  _/\_

--- End quote ---


 :whistle: ^-^ :)) ^-^ ^-^ ^-^ :whistle:
Mirip2...  Dan asal saling menghormati aja no probleeem...  Agama tidak mengekang orang saling mencintai,  bedapun ya gpp  ^-^ :whistle:

Lindaaoct_:
Thanks teman" untuk saran nya :)

jebe:
pendapat para orang tua yang mengatakan sebaiknya satu keyakinan ada baiknya, agar anak2 yang nanti terlahir tidak bingung ikut siapa... karena biasanya ego untuk "mengajak" anak ikut keyakinan pasti muncul.

membina keluarga yang satu keyakinan saja sulit apalagi yang beda keyakinan.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version