Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

<< < (2/9) > >>

seniya:
Bab 1
“Maklumat Persatuan”
AŚOKA MENERBITKAN MAKLUMAT DI TIGA TEMPAT tentang Sangha, yang telah dikenal sebagai “Maklumat Perpecahan.” Ini adalah nama yang tidak cocok, dan ini sendiri mungkin dipengaruhi oleh harapan para sarjana modern bahwa pada masa Aśoka Sangha telah terpecah-pecah.

Maklumat-maklumat ini menggambarkan keadaan kesatuan dari Sangha, bukan keadaan perpecahan. Tiga prasasti yang sangat singkat ditemukan pada “Minor Pillar Edicts” di Sarnath, Sāñchī, dan Kosambi dalam berbagai keadaan reruntuhan, terbentang sepanjang jalan antara Pāṭaliputta, ibukota Aśoka, ke Avanti dan Vedisa. Ini semua adalah tempat-tempat kuno Buddhisme.

Maklumat-maklumat ini memerintahkan para menteri Aśoka bahwa, karena Sangha telah dibuat bersatu,[2] siapa pun bhikkhu atau bhikkhuni yang memecah belah Sangha harus dibuat memakai jubah awam dan tinggal terpisah. Maklumat Sāñchī menambahkan bahwa Sangha yang bersatu ini, baik bhikkhu dan bhikkhuni, tidak seharusnya terpecah belah selama anak-anak dan cucu-cucuku berkuasa, serta matahari dan bulan bersinar, karena inilah keinginanku agar Sangha yang bersatu akan tetap bertahan untuk waktu yang lama.[3]  Maklumat Sarnath menambahkan bahwa salinan maklumat ini harus dibuat tersedia untuk para umat awam, yang harus meninjau kembali pesan ini setiap dua minggu uposatha.

Pernyataan bahwa Sangha telah “dibuat bersatu” menyatakan suatu kejadian sebenarnya, bukan teoritis, di mana maklumat ini menanggapi dengan memperingatkan akibat berat dari perilaku memecah belah. Kenyataan bahwa maklumat-maklumat ini ditemukan dalam beberapa tempat menyatakan bahwa kecenderungan perpecahan tersebar luas, dan, jika maklumat diterapkan, mungkin terdapat beberapa episode. Maklumat Sarnath mulai dengan bacaan yang rusak sebagian: pāṭa[liput]..., yang kelihatannya menunjuk pada Pāṭaliputta. Ini menyatakan bahwa, seperti yang dapat seseorang harapkan, kekuatan perpecahan sedang bekerja di ibukota, mungkin terpusat di saa. Jika demikian halnya, maka perintah Aśoka kepada para menterinya akan, seperti biasanya, agar mereka mengikuti contoh pribadinya. Dengan demikian kita dapat berpikir suatu pusat krisis di ibukota yang ditangani oleh Aśoka secara pribadi, dan mungkin beberapa gema yang lebih kecil sepanjang wilayah itu, yang ditangani oleh para menteri.

Tidak ada contoh dalam Vinaya bagi seorang penguasa sekuler untuk ikut campur dengan cara ini dalam operasi Sangha. Sementara Vinaya menggambarkan suatu Sangha yang mampu mengurusi urusannya sendiri, dengan anggapan diam-diam bahwa kekuatan pemerintah akan menyediakan dukungan umum, sekarang kita memiliki seorang penguasa yang secara langsung memaksakan kehendaknya terhadap Sangha. Mungkin hal yang paling mengejutkan adalah bahwa Sangha kelihatannya menyambut campur tangan ini. Ini hanya dapat dijelaskan jika masalahnya adalah masalah yang sebenarnya, di mana Sangha tidak dapat menyelesaikannya dengan prosedur normalnya (saṅghakamma). Prosedur ini bekerja dengan kesepakatan bersama, dan dengan demikian menganggap suatu tingkat dasar dari ketulusan dan kerjasama. Inilah bagaimana perselisihan diselesaikan dalam Konsili Kedua. Tetapi jika orang-orang yang menyebabkan masalah mengganggu berfungsinya saṅghakamma, Sangha tidak berkuasa.

Perpecahan dan Persatuan

Untuk memahami Maklumat Persatuan, kita pertama-tama harus meninjau sifat dari perpecahan dan persatuan. Dalam Buddhisme, perpecahan awal mula dan mendasar adalah [yang dilakukan oleh] sepupu Sang Buddha yang jahat, Devadatta, Yudas atau Set dalam Buddhisme. Kisahnya terlalu panjang dan sudah terlalu diketahui untuk diulangi di sini.[4] Semua kisah perpecahan mempunyai Devadatta di belakang pikiran mereka, dan semua pencerita kisah-kisah itu berusaha menyeimbangkan dua kekuatan: membenarkan dan mensahkan aliran terpisah mereka, sementara pada saat yang sama dengan keras menghindari bayangan anggapan apa pun bahwa mereka mengikuti jejak Devadatta.

Ini jelas terlihat dalam Maklumat Persatuan, karena ungkapan yang digunakan Aśoka menggemakan ungkapan dari kutipan terkenal di mana Sang Buddha memperingatkan Devadatta bahwa seseorang yang memecah belah Sangha yang bersatu akan menderita di neraka selama satu kappa, sedangkan seseorang yang “membuat bersatu Sangha yang terpecah belah”[5]  akan bergembira di surga selama satu kappa. Penyusunan kata-kata ini muncul berulang kali dalam kutipan-kutipan yang mengikuti.[6] Ketika Sangha, setelah terpecah belah pada salah satu masalah ini, mengadakan uposatha, pavāraṇā atau saṅghakamma yang terpisah, suatu hasil dari perpecahan.[7]

Makna paralel dari perpecahan ini diberikan dalam Oxford Reference Dictionary saya: “Pemisahan suatu Gereja ke dalam dua Gereja atau pemisahan diri dari suatu kelompok karena perbedaan ajaran, tata tertib, dst.” Akan menjadi salah satu tugas kita untuk menentukan apakah semua pemisahan historis Buddhisme menjadi aliran-aliran yang berbeda, atau memang salah satu darinya, merupakan perpecahan dalam pengertian ini.

Diskusi modern atas pertanyaan ini telah menekankan dua bentuk perpecahan yang agak berbeda. Bechert menggunakan istilah saṅghabheda untuk menunjuk pada pemisahan suatu komunitas individual, dan nikāyabheda untuk menunjuk pada proses pembentukan aliran. Sasaki menggunakan kammabheda dan cakkabheda untuk membuat pembedaan yang sama: kammabheda terjadi ketika dua kelompok mengadakan uposatha secara terpisah dalam batas yang sama, sedangkan cakkabheda menunjuk pada pemisahan komunitas religius karena dasar ajaran [yang berbeda].[8] Poin kunci pada perbedaan ini adalah bahwa pembentukan aliran-aliran tidak harus menyatakan suatu sanghabheda. Untuk mengklarifikasi poin ini mari kita melihat lebih dekat pada bacaan Vinaya, yang dimulai dari teks Pali.

Perilaku Devadatta menyebabkan penetapan aturan saṅghādisesa yang melarang penghasutan yang disengaja untuk memecah belah. Aturan itu sendiri berbunyi: “Suatu Sangha yang bersatu, bergembira satu sama lain, tanpa pertentangan, dengan satu pembacaan, berdiam dalam kenyamanan.”[9]  Di sini gagasan persatuan berhubungan erat dengan diadakannya pembacaan yang bersatu atas pāṭimokkha pada uposatha yang diadakan dua minggu sekali, seperti yang ditunjukkan pada istilah kunci “satu pembacaan”. Perasaan ini diulangi dalam baris penutup dalam pembacaan pāṭimokkha: “Di sini masing-masing dan setiap orang harus berlatih, dengan persatuan, dengan saling bergembira, tanpa pertentangan.”[10]

Tetapi kita sedikit tidak jelas apa yang dimaksud di sini: apakah persatuan membutuhkan semua monastik untuk ikut serta, sedikitnya secara potensial dalam saṅghakamma yang sama, atau hanya mereka dalam satu vihara tertentu? Definisi “bersatu” sedikit di bawah ini mengatakan: “‘Bersatu’ berarti suatu Sangha yang berasal dari satu persatuan yang sama, berdiam dalam batas monastik yang sama”.[11] Ini menunjuk pada Sangha di dalam batas tertentu, alih-alih Sangha universal “dari empat arah”.

Ini dijelaskan lebih jauh dalam kutipan di mana pembacaan setiap dua minggu ditetapkan:

Sekarang pada suatu kesempatan kelompok enam bhikkhu, berdasarkan perkumpulan mereka, membacakan pāṭimokkha, masing-masing dalam perkumpulan mereka sendiri. Sang Bhagava menyatakan tentang hal ini: “Para bhikkhu, kalian tidak seharusnya, berdasarkan perkumpulan kalian, membacakan pāṭimokkha, masing-masing dalam perkumpulan kalian sendiri. Siapa pun membacakan demikian, ini adalah pelanggaran perbuatan-salah. Aku mengizinkan, para bhikkhu, suatu tindakan uposatha bagi mereka yang bersatu.”

Dan kemudian para bhikkhu berpikir: “Sang Bhagava telah menetapkan ‘suatu tindakan uposatha bagi mereka yang bersatu.’ Sampai jangkauan mana terdapat persatuan, sejauh satu vihara, atau untuk seluruh bumi?” Sang Bhagava menyatakan tentang hal ini: “Aku mengizinkan, para bhikkhu, persatuan sampai jangkauan sejauh satu vihara.”[12]

Dengan demikian persatuan Sangha berkaitan erat dengan pembacaan uposatha setiap dua minggu sebagai upacara penegasan identitas bersama Sangha. Untuk tujuan biasa, Sangha harus mengumpulkan semua yang tinggal dalam batas monastik (sīmā) yang sama untuk membacakan pāṭimokkha setiap dua minggu.

Mendefinisikan perpecahan dalam cara ini kelihatannya legalistik yang sempit. Tetapi kisah Devadatta (dan para bhikkhu dari Kosambi dan Campā) menggambarkan kemunduran kerukunan komunitas yang perlahan-lahan, suatu proses disintegrasi yang bertahan walaupun upaya berulang-ulang untuk menahannya. Penyelenggaran aktual uposatha yang terpisah hanyalah tindakan legal yang menentukan tanda pada perpecahan. Sementara tindakan resmi ini secara teknis terbatas pada satu Sangha lokal, tidak diragukan lagi kelanjutannya dirasakan relevan bagi Buddhisme secara umum.

Dan dengan demikian walaupun lokalisasi saṅghakamma ini, kelihatannya bahwa pada kejadian yang besar Sangha akan berkumpul dalam kelompok yang lebih besar yang valid bagi seluruh komunitas monastik. Demikianlah Konsili Pertama dan Kedua [berlangsung]. Konsili-konsili ini menggabungkan aspek Dhamma dan Vinaya, di mana sangat mengejutkan karena bagi Sangha, Vinaya hanya penerapan sehari-hari dari Dhamma. Bentuk dialog dalam konsili ini menggemakan saṅghakamma, meskipun prosedur untuk suatu konsili tidak ditetapkan dalam Vinaya sebagai suatu saṅghakamma. Kisah narasi dimasukkan di dalam Vinaya Skandhaka, dan kedua konsili membahas masalah Vinaya: untuk Konsili Pertama, “aturan kecil dan tidak penting” yang diperdebatkan dan masalah-masalah lainnya; untuk Konsili Kedua “sepuluh poin” yang menyebabkan kejadian ini. Dalam setiap kasus, keputusan konsili jelas dianggap valid bagi seluruh Sangha Buddhis.

Mengejutkan, ini tidak memiliki contoh atau pembenaran di dalam Vinaya itu sendiri. Seperti yang kita telah lihat, Vinaya memperlakukan tindakan saṅghakamma hanya berhubungan pada satu vihara individu. Hanya Sang Buddha yang menetapkan aturan bagi Sangha sebagai keseluruhan. Tetapi dengan wafatnya Sang Buddha, tidak ada prosedur bagi pembuatan keputusan Sangha yang universal. Para sesepuh tidak diragukan lagi melakukan hal terbaik yang dapat mereka lakukan, dan prosedur mereka memenuhi persetujuan umum dalam Sangha sejak saat itu. Tetapi ini harus diingat bahwa mereka bertindak tanpa pembenaran yang eksplisit dari Vinaya.

Ini bukan banyak masalah yang dapat muncul. Sebenarnya, bagi kami yang menjalankan Vinaya setiap hari, jelas bahwa banyak darinya bekerja sebagai pedoman. Terdapat tak terhitung situasi yang muncul terus-menerus yang tidak secara eksplisit dapat diselesaikan dalam Vinaya. Vinaya sendiri memasukan prinsip-prinsip untuk bagaimana menerapkan contoh-contoh dalam situasi yang baru. Sangat sering, aturan-aturan Vinaya diungkapkan dalam cara legalistik yang membuat mereka cukup mudah untuk diterapkan dalam praktek, jika seseorang sangat condong padanya. Dan demikianlah di Myanmar mereka mengatakan: “Jika kamu mengetahui Vinaya kamu dapat membunuh seekor ayam”. Mungkin hanya dalam pemikiran para akademik bahwa Vinaya dengan seksama mengatur setiap segi kehidupan seorang bhikkhu. Dalam kehidupan nyata ini tidak mungkin. Ini tidak ada hubungannya dengan pertanyaan apakah seseorang mengambil pendekatan yang keras atau longgar terhadap aturan-aturan [Vinaya], menekankan pada makna harfiah atau semangatnya. Ini hanya untuk mengakui kenyataan sederhana bahwa aturan-aturan hanya mencakup sejumlah konteks yang terbatas, dan di luar itu kami harus menggunakan penilaian terbaik kami.

Seperti yang dinyatakan dalam namanya, Konsili Ketiga, yang akan kita lihat memiliki hubungan dekat dengan Maklumat Persatuan, berdiri kokoh dalam tradisi konsili-konsili. Konsili ini diadakan sebagai suatu tindakan yang valid bagi seluruh Sangha dalam cara yang persis sama seperti Konsili Pertama dan Kedua. Dan seperti keduanya, jika seseorang mencoba menyelidiki Vinaya itu sendiri untuk pembenaran atas konsili itu, anda akan mengalami kesulitan. Namun demikian ia diterima dalam tradisi Vinaya sebagai tindakan yang valid.

Aśoka dan Persatuan

Kita harus berhati-hati menganggap apa persisnya yang dipikirkan Aśoka ketika mengatakan bahwa “Sangha telah dibuat bersatu”. Kelihatannya bagi saya cukup masuk akal bahwa Aśoka akan bersusah payah membuat tiga maklumat sepanjang wilayah yang luas dari daerah pedalaman Buddhis jika ia menunjuk pada semata-mata perselisihan lokal. Aśoka memiliki pikiran yang besar: ia biasa berpikir dalam istilah pan-India. Pastinya ketika ia mengatakan “Sangha telah dibuat bersatu” ia pasti memaksudkannya sebagai Sangha dalam pengertian universal.

Karena bahasa Aśoka di sini diturunkan dengan dekat dari kisah terkenal Devadatta, ia secara implisit menempatkan kejadian ini dalam konteks itu, melihat konflik itu sebagai suatu yang serius yang mengancam Sangha sebagai keseluruhan, dan ketetapan yang bersesuaian yang menjadi tindakan yang sama penting (dengan, perlu satu penambahan, semua hasil karma yang menyenangkan bagi yang mempersatukan!). Sementara kejadian yang bermasalah di Pāṭaliputta sendiri mungkin hanya melibatkan satu vihara sentral,[13] kehadiran Maklumat Persatuan di beberapa tempat membuatnya pasti bahwa Aśoka memaksudkan solusi itu untuk diterapkan secara umum, bukan hanya dalam satu vihara.

Bahasa yang digunakan Aśoka seperti “Sangha yang bersatu”, ketika digunakan dalam pengertian teknis Vinaya, seperti yang telah kita lihat, menunjuk pada suatu Sangha lokal. Tetapi ini satu-satunya bahasa yang ia punyai, dan ia harus menggunakan ini untuk menghubungkan kisah itu dengan kosakata yang telah dikenali. Umat Buddha saat itu, seperti saat ini, akan memahami dan menggunakan kata-kata dalam pengertian yang lebih resmi daripada yang dibutuhkan oleh definisi teknis yang terbatas dalam Vinaya.

Oleh sebab itu, akan menjadi sungguh-sungguh melampaui bukti untuk menyatakan bahwa pernyataan Sangha telah dibuat bersatu membuktikan bahwa telah ada sebelumnya suatu keadaan perpecahan.[14] Lagi, teks-teks Vinaya biasanya menggambarkan keadaan sebagai hitam dan putih: apakah terdapat suatu perpecahan atau persatuan. Tetapi teks-teks ini adalah teks legal yang sifatnya mencari definisi hitam dan putih yang jelas. Sayangnya kenyataan selalu muncul dalam bayangan abu-abu. Kita akan melihat bahwa kisah Konsili Ketiga menggambarkan suatu keadaan ketidaktentraman, suatu “masalah” muncul dan tidak terselesaikan yang sangat mengganggu berfungsinya Sangha selama bertahun-tahun. Ini tidak dapat digambarkan sebagai “persatuan”, tetapi keadaan perpecahan yang resmi belum terjadi. Ini bukan suatu perpecahan maupun persatuan. Dalam konteks demikian Maklumat Persatuan kenyataannya sangat tepat. Maklumat tersebut menggambarkan tibanya suatu keadaan persatuan, tanpa menyatakan bahwa telah terdapat suatu perpecahan.

Kemudian kita harus bertanya, apakah Aśoka memaksudkan bahwa ia telah mempersatukan Sangha dari suatu aliran tertentu, atau Sangha dari semua Buddhism? Bukti maklumat menunjukkan dengan jelas bahwa Aśoka sepenuhnya non-sektarian dan toleran dalam pandangannya. Tidak ada aliran yang disebutkan, baik secara tersurat maupun tersirat. Terdapat daftar terkenal teks-teks yang dianjurkan Aśoka untuk dipelajari para bhikkhu dan bhikkhu. Sementara terdapat beberapa keraguan tentang teks-teks persisnya yang ditunjukkan, semuanya termasuk dalam strata awal yang digunakan bersama dari sutta-sutta dan bukan teks-teks sektarian, seperti Abhidhamma. Seperti yang dikatakan Bechert: “Ini dapat ditunjukkan dengan analisis yang hati-hati terhadap catatan sejarah dan prasasti-prasasti bahwa sang raja tidak memihak terhadap golongan mana pun dalam Sangha.”[15] Tanpa bukti yang pasti apa pun yang menunjuk pada arah lain, maka kita hanya dapat menyimpulkan bahwa Aśoka memaksudkan seluruh Sangha telah bersatu.

Tindakan Aśoka menandakan suatu perubahan besar dalam hubungan Sangha-negara. Sangha didirikan sebagai badan internasional yang mengatur urusannya sendiri, dan peran penguasa adalah untuk mendukung, tidak untuk mengendalikan. Kisah Vinaya tentang Konsili Pertama dan Kedua tidak menyebutkan terlibatnya pihak kerajaan. Pastinya ini telah menyebabkan krisis institusional yang besar karena Aśoka harus ikut campur dengan sangat dramatis.

Mungkinkah ini muncul disebabkan oleh perselisihan sektarian? Mungkinkah, katakanlah, suatu perbedaan pendapat atas sifat sesungguhnya pencerahan Arahat mengarah pada hal ini? Ini tampaknya masuk akal. Kita hanya dapat membayangkan bahwa terdapat masalah serius yang melibatkan Aśoka secara pribadi. Ketika kita melihat pada teks-teks kita melihat bahwa kenyataannya terdapat satu catatan yang demikian: kisah dari tradisi Pali, khususnya komentar Vinaya Samantapāsādikā, dan versi Mandarin-nya Sudassanavinayavibhāsā.[16] Sebagai tambahan, bacaan pendek dari Mahāsaṅghika Vinaya dapat memberikan kita petunjuk apa yang sebenarnya terjadi.

seniya:
Konsili Ketiga

Kisah utama menceritakan “Konsili Ketiga” di Pataliputta, yang diadakan karena banyak para penganut ajaran non-Buddhis[17] yang tidak murni, mencari keuntungan dan penghormatan, banyak dari mereka yang memasuki Sangha secara meniru dengan menahbiskan diri mereka sendiri, dengan demikian membuat berfungsinya Sangha tidak mungkin:

Para penganut ajaran lain, yang keuntungan dan penghormatannya telah berkurang sampai batas di mana mereka gagal mendapatkan makanan dan pakaian,[18] pergi meninggalkan keduniawian dalam sāsana mencari keuntungan dan penghormatan, masing-masing menyatakan pandangan mereka yang berbelit-belit: “Inilah Dhamma, inilah Vinaya”. Mereka yang tidak dapat pergi meninggalkan keduniawian, setelah mencukur [rambut] mereka sendiri dan mengenakan jubah kuning, berkeliaran di dalam vihara, mengganggu uposatha, pavāraṇā, dan saṅghakamma. Para bhikkhu tidak mengadakan uposatha bersama dengan mereka.[19]

Uraian bahwa para bhikkhu ini menyalah-tafsirkan Dhamma dan Vinaya, dan bahwa mereka mengganggu “uposatha, pavāraṇā, dan saṅghakamma” tidak meninggalkan keraguan bahwa penulis bacaan ini memiliki contoh Vinaya tentang Saṅghabhedakkhandhaka dalam pikiran, seperti halnya Aśoka dalam maklumatnya.[20] Teks itu sangat konsisten dalam poin ini: para bhikkhu yang baik tidak mengadakan uposatha dengan para pengikut ajaran lain; kenyataannya, uposatha di vihara sentral terganggu selama tujuh tahun.[21] Ini jelas berarti bahwa tidak ada perpecahan dalam pengertian legal (kammabheda), karena ini membutuhkan uposatha-uposatha yang terpisah yang diadakan dalam sīmā yang sama.

Oleh sebab itu, dalam Dīpavaṁsa kisah pertama tentang masalah ini[22] tidak menyebutkan perpecahan (bheda). Tetapi, dalam suatu kontradiksi yang tampak, versi kedua dari kejadian yang sama[23] menyebutkan bheda,[24]  dengan mengatakan bahwa 236 tahun setelah Sang Buddha [wafat]: “bheda lainnya muncul dalam Theravāda yang tertinggi.” Ini masih tidak menyatakan bahwa terdapat uposatha-uposatha yang terpisah atau yang lainnya yang dapat mencirikan suatu perpecahan yang resmi. Tentu saja Dīpavaṁsa merupakan syair mitos alih-alih suatu teks legal, dan kita tidak perlu membaca penggunaan bheda di sini untuk menegaskan bahwa suatu perpecahan telah nyata terjadi. Sebenarnya, perpecahan adalah suatu kata yang terlalu kuat untuk [menerjemahkan] bheda, karena bheda digunakan sangat umum untuk memaksudkan “pemisahan, pembagian, analisis”, dst, dalam semua konteks, sedangkan perpecahan dalam bahasa Inggris hanya berhubungan dengan gagasan yang lebih formal dari saṅghabheda sebagai pembagian yang disengaja dari suatu komunitas monastik.

Adalah dalam Samantapāsādikā kita berharap menemukan penyebutan yang lebih formal atas perpecahan. Tetapi teks ini tidak menyebutkan bheda sama sekali. Setelah masalah muncul di Pāṭaliputra, Moggaliputtatissa merenungkan bahwa suatu “masalah” (adhikaraṇa) telah muncul di dalam Sangha.[25] Dalam cara yang mirip, perselisihan ditunjukkan dengan diselenggarakannya suatu saṅghakamma. Jika suatu “masalah” masih tertunda penyelesaiannya, tidak mungkin ada suatu perpecahan pada titik ini, karena seseorang tidak mengadakan saṅghakamma dengan orang-orang yang membuat perpecahan. Dari sudut pandang Vinaya, tidak terdapat perpecahan.

Apakah Ajaran Menyimpang Itu?

Para penipu dari ajaran lain digambarkan mengemukakan banyak ajaran, seperti eternalisme, eternalisme sebagian, pandangan berbelit-belit, dan sebagainya, suatu daftar yang familiar bagi banyak Buddhis terpelajar sebagai 62 pandangan yang disanggah dalam Brahmajāla Sutta.[26]  Penyebuatan 62 pandangan adalah konvensional, dan tidak mewakili pandangan sebenarnya dari para penganut ajaran lain.

Kita mungkin membayangkan mengapa para penganut ajaran lain digambarkan dalam cara ini: apakah implikasi atau konotasi dari pandangan-pandangan ini, seperti para umat Buddha pada waktu itu akan melihatnya? Dalam kanon Pali, 62 pandangan semuanya dilihat sebagai berasal dari akar pandangan salah atas kepercayaan terhadap suatu “diri”. Penafsiran ini secara eksplisit dinyatakan dalam Saṁyutta Nikāya Pali:

“62 pandangan berbelit-belit ini yang diajarkan dalam Brahmajāla; pandangan-pandangan ini, perumah tangga, ada ketika pandangan identitas ada, ketika pandangan identitas tidak ada pandangan-pandangan ini tidak ada.”[27]

Tetapi versi Sarvāstivādin dari sutta yang sama, sementara sama dalam hal lain, tidak menyebutkan 62 pandangan dari Brahmajāla. Alih-alih, teks tersebut hanya menyebutkan “pandangan-pandangan diri, pandangan-pandangan suatu makhluk, pandangan-pandangan suatu roh (jīva), pandangan-pandangan tentang yang menguntungkan dan tidak menguntungkan”.[28]

Ini membuat kita berpikir apakah penekanan pada 62 pandangan dari Brahmajāla mungkin suatu prasangka sektarian dari Mahāvihāra. Tentu saja sutta itu sendiri ditemukan dalam versi Dharmaguptaka, Sarvāstivādin, dan yang lainnya dan harus dianggap sebagai bagian dari warisan bersama. Tetapi terdapat suatu alasan untuk berpikir bahwa Mahāvihāravāsin memperlakukan kotbah tertentu ini dengan penghormatan yang khusus.

Dalam kisah Konsili Pertama mereka, Mahāvihāravāsin membuat Brahmajāla sebagai yang pertama dari semua sutta, tidak seperti aliran lain yang kita ketahui dengan pengecualian Dharmaguptaka. Bhikkhu Bodhi menyatakan bahwa penempatan ini “... bukan masalah kebetulan atau karena penyusunan yang sembarangan, tetapi karena rancangan yang disengaja pada pihak para Sesepuh yang menyusun kanon dan mengaturnya dalam bentuk yang sekarang.”[29] Ia melanjutkan menggambarkan relevansi Dhamma dari posisi ini: “... seperti halnya sutta kita, dalam hal posisinya, berdiri pada pintu masuk menuju keseluruhan kumpulan kotbah yang diucapkan Sang Buddha, demikian juga pesan utamanya memberikan pengantar pada seluruh Ajaran itu sendiri.” Sesungguhnya, seseorang dapat menyatakan bahwa sutta ini mewakili faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan, pandangan benar, sedangkan sutta-sutta berikutnya dari Dīgha Nikaya berfokus pada unsur etis dan meditatif dari sang jalan.
Tetapi sementara posisi sutta ini memenuhi suatu peranan Dhamma, kita tidak seharusnya mengabaikan dimensi politis dari pemilihan ini. Dalam menyatakan bahwa prioritas pertama dari para Sesepuh yang mengorganisasikan Dhamma pada Konsili Pertama adalah untuk menyalahkan 62 jenis pandangan salah, Mahāvihāravāsin mengembangkan suatu contoh mitos untuk tindakan Aśoka dan Moggaliputtatissa dalam membersihkan Sangha dari 62 jenis pandangan salah pada Konsili Ketiga.

Kita mulai mencurigai bahwa kisah kanonik Mahāvihāravāsin (dan Dharmaguptaka?) tentang Konsili Pertama telah disesuaikan untuk memberi contoh bagi Konsili Ketiga.[30] Kecurigaan ini ditegaskan ketika kita melihat pada hanya satu-satunya sutta lain yang disebutkan dalam Konsili Pertama Mahāvihāravāsin, Sāmaññaphala Sutta. Ini berkenaan dengan kisah Ajātasattu, seorang raja Magadha yang berkuasa, yang pada awal pemerintahannya telah melakukan perbuatan kekerasan yang mengerikan, tetapi, merasakan penyesalan yang mendalam, [ia] membuat pengakuan publik yang dramatis atas kesalahannya, mengambil perlindungan dalam Buddha Dhamma, dan, menurut sumber Mahāvihāravāsin, kemudian mensponsori Konsili Pertama. Aśoka juga seorang raja Magadha yang berkuasa, yang pada awal pemerintahannya telah melakukan perbuatan kekerasan yang mengerikan, tetapi, mengalami penyesalan yang mendalam, [ia] membuat pengakuan publik yang dramatis atas kesalahannya, mengambil perlindungan dalam Buddha Dhamma, dan menurut sumber Mahāvihāravāsin, kemudian mensponsori Konsili Ketiga. Dapatkah kita dimaafkan untuk melihat hubungan lain yang mungkin di sini?

Dorongan untuk menekankan Sāmaññaphala kelihatannya cukup transparan. Setelah penobatan Aśoka, penyerangan berdarahnya, khususnya di Kalinga, pasti menimbulkan antipati yang luas, terutama dari para umat Buddha yang mencintai kedamaian. Politik pada masa tersebut yang sama persis sinisnya dengan politik saat ini, ini akan membuat upaya yang sulit untuk meyakinkan orang-orang bahwa perubahan dan penyesalan Aśoka adalah murni. Kisah Ajātasattu dapat dijadikan suatu paradigma mitos untuk ketulusan dan kredibilitas Aśoka sebagai seorang simpatisan Buddhis. Ini akan menjadi penting khususnya untuk membenarkan langkah Aśoka yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan benar-benar ikut campur dalam urusan internal Sangha dan memutuskan siapa yang menyimpang dan yang tidak.

Setelah menyelidiki para bhikkhu yang buruk dan mendengarkan semua pandangan salah mereka, Aśoka bertanya kepada para bhikkhu yang baik apakah yang diajarkan Sang Buddha (kiṁvādī bhante sammāsambuddhoti?) dan mereka mengatakan Sang Buddha adalah seorang vibhajjavādin (vibhajjavādī mahārājāti).[31]  Ini ditegaskan oleh pahlawan dalam kisah ini, Moggaliputtatissa, yang dalam kisah Mahāvihāravāsin adalah penasehat dan guru pribadi raja yang dekat, dan dianggap oleh aliran tersebut sebagai guru awal mula. Belakangan kita akan melihat lebih dekat apa yang dimaksud vibhajjavāda dalam konteks ini, tetapi untuk sekarang kita akan berkonsentrasi pada uraian yang dapat dikonfirmasikan dalam maklumat.

Menurut Samantapāsādikā, Aśoka telah mempelajari Buddhisme di bawah Moggaliputtatissa sebelum Konsili [Ketiga] dan dengan demikian dapat mengenali pengakuan keliru dari para penganut ajaran lain. Ia merenungkan:

“Ini bukanlah para bhikkhu, mereka adalah para pertapa dari ajaran lain.” Mengetahui ini, ia memberi mereka pakaian putih dan mengusir mereka.[32]

Dalam kasus ini, kata-kata persis yang digunakan Samantapāsādikā dan maklumat berbeda, tetapi maknanya sama.[33]  Setelah para bhikkhu yang buruk diusir, Aśoka menyatakan kepada Moggaliputtatissa:

“Sekarang, bhante, sāsana sudah murni, semoga Sangha mengadakan uposatha.” Setelah memberikan perlindungannya, ia memasuki kota. Sangha dalam persatuan berkumpul dan mengadakan uposatha.[34]

Tampaknya bagi saya, sejauh uraian utama berlanjut, Samantapāsādikā dan maklumat sangat bersesuaian:[35]  Sangha telah dibuat bersatu; pemecah belah Sangha seharusnya dibuat memakai pakaian awam putih dan diusir; pengusiran ini berhubungan dengan kekuasaan sementara dari Aśoka alih-alih suatu tindakan Sangha; dan kejadian ini dihubungkan dengan uposatha.[36]

Versi kejadian ini juga memungkinkan kita untuk memahami mengapa Aśoka harus ikut campur. Adalah ia yang secara berlebihan menyokong Sangha, yang secara tak sengaja menciptakan masalah. Sementara ia mungkin atau tidak mungkin merasa bertanggung jawab atas masalah ini, ia pastinya tidak senang terus-menerus memberi para penipu itu dengan kebutuhan materi.

Keseluruhan kisah ini sangat masuk akal, dan familiar dalam banyak negeri di mana Buddhisme berkembang saat ini. Segera setelah Sangha menarik sokongan yang berlebihan dari para penyokong yang kaya dan baik hati, terdapat arus para bhikkhu palsu yang hanya tertarik dalam mendapatkan sebanyak-banyaknya uang yang dapat mereka peroleh. Ini adalah gangguan yang terus-menerus terjadi dan sulit atau tidak mungkin bagi Sangha sendiri untuk menanganinya. Mereka berkembang tidak dapat dicegah jika pemerintah tidak memiliki kekuatan kehendak untuk secara paksa melepas jubah mereka dan mencegah mereka dari mengganggu dan menipu para donatur Buddhis.
Kenyataan bahwa Aśoka mengusir para bhikkhu palsu dan membuat mereka kembali ke pakaian awam adalah detail yang penting. Musuh pada Konsili [Ketiga] ini bukan para bhikkhu Buddhis yang berbeda dalam penafsiran atas beberapa poin ajaran, mereka adalah non-Buddhis, tidak layak menjadi bhikkhu sama sekali. Walaupun Mahāvihāravāsin mengaku sebagai satu-satunya aliran yang tidak bersifat pecahan, bahkan mereka tidak berlanjut sampai menganggap anggota aliran lain harus dilepas jubahnya. Bahkan jika kita menerima posisi Mahāvihāravāsin bahwa semua aliran lain adalah bersifat pecahan dalam pengertian harfiah yang didefisinikan dalam Vinaya, ini hanya akan berarti komunitas tersebut tidak melakukan pembacaan uposatha bersama yang sama. Ini tidak berarti para musuh itu bukan para bhikkhu: dalam kenyataannya, hanya para bhikkhu yang dapat menyebabkan perpecahan, sehingga jika para musuh pada Konsili Ketiga adalah benar-benar orang awam, tidak ada cara mereka dapat menyebabkan perpecahan. Satu-satunya jalan lain adalah mengenali status tipuan mereka dan mengusir mereka. Maka kisah Konsili Ketiga bukan kisah suatu perpecahan dari sudut pandang Aśoka atau Mahāvihāravāsin. Kenyataannya, komentar Vinaya Mahāvihāravāsin arus utama, baik dalam versi Pali maupun Mandarin, tidak menyebutkan perpecahan sama sekali.

Tampaknya bagi saya bahwa implikasi dari “maklumat perpecahan” ini telah diremehkan oleh para sarjana disebabkan oleh kecenderungan mereka, yang berdasarkan terutama pada kisah tekstual dari Dīpavaṁsa dan Vasumitra, untuk melihat perpecahan terjadi sebelum masa Aśoka. Demikianlah Cousins mengatakan: “Jika terdapat perkumpulan Buddhis yang berbeda pada waktu ini, dan setidaknya perbedaan antara tradisi Vinaya dari Mahāsaṅghika dan Theravāda/Theriya mungkin lebih awal dari masa ini, maka raja tidak akan mempermasalahkan hal itu.”[37] Lamotte, dengan sedikit usaha pembenaran yang sama, mengatakan: “Keinginan raja adalah untuk memaksa orang-orang yang tidak sepaham untuk kembali ke status awam.... Namun demkian, perintahnya tidak diikuti.”[38] Warder mengatakan: “Tidak diketahui apakah yang seharusnya dilakukan Aśoka jika kenyataannya bahwa umat Buddhis telah terbagi menjadi sedikitnya lima aliran.”[39] Tidak ada dari penafsiran ini berupaya untuk bergulat dengan serius dengan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada kata-kata Aśoka memberikan petunjuk apa pun bahwa aliran Buddhis yang berbeda ada pada masanya.

Aśoka dalam Mahāsaṅghika Vinaya?

Sasaki menunjukkan bahwa suatu bacaan unik dalam Mahāsaṅghika Vinaya dapat menunjuk pada terlibatnya Aśoka dalam mengembalikan para bhikkhu yang memecah belah pada status awam. Bacaan yang relevan muncul dalam Mahāsaṅghika Vinaya Skandhaka, yang menurut Sasaki, hanya berada pada titik di mana teks ini berpisah dari pola dari Sthavira Skandhaka lainnya. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa kejadian ini, berdasarkan kejadian nyata pada masa Aśoka, merupakan pengaruh penting dalam merangsang pembentukan kembali Mahāsaṅghika Vinaya. Di sini adalah terjemahan bacaan yang bersesuaian:

Jika para bhikkhu telah melihat bahwa seorang bhikkhu tertentu akan melakukan saṅghabheda mereka harus berkata kepadanya: “Yang Mulia, janganlah melakukan saṅghabheda. Saṅghabheda adalah kesalahan yang berat. Anda akan jatuh ke dalam keadaan kelahiran yang buruk atau masuk neraka. Aku akan memberikanmu pakaian dan mangkuk dana. Aku akan mengajarkanmu sūtra-sūtra dan membacakan sūtra-sūtra untukmu. Jika anda memiliki beberapa pertanyaan, aku akan mengajarkan anda.”

Jika ia tidak menghentikannya, mereka harus berkata pada seorang upāsaka yang berkuasa: “Si anu akan melakukan saṅghabheda. Pergilah dan halangi ia agar tidak melakukannya.” Sang upāsaka harus berkata pada [sang bhikkhu]: “Yang Mulia, janganlah melakukan saṅghabheda. Saṅghabheda adalah kesalahan yang berat. Anda akan jatuh ke dalam keadaan kelahiran yang buruk atau masuk neraka. Aku akan memberikanmu pakaian, mangkuk dana, dan obat-obatan untuk menyembuhkan sakit. Jika anda merasa bosan dalam kehidupan seorang bhikkhu kembalilah ke kehidupan awam. Aku akan menemukan seorang istri untuk anda dan memberikan anda kebutuhan hidup.”

Jika ia masih tidak menghentikannya, para bhikkhu harus mengusirnya dengan melepaskan śalāka (tongkat pemungutan suara) yang menunjukkan keanggotannya [dalam Sangha]. Setelah mengusirnya, Sangha mengumumkan sebagai berikut: “Semua orang! Ada seseorang yang merencanakan saṅghabheda. Jika ia mendekati kalian, berhati-hatilah!”

Jika, walaupun peringatan ini, ia telah melakukan saṅghabheda ini disebut “saṅghabheda”... [40]

Sasaki mempercayai bahwa ungkapan unik “upāsaka yang berkuasa” menunjuk tak lain pada Aśoka sendiri. Tindakannya dalam membujuk para bhikkhu yang buruk untuk kembali ke kehidupan awam di sini muncul lebih seperti jaringan pengaman sosial daripada pengusiran yang memalukan. Ini akan lebih masuk akal jika kita melihat para bhikkhu yang buruk sebagai pembonceng dan pencari kesempatan, alih-alih para pengikut ajaran lain yang berusaha menghancurkan Buddhisme, atau Buddhis sebenarnya yang berusaha mendirikan ajaran atau praktek baru. Jika mereka telah bergabung dalam Sangha untuk mencuri penghidupan, dapat menjadi metode yang efektif dengan pemecahan masalah yang non-konfrontatif dengan menawarkan untuk mendukung kebutuhan mereka setelah pelepasan jubah, dengan demikian mencegah kemungkinan masalah muncul kembali.

Seperti sumber kita lainnya, teks ini termasuk teks yang mengembangkan asumsi bahwa perpecahan terjadi selama pemerintahan Aśoka. Pertama-tama kita harus ingat bahwa menghubungkannya dengan Aśoka tentu saja spekulatif, dan bacaan ini dapat juga menunjuk pada sesuatu yang sangat berbeda. Teks ini hanya membahas kejadian teoritis, dan tidak menyatakan bahwa suatu perpecahan telah terjadi. Dan tahap memanggil seorang “upāsaka yang berkuasa” hanya tahap kedua dari tiga tahap pendahuluan sebelum suatu perpecahan dapat terjadi. Bahkan jika, karena saya pikir sangat mungkin, bacaan ini nyatanya tidak menunjuk pada kejadian aktual yang sama seperti Maklumat Persatuan dan Konsili Ketiga, tidak perlu untuk menganggap bahwa ketiga tahap ini semuanya telah lengkap. Kenyataannya, satu-satu sumber kita tentang kejadian ini sebagai keseluruhan, kisah narasi Konsili Ketiga, menyatakan bahwa intervensi “upāsaka yang berkuasa” adalah efektif dan perpecahan dapat dihindari.

Juga penting untuk memperhatikan bahwa jika ini memang menunjuk pada perpecahan sesungguhnya, ini pasti adalah perpecahan awal mula antara Mahāsaṅghika dan Sthavira. Tetapi ini sangat problematik. Sumber kita adalah Mahāsaṅghika Vinaya, tetapi Mahāsaṅghika Śāriputraparipṛcchā menempatkan perpecahan awal mula lama kemudian, yang akan menyebabkan ketidaksesuaian yang besar atas masalah ini di dalam Mahāsaṅghika. Bahkan lebih buruk, tiga sumber kita – dari sudut pandang Sthavira, Mahāsaṅghika, dan Aśoka – semuanya mengambil sisi yang sama, menentang para bhikkhu pemecah belah yang dikembalikan ke kehidupan awam. Tidak mungkin bahwa ini dapat mewakili sisi yang berlawanan dalam perdebatan. Penafsiran yang paling sederhana adalah untuk menyetujui bahwa tidak ada perpecahan pada masa ini.

seniya:
Catatan Kaki Bab 1:

[2]  Sāñchī: [saṁ](ghe)e*[sa]*mag(e) kate; Kosambi: (sa)ma(ge)* kate* saṁghas [ i ].

[3]  Ichā hi me kiṁ-ti saṁghe samage cilathitīke siy

[4]  Kisah kejadian Devadatta yang populer khas [ada] di http://www.tipitaka.net/pali/ebooks/pageload.php?book=0003&page=17. Suatu pandangan alternatif [lihat] pada Ray.

[5]  Pali Vinaya 2.198: saṅghaṁ samaggaṁ karoti

[6]  Sambil lalu, kutipan ini juga menjelaskan bahwa, bertentangan dengan pendapat yang populer, tidak semua perpecahan menyebabkan sang pelaku pemecah belah akan dihukum di neraka selama satu kappa. Ini hanya berlaku jika seseorang dengan sengaja dan secara jahat memecah belah Sangha, menyatakan Dhamma sebagai bukan-Dhamma, Vinaya sebagai bukan-Vinaya, dst, seperti tingkah laku Devadatta.

[7]  Pali Vinaya 2.204. Uposatha adalah pembacaan aturan monastik dua minggu sekali; pavāraṇā adalah undangan bersama untuk peringatan pada akhir pengasingan musim hujan tahunan; saṅghakamma adalah istilah umum untuk semacam “tindakan Sangha” yang formal, termasuk penahbisan (upasampadā).

[8]  Tanggapan saya terhadap Sasaki ada di http://sectsandsectarianism.googlepages.com/sasakiandschism. Secara singkat, saya berargumentasi bahwa pergeseran historis dari cakrabheda ke karmabheda tidak secara cukup dikembangkan oleh bukti-bukti Sasaki, dan lebih baik melihat kedua hal ini untuk mewakili aspek informal dan formal dari proses yang sama: karmabheda adalah jeda legal di mana cakrabheda adalah penyelesaiannya.

[9]  Pali Vinaya 3.172: samaggo hi saṅgho sammodamāno avivadamāno ekuddeso phāsu viharatī'ti

[10]  Pali Vinaya 4.207: ‘tattha sabbeheva samaggehi sammodamānehi avivadamānehi sikkhitabban’ti.

[11]  Pali Vinaya 3.172: samaggo nāma saṅgho samānasaṁvāsako samānasīmāyaṁ ṭhito.

[12]  Pali Vinaya 1.105

[13]  Aśokārāma atau Kukkutārāma.

[14]  Contra Sasaki 1989, 186

[15]  Bechert, Notes on the Formation of Buddhist Sects and the Origins of Mahayana, 26

[16]  Sudassanavinayavibhāsā merupakan komentar Vinaya Sinhala yang dibawa ke Cina dan diterjemahkan oleh Saṅghabhadra sekitar tahun 489 M. judulnya merupakan rekonstruksi dari bahasa Cina 善見律毘婆沙 (dalam CBETA, T49, no. 2034, p. 95, c3 ia ditunjukkan sebagai 善見毘婆沙 ’Sudassanavibhāsā’). Teks ini sedikit diketahui, walaupun kenyataan bahwa terdapat terjemahan Inggris yang baik oleh Bapat dan Hirakawa. Bapat dan Hirakawa mengikuti Taisho dalam memperlakukan teks ini sebagai terjemahan dari Samantapāsādikā, walaupun mereka mencatat terdapat banyak perbedaan dari teks Pali yang ada. Kenyataannya Guruge pasti benar dalam berpendapat bahwa Sudassanavinayavibhāsā bukan terjemahan dari Samantapāsādikā; sementara keduanya memiliki banyak hal yang umum, perbedaannya terlalu jauh. Bacaan yang telah saya bandingkan akan mendukung tesis bahwa teks ini merupakan versi yang lebih awal dari komentar Sinhala yang digunakan oleh Buddhaghosa, yang diadaptasikan olehnya dalam cara minor untuk menyesuaikan dengan pandangan Mahāvihāravāsin. Ini membuat teks ini suatu dokumen historis yang unik dan penting.

[17]  Dīpavaṁsa 6.47: Tithiyā lābhaṁ disvāna sakkārañca mahārahaṁ, Saṭṭhimattasahassāni theyyasaṁvāsakā ahū. Djelaskan lebih rinci dalam Dīpavaṁsa 6.35 sebagai: paṇḍaraṅgā jaṭilā ca nigaṇṭhā'celakādikā, dan dalam Dīpavaṁsa 6.37 sebagai: ājīvakā aññaladdhikā nānā.

[18]  Cf. Dīpavaṁsa 6.34: Mahālābho ca sakkāro uppajji buddhasāsane, Pahīṇalābhasakkārā tithiyā puthuladdhikā.

[19]  Samantapāsādikā 1.53. Juga di bawah ini para bhikkhu berkata kepada menteri Aśoka: “Kami tidak mengadakan uposatha bersama para penganut ajaran lain”. (“na mayaṁ titthiyehi saddhiṁ uposathaṁ karomā’ti”.)

[20]  Hal yang sama digambarkan di tempat lain, misalnya dalam Sthavirian San Lun Xuan, yang disusun oleh Jia-xiang antara tahun 397-419: “Pada waktu itu di Magadha terdapat seorang upāsaka yang sangat besar mendukung Buddhisme. Berbagai penganut ajaran lain untuk kepentingan keuntungan mencukur rambut mereka dan pergi meninggalkan keduniawian. Demikianlah muncul apa yang disebut para bhikkhu “yang berdiam sebagai pencuri”, di mana Mahādeva adalah pemimpinnya.” (CBETA, T45, no 1852, p.9 a22-24)

[21]  Misalnya Dīpavaṁsa 6.36: Ariyā pesalā lajji na pavisanti uposathaṁ, Sampatte ca vassasate vassaṁ chattiṁsa satāni ca. Atau Samantapāsādikā 1.53: asokārāme sattavassāni uposatho upacchijji.

[22]  Dīpavaṁsa 6.34-42

[23]  Dīpavaṁsa 6.43-58. Disebabkan oleh ketidakteraturan penyusunannya, Dīpavaṁsa seringkali memasukkan lebih dari satu versi dari kejadian yang sama.

[24]  Dīpavaṁsa 6.43. Nikkhante dutiye vassasate vassāni chattiṁsati, Puna bhedo ajāyitha theravādāna'muttamo. Syair-syair lain menggunakan istilah yang berhubungan dengan bheda, tetapi di sini istilah ini berarti “penghancuran” ajaran: 6.53-4: Buddhavacanaṁ bhidiṁsu visuddhakañcanaṁ iva.
Sabbe'pi te bhinnavādā vilomā theravādato…

[25]  Samantapāsādika 1.53:‘Uppannaṁ dāni idaṁ adhikaraṇaṁ, taṁ nacirasseva kakkhaḷaṁ bhavissati. na kho panetaṁ sakkā imesaṁ majjhe vasantena vūpasametun’ti

[26]  DN 1/DA 21/T 21, juga dalam bahasa Tibet dan Sanskrit. Cf. Dīpavaṁsa 6.26-33. Sudassanavinyavibhāsā menyepakati: CBETA, T24, no. 1462, p. 684, a29-b1.

[27]  SN 41.3: ‘yāni cimāni dvāsaṭṭhi diṭṭhigatāni brahmajāle bhaṇitāni; imā kho, gahapati, diṭṭhiyo sakkāyadiṭṭhiyā sati honti, sakkāyadiṭṭhiyā asati na hontī’ti.

[28]  或說有我。或說眾生。或說壽命。或說世間吉凶 (SA 570 at CBETA, T02, no. 99, p. 151, a12-13)

[29]  Bodhi, The Discourse on the All-embracing Net of Views, 1

[30]  Pada sisi lain, saya mempercayai kisah Mahāvihāravāsin tentang pembacaan Vinaya dalam Konsili Pertama disesuaikan untuk membentuk suatu contoh untuk Konsili Kedua. Keserupaan ini rapi: Konsili Kedua adalah tentang perselisihan Vinaya, dan dengan demikian berhubungan dengan sisi Vinaya dari Konsili Pertama; Konsili Ketiga adalah tentang perselisihan Dhamma, dan dengan demikian berhubungan dengan sisi Dhamma dari Konsili Pertama.

[31]  Dīpavaṁsa tidak menggunakan istilah vibhajjavādin di sini, alih-alih menunjuk pada Theravāda dan Sakavāda. Vibhajjavādin ditemukan dalam komentar-komentar, termasuk Samantapāsādikā dan Sudassanavinayavibhāsā: 王復更問。大德。佛法云何。答言。佛分別說也 (CBETA, T24, no. 1462, p. 684, b4-5.)

[32]  Samantapāsādikā 1.61. Cp. Dīpavaṁsa 4.52: Therassa santike rājā uggahevāna sāsanaṁ,Theyyasaṁvāsabhikkhuno nāseti liṅganāsanaṁ

[33]  Samantapāsādikā menunjuk pada pemberian pakaian awam putih sebagai: setakāni vatthāni datvā; maklumat memiliki: odātāni dusāni saṁnaṁdhāpayitu. Diusir secara fisik dari vihara dinyatakan dalam Samantapāsādikā sebagai: uppabbājesi; dalam maklumat sebagai: anāvāsasi āvāsayiye. Sudassanavinayavibhāsā memiliki: 王即以白衣服與諸外道驅令罷道 (CBETA, T24, no. 1462, p. 684, b3)

[34]  Samantapāsādikā 1.61

[35]  Banyak tulisan akademik berbeda pendapat tentang hal ini. Untuk sudut pandang alternatif lihat Sasaki, 1989.

[36]  Satu-satunya perbedaan yang penting adalah bahwa, bagi Aśoka, pembuat masalah adalah para bhikkhu dan bhikkhuni, sedangkan kisah Sri Lanka beberapa ditahbiskan, sedangkan yang lain adalah para bhikkhu theyyasaṁvāsika, yang berpura-pura memakai jubah pada diri mereka sendiri dan tidak benar-benar ditahbiskan. Tetapi ini adalah poin kecil, karena ini juga dapat ditunjukkan sebagai para bhikkhu theyyasaṁvāsika, dan maklumat tidak diragukan lagi tidak memperhatikan ketelitian legal ini.

[37]  Cousins, On the Vibhajjavādins, 138

[38]  Lamotte, History of Indian Buddhism, 238

[39]  Warder, 262

[40]  Sasaki, 1989, 193-194. Saya telah mengubah terjemahan ini sedikit. Teks asli ada di CBETA, T22, no. 1425, p. 441, a11-23.

seniya:
Bab 2
Orang-Orang Suci dari Vedisa
BUKTI KITA BERIKUTNYA BERASAL DARI PETI PENYIMPANAN RELIK dari para guru Hemavata kuno, yang baru-baru ini telah diklarifikasi oleh Michael Willis. Di sini saya mengkombinasikan informasi yang diberikan Willis dalam tabelnya 1 dan 3.

Para Guru HemavataTeks Pali
Peti Jenazah di Stupa Sonārī 2
Peti Jenazah di Stupa Sāñchī 2
Peti Jenazah di Andher
Majjhima
Majhima Koṣinīputa
Majhima/Koṣinīputa

Kassapagota
Kotīputa Kāsapagota
Kāsapagota

Ālavakadeva[41]
Ālābagira
Āpa(=Āla?)gira

Sahadeva
Kosikiputa
Kosīkiputa

Dundubhissara
Gotiputa Dudubhisaradāyada
Gotiputa



Hāritīputa
Hāritiputa


Mogaliputa
Mogaliputa, murid dari Gotiputa


Vāchiya Suvijayita, murid dari Goti[puta]
Vāchiputa, murid dari Gotiputa


Mahavanāya


Peti-peti jenazah tersebut telah diperkirakan berasal dari akhir abad kedua SM, yaitu, satu abad lewat sedikit setelah Aśoka. Prasasti-prasasti ini adalah bukti tertulis kita yang tertua untuk nama-nama pribadi, lokasi, dan masa para bhikkhu. Willis menunjukkan bahwa lima bhikkhu yang disebut dalam peti penyimpanan dapat diidentifikasikan dengan lima bhikkhu, yang, seperti yang tercatat dalam Samantapāsādikā dan sumber-sumber Pali lainnya, dikirim ke wilayah Himalaya sebagai bagian dari upaya misionaris Aśoka. Nama-nama tambahan merupakan murid dan pengikut dari misionaris awal mula. Dengan demikian sumber Pali mendapatkan pembuktian yang penting dalam dua sumber informasi prasasti kita: Maklumat Aśoka mengkonfirmasikan Konsili Ketiga, dan prasasti Vedisa mengkonfirmasi kisah [pengiriman] misi.[42]

Peti-peti jenazah menggambarkan para bhikkhu ini sebagai “guru-guru dari semua Himalaya”. Oleh sebab itu, kita juga harus melihat kelompok ini sebagai perkumpulan di mana sumber-sumber yang belakangan menggambarkannya sebagai “aliran Himalaya” (Haimavata Nikāya). Namun saya akan mempertanyakan sampai jangkauan apa bukti prasasti memungkinkan kita untuk menyimpulkan bahwa suatu “aliran” ada pada waktu itu.

Jelasnya, terdapat banyak unsur yang penting untuk pembentukan suatu “aliran”. Kita melihat suatu kelompok yang terikat erat, semuanya yang mengetahui satu sama lain, dengan guru-guru yang umum. Kita melihat munculnya suatu kultus pemujaan orang-orang suci lokal, seperti halnya Sang Buddha dan para siswa besar yang dihormati oleh semua umat Buddha. Kita melihat suatu pusat institusi yang berkembang dengan baik dan sangat disokong.

Tetapi terdapat juga banyak hal yang tidak kita lihat. Sejauh yang saya sadari, kita tidak melihat penggunaan istilah nikāya atau istilah lainnya untuk menunjuk pada suatu aliran. Kita tidak memiliki bukti silsilah tekstual yang terpisah, atau ajaran yang dikembangkan secara mandiri. Kita tidak memiliki bukti bahwa kelompok ini mengadakan saṅghakamma yang terpisah.

Saya akan menyatakan bahwa, dengan hanya membaca bukti dalam cara yang paling harfiah seperti yang kita lakukan dengan maklumat Aśoka, prasasti Vedisa menunjukkan bahwa suatu pusat berkembang di sekeliling suatu kelompok monastik yang pada masa yang belakangan dikenal sebagai aliran Haimavata. Kita tidak mengetahui apakah mereka menganggap diri mereka suatu “aliran” yang berbeda pada tahap ini. Alih-alih melihat penemuan Vedisa sebagai bukti bahwa aliran-aliran telah ada pada waktu itu, kita lebih baik menganggap ini bukti untuk apa yang dapat mengajarkan kita tentang bagaimana aliran-aliran muncul.

Sementara identifikasi misionaris Himalaya hampir pasti, sisa nama-nama memberikan kita beberapa pertanyaan yang membangkitkan rasa ingin tahu.

Gotiputa

Gotiputa jelas merupakan seorang bhikkhu yang penting, dan mungkin instrumental dalam membentuk kehadiran Hemavata di Vedisa. Willis menempatkan penanggalannya pada kira-kira pertengahan abad kedua SM.[43] Namun, kesimpulan ini menyisakan beberapa asumsi yang sangat fleksibel, dan benar-benar Gotiputa dan murid-muridnya mungkin telah hidup pada waktu antara masa [pengiriman] misi dan pendirian stupa.[44]

Gotiputa dikatakan sebagai “pewaris” (dāyāda) salah satu dari lima misionaris awal mula, Dundubhissara. Penyebutan dāyāda bukanlah istilah Vinaya yang biasanya untuk menunjukkan hubungan guru-murid, sehingga Willis menganggapnya menunjukkan bahwa Gotiputa hidup beberapa waktu setelah misi awal mula. Tetapi, makna dāyāda kelihatannya lebih menyatakan suatu hubungan akrab yang hidup, alih-alih suatu silsillah pewaris yang jauh. Dalam pengertian spiritual (dhammadāyāda atau sāsanadāyāda) ini berarti seseorang yang benar-benar layak atas ajaran yang hidup. Dalam pengertian yang lebih awam, seorang pewaris adalah seseorang yang paling layak untuk menerima barang-barang kepemilikan materi dari seseorang yang telah meninggal. Dengan demikian bagi orang awam dalam masyarakat patriarkal waktu itu, anak laki-laki adalah pewaris alih-alih saudara perempuan.[45] Ketika seorang bhikkhu meninggal, barang-barang miliknya dikembalikan kepada Sangha. Namun, karena seorang perawat bermanfaat besar, Sangha dianjurkan memberikan kebutuhan sang bhikkhu yang meninggal kepada bhikkhu pelayan yang mengurus almarhum.[46] Dalam Mahāsaṅghika Vinaya bhikkhu yang mewarisi kebutuhan itu tidak hanya seorang murid langsung (saddhivihārika atau antevāsin), tetapi juga dapat dipercaya dan disetujui oleh Sangha.[6] Kata dāyāda tidak digunakan dalam konteks ini dalam Pali Vinaya. Namun demikian, saya pikir contoh-contoh ini menunjukkan bahwa seorang dāyāda lebih mungkin seorang pewaris yang “dinobatkan” secara khusus dan dekat alih-alih keturunan yang jauh dari silsilah yang sama. Dalam pengertian ini istilah ini dapat lebih akrab daripada hanya “murid” (antevāsin), karena seorang guru dapat memiliki sejumlah murid berapa pun, dan sementara guru dan murid secara ideal dianggap menganggap satu sama lain seperti ayah dan anak, dalam kenyataannya mereka mungkin tidak memiliki hubungan dekat secara khusus. Ini juga sesuai dengan konteks kita, karena ini meninggikan status Gotiputa lebih banyak jika ia dilihat sebagai seseorang yang benar-benar layak menjalankan misi Dundubhissara setelah kematiannya. Jika hubungan dāyāda adalah sesuatu seperti yang kita asumsikan, maka lebih mungkin bahwa Gotiputa adalah sezaman lebih muda dari para guru Hemavata.

Berikutnya kita harus bertanya, siapakah Gotiputa ini? Ia jelas seorang guru yang penting. Tetapi ia secara misterius tidak diketahui – atau adakah ia? Catatan komentar Vinaya dari Konsili Ketiga menceritakan kisah berikut. Saya menerjemahkannya dari bahasa Mandarin, yang dalam hal ini sama dengan Pali-nya:

Pada waktu itu, raja Aśoka telah naik tahta selama 9 tahun. Terdapat seorang bhikkhu, bernama Kotaputtatissa[48], yang sakit parah. Berkeliling meminta dana untuk mencari obat, ia hanya menerima sejumput ghee. Penyakitnya bertambah sehingga kekuatan hidupnya akan berakhir. Ia mendekati para bhikkhu dan berkata: “Di tiga alam, berwaspadalah, janganlah malas!” Setelah itu, ia terbang ke udara. Duduk di angkasa, ia memasuki [meditasi] unsur api, membakar tubuhnya dan memasuki Nibbana. Pada waktu itu raja Aśoka mendengar orang-orang membicarakan hal ini, dan kemudian memberikan persembahan. Sang raja berpikir dan berkata: “Bahkan dalam wilayah kekuasaanku para bhikkhu yang membutuhkan pengobatan tidak dapat memperolehnya!...”[49]

Di sini kita memiliki seorang guru yang namanya kelihatannya luar biasa mirip dengan guru Hemavata dari prasasti. Variasi Pali yang berbeda dari nama ini termasuk Kontiputta, Kuntaputta, dan Kontaputta.[50] Prasasti relik memasukan bentuk-bentuk Kotīputa dan Gotiputa.[51] Ini tampaknya bahwa ini adalah dua orang bhikkhu yang berbeda, karena kedua bentuk ini muncul dalam dua peti jenazah yang ditemukan sebagai bagian dari kumpulan yang sama dari kelimanya.

Tetapi kita membayangkan apakah mungkin tidak ada semacam hubungan keluarga di sini.[52] Bahasa dari prasasti biasanya mengerutkan apa yang dibentuk sebagai kumpulan konsonan dalam bahasa Pali atau Sanskrit; dengan demikian, sebagai contoh, Pali Dundubhissara menjadi Dudubhisara dalam prasasti. Kita juga mencatat beberapa kasus pada peti penyimpanan di mana ejaan berkisar antara i dan ī. Jayawickrama menyatakan identifikasi Goti- dan Kotī-, yang menunjukkan perubahan g > k dalam bahasa Prākrit barat laut[53] (walaupun kita bukan di barat laut!). Tanpa menyimpulkan dalam satu cara atau yang lain, kita memunculkan kemungkinan bahwa ini adalah bentuk variasi dari nama yang sama. Tetapi jika terdapat suatu hubungan keluarga, persisnya jenis keluarga apakah yang sedang kita bicarakan?

Mahāvaṁsa menceritakan suatu kisah. Kontiputtatissa adalah anak dari seorang kinnarī (peri hutan) yang bernama Kuntī, yang tergoda oleh seorang pria dari Pāṭaliputta dan “kelihatannya” (kira) melahirkan dua anak laki-laki, Tissa dan Sumitta. Mereka berdua pergi meninggalkan keduniawian di bawah sesepuh Mahāvaruṇa.[54] (Jelas memiliki ibu seorang peri hutan tidak membatalkan seseorang dari anggapan seorang “manusia” untuk tujuan penahbisan.) Kontiputtatissa digigit oleh serangga, tetapi walaupun ia mengatakan kepada saudara laki-lakinya segenggam penuh ghee dibutuhkan sebagai obatnya, ia tidak akan pergi mencarinya setelah ia makan. Versi ini sesuai dengan kisah lain tentang cara kematian Kontiputtatissa. Semua versi juga setuju bahwa penyesalan Aśoka dalam mendengar kisah ini merupakan sebab langsung baginya untuk secara dramatis meningkatkan sokongannya yang dermawan kepada Sangha, yang pada gilirannya dorongan langsung bagi unsur yang merusak masuk Sangha, yang mengharuskan [penyelenggaraan] Konsili Ketiga. Kita melihat bahwa saudara laki-laki Kontiputtatissa, Sumitta, juga meninggal dalam tahun yang sama. Kisah peri hutan dan dua putranya yang bernasib buruk menambah dimensi yang membangkitkan rasa ingin tahu pada kisah kita.[55] Tetapi untuk saat ini adalah cukup untuk melihat bahwa klan “Kuntī” tampaknya tidak memiliki keluarga yang biasa.

Mogaliputa

Sekarang, Gotiputa memiliki sejumlah murid, yang menonjol adalah “Mogaliputa” dan “Vāchiputa” tertentu. Satu silsilah sarjana, dimulai dari Cunningham dan Geiger, membuat hubungan yang jelas antara Mogaliputa ini dengan Moggaliputtatissa dari kronologis Pali. Silsilah yang lain, termasuk Lamotte dan Willis, menolak identifikasi ini segera. Baik alasan untuk membuat kesamaan ini dan alasan untuk menolaknya adalah hampir sederhana. Di sini kita memiliki seorang bhikkhu tertentu, dengan jelas berhubungan dengan masa umum dan kegiatan misionaris yang sama dari 5 bhikkhu yang sama, dan bersama-sama menggunakan nama yang sama. Masalahnya adalah dalam kisah Pali, Moggaliputtatissa hidup pada masa Aśoka, sedangkan murid Gotiputa, jika penanggalan Willis benar, hidup lebih dari satu abad kemudian. Tetapi ketika kita mengenali bahwa penanggalan demikian didasarkan pada asumsi yang fleksibel jika bukan sepenuhnya sembarangan, kita tidak dapat begitu pasti tentang perbaikan penanggalan Gotiputa dalam bukti arkeologis.

Suatu masalah yang lebih jauh dengan mengidentifikasi Moggaliputtatissa dari tradisi Pali dengan Mogaliputa dari peti penyimpan relik adalah bahwa Moggaliputtatissa dianggap sebagai pemimpin dari para guru Hemavata. Tetapi, jika kita menyamakan keduanya, kita berakhir dengan Moggaliputtatissa sebagai murid dari pewaris para guru Hemavata.

Tetapi penempatan Moggaliputtatissa sebagai pemimpin misi pada beberapa cakupan adalah ungkapan prasangka Mahāvihāravāsin. Jelasnya, terdapat banyak bhikkhu senior yang terlibat. Misi-misi ini, dalam semua kemungkinan, diorganisasikan oleh suatu kelompok sesepuh yang berhubungan secara longgar yang mengambil keuntungan dari kondisi yang menguntungkan dari kekuasaan Aśoka untuk menyebarkan Dhamma. Dan organisatornya tidak harus [bhikkhu] yang paling senior: baik Konsili Pertama ataupun Kedua bhikkhu yang memimpin bukan yang paling senior. Kegiatan misionaris melibatkan sedikitnya tiga generasi bhikkhu: Moggaliputtatissa, Majjhantika, dan Mahādeva yang memimpin penahbisan Mahinda, dan Mahinda pada gilirannya memiliki sejumlah murid, termasuk seorang samanera, yang bersamanya ke Sri Lanka. Oleh karena itu, kita sangat bersesuaian dengan teks untuk mengasumsikan bahwa para guru Hemavata kira-kira sama dalam kedudukannya dengan Moggaliputtatissa.

Satu asumsi yang tidak terucapkan dari alasan Willis adalah bahwa informasi pada peti penyimpanan relik, karena informasi ini konkrit, dapat diperkirakan waktunya, dan dapat ditentukan tempatnya, mungkin lebih akurat. Tentu saja, ini adalah asumsi yang masuk akal – tetapi asumsi yang masuk akal tidak selalu benar. Sejak masa yang paling awal, kita dapat mengasumsikan bahwa komunitas-komunitas [monastik] berebut posisi, yang bertujuan agar silsilah mereka sendiri dianggap tertinggi. Mereka yang menulis prasasti pada peti-peti jenazah tidak lebih atau kurang berupaya membuat catatan historis yang tepat daripada mereka yang menyusun kronologis yang telah diperbaiki.

Kita mengetahui bahwa posisi para sesepuh terkemuka dalam daftar silsilah tidak konsisten. Contoh yang terkenal adalah Majjhantika. Dalam teks Pali, ia adalah seorang misionaris Aśoka; tetapi dalam sumber utara ia biasanya digambarkan sebagai seorang murid langsung dari Ānanda. Ini karena ia sezaman dengan Śāṇavāsin dan Upagupta, yang mewakili silsilah Mathura, dan silsilah Kaśmīri harus dimasukkan dalam silsilah Mathura yang telah berkembang, tidak bertepatan dengan patriark Kaśmīr yang menjadi seniornya. Hal yang sama, Samantapāsādikā (dan Sudassanavinayavibhāsā) menggambarkan Siggava dan Caṇḍavajji sebagai guru-guru Moggaliputtatissa. Tetapi sumber Mandarin yang belakangan mengatakan Caṇḍavajji sebagai murid Moggaliputtatissa.[56]

Oleh karena itu, kita dapat menganggap perbedaan dalam perspektif antara teks Pali dan prasasti sebagai, bukan suatu jurang yang tidak dapat didamaikan, tetapi suatu penyajian yang sepenuhnya normal berdasarkan prasangka masing-masing aliran. Mahāvihāravāsin menganggap Moggaliputtatissa sebagai yang menetapkan posisi ajaran mereka, dan oleh sebab itu berharap menempatkannya pada pusat kegiatan misionaris. Hemavata, sangat dipahami, berharap untuk menekankan pentingnya silsilah mereka sendiri, sehingga menempatkan guru-guru mereka pada kedudukan yang lebih tinggi daripada Moggaliputtatissa.

Terdapat satu poin kecil lain yang dapat dirasa memperkuat hubungan antara dua “Moggaliputta”. Dalam Dīpavaṁsa, Aśoka, yang kecewa dengan para pengikut ajaran lain, dikatakan berpikir kapan ia dapat berkesempatan bertemu dengan seorang sappurisa, yang tentu saja ternyata adalah Moggaliputtatissa. Ini adalah istilah kanonik yang terkenal yang menunjuk pada seorang ariya, seseorang yang telah mencapai jalan mulia. Peti penyimpanan relik menunjuk pada para bhikkhu sebagai sappurisa, termasuk sapurisa mogaliputa. Ini menunjukkan setidaknya bahwa istilah tersebut umum digunakan dalam konteks ini, dan mungkin digunakan oleh orang yang sama.

seniya:
Vāchiputa

Kebetulan lain yang mengejutkan dalam nama-nama di Vedisa adalah Vāchiputa, murid (antevāsī) dari Gotiputa, memiliki nama yang sama dengan pendiri aliran Puggalavāda (“Personalis”).[57] Ajaran utama kelompok aliran ini adalah bahwa terdapat suatu “pribadi” (puggala), yang bukan “diri” (attā), dan tidak dapat digambarkan, bukan sama ataupun tidak berbeda dari lima kelompok unsur kehidupan. Kelompok aliran ini tidak secara jelas dibedakan, dan mungkin aliran yang sama yang dikenal menurut [nama] gurunya sebagai “Vātsīputrīya”, dan menurut ajaran utamanya sebagai “Puggalavāda” (sama halnya Mahāvihāravāsin dikenal menurut ajaran mereka sebagai vibhajjavādin, dan menurut pengikut mereka dari para “Sesepuh” sebagai Theriya).

Sementara Puggalavādin dan pendirinya Vātsīputra tidak secara eksplisit disebutkan dalam kisah Konsili Ketiga, ajaran utama mereka secara panjang lebar dibahas dalam Kathāvatthu yang dianggap berasal dari Moggaliputtatissa. Cousins menyatakan bahwa jika Vāchiputa dari prasasti benar-benar pendiri Puggalavādin, maka pasti ia yang berdebat dengan Moggaliputtatissa dalam Kathāvatthu.

Mungkin tampaknya aneh untuk menemukan dua bhikkhu ini diingat sebagai murid dari guru yang sama, karena Moggaliputtatissa adalah seorang anti-personalis yang diakui, yang warisan ajaran utamanya menurut Mahāvihāravāsin dan Sarvāstivādin adalah serangannya terhadap ajaran “pribadi”. Tetapi sedikit pemikiran akan menyatakan bahwa ini kenyataannya sangat mungkin, karena adalah dengan keluarga dan sahabat terdekat kita di mana kita mendapatkan ketidaksepahaman yang paling dalam. Jika aliran-aliran hanya menjauh tanpa ketidaksepahaman ajaran yang jelas, seperti Dharmaguptaka dan Mahāvihāravāsin, tidak akan ada sebab untuk perselisihan. Tetapi hidup berdekatan bersama, berbagi murid dan penyokong awam, perbedaan mungkin menguat, meninggalkan sisa kepahitan yang bertahan sepanjang masa.

Xuan-zang mencatat tradisi bahwa debat tentang “pribadi” muncul dari konflik antara dua orang arahat Devaśarman, penulis Vijñānakāya, dan Gopa di dekat Viśoka.[58] Cousins mencatat kesamaan nama “Gopa” dan “Gotiputa” dalam hubungan ini, keduanya ternyata berasal dari akar kata √gup, dan membayangkan apakah nama sang guru telah digantikan oleh nama muridnya.[59]

Willis dan Lamotte mengabaikan identifikasi Mogaliputa dengan Moggaliputtatissa, dengan Willis berargumen bahwa adalah lebih sederhana menerima bahwa terdapat dua sesepuh dengan nama yang sama. Tetapi jika bukan satu, tetapi tiga nama - Moggaliputta, Vāchiputta, Kontiputta – yang berhubungan dengan kisah Konsili Ketiga muncul dalam prasasti, keseimbangan kemungkinan bergeser, dan kita mungkin harus menetapkan lagi kesimpulan kita.

Kita tidak akan pernah dapat berusaha lebih dari spekulasi yang menggiurkan tentang identitas sebenarnya dari para bhikkhu ini. Dalam kehidupan mereka adalah manusia yang kompleks dan paradoks, tetapi mereka kelihatan bagi kita hanyalah nama, gema dari suatu gagasan, dan pecahan tulang yang telah terbakar. Betapa putus asanya kita meraba-raba pengetahuan yang kita senangi untuk menemukan hanya sebanyak ini. Betapa lebih banyak kita seharusnya menghargai keyakinan di mana prasasti Vedisa mengkonfirmasi kisah [pengiriman] misi. Sangat luar biasa bahwa hanya dua buah bukti prasasti dari masa ini sangat sesuai dengan kisah yang dilestarikan oleh tradisi komentar Vinaya Sinhala.

Sementara kita tidak akan menghabiskan waktu membahas hal ini dengan rinci di sini, terdapat bukti lebih jauh yang cenderung mendukung kisah [pengiriman] misi, walaupun bukti itu tidak sejelas pengakuan Aśoka yang telah mengirimkan “utusan” (atau “misionaris”, dūta) untuk menyelesaikan “kemenangan Dhamma”-nya. Wynne menunjukkan bahwa ini perlu dibedakan dari “menteri Dhamma” Aśoka, yang terlibat dalam kerja sosial sekuler di dalam kerajaan.[60] Para utusan pergi keluar kerajaan dan melakukan pengajaran religius dan etis. Wynne menyimpulkan bahwa ini mungkin adalah para bhikkhu Buddhis dari misi [penyebaran Dhamma]. Akhirnya, kita harus memperhatikan bahwa catatan arkeologis Sri Lanka bersesuaian dengan kronologi, kejadian, dan tempat-tempat yang digambarkan dalam kisah [pengiriman] misi.[61] Tulisan telah ditemukan di Sri Lanka yang berasal dari masa abad ke-5 SM, lebih awal daripada di mana pun di India, dan bahkan legenda pra-Buddhis atas kolonialisasi Sri Lanka pada masa ini kelihatannya memiliki dasar. Sementara ini tidak terdapat referensi definitif pada [pengiriman] misi yang telah ditemukan, bebatuan telah mengatakan jenis kisah yang sama seperti kisah [pengiriman] misi. Pada bab berikutnya kita akan melihat bahwa bukti ini sama kuatnya tidak sesuai dengan kebanyakan bukti tekstual lainnya.

Catatan Kaki Bab 2:

[41] Ālavakadeva dan Sahadeva keduanya ditunjuk sebagai ‘Deva’ dalam Sudassanavinayavibhāsā.

[42] Salah satu misi dianggap telah pergi ke Suvaṇṇabhūmi, yang biasanya diidentifikasikan dengan Thaton di Burma atau Nakom Pathom di Thailand. Tetapi Buddhisme biasanya dikatakan telah masuk ke sana lebih belakangan. Oleh sebab itu, Lamotte menyatakan bahwa kisah [pengiriman] misi tidak mungkin disusun sebelum abad ke-5 M. (Lamotte, History of Indian Buddhism, 298) Tetapi identifikasi Suvaṇṇabhūmi dengan wilayah ini tidak pasti. Dengan demikian masuknya Buddhisme yang belakangan di Asia Tenggara, bahkan jika benar, tidak dapat digunakan sebagai bukti bahwa penyebutan misi Aśoka ke Suvaṇṇabhūmi adalah tidak sesuai dengan sejarah. Lihat diskusi di http://web.ukonline.co.uk/buddhism/tawsein8.htm

[43] Willis, 228

[44] Untuk penyelidikan mendetail, lihat http://sectsandsectarianism.googlepages.com/names%26datesatvedisa.

[45] Pali Vinaya 3.66

[46] Pali Vinaya 1.303

[47] T 1425, 479b23-c23. Translation at Walser, 143-145.

[48] 拘多子。名帝須 (CBETA, T24, no. 1462, p. 682, a15-16) Ini tentu saja hanya perkiraan dari bentuk bahasa India.

[49] 爾時阿育王登位九年。有比丘拘多子。名帝須。病困劇。持鉢乞藥得酥一撮。其病增長命將欲斷。向諸比丘言。三界中慎勿懈怠。語已飛騰虛空。於虛空中而坐。即化作火自焚燒身。入於涅盤。是時阿育王。聞人宣傳為作供養。王念言。我國中比丘。求藥而不能得 (CBETA, T24, no. 1462, p. 682, a15-21)

[50] Jawawickrama, 1986, 173

[51] Willis, 223

[52] Seperti yang disarankan oleh Jawawickrama, 105 catatan 53.1

[53] Jawawickrama, 108

[54] Mahāvaruṇa juga adalah guru pembimbing dari Nigrodha, samanera yang menginspirasi Aśoka menjadi seorang Buddhis.

[55] Lihat http://sectsandsectarianism.googlepages.com/whoiskunti%3F

[56]目揵連子帝須欲涅槃付弟子旃陀跋闍 (CBETA, T49, no. 2034, p. 95, b26-27). Juga dalam CBETA, T55, no. 2154, p. 535, c19.

[57] Cf. Cousins, Person and Self, 86.

[58] CBETA, T51, no. 2087, p. 898, c15-17. Bagi Xuan-zang tampaknya bukan tidak mungkin bagi dua orang arahat tidak sepaham atas ajaran yang mendasar demikian, yang menyatakan bahwa perbedaan dalam ungkapan konseptual Dhamma tidak menyatakan perbedaan dalam realisasi.

[59] Cousins, Person and Self, 86

[60] Wynne, 12-21

[61] Allchin, 156-183

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version