Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

<< < (8/9) > >>

seniya:
Dan sesungguhnya, jika kita mengambil pernyataan yang lebih radikal dengan serius, mereka dengan menyedihkan memangsa dirinya sendiri. Wynne telah menunjukkan bahwa kita sering tidak tahu bagaimana menafsirkan prasasti-prasasti tanpa pengetahuan atas istilah dari teks-teks. Tetapi masalahnya menjadi lebih dalam daripada hal itu. Jika kita melekat pada apa yang “benar-benar kita ketahui”, kita harus menerima bahwa kita tidak memiliki teks-teks yang lebih awal daripada abad pertama Masehi. Dan tidak ada teks-teks Pali sampai beberapa waktu selambat-lambatnya dari itu. Schopen memiliki keyakinan yang mengharukan terhadap keberadaan kanon Pali dari masa Buddhaghosa, karena ia menulis komentar terhadap kanon: tetapi kenyataannya informasi kita tentang Buddhaghosa sedikit, sehingga kita harus benar-benar mendorong penanggalannya kembali belakangan sekali.

Jelasnya, kita tidak dapat menggunakan bukti untuk teks-teks yang belakangan demikian untuk menunjuk kembali pada periode awal. Ini, dan marilah kita mengambil napas yang dalam seraya kita bersiap-siap untuk menganggap ini dengan serius, juga termasuk tata bahasa, yang tanpanya kita tidak dapat membaca bahasa-bahasa India. Tentu saja, para penulis tata bahasa Hindu tidak mungkin dapat dianggap para sarjana yang objektif, sehingga dalam menggunakan mereka kita mungkin secara tidak sadar membaca konsep-konsep belakangan kembali ke tulisan-tulisan awal. Dengan demikian kita bahkan tidak dapat membaca prasasti-prasasti.

Jangankan membacanya, kita bahkan tidak dapat menduga apa yang mereka tulis. Bagaimana pun, terdapat debat yang hidup apakah tulisan Lembah Indus adalah suatu sistem penulisan. Kita mencatat bahwa para sarjana India Hindutva adalah satu-satunya yang menyatakan dapat memecahkan tulisan ini, dan mereka dengan jelas didorong oleh ideologi. Tidakkah hal yang sama dalam kasus prasasti-prasasti awal? Tidakkah banyak para ahli tata bahasa Buddhis/Hindu yang belakangan telah merancang suatu sistem untuk membaca makna ke dalam simbol-simbol sembarang?

Setelah dengan tegas mengorbankan ketergantungan yang aneh pada teks-teks belakangan, kita ditinggalkan dengan tidak adanya gagasan dari apakah, katakanlah sebuah “vihara”. Penyelidikan Fogelin yang patut dicontoh atas situs di Thotlakanda harus sepenuhnya dilakukan kembali, dengan menghapus anggapan yang berbasis teks, dan oleh sebab itu tidak nyata, bahwa kita “mengetahui” apakah sebuah vihara itu.

Dalam kenyataannya, saya mulai semakin meragukan kemungkinan mengetahui apa pun sama sekali dari karya Fogelin. Semua yang saya miliki adalah sebuah buku: ini mengandung ciri-ciri yang saya asumsikan adalah penulisan, dan bahwa saya dapat memecahkan berdasarkan sistem simbol yang telah saya pelajari sejak kecil. Tetapi bagaimanakah Fogelin menggunakan sistem simbol itu untuk menyampaikan makna – apakah makna tidak terwujud dalam interaksi dinamis antara teks dan pembaca? Kemudian apakah Fogelin suatu pencerminan dari sisi gelap saya, suatu bibit tidak sah dari ketakutan dan keraguan saya tentang kebenaran jalan yang saya pilih?

Sesungguhnya, dalam ketiadaan bukti nyata yang sebenarnya, kita lebih baik dianjurkan untuk mengatakan tentang pseudo-Fogelin, penulis yang diakui dari sebuah buku yang tampaknya, berdasarkan penyelidikan yang diakui tidak lengkap, tentang arkeologi Buddhis awal. Mungkin bukti terbaik yang saya miliki untuk keberadaan pseudo-Fogelin adalah kenyataan yang tidak diragukan bahwa saya, Sujato, menulis suatu kritik atas kritiknya terhadap kritik yang lebih tinggi. Tetapi, ketika saya melihat demikian diatus dalam realitas nyata yang gundul sifat penunjukan pada diri sendiri dan pengesahan diri sendiri dari proses kritik yang saya gunakan, saya mulai meragukan bahkan esai saya sendiri.

Karena kepenulisan saya juga suatu asumsi, seseorang yang dapat ditunjukkan berkedip di dalam dan di luar dari keberadaan dengan kecepatan pikiran, tidak terikat dan padat seperti sebongkah batu, keras kepala dan tidak dapat dicela dalam keberadaannya. Saya hanya Sujato ketika saya memikirkannya. Dan dari semua Sujato di dunia sekarang, yang mana saya? Saya percaya saya Sujato yang sama yang menulis beberapa kecaman tajam yang rumit dan polemik tentang masalah-masalah praktek, ajaran, dan teks-teks Buddhis yang menarik bagi dirinya sendiri. Tetapi ini hanyalah ingatan, sama tidak dapat dipercayanya dengan ingatan para bhikkhu yang, menurut dugaan, bertanggung jawab atas pewarisan oral kitab-kitab Buddhis.

Demikianlah, saya terpaksa mengakui, dalam minat ketepatan kesarjanaan, bahwa saya tidak tahu siapakah saya. Oleh sebab itu saya akan menunjuk pada penulis esai ini sebagai pseudo-Sujato. Seperti Zaphod Beeblebrox, yang kacamata hitamnya – pada kedua kepalanya – akan berbalik menjadi gelap gulita pada petunjuk pertama bahaya, pseudo-Sujato akan menutup matanya pada petunjuk pertama ketidakpastian, mengambil perlindungan pada satu hal yang ia benar-benar tahu dengan pasti: kegelapan total dari ketidaktahuan.

Tetapi suatu keragu-raguan kecil tidak akan melepaskan omelannya: apakah poin dari semua ini pada tempat pertama?

Catatan Kaki:

[1] Terdapat beberapa referensi dalam Parivāra yang belakangan, dan dalam salah satu catatan penerbit dalam Cūḷavagga, tetapi ini jelas bukan bagian dari teks kanonik dasar. Saya tidak menyatakan bahwa tidak ada perubahan yang dibuat di Sri Lanka: ada, tetapi ini adalah perubahan kecil pada literatur daratan utama yang ada.

seniya:
Nama-Nama dan Penanggalan di Vedisa
Gotiputa

Willis berusaha untuk menentukan waktu kematian Gotiputa yang mungkin. Dengan menganggap bahwa stupa [Gotiputa] telah dibangun segera setelah kematian murid Gotiputa, dan terdapat 25-30 tahun jarak antara kematian Gotiputa dan kematian muridnya, ia memperkirakan bahwa Gotiputa meninggal sekitar tahun 140 SM. Tetapi anggapan ini sangat lemah. Jika kita menganggap bahwa stupa itu dibangun beberapa dekade setelah kematian murid-muridnya, dan terdapat, katakanlah, 50 tahun antara kematian Gotiputa dan kematian murid terakhirnya, kita dapat menempatkan kematian Gotiputa sebelum tahun 200 SM. Dalam kasus ini ia mungkin adalah seorang bhikkhu senior pada masa Konsili Ketiga.

Kita harus mengakui bahwa satu-satunya penanggalan yang dapat benar-benar kita berikan untuk Gotiputa dan murid-muridnya adalah bahwa mereka pasti hidup di antara periode misi dan pendirian stupa-stupa. Ini diverifikasi sisa-sisa [peninggalan] Aśoka pada situs ini, jadi kehadiran Buddhis mungkin kapan pun sejak saat itu. Willis menyatakan bahwa tampaknya ada suatu celah antara monumen Aśoka dan bangunan-bangunan yang belakangan, yang menghubungkan pembaruan itu pada kedatangan Gotiputa dan Hemavata. Tetapi lagi-lagi, tidak ada keberatan untuk berpikir bahwa Gotiputa mungkin telah hidup di Sāñchī pada masa yang lebih awal, tetapi ketika agama [Buddha] berkembang karena kondisi yang menguntungkan, masyarakat berharap untuk menghormati guru yang mereka lihat kembali sebagai “Cahaya dari Sāñchī”, dan yang relik-reliknya telah mereka pertahankan dengan hati-hati.

Kita harus berhati-hati tidak membuat nyata penemuan arkeologis dengan cara yang sama di mana data tekstual kadangkala diperlakukan. Apa yang dapat kita pastikan melampaui keragu-raguan yang masuk akal dari peti jenazah adalah sedikit, dan kita harus berhati-hati sebelum mengutuknya sebagai penjelasan “tidak mungkin”yang hanya berdasarkan kumpulan anggapan yang berbeda.

Jika saya memahami Willis dengan benar, kronologi Gotiputa bekerja seperti ini. Di sini saya memperluas garis waktu Willis pada penahbisan Gotiputa yang mungkin.

Tahun
SMKejadianAnggapan110Pagar dari stupa 2 di Sāñchī dibangunRelik-relik ditempatkan di dalam stupa tak lama sebelum pagar dibangun.115Kematian murid terakhir GotiputaStupa dibangun segera setelah kematian murid langsung terakhir Gotiputa.140Kematian GotiputaTerdapat kira-kira 25-30 tahun antara kematian Gotiputa dan kematian murid terakhirnya.150Gotiputa tiba di SāñchīIa tinggal di Sāñchī selama 10 tahun agar layak atas gelar “Cahaya dari Sāñchī”200Penahbisan GotiputaGotiputa ditahbiskan sebagai seorang pemuda berusia 20 tahun dan hidup selama 80 tahun penuh.239Kematian Aśoka 242Maklumat perpecahan 245Misi HemavataMisi-misi diorganisir beberapa waktu setelah Konsili Ketiga.251Konsili ketiga 268Penobatan Aśoka
Kita dapat melihat bahwa Willis, dengan mengabaikan kenyataan bahwa Gotiputa mungkin telah ditahbiskan lama sebelum kematiannya, telah berlebih-lebihan dalam menyatakan bahwa terdapat satu abad antara Gotiputa dan para guru Hemavata awal mula. Misi-misi dikirimkan setelah Konsili Ketiga pada tahun ke-17 pemerintahan Aśoka, maka terdapat alasan kuat untuk mempercayai para misionaris hidup beberapa dekade setelah Aśoka. Bahkan dalam anggapan Willis, tidak ada alasan mengapa Gotiputa belum ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu ketika para guru Hemavata awal mula masih hidup. Tetapi mari kita melebarkan anggapan fleksibel Willis yang tidak dapat disangkal sedikit dan melihat di mana kita berakhir.

Tahun
SMKejadianAnggapan120Relik-relik ditempatkan di dalam stupa 2 Sāñchī   Relik-relik ditempatkan di dalam stupa 10 tahun sebelum pagar dibangun.140Kematian murid terakhir GotiputaStupa dibangun 20 tahun setelah kematian murid langsung terakhir Gotiputa. Adalah umum untuk membangun stupa untuk Sang Buddha dan para siswa bahwa berabad-abad setelah mereka wafat.190Kematian GotiputaMurid terakhir Gotiputa meninggal 50 tahun setelah Gotiputa, yaitu ketika usia 70 ia mengambil murid berusia 20 tahun. Ini sepenuhnya normal. 25-30 tahun Willis terlalu pendek, yang mengharuskan Gotiputa berhenti mengambil murid pada usia 50 tahun. Maksimumnya, jika seorang bhikkhu dalam usia 90 tahun mengambil murid samanera, kita mungkin memiliki jarak lebih dari 80 tahun.[1]200Gotiputa tiba di SāñchīIa tinggal di Sāñchī selama 10 tahun agar layak atas gelar “Cahaya dari Sāñchī”239Kematian Aśoka 242Maklumat perpecahan245Misi HemavataMisi-misi diorganisir beberapa waktu setelah Konsili Ketiga.250Penahbisan GotiputaGotiputa ditahbiskan sebagai seorang pemuda berusia 20 tahun dan hidup selama 80 tahun penuh.251Konsili ketiga   268Penobatan Aśoka   

Kita sekarang melihat Gotiputa sebagai yang sepenuhnya sezaman dengan para guru Hemavata awal mula, seseorang yang telah menemani mereka atau mengikuti mereka sebagai seorang bhikkhu muda, dan yang, disebabkan oleh kemashyuran spiritual yang telah terbukti dengan baik, dianggap sebagai bhikkhu yang benar-benar layak membawa tradisi mereka. Tetapi kita belum selesai. Marilah kita melebarkan anggapan itu lebih satu tingkat.

Tahun
SMKejadianAnggapan120Relik-relik ditempatkan di dalam stupa 2Relik-relik ditempatkan di dalam stupa 10 tahun sebelum pagar dibangun.170Kematian murid terakhir GotiputaStupa dibangun 50 tahun setelah kematian murid langsung terakhir Gotiputa.220Kematian GotiputaMurid terakhir Gotiputa meninggal 50 tahun setelah Gotiputa.230Gotiputa tiba di SāñchīIa tinggal di Sāñchī selama 10 tahun agar layak atas gelar “Cahaya dari Sāñchī”239Kematian Aśoka242Maklumat perpecahan245Misi HemavataMisi-misi diatur beberapa waktu setelah Konsili Ketiga.251Konsili ketiga268Penobatan Aśoka280Penahbisan GotiputaGotiputa ditahbiskan sebagai seorang pemuda berusia 20 tahun dan hidup selama 80 tahun penuh.
Maka dengan hanya asumsi yang tepat bahwa Gotiputa hidup sampai usia lanjut; bahwa ia mengambil para murid muda ketika ia seorang yang lanjut usia; dan bahwa terdapat suatu jarak beberapa dekade antara kematian murid terakhirnya dan pembangunan stupa, kita telah mengembalikan waktu penahbisan Gotiputa dengan baik sebelum penobatan Aśoka, yang menyatakan bahwa ia mungkin seorang bhikkhu senior yang terkemuka pada masa Konsili Ketiga.

Pengukuran ini tidak mungkin menghabiskan kemungkinan batas kesalahan dalam penanggalannya. Penanggalan stupa 2 dapat dengan mudah menjadi 10-20 tahun lebih awal. Mungkin terdapat lebih dari 10 tahun antara pembangunan badan stupa dan pagarnya; bahkan sekarang proyek semacam ini memakan bertahun-tahun untuk diselesaikan. Jarak antara kematian para bhikkhu dan penguburan mereka dapat berapa saja: di masa modern terdapat stupa-stupa yang dibangun untuk menyimpan relik-relik yang berusia 2000 tahun.

Kosikiputa

Salah satu dari nama-nama itu adalah seseorang tertentu bernama Kosikiputa/Kosikīputa, di mana Willis menyarankan mungkin adalah metrinomik untuk Sahadeva dari teks Pali. Ini adalah sebuah nama kuno, yang muncul dalam daftar silsilah Bṛhadāraññaka.[2] Dictionary of Pali Proper Names menyebutkan hanya satu Kosikī: “Sebuah sungai, mungkin cabang dari sungai Gangga. Ia mengalir dari Himavā, dan pada tepinya terdapat sebuah hutan mangga tiga league luasnya. J.v.2, 5, 6.” Kita juga menemukan dua referensi pada satu Kosika yang berhubungan dengan wilayah ini: “Sebuah batu di dekat Himavā di mana Nārada Kassapa menjadikannya sebagai tempat pertapaan. Ap.ii.381.” Dan: “Seorang Pacceka Buddha. Ia pernah tinggal di Cittakūta, dan Ukkāsatika, pada satu kelahiran lampau, melihatnya berkelana di sekitar Himavā, menyalakan di sekitarnya pada malam hari seratus obor dan memberinya dana. Ap.ii.414.” Kita dengan demikian dibenarkan dalam melihat penggunaan nama ini, berhubungan erat dengan wilayah Himalaya, seperti juga memiliki implikasi geografis dalam nama ini dari seorang guru aliran Haimavata. Mungkin ini ada di “Kosika” – apa pun itu – yang Haimavata memiliki salah satu pusatnya.

Catatan Kaki:

[1] Terdapat suatu contoh modern. Luang Ta Bua, patriark senior dari tradisi hutan Thai, sekarang sangat sehat di atas usia 90 dan masih sangat aktif. Gurunya, Ajahn Mun, meninggal pada tahun 1949, meninggalkan jangka waktu antara kematian mereka mendekati 60 tahun.

[2] BrhUp 6,5.1: kauśikīputra

seniya:
Aturan-Aturan Sekhiya Dipertimbangkan Kembali
Pachow dan Prebish menganggap perbedaan-perbedaan dalam aturan-aturan sekhiya (pelatihan) dari pāṭimokkha sebagai bukti kekunoan Vinaya Mahāsaṅghika. Prebish lebih jauh berargumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam aturan-aturan sekhiya merupakan faktor yang menentukan dalam menyebabkan perpecahan pertama antara Mahāsaṅghika dan Sthavira. Saya telah di tempat lain memberikan alasan mengapa argumentasi untuk kekunoan Vinaya ini tidak dikembangkan dengan baik. Saya juga telah dengan singkat memberikan alasan saya untuk tidak menganggap argumentasi sekhiya sebagai yang menentukan. Di sini saya akan mempertimbangkan aturan-aturan sekhiya sedikit lebih rinci. Aturan-aturan itu sendiri diterjemahkan dalam Pachow, pp 46 ff; pembahasannya tentang evolusi historis pada halaman 38.

Keberatan yang paling jelas pada teori bahwa sekhiya memainkan peran yang menentukan dalam pembentukan sektarian adalah bahwa aturan-aturan ini sepele. Sekilas pandang pada aturan-aturan itu di bawah ini akan menunjukkan contoh khas aturan-aturan sekhiya. Aturan-aturan itu hanya memperhatikan sikap dan etika, aturan-aturan moral yang lebih serius ditemukan pada bagian-bagian utama dari aturan-aturan pātimokkha. Prebish menentang argumen ini, dengan mengutip John Holt dari bukunya Discipline: The Canonical Buddhism of the Vinayapitaka, pp102-3:

“Aturan-aturan itu lebih dari sekedar etika sosial... motif yang menghasilkan dimasukkannya aturan-aturan itu ke dalam aturan disiplin hanya ini: pengendalian sempurna dari cara bertindak ke dalam membawa pada pengendalian sempurna dan kewaspadaan dari eksepresi luar, bahkan ekspresi publik yang paling tidak penting.”

Holt dan Prebish juga berpendapat bahwa sekhiya, dalam menentukan sikap, dimotivasi oleh keprihatinan bahwa perilaku para bhikkhu adalah sewajarnya menginspirasi bagi komunitas awam, suatu keprihatian yang penting dalam mempertahankan dukungan umat awam yang esensial.

Opini-opini tentang prinsip-prinsip yang memotivasi aturan-aturan sekhiya sangat masuk akal dalam aturan-aturan itu sendiri. Tetapi penerapannya pada kasus saat ini adalah hanya suatu kesalahan logika. Sekhiya adalah ekspresi dari suatu prinsip penting; tetapi aturan-aturan itu bukan ekspresi penting dari prinsip itu. Terlepas dari bagaimana pentingnya kewaspadaan dari tindakan kecil seseorang, mengubah sedikit aturan sekhiya tidak membuat banyak perbedaan. Daftar mana pun dari aturan sekhiya yang saat ini ada akan menunjukkan prinsip-prinsip ini dengan sangat cukup.

Sebuah contoh dapat membuat hal ini jelas. Dalam masyarakat kita, kita menganggapnya sebagai prinsip penting untuk mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh otoritas terpilih yang seharusnya. Tetapi jika dewan daerah saya memutuskan untuk mengubah denda parkir untuk titik Dilarang Menunggu (No Standing) di depan rumah saya dari $30 menjadi $40, ini adalah ekspresi sepele dari prinsip itu. Tidak seorang pun, bahkan tidak para anggota dewan, akan berargumen bahwa perbedaan antara denda ini sangat penting. Walaupun prinsip kepatuhan pada otoritas yang telah terpilih adalah sangat penting, keputusan untuk membuat denda $30 atau $40 tidak akan secara signifikan mempengaruhi prinsip tersebut.

Prebish berargumen bahwa tambahan aturan yang ditemukan dalam Vinaya Theravāda dapat dibandingkan pada “sepuluh poin” dari perselisihan dalam Konsili Kedua. Tentu saja, ini bukanlah karena terdapat hubungan dekat apa pun antara kedua kelompok, tetapi karena beberapa tambahan sekhiya tentang makan, dan beberapa dari sepuluh poin. Ini dalam dirinya sendiri sangat umum untuk dianggap tidak berarti, tetapi Prebish mengambil penelitiannya satu langkah lebih jauh, tampaknya menganggapnya sebagai “sama” relevan bahwa lima poin sisanya berkaitan dengan “masalah tentang individu dan komunal”. (Prebish 194)

Saya tidak terlalu yakin bagaimana ia mencapai kesimpulan ini, karena telah diketahui bahwa masalah utama pada Konsili Kedua adalah apakah para bhikkhu dapat menggunakan uang. Ini dianggap sebagai masalah yang paling serius, dan Yasa mengutip banyak bacaan dari sutta-sutta dan Vinaya untuk mendukung keberatannya pada praktek ini. Masalah serius lainnya yang dibahas pada Konsili Kedua termasuk anumatikappa (apakah diperbolehkan untuk mengakhiri suatu tindakan Sangha yang formal dan mendapatkan persetujuan dari para bhikkhu yang tidak hadir setelahnya), āvāsakappa (apakah diperbolehkan untuk mengadakan saṅghakamma yang terpisah dalam vihara yang sama), dan āciṇṇakappa (apakah diperbolehkan untuk mengikuti contoh para guru seseorang sebelumnya). Ini adalah semuanya masalah yang kompleks dan penting  yang melibatkan prosedur legal utama dari komunitas [Sangha]. Hal ini bukanlah “masalah tentang individu dan komunal” dan tidak ada hubungannya dengan sekhiya, tetapi masalah tentang urutan yang berbeda sepenuhnya.

Marilah kita meninjau kembali informasi yang disediakan oleh Pachow, dalam suatu bentuk yang agak berbeda. Di sini adalah aturan-aturan yang bersesuaian, tetapi saya membalikkan urutannya, dengan memberikan Mahāsaṅghika pertama kali. Ini dalam urutan untuk membandingkan dengan situasi dalam kumpulan aturan yang akan saya pertimbangkan berikutnya. Aturan-aturan yang ditinggalkan dari analisis Pachow dibiarkan kosong.

Sekhiya MahāsaṅghikaSarvāstivāda3. Berjalan dengan tertutupi dengan baik174. Berjalan tanpa mengalihkan pandangan215. Berjalan dengan sedikit suara276.7. Berjalan tanpa penutup kepala   318. Berjalan tanpa melipat jubah9.10. Berjalan tanpa tangan yang bertolak pinggang3511.    12.    13.    14. Duduk dengan tertutupi dengan baik1815. Duduk tanpa melemparkan pandangan2216. Duduk dengan sedikit suara2817.    18. Duduk tanpa penutup kepala3219. Duduk tanpa melipat jubah4120.    21.    22. Duduk tanpa tangan yang bertolak pinggang   36
Pachow melihat bahwa aturan-aturan ini diorganisasikan ulang secara sistematis, yaitu, Mahāsaṅghika memiliki semua aturan, dan kemudian mengulanginya dengan mengubah kata kerja “berjalan” menjadi “duduk”, sedangkan Sarvāstivāda bergantian “berjalan” dan “duduk”. Pachow menyatakan bahwa pengaturan ini lebih baik untuk dihafal dan oleh sebab itu mungkin suatu pengaturan kembali pada pihak Sarvāstivāda. Argumennya, walaupun masuk akal, sangatlah lemah. Sebagai seorang bhikkhu yang telah membaca pātimokkha selama lebih dari sepuluh tahun, saya akan mengatakan bahwa dalam konteks menghafal pātimokkha sebagai suatu keseluruhan, perbedaan dalam dua pengaturan dalam sedikit aturan ini dapat diabaikan.

Marilah kita membandingkan kelompok ini dengan bagian berikutnya dari sekhiya. Di sini adalah aturan-aturan, kali ini dalam versi Pali.

Pali27. Menerima dana makanan dengan hati-hati28. Menerima dana makanan dengan perhatian pada mangkuk29. Menerima dana makanan dengan kari secukupnya30. Menerima dana makanan setinggi pinggir [mangkuk]31. Memakan dana makanan dengan hati-hati32. Memakan dana makanan dengan perhatian pada mangkuk33. Memakan dana makanan dengan tenang34. Memakan dana makanan dengan kari secukupnya
Di sini segera tampak bahwa aturan-aturan dikelompokkan berdasarkan kata kerja operatifnya, yaitu, semua aturan tentang menerima bersama-sama, kemudian semua aturan tentang makan bersama-sama. Ini adalah prinsip pengorganisasian yang sama yang diperhatikan oleh Pachow pada bagian sebelumnya dari Mahāsaṅghika, yang ia anggap sebagai bukti untuk kekunoan struktural dari Mahāsaṅghika. Tetapi persis struktur yang sama dapat ditemukan dalam setiap bagian berikutnya dari Vinaya Pali. Ini menunjukkan bahwa kita tidak dapat menggeneralisasi berdasarkan sedikit aturan. Vinaya Pali mungkin mengorganisasi kembali satu bagian sedangkan membiarkan yang lain tidak tersentuh. Sarvāstivāda mungkin menambah banyak aturan, tetapi membiarkan banyak aturan yang kuno juga, dan seterusnya.

Untuk menyelesaikan sedikit tulisan ini, saya ingin secara singkat menyentuh 12 aturan dari Vinaya Pali yang diidentifikasi Prebish sebagai tambahan bagi Mahāsaṅghika.

Dua yang pertama bahwa seorang [bhikkhu] harus berjalan dan duduk di desa dengan tertutupi dengan baik. Ini, walaupun tidak ada dalam [Vinaya] Mahāsaṅghika Sanskrit, muncul dalam versi Mandarin-nya, (Pachow 218) sehingga argumen apa pun bahwa aturan-aturan ini asing bagi tradisi Mahāsaṅghika adalah sungguh lemah. Hal yang sama berlaku untuk aturan 30 (menerima makanan setinggi pada bibir mangkuk) dan 40 (membuat potongan-potongan [makanan] menjadi bola).

Tiga berikutnya adalah bahwa seorang [bhikkhu] tidak seharusnya duduk di desa dengan menggoyang-goyangkan tubuh, lengan, dan kepala. Ini sebagian dicakup oleh satu aturan dalam Mahāsaṅghika Mandarin (aturan 23 melarang duduk di dalam rumah tanpa menggerakkan tangan dan kaki). Tiga aturan ini berhubungan erat dengan aturan-aturan yang membentuk bagian dari serangkaian pasangan, seperti yang kita lihat di atas, di mana aturan itu diulangi dengan hanya mengubah kata kerja “berjalan” menjadi “duduk”. Dalam kasus ini akan lebih mudah untuk aturan-aturan itu untuk berubah dari satu silsilah ke yang lain hanya karena penyusunan yang sembrono. Ini dapat terjadi dalam kedua cara. Aturan-aturan yang mulanya diterapkan, katakanlah, hanya “berjalan” dapat disisipkan dengan aturan lain yang menunjuk pada “berjalan” dan “duduk”, dan hanya disingkat dalam pemahaman bahwa aturan-aturan ini seharusnya dieja dengan lengkap. Belakangan, ini terlupakan. Dalam banyak kasus, jelas bahwa variasi antara dua kumpulan aturan dapat dengan mudah terjadi melalui kesalahan sederhana dalam sejarah penyusunannya, dan aturan-aturan ini tidak mengandung perbedaan besar antara sekhiya dari Vinaya Pali dan Mahāsaṅghika.

Dua aturan berikutnya adalah bahwa seorang [bhikkhu] harus memakan dana makanan dengan hati-hati (31) dan tidak terhenti (33). Aturan pertama adalah instruksi dasar yang sering diberikan dalam sutta-sutta, dan tidak mungkin mengandung perbedaan sektarian. Yang kedua adalah sebuah frase problematis yang samar-samar. Kata sapadāna berasal dari turunan yang meragukan, dan biasanya diterapkan pada berjalan meminta dana makanan dari rumah ke rumah. Kemunculannya dalam referensi pada makan di sini, sejauh yang saya ketahui, unik, dan aturan itu hanya muncul dalam sedikit pātimokkha.

Aturan berikutnya adalah seorang [bhikkhu] tidak seharusnya meletakkan seluruh tangannya di dalam mulut ketika makan (42). Ini tentunya nasehat yang keras. Seseorang membayangkan apakah ketiadaan aturan ini dari Mahāsaṅghika adalah bukti untuk pengenalan awal dari beberapa bentuk lokal yanganeh dari tantrayoga.

Aturan 54 melarang menjilat bibir. Biasanya sebuah nasehat yang kita dapatkan dari ibu kita, di sini penekanan menjilat lidah oleh Theravādin yang kaku bertentangan dramastis dengan kelalaian menjilat lidah dari Mahāsaṅghika. Sementara kita mungkin menganggap ini sebagai bukti yang tidak terbantahkan dari cara Mahāsaṅghika yang bebas dan mudah, kita melihat bahwa sementara Pali memiliki tiga aturan yang melarang menjilat tangan, mangkuk, dan bibir, Mahāsaṅghika dengan sama memasukkan tiga aturan yang melarang menjilat mangkuk, tangan, dan jari. Tampaknya bahwa aturan-aturan yang terpisah melarang menjilat tangan dan jari sebagai sesuatu yang agak berlebihan, bahkan bagi Theravādin yang keras, sehingga mungkin ini hanyalah kebingungan tekstual oleh Mahāsaṅghika. Kelihatannya reputasi mereka sebagai contoh sempurna penjabar kelalaian menjilat bibir mungkin tidak layak.

Akhirnya, Mahāsaṅghika tidak memiliki sebuah aturan yang melarang seseorang duduk di atas lantai untuk mengajar Dhamma. Lagi-lagi, ini membentuk bagian dari serangkaian aturan yang bersifat rumusan. Yang lain dari aturan-aturan ini, yang dipakai bersama dengan Mahāsaṅghika, adalah bahwa seseorang pada tempat duduk yang rendah tidak seharusnya mengajarkan Dhamma pada seseorang pada tempat duduk yang tinggi. Jelasnya, jika seseorang berada di atas lantai ia akan lebih rendah daripada seseorang pada tempat duduk, sehingga aturan ini akan diimplikasikan bahkan jika tidak eksplisit, dan tidak membuat perbedaan apa pun dalam perilaku sebenarnya.

Demikianlah kita terpaksa untuk menyimpulkan bahwa perbedaan di antara aturan-aturan sekhiya seperti yang dianalisis sejauh ini tidak mengandung bobot atas kesimpulan yang telah dipaksakan padanya. Sementara prinsip-prinsip di mana aturan-aturan itu didasarkan adalah penting, variasi dalam rinciannya di antara aturan-aturan itu tidak mengandung perbedaan yang signifikan baik dalam pelatihan kewaspadaan ataupun dalam kepantasan dari para bhikkhu. Analisis struktural dari Pachow sangat terbatas sehingga tidak dapat digeneralisasi melebihi satu bagian kecil dari dua Vinaya. Aturan-aturan tambahan Prebish dalam Vinaya Pali kebanyakan sebuah masalah sederhana dari variasi penyusunan, dan tidak mengandung perbedaan yang nyata dalam Vinaya-Vinaya.

Karya-Karya yang Disebutkan

Pachow, W. A Comparative Study of the Pratimoksa. Delhi: Motilal Barnasidass, 2000.

Prebish, Charles S. "Saiksa-Dharmas Revisited." Buddhism: Critical Concepts in Religious Studies. Ed. Paul Williams. London: Routledge, 2005. 186-198.

seniya:
Sanghabheda vs. Nikayabheda
Ketika menulis Aliran-Aliran dan Sektarianisme, saya berusaha mempertanggungjawabkan penilaian kritik modern dari bukti sebaik yang saya mampu. Namun demikian, karena ini adalah proyek paruh waktu yang diselesaikan di tengah-tengah jadwal yang padat, adalah sulit untuk mengikuti semuanya. Baru-baru ini saya menemukan sebuah artikel oleh Heinz Bechert: “The Importance of Aśoka's so-called Schism Edict.” (Indological and Buddhist Studies. Ed. L. A. Hercus et al. Canberra: Faculty of Asian Studies (ANU), 1982. 61-68.) Saya telah menunjukkan sejumlah artikel Bechert dalam Aliran-Aliran dan Sektarianisme, dan sebagai tambahan gagasannya telah mendapatkan mata uang tertentu di antara para akademisi, tetapi ini pertama kalinya saya melihat penyajiannya sendiri tentang beberapa gagasan penting, khususnya beberapa yang bertentangan dengan perspektif yang dikembangkan dalam Aliran-Aliran dan Sektarianisme. Demi kepentingan kelengkapan, saya di sini mencatatkan sedikit catatan yang menyampaikan aspek utama dari tulisan kecilnya.

Paragraf pertama tulisan Bechert mengulangi tesisnya, yang mulanya dihubungkan dengan H. Kern, bahwa “sebuah tinjauan kembali dari semua kesaksian yang tersedia tidak meninggalkan keragu-raguan bahwa perkumpulan di Pāṭaliputra adalah sebuah pertemuan kelompok, di mana Mahāsaṅghika tidak termasuk.” Kern menulis pada tahun 1898, dan pernyataannya telah menilai “semua kesaksian yang tersedia” tidak lagi benar. Secara khusus, seperti yang saya tunjukkan dalam Aliran-Aliran dan Sektarianisme, Sudassanavinayavibhāsā menghilangkan referensi penting pada Kathāvatthu dalam Konsili Ketiga. Di sini dan di bawah ini Bechert tampaknya tidak sadar akan hal ini (walaupun kenyataannya bahwa ia menulis lama setelah terjemahan Sudassanavinayavibhāsā telah diterbitkan). Keseluruhan kisah dari teks ini dan Samantapāsādikā tidak membuat referensi pada keberadaan aliran-aliran Buddhisme pada titik ini. Tentu saja, komentar Kathāvatthu menyatakan sifat sektarian dari pertemuan ini, seperti yang diharapkan seseorang: tetapi ini hanya terdiri atas bagian-bagian dari komentar Vinaya yang dikombinasikan dengan bacaan dari Dīpavaṁsa, yang tidak diragukan disusun untuk tujuan mengesahkan Kathāvatthu sebagai naskah sektarian. Sebagai tambahan, Mahāsaṅghika sendiri dalam Śāriputraparipṛcchā mereka menyatakan bahwa perpecahan terjadi belakangan sekali, suatu data yang tidak menyenangkan yang diabaikan Bechert. Dengan demikian terdapat keraguan-raguan apakah perkumpulan di Pāṭaliputra adalah sebuah pertemuan kelompok: kenyataanya ini tampak lebih seperti perkumpulan umum yang memurnikan Sangha, pada masa ketika aliran-aliran belum muncul.

Ini kemudian meminta suatu penilaian ulang atas pernyataan Frauwallner bahwa konsili ini dan konsili yang bersifat memecah belah yang digambarkan dalam tradisi utara (misalnya Vasumitra) adalah dua kejadian yang terpisah yang terjadi pada masa Aśoka. Seperti yang saya argumentasikan dalam Aliran-Aliran dan Sektarianisme, terdapat alasan tepat untuk mempercayai bahwa konsili Vasumitra yang dianggap berasal dari pemerintahan Aśoka murni untuk menyatakan otoritas Aśoka bagi Vaibhāṣika Sarvāstivādin Kaśmīr, dan tidak ada alasan untuk menganggap ini terjadi pada masa pemerintahan ini. (Kenyataannya dari tiga sumber utama untuk konsili ini – Vasumitra, Mahāvibhāṣā, Bhavya III – hanya Vasumitra yang menyebutkan Aśoka). Kita dengan demikian ditinggalkan dengan satu konsili umum pada masa Aśoka, yang tujuan utamanya adalah untuk mengeluarkan orang-orang yang dengan curang berpura-pura dengan jubah.

Bechert menjelaskan bahwa saṅghabheda seperti yang didefinisikan dalam Vinaya adalah selalu masalah ketidaksepahaman antara dua kelompok bhikkhu dengan maksud mengadakan uposatha dalam batas monastik (sīmā) yang sama. Komentarnya tentang saṅgharāji dan saṅghabheda tidak benar sama sekali. Ia mengatakan kedua hasil ini jika terdapat dua sangha dengan minimum empat bhikkhu masing-masing. Dalam kenyataannya, saṅgharāji terjadi dengan jumlah yang lebih kecil – sampai dengan tiga pada satu pihak dan empat pada pihak lain – sedangkan saṅghabheda (secara harfiah, “saṅgharāji dan saṅghabheda”) terjadi dengan empat pada masing-masing pihak; sebagai tambahan, satu bhikkhu membuat pernyataan formal, sehingga total sembilan diperlukan untuk saṅghabheda.

Bechert kemudian melanjutkan untuk berusaha mengembangkan tesis intinya bahwa saṅghabheda adalah selalu secara eksklusif suatu masalah Vinaya. Keberatan yang jelas terhadap hal ini adalah bacaan dasar mengatakan Sangha dapat terbagi berdasarkan Dhamma atau Vinaya. Tetapi Bechert menunjukkan bahwa “dhamma” dalam konteks Vinaya sering menunjuk pada Vinaya. Cukup adil, makna dari kata-kata ini berubah-ubah, dan dhamma sering digunakan dalam pengertian suatu aturan atau prosedur dari Vinaya. Tetapi bacaan biasanya yang dikutip di sini (“Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah dispensasi Sang Guru”) pasti digunakan dalam pengertian umum untuk memaksudkan keseluruhan sasana. Sesungguhnya, seperti di bawah ini bacaan Bechert mengutip, teks Vinaya kemudian menjelaskan dalam lebih rinci landasan-landasan untuk perpecahan: salah menafsirkan apa yang diucapkan Sang Buddha dan mengatakan sebagai yang bukan diucapkan oleh Sang Buddha dan sebaliknya. Ini jelas menunjuk pada perkataan Sang Buddha secara umum. Ini ditegaskan oleh Samantapāsādikā dalam konteks Konsili Ketiga, yang, mengingatkan pada bacaan yang baru saja dikutipkan dari Vinaya, mengatakan bahwa para penganut ajaran lain masing-masing menyatakan pandangan spekulatif (diṭṭhigatāni) mereka sendiri, dengan mengatakan “Inilah Dhamma, inilah Vinaya”. Adalah di sini, pastinya, dalam sebuah komentar Vinaya bahwa kita seharusnya mencari dukungan atas gagasan bahwa perpecahan terjadi hanya disebabkan oleh Vinaya, tetapi ini bukan kasusnya. Kita berada pada dasar yang kuat, maka, dalam mengikuti opini mayoritas Buddhis dari semua aliran dan sepanjang zaman dan menerima bahwa dasar untuk perpecahan dapat berupa ajaran atau disiplin. Ini bukan pembacaan yang tidak beralasan dari sejarah Gereja kr****n ke dalam Buddhisme – karena saya seorang yang tidak memiliki pengetahuan sebenarnya tentang apa yang menyebabkan perpecahan dalam Gereja kr****n, tetapi saya mengetahui sepenuhnya bahwa Buddhis sering menganggap perbedaan ajaran sebagai yang nyata dan penting.

Faktanya tertinggal, dan Bechert sungguh benar untuk menekankan hal ini, bahwa prosedur untuk perpecahan seperti yang sedemikian disajikan dalam Vinaya sebagai suatu permasalahan Vinaya. Ini penting, tetapi pentingnya hal ini bagi sejarah Buddhis harus dengan hati-hati dipertimbangkan. Segera setelah ini adalah bacaan di mana Upāli bertanya kepada Sang Buddha di bawah kondisi apa seseorang yang memecah belah Sangha dihukum di neraka selama satu kappa. Sementara para sarjana barat mungkin cenderung untuk mengabaikan masalah-masalah demikian, hal ini sangat menarik bagi Buddhis yang taat, khususnya jika mereka membayangkan apakah mereka sendiri bersifat memecah belah Sangha. Seperti yang telah diketahui, pernyataan dasar tentang hal ini dibuat dengan referensi pada Devadatta. Definisi di sini pada dasarnya menggeneralisasi kasus ini, dengan mengatakan bahwa perpecahan harus disebabkan oleh seseorang yang dengan sengaja dan dengan jahat salah menafsirkan Dhamma atau Vinaya untuk tujuan menyebabkan suatu perpecahan. Perasaan saya adalah bahwa dengan membuat perpecahan dalam pengertian ini legal dan sempit, fungsi bacaan ini sebagai sebuah “jalan keluar” bagi mereka yang mungkin takut bahwa mereka atau kelompok mereka dapat dianggap bersifat memecah belah. Akibat dari hal ini adalah dalam sejarah aliran-aliran, apa yang kita sebut perpecahan jarang dijelaskan sebagai “saṅghabheda” dalam pengertian ini (pengeculian utama adalah Dīpavaṁsa). Dengan demikian aliran-aliran mungkin tidak muncul karena saṅghabheda. Semua ini berarti bahwa bacaan Vinaya yang berhubungan dengan saṅghabheda adalah terbatas pemakaiannya dalam menentukan bagaimana aliran-aliran benar-benar muncul.

Kita juga perlu mengingat kenyataan bahwa dalam lingkungan Buddhis secara umum, istilah Vinaya seperti saṅghabheda seringkali digunakan dalam cara yang lebih umum, non-teknis, dan bahwa mayoritas Buddhis tidak menemukan masalah dengan hal ini, tetapi banyak ahli Vinaya mungkin meratapi kebingungan yang demikian. Dengan demikian kita tidak dijamin untuk melihat dalam penggunaan Aśoka (atau Dīpavaṁsa, untuk hal itu) suatu indikasi yang jelas bahwa saṅghabheda dalam pengertian Vinaya yang ketat telah benar-benar terjadi. Ini sebagai tambahan pada kenyataan bahwa maklumat Aśoka, tentu saja, tidak pernah menyatakan bahwa suatu perpecahan telah terjadi, maklumat ini menyatakan bahwa suatu kesatuan telah terjadi.

Bechert melanjutkan menunjuk pada Dīpavaṁsa sebagai versi yang paling kuno dari kejadian-kejadian selama [masa] Aśoka. Ini disayangkan, karena Dīpavaṁsa tidak pernah memiliki klaim yang sangat bagus untuk kekunoan, dan yang paling buruk untuk koherensi (bukan berarti bahwa beberapa unsur awal tidak dipertahankan, tetapi bahwa karya yang ada adalah suatu penambalan belakangan, yang baru saja mendahului Buddhaghosa). Tetapi dalam keterangan dari Sudassanavinayavibhāsā Mandarin, jelas bahwa komentar Vinaya Sinhala seharusnya dianggap sebagai suatu sumber yang lebih awal, yang diperbarui sedikit dalam arah sektarian oleh Buddhaghosa. Opini dari mereka yang telah mempelajari hal ini adalah bahwa komentar Sinhala diturunkan selama berabad-abad, karya utama tentangnya tampaknya berhenti sekitar tahun 100 M, dan Buddhaghosa bertindak sebagai penyunting dan penyusun dari banyak bahan yang lebih tua. Seperti yang terjadi, perbandingan antara dua komentar Sinhala adalah satu-satunya cara kita untuk secara langsung menilai gambar ini, dan pada umumnya tampaknya memiliki kebaikan. Ini tentunya tidak beralasan untuk mengabaikan komentar-komentar sebagai buatan dari masa Buddhaghosa – satu-satunya fakta dari keberadaan terjemahan Mandarin mengatakan pada kita sumber utama pasti mendahului Buddhaghosa, dan sifat teks-teks yang demikian rumit adalah berevolusi dengan perlahan-lahan selama waktu yang lama; sebagai tambahan bukti arkeologis mendukung hal ini. Bechert menyatakan bahwa Samantapāsādikā dan Mahāvaṁsa lebih belakangan daripada Dīpavaṁsa, tetapi ia mengabaikan Sudassanavinayavibhāsā. Keberatan utamanya adalah pada kenyataan menentang Mahāvaṁsa, yang saya setujui adalah sebagian besar sebuah pemodelan kembali yang dipolitisasi dari Dīpavaṁsa, dan tidak mungkin menghasilkan bukti apa pun yang independen untuk periode yang awal.

Bechert datang mendekati pada apa yang saya percayai sebagai kunci sejati untuk memahami bacaan berikut; tetapi kemudian ia malu-malu dari kesimpulan yang jelas. Tanggapan saya sendiri ditambahkan.

• “M. Walleser telah mencatat bahwa terdapat suatu kontradiksi dalam catatan Pali ketika ia pertama kali mengatakan bahwa hanya para Thirtika [pertapa non-Buddhis] yang dikeluarkan dari Sangha, dan bukan setidaknya referensi pada pengikut aliran Buddhis yang berbeda.”

Sesungguhnya, ini adalah karakteristik yang dikesampingkan dari seluruh kisah yang membawa pada Konsili Ketiga, dan dalam opini saya pengeluaran para thirtika jelas apa yang dibahas konsili itu.

• “Dalam catatan Konsili, pada pihak lain, Katthāvatthu [sic] dikatakan telah diterbitkan untuk menghancurkan ajaran-ajaran salah.”

Ini mengabaikan, seperti biasanya, fakta yang menentukan bahwa Sudassanavinayavibhāsā menghilangkan penyebutan Kathāvatthu. Jelas penyebutan Kathāvatthu hanyalah suatu penyisipan yang belakangan dan janggal dari sebuah agenda sektarian Buddhis ke dalam kisah yang mulanya tentang pemurnian Sangha dari non-Buddhis.

• Namun Kathāvatthu [sic] tidak menunjuk hanya pada ajaran non-Buddhis, tetapi terutama pandangan-pandangan yang dianut oleh aliran-aliran Buddhis lain. (lihat M. Walleser, Die Sekten des alten Buddhismus, Heidelberg 1927, p. 11)

Ini adalah cara yang sangat menyesatkan dalam meletakkan masalahnya: Kathāvatthu kenyataannya tidak menunjuk pada ajaran salah non-Buddhis sama sekali, tetapi semata-mata pada perselisihan internal di antara Buddhis. Tentu saja, beberapa pandangan mungkin juga dianut oleh non-Buddhis, tetapi istilah-istilah dari debat adalah murni Buddhis.

Bechert menyatakan, sesuai dengan semua sarjana lain yang saya ketahui, bahwa: “Namun demikian, tidak mungkin diragukan bahwa pembentukan nikāya-nikāya telah dimulai dalam suatu periode sebelum pemerintahan Aśoka”. Seperti biasa, tidak ada bukti yang diberikan dalam mendukung pernyataan ini: saya masih berusaha menemukan mengapa para sarjana mempercayai hal ini sepenuh hati. Bukti sebaliknya cukup berkaitan dengan Aliran-Aliran dan Sektarianisme, maka tidak perlu dibahas kembali yang dapat mengotori di sini. Tetapi kita dapat mencatat bahwa tesis inti Bechert – perbedaan antara nikāyabheda dan saṅghabheda – digunakan untuk menjelaskan ketidakcocokan kenyataan yang diasumsikan bahwa walaupun aliran-aliran telah ada, Aśoka tidak membuat referensi pada mereka. Tesis ini paling bagus adalah suatu upaya yang tidak nyaman untuk menyelesaikan perselisihan yang membingungkan dan serius antara kenyataan dan teori: lebih baik hanya menerima bahwa aliran-aliran belum ada dan melihat masalah lenyap dalam kabut.

Satu masalah yang lebih jauh dengan karya Bechert adalah pernyataannya bahwa keberadaan yang berdampingan dari tiga nikāya (Mahāvihāra, Abhayagiri, dan Jetavana) tidak dianggap sebagai suatu masalah di Sri Lanka. Ini mendukung kepercayaannya bahwa “maklumat perpecahan” tidak berusaha menyatukan aliran-aliran Buddhis secara keseluruhan, hanya vihara-vihara individual. Ia menarik kesejajaran dengan tradisi Sri Lanka yang belakangan: Aśoka tidak menemukan keberadaan beberapa nikāya sebagai masalah, dan demikian juga para raja Sri Lanka yang belakangan. Tetapi pernyataannya terperosok pada pernyataan yang dihubungkan pada Parakkamabāhu, baik dalam Mahāvaṁsa maupun dalam prasasti, bahwa upaya-upaya besar para raja kuno untuk menyatukan Sangha telah gagal disebabkan oleh para bhikkhu yang berselisih. Jelas, keberadaan aliran-aliran yang berbeda dirasakan sebagai masalah yang serius. Dan Bechert melanjutkan dengan menyatakan kesejajaran dengan situasi sekarang di Sri Lanka, di mana beberapa nikāya ada berdampingan. Lagi-lagi, ini sangat menyesatkan: nikāya-nikāya Sri Lanka yang ada sesungguhnya terpisah semata-mata pada masalah Vinaya, penahbisan, silsilah, administrasi, dll.; tetapi di masa lalu tiga aliran jelas memiliki teks-teks yang berbeda dan ajaran-ajaran yang berbeda. Benar, kronologi-kronologi menyebutkan perbedaan-perbedaan Vinaya, tetapi hanya sering atau lebih sehingga mereka menyebutkan perbedaan-perbedaan ajaran dan tekstual sebagai yang utama.

Maka sebagai penutup kita harus menyatakan keberatan keras tentang kebanyakan dari analisis Bechert. Namun, perbedaan antara saṅghabheda dan nikāyabheda tetap sesuatu yang sah. Benar bahwa saṅghabheda didefinisikan dalam cara yang sempit, teknis dalam Vinaya. Tetapi kita tidak dibenarkan dalam membaca makna legalistik dari saṅghabheda ini ke dalam setiap konteks di mana kata ini digunakan: mungkin ia digunakan, saat itu seperti saat ini, dalam berbagai pengertian baik teknis maupun percakapan sehari-hari. Munculnya secara historis yang sesungguhnya dari aliran-aliran (nikāyabheda) mungkin terjadi disebabkan oleh berbagai kekuatan, yang di antaranya masalah Vinaya hanyalah salah satu faktor. Dalam mendukung hal ini saya akan menunjukkan bahwa tidak ada aliran-aliran yang diberi nama berdasarkan suatu topik Vinaya, sedangkan kebanyakan mereka diberi nama berdasarkan suatu ajaran, suatu tempat, atau seseorang. Ini pasti memberikan beberapa petunjuk tentang ciri utama yang dirasakan oleh aliran-aliran itu sendiri untuk mendefinisikan komunitas mereka. Kita tidak dapat menerima kesimpulan Bechert bahwa kekuatan dasar di balik pembentukan sektarian adalah perbedaan Vinaya dan bahwa perbedaan ajaran, ketika mereka muncul, datang belakangan. Kenyataan bahwa teks-teks Vinaya memperlakukan perpecahan sebagai masalah Vinaya tidak mengejutkan, dan Bechert jelas salah dalam menyatakan bahwa “dhamma” dalam konteks demikian pasti berarti Vinaya. Kita juga tidak dibenarkan dalam memperlakukan maklumat Aśoka seakan-akan mereka mengabaikan nikāya-nikāya yang ada; alih-alih, nikāya-nikāya belum muncul.

seniya:
Sasaki dan Perpecahan
Shizuka Sasaki menulis serangkaian artikel yang berhubungan dengan aliran-aliran Buddhis pada masa Asoka. Karyanya mengangkat sejumlah sumbangsih pada bidang ini; yang khususnya berharga adalah terjemahannya dari banyak bacaan-bacaan yang sedikit diketahui jika tidak [diterjemahkan] dari teks-teks Mandarin, khususnya Vinaya-Vinaya. Ia mengambil pendekatan yang segar dan kaku pada topik itu, dan menjelaskan banyak poin yang menarik mengenai sifat-sifat perpecahan. Dalam makalah-makalah awal dari rangkaian ia membangun tesis dasarnya, kemudian untuk makalah-makalah ia mengerjakan penerapan dari tesis-tesis ini dalam konteks dari beberapa teks paling penting yang berhubungan; sebagai tambahan, ia menyampaikan kritik yang dibuat dari makalah-makalah awal oleh beberapa sarjana lain. Keseluruhan isi karya ini dengan demikian menjadi sangat kompleks, dan saya hanya akan mengemukakan di sini untuk membahas sedikit dari dalilnya yang lebih dasar.

Bacaan kunci Sasaki diambil dari Vinaya Mahāsaṅghika (dalam terjemahan Mandarin). Ini menceritakan tentang seorang “upāsaka yang berkuasa” yang mungkin ikut campur jika suatu perpecahan kelihatannya dekat. Sasaki menunjukkan bahwa kejadian ini, yang tidak ada bandingannya dalam Vinaya lain mana pun, mengandung persamaan yang mengejutkan dengan [peninggalan] Aśoka yang disebut “Maklumat Perpecahan” (lebih tepat disebut “Maklumat Persatuan”). Poin kunci dari hubungan ini adalah bahwa umat awam yang berkuasa itu ketika ancaman perpecahan tampak, akan membuat para bhikkhu yang keras kepala memakai pakaian umat awam. Tindakan ini dapat dilihat dari dua perspektif yang agak berbeda: ini adalah hukuman yang memalukan, atau ini adalah jaminan sosial yang bermurah hati dari dukungan sosial untuk para mantan bhikkhu. Sasaki berargumentasi bahwa ini adalah yang terakhir, tetapi ini kelihatannya bagi saya bahwa tindakan itu memiliki kerancuan yang menyakitkan dari awalnya.

Sasaki berargumentasi bahwa “upāsaka yang berkuasa” tidak lain daripada Aśoka sendiri. Secara pribadi, saya menemukan argumennya masuk akal, tetapi ini perlu untuk diingat bahwa ini, paling baik, satu hipotesis. Adalah sangat mungkin bahwa “upāsaka yang berkuasa” ditunjuk tidak ada hubungannya dengan Aśoka. Mungkin ini adalah beberapa umat awam lain, atau seorang raja yang lebih awal atau belakangan. Tentu saja, kita tidak memiliki catatan arkeologis tentang orang lain mana pun yang bertindak dengan cara ini, tetapi itu tidak mengatakan pada kita lebih banyak, karena kita tidak memiliki catatan-catatan demikian tentang apa pun dari periode ini. Raja-raja, setidaknya dalam teori, bertindak dari suatu pengertian Dharma, yang berarti bahwa pilihan-pilihan mereka diatur oleh prinsip-prinsip yang abadi, yang salah satunya adalah dukungan atas semua agama. Tindakan-tindakan yang diancamkan (atau dijanjikan) oleh Aśoka dalam Maklumat Persatuan mungkin juga berasal dari pengertiannya tentang tindakan yang sesuai dari seorang raja dalam perlindungan agama, dan oleh sebab itu ia mungkin telah mengikuti suatu teladan kuno. Hal yang sama, segera setelah Aśoka telah membuat tindakannya demikian umum, raja-raja berikutnya dapat mengambil ini sebagai suatu teladan yang sebelumnya dan bertindak sama; kita tahu para raja Sri Lanka melakukan demikian. Kita seharusnya juga mencatat bahwa bacaan Vinaya Mahāsaṅghika murni bersifat hipotesis, dan dengan demikian kita tidak dapat memastikan bahwa ini menunjuk pada kejadian sebenarnya (tentu saja, maklumat juga mengutarakan pengusiran para bhikkhu sebagai sesuatu yang bersifat hipotesis; hanya Komentar dan Kronologi Sinhala yang menunjuknya sebagai benar-benar terjadi).

Sasaki [1] mengecilkan hubungan apa pun antara bacaan-bacaan ini dan kisah Sinhala, mengikuti analisis Bechert (yang telah saya bahas di tempat lain) bahwa “Maklumat Perpecahan” tidak berhubungan dengan Konsili Ketiga. Benar, mereka menunjukkan hal-hal dari beberapa perspektif yang berbeda: tetapi demikian juga kisah-kisah harian tentang kampanye pemilihan AS saat ini, dan kita tidak meragukan bahwa mereka menunjuk pada hal yang sama. Kita hanya memiliki sedikit kisah yang tidak lengkap, dari sumber-sumber yang berbeda secara luas, tentang kejadian-kejadian yang terjadi lebih dari 2000 tahun yang lalu, dan hal yang luar biasa adalah bukan apa yang mereka tidak sepahami, tetapi bahwa kita dapat menemukan kesesuaian dalam mereka sama sekali. Tentu saja, kita tidak dapat membuktikan berbagai kisah menunjuk pada kejadian historis yang sama, tetapi ini kelihatannya bagi saya cara yang berbelas kasih untuk memperlakukan sumber-sumber kita adalah untuk mengakui poin-poin yang berhubungan dan tidak mengharapkan kesepahaman yang menyeluruh. Kenyataanya, keberadaan perspektif-perspektif yang berbeda memungkinkan kita untuk mengembangkan penghargaan yang lebih kaya terhadap kejadian-kejadian itu.

Salah satu alasan Sasaki mengabaikan hubungan antara pengusiran para bhikkhu yang digambarkan dalam Maklumat/Vinaya Mahāsaṅghika dan sumber-sumber Sinhala adalah bahwa ia mengadopsi suatu asumsi interpretif yang paling aneh.

Ini karena bahan-bahan yang menunjuk pada nama kejadian yang diperlukan memasukkan kemungkinan bahwa penulis dari bahan-bahan demikian membuat perubahannya sendiri. Dengan ini dalam pikiran, jelas bahwa penggambaran dalam [Vinaya Mahāsaṅghika] memiliki suatu objektivitas, karena ini tidak menunjuk pada nama mana pun seperti “Aśoka” atau “perpecahan ke dalam aliran-aliran”. (Sasaki 1.200)
Selama hidup saya, saya tidak dapat membayangkan mengapa seseorang akan mengadopsi asumsi yang tidak beralasan, lemah demikian. Dalam kondisi apakah penyebutan nama dari suatu kejadian memiliki hubungan dengan kemungkinan untuk merubah kisah itu? Setiap kisah dapat diubah; atau lebih realistis, setiap kisah memiliki perspektifnya sendiri, yang akan mempengaruhi penyajian fakta. Ini adalah asumsi dasar dari setiap karya tekstual, dan kepura-puraan dari “objektivitas” adalah suatu kemewahan yang tidak dapat lagi kita berikan. Tugas kita adalah lebih untuk membuat sadar jenis-jenis perspektif yang mewarnai penyajian tertentu yang mana pun: adopsi suatu asumsi yang disederhanakan tidak dapat meringankan kita dari keperluan ini. Dalam setiap kasus, ini berarti bahwa Sasaki tidak dapat, tentu saja, bergantung pada kisah-kisah tradisional tentang Aśoka untuk rekonstruksinya atas periode Aśoka, dan dalam kenyataan harus bergantung pada kisah Vinaya Mahāsaṅghika, tidak terlepas dari, tetapi karena ia gagal untuk menyebut Aśoka dalam nama. Tidak perlu berkomentar bahwa seseorang yang tidak bersama-sama mengambil asumsi Sasaki tidak perlu menerima kesimpulannya.

Sasaki mengasumsikan, seperti semua sarjana yang telah saya baca, bahwa setidaknya beberapa aliran muncul sebelum Aśoka, dan oleh sebab itu menerima begitu saja bahwa kita berurusan dengan suatu periode sektarian (seperti judul artikel-artikelnya menjelaskan). Analisisnya atas kisah Vinaya Mahāsaṅghika akan tampak untuk memperkuat hipotesis itu, karena di sini kita memiliki pernyataan yang penting tentang perpecahan yang tidak dipakai bersama di antara aliran-aliran. tetapi penyelidikan yang lebih dekat mengungkapkan bahwa ini tidak demikian. Pertama, seperti yang kita telah lihat hubungan aktual dengan periode Aśoka adalah bersifat hipotesis. Kedua, tidak ada perpecahan sebenarnya yang disebutkan: campur tangan upāsaka yang berkuasa hanyalah satu tahap dalam proses yang membawa menuju perpecahan, dan jika, seperti yang dinyatakan Maklumat, campur tangan itu berhasil, tidak ada perpecahan yang terjadi. Ketiga, ketiadaan bacaan ini dari Vinaya lain (Sthavira) cukup menjelaskan dalam alasan kritis-teks: Sasaki, mengikut Frauwallner (dan bertentangan dengan Prebish) berargumen dengan meyakinkan bahwa Vinaya Mahāsaṅghika tunduk pada penulisan ulang belakangan yang besar. Jelas setiap bahan yang menunjuk pada Aśoka telah menjadi bagian dari penulisan ulang yang demikian, dan ini mengingatkan kita pada fakta yang mengejutkan bahwa Vinaya Sthavira tidak di mana pun menyebut Aśoka. Oleh karenanya penjelasan yang paling masuk akal untuk pemasukan bacaan ini hanya bahwa Vinaya Mahāsaṅghika disusun belakangan. Dan ini membawa pada poin yang keempat, dan yang penting: semua versi dari kejadian ini (Maklumat, Vinaya Mahāsaṅghika, sumber-sumber Sinhala) mengambil sudut pandang tentang Sangha yang tetap [bersatu] setelah para bhikkhu jahat diusir. Ini adalah kisah tentang orang-orang yang bertahan dari suatu pembersihan, bukan kisah-kisah yang bertentangan dari dua kelompok yang telah terpisah. Dalam hal ini, kisah-kisah ini mungkin dapat dibandingkan dengan kisah-kisah yang sejenis dalam semua Vinaya tentang kejadian Konsili Kedua, yang bertentangan dengan pernyataan dari Dīpavaṁsa bahwa kelompok yang dikalahkan bereformasi dan membentuk Mahāsaṅghika. Ini sangat berlawanan dengan kisah sebenarnya dari perpecahan, yang jelas menyajikan perspektif yang berbeda, seperti yang diharapkan seseorang karena mereka berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda. Jika dalam kenyataan, seperti yang saya percaya, semua ketiga sumber ini menunjuk pada kejadian yang sama, ini adalah bukti kuat bahwa tidak ada perpecahan pada saat ini.

Bagian penting utama yang lebih jauh dari tesis Sasaki adalah perbedaan antara saṅghabheda seperti yang digambarkan dalam berbagai Vinaya. Sasaki [2] mulai dengan membandingkan Vinaya Mahāsaṅghika dengan Vinaya Sarvāstivāda. Dalam kedua kasus, seperti dalam Vinaya umumnya, pembahasan perpecahan dipusatkan di sekitar Devadatta.

Vinaya Mahāsaṅghika secara khas menghilangkan latar belakang naratif pada kisah Devadatta dan bahkan memberikan instruksi untuk melihat di tempat lain untuk ini. Ini adalah ciri-ciri khas dari penghapusan bagian narasi dari Vinaya sebagai bagian dari penyusunan belakangannya. Kejadiannya mengambil Sang Buddha yang menyuruh Ānanda untuk pergi menemui Devadatta dan mengundangnya untuk uposatha. Devadatta menolak, dengan meninggalkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan menyatakan bahwa ia akan mempelajari aturan-aturan menurut kehendaknya. Ia dan para pengikutnya kemudian mengadakan uposatha secara terpisah, dengan maksud sengaja untuk menyebabkan suatu perpecahan.

Vinaya Sarvāstivāda menggambarkan Devadatta menyebabkan perpecahan dengan menyatakan “5 poin” (seorang bhikkhu harus mengenakan jubah yang dibuang, hidup berdasarkan dana, makan satu makanan saja, tinggal di luar, dan tidak makan ikan atau daging) tiga kali di tengah-tengah Sangha, dengan mengundang mereka yang ingin mengikuti aturan-aturan ini dengan gembira untuk berdiri dan mengambil tongkat perhitungan. Pada akhirnya ia mengatakan: “Mereka yang tidak menyenangi dalam aturan-aturan ini dan mereka yang tidak dapat menjaga aturan ini harus pergi jauh dari kami. Orang-orang itu harus tinggal terpisah dan tidak seharusnya berbagi kata-kata dengan kami.” Sasaki lebih jauh mengutip suatu definisi dalam Vinaya Sarvāstivāda yang mendefinisikan perpecahan sebagai yang disebabkan oleh salah satu dari 14 sebab, seperti menjelaskan apa yang bukan Dhamma sebagai Dhamma [dst], mengambil tongkat perhitungan dan membuat suatu pernyataan.

Sasaki menyatakan bahwa definisi Mahāsaṅghika berkisar di sekitar penyelenggaraan uposatha sedangkan definisi Sarvāstivāda “tidak berkaitan dengan uposatha sama sekali”. “Jika kita menerima definisi dalam Vinaya Sarvāstivāda, tidak mungkin bagi para bhikkhu yang mengikuti ajaran yang berbeda untuk berdiam bersama. Namun, menurut definisi saṅghabheda dalam Vinaya Mahāsaṅghika, semua bhikkhu masih dapat berdiam bersama walaupun menganut ajaran yang berbeda. Oleh sebab itu, perbedaan dalam definisi dalam dua teks ini sangat mempengaruhi pengelolaan Sangha.” [2.168-9]

Sayangnya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan dalam sejumlah alasan. Yang pertama dan paling jelas adalah bahwa 5 poin dalam Vinaya Sarvāstivāda tidak ada hubungannya dengan ajaran. Mereka adalah lima poin perilaku monastik, yaitu Vinaya. Devadatta tidak meminta para pengikutnya untuk menerima ajarannya, ia meminta mereka untuk mengikuti aturannya. Dengan demikian ia mengatur suatu komunitas baru berdasarkan suatu aturan disiplin yang terpisah, dan oleh sebab itu menyatakan ketidakmungkinan tinggal bersama, yaitu dalam komuni yang sama (samānasaṁvāsa). Secara krusial, ia kemudian mengatakan mereka tidak seharusnya “berbagi kata-kata dengan kita”. Frase itu diterjemahkan oleh Sasaki sebagai “kata-kata bersama” (共語) agaknya bukan berarti para pengikut Devadatta tidak dapat berbicara dengan para pengikut Sang Buddha sama sekali. Ini pasti, dalam kenyataan, menunjuk pada konsep “pembacaan yang bersatu” (ekuddesa), yaitu bahwa semua bhikkhu harus membacakan aturan disiplin mereka bersama-sama. Demikianlah dasar bacaan Vinaya Sarvāstivāda tentang Devadatta menunjuk pada pemisahan atas alasan Vinaya, bukan Dhamma, dan ini jelas melibatkan gagasan berbagi suatu tempat tinggal bersama dan suatu pembacaan bersama, faktor kunci dalam uposatha yang berhasil.

Sasaki tampaknya ingin mengambil dukungan yang lebih jauh untuk gagasannya bahwa bagi Sarvāstivādin perpecahan adalah suatu masalah Dhamma dengan tindakannya mengutip referensi pada “14 sebab”. Ini adalah daftar yang terkenal (rincian persisnya berbeda; sumber Pali biasanya memiliki 18), dan termasuk menunjuk pada apa yang bukan Dhamma sebagai Dhamma, apa yang bukan Vinaya sebagai Vinaya, dst. Teks di sini meringkas daftar yang terkenal itu dan hanya menyajikan pasangan yang pertama, salah menafsirkan Dhamma sebagai bukan-Dhamma, dan bukan-Dhamma sebagai Dhamma. Tentu saja ini boleh sejauh sebagai suatu terjemahan yang diringkas, tetapi ini jelas tidak dalam cara apa pun menyatakan bahwa perpecahan juga tidak disebabkan oleh Vinaya.

Sasaki sendiri mengutip dari Vinaya Sarvāstivāda (atau dari apa yang ia sebut suatu tambahan pada Vinaya itu) suatu bacaan yang menerima definisi perpecahan sebagai mengadakan uposatha yang berbeda. Makalah terakhirnya menambahkan bacaan kedua dalam suatu bagian tambahan dari Vinaya Sarvāstivāda yang juga menyebutkan dua bagian itu. Dan tentu saja definisi ini menjadi standar dalam aliran itu. Ini tampaknya hanya membuat eksplisit perspektif yang dimasukkan dalam bacaan awal tentang Devadatta, dan oleh sebab itu kita tidak dapat menerima tesis Sasaki bahwa Vinaya-Vinaya sendiri memasukkan pemisahan mengambil gagasan perpecahan.

Adalah sulit untuk menarik kesimpulan dari bacaan Vinaya Mahāsaṅghika, karena ia sendiri menyatakan telah meringkas bacaan yang berhubungan. Dengan demikian ketiadaan kisah tentang “5 poin”, dst., mungkin hanya artifak dari sejarah penyusunan teks ini, di mana Sasaki dengan persuasif berargumen telah disusun belakangan. Dan jika kita membandingkan teks yang diringkas dari kisah Vinaya Mahāsaṅghika dengan versi panjang yang ditemukan di tempat lain (seperti yang diinstruksikan teks itu sendiri), kita menemukan bahwa semua kejadian dalam kisah Devadatta, termasuk maksud untuk memecah Sangha berdasarkan “5 poin”, sampai pada Devadatta berjalan dengan kelompoknya yang bersifat memecah belah ke Gayā, persis seperti yang disebutkan dalam kisah Vinaya Mahāsaṅghika (misalnya Pali Vinaya 2.199, Dharmaguptaka Vinaya T. 1428, p909b; lihat terjemahan Sasaki 3.179). Kita dengan demikian dengan sempurna dibenarkan untuk menyimpulkan bahwa Vinaya Mahāsaṅghika sesungguhnya seharusnya memasukkan bacaan ini.

Sasaki melanjutkan berargumentasi [3] bahwa Vinaya Mahāsaṅghika menolak bahwa suatu perbedaan Dhamma bukanlah sebab kekacauan; tetapi ini lagi-lagi tidak tepat. Teks itu hanya menyatakan bahwa ketidaksepahaman demikian atas Dhamma itu sendiri tidak merupakan saṅghabheda, bukan bahwa ini bukan sebab saṅghabheda; dalam hal ini, ini bersesuaian dengan kisah lainnya. Teks kemudian melanjutkan menyatakan perpecahan terjadi ketika kelompok-kelompok yang berbeda berdiam dalam vihara yang sama dan melakukan uposatha secara terpisah. Lagi-lagi ini bersesuaian dengan kisah lainnya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa kisah yang lain membuat ini jelas bahwa pembacaan yang terpisah mengikuti dari ketidaksepahaman atas Dhamma, Vinaya, dst. Kisah Mahāsaṅghika tidak membuat ini eksplisit, tetapi ini muncul hanya sebagai ciri khusus dalam pengungkapannya. Mengapa dua kelompok melakukan pembacaan yang terpisah? Jelasnya mereka harus tidak sepaham tentang beberapa hal yang penting, dan ketidaksepahaman demikian mengenai Dhamma, Vinaya, dst., harus berlanjut pada pembacaan yang terpisah.

Teks-teks kita dengan jelas membedakan antara sebab perpecahan dan poin di mana perpecahan secara legal terjadi. Tetapi ini tampaknya telah hilang dalam Sasaki. Bermaksud untuk menarik tesis-tesis historis yang utama keluar dari sedikit perbedaan dalam huruf tentang cara kerja legal, ia tidak mempertimbangkan bagaimana ini sebenarnya bekerja dalam kehidupan nyata. Perpecahan mana pun pasti adalah hasil dari suatu proses yang panjang, kompleks, seperti yang sesungguhnya digambarkan dalam kisah kanon tentang masalah-masalah dengan Devadatta dan masalah-masalah di Kosambi. Terdapat suatu pengertian yang bertahap dari pengasingan dan pemisahan, yang dapat muncul karena keinginan jahat (seperti dengan Devadatta), semata-mata sifat keras kepala yang bodoh (seperti di Kosambi), atau karena perbedaan nyata dalam keyakinan dan praktek (seperti, yang akan kelihatan, dalam kemunculan aliran-aliran yang belakangan). Pada tingkatan manusiawi dan spiritual, setiap komunitas berhadapan dengan masalah-masalah demikian terus-menerus, dan mereka jarang menjadi cukup serius untuk mengancam perpecahan berkembang. Tetapi dalam kasus-kasus yang jarang kondisi-kondisi pendekatan menjadi ekstrem, dan ancaman perpecahan berkembang. Tanda-tanda peringatan muncul lama sebelumnya, dan biasanya terdapat banyak kesempatan untuk berbalik. Tetapi mereka diabaikan dan yang bersifat memecah belah dengan keras kepala bertahan. Sampai pada titik ini berbagai sebab perpecahan, seperti ketidaksepahaman serius tentang Dhamma dan Vinaya, telah tumbuh dengan kuat. Tetapi pada beberapa titik, keputusan harus dibuat. Tatanan baru dengan jelas berkembang terpisah dari yang lama. Pada titik ini, penanda legal yang berbeda untuk pembentukan suatu komunitas yang memecah belah, di mana definisi perpecahan sebagai penyelenggaraan uposatha-uposatha menjadi relevan.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version