Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

<< < (4/9) > >>

seniya:
Śāripūtraparipṛcchā[123]

Karakter mitos teks ini jelas. Ini adalah sutra yang diragukan keasliannya dari Mahāsaṅghika, yang berlaku sebagai suatu ramalan masa depan, tetapi di mana, seperti semua ramalan religius, sebenarnya adalah tentang kejadian yang terjadi saat itu. Teks ini diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin pada akhir dinasti Tsin Timur (317-420 M), dan mungkin disusun beberapa abad lebih awal dari ini. Kita tergoda untuk menggambarkan ini sebagai suatu “proto-Mahāyāna Vinaya-sutra”, tetapi ini memunculkan sejumlah masalah: meragukan bahwa penulisnya memikirkannya dalam istilah-istilah ini, atau apakah ia bahkan telah mendengar tentang Mahāyāna. Dan sama tidak pastinya apakah ia dianggap berasal dari masa yang lebih awal daripada sutra-sutra Mahāyāna awal; mungkin ini kira-kira sezaman. Penggambaran yang lebih baik mungkin adalah “post- Āgama Vinaya-sutra”.[124]

Bacaan pertama menghadirkan Sang Buddha berdialog dengan Sāriputta, yang memulai dengan memuji Sang Buddha sebagai seorang yang mengajar sesuai dengan kecenderungan mereka. Sejumlah topik dimunculkan: sifat mendengarkan Dhamma; praktek yang benar; meminum alkohol; makanan dan para pendukung awam; raja Bimbisāra disebutkan dalam kaitan ini. Sang Buddha kemudian menekankan Beliau mengajar berdasarkan waktu yang tepat: “Ketika hidup pada masa ini, seseorang harus berlatih sesuai dengan ajaran ini; ketika hidup pada masa itu, seseorang harus berlatih sesuai dengan ajaran itu.”[125] Dengan demikian teks ini mengatur dirinya sendiri untuk suatu kisah di mana dari sudut pandang karakternya adalah di “masa depan”, tetapi dari sudut pandang penulis (dan pembaca) adalah masa lampau, apakah nyata atau khayalan.[126] Sang Buddha melanjutkan:

“Setelah Aku memasuki Parinibbana, Mahākassapa dan yang lainnya harus bersatu, sehingga para bhikkhu dan bhikkhuni dapat menganggap mereka sebagai tempat perlindungan yang besar, sama seperti [sekarang mereka menganggap] Aku, tidak berbeda. Kassapa meneruskan kepada Ānanda. Ānanda meneruskan kepada Majjhantika. Majjhantika meneruskan kepada Śāṇavāsin. Śāṇavāsin meneruskan kepada Upagupta.”

“Setelah Upagupta terdapat raja Maurya Aśoka,[127] seorang luar biasa yang menjunjung tinggi Sutta-Vinaya di dunia. Cucunya bernama Puṣyamitra. Ia naik tahta....” [berikutnya diceritakan kisah Puṣyamitra menghancurkan dan menindas Buddhisme, seperti yang diterjemahkan dalam Lamotte, History of Indian Buddhism, 389-390. Lima ratus Arahat diperintahkan Sang Buddha untuk tidak memasuki Nibbana, tetapi berdiam di alam manusia untuk melindungi Dharma. Ketika Puṣyamitra hendak membakar teks Sutta-Vinaya, Maitreya menyelamatkannya dan menyembunyikannya di surga Tusita.]

“Sifat raja berikutnya sangat baik. Maitreya Bodhisattva menciptakan 300 orang pemuda dengan transformasi, yang turun ke alam manusia untuk mencari jalan Buddha. Mengikuti ajaran Dhamma 500 Arahat, laki-laki dan perempuan di negeri raja ini bersama-sama mengambil penahbisan. Demikianlah para bhikkhu dan bhikkhuni kembali dan berkembang. Para Arahat pergi ke alam surga dan membawa Sutta dan Vinaya kembali ke alam manusia.”

“Pada waktu itu terdapat seorang bhikkhu bernama “Bahuśruta”[128], yang berunding dengan para arahat dan raja, bermaksud untuk membangun sebuah paviliun untuk Sutta-Vinaya-Ku, dengan membuat sebuah pusat untuk mendidik mereka yang bermasalah.[129]

“Pada waktu itu[130] terdapat seorang bhikkhu sesepuh yang menginginkan kemashyuran, selalu ingin memperdebatkan tesisnya sendiri. Ia mengubah Vinaya-Ku, membuat penambahan dan perluasan. Satu yang dikembangkan oleh Kassapa disebut “Mahāsaṅghikavinaya”. Mengambil [bahan lain] dari luar dan menyusun kembali ini dengan sisa [dari teks asli], para pemula tertipu. Mereka membentuk kelompok yang berbeda, masing-masing membahas apa yang benar dan salah.”

“Pada waktu itu terdapat seorang bhikkhu yang meminta penilaian raja. Raja mengumpulkan dua kelompok itu dan menyiapkan tongkat hitungan hitam dan putih. Ia mengumumkan kepada perkumpulan itu: ‘Jika kalian menyukai Vinaya lama, ambillah tongkat hitam. Jika kalian menyukai Vinaya baru, ambillah tongkat putih.’ Pada waktu itu, mereka yang mengambil tongkat hitam berjumlah 10.000 orang, sedangkan hanya 100 yang mengambil tongkat putih. Raja menganggap bahwa semuanya [mewakili] kata-kata Sang Buddha, tetapi karena berbeda dalam hal yang disenangi mereka seharusnya tidak berbagi tempat tinggal yang sama. Mayoritas yang berlatih dalam [Vinaya] yang lama karenanya disebut ‘Mahāsaṅghika’. Minoritas yang berlatih dalam [Vinaya] yang baru adalah para Sesepuh, sehingga mereka disebut ‘Sthavira’. Juga, Sthavira dibuat, aliran Sthavira.”[131]

“300 tahun setelah wafat-Ku, dari perselisihan ini muncul Sarvāstivāda dan Vātsīputrīya [Puggalavādin]. Dari Vātsīputrīya muncul aliran Dharmottarīya, aliran Bhadrayānika, aliran Saṁmitīya, dan aliran Ṣaṇṇagarika. Aliran Sarvāstivādin memunculkan aliran Mahīśāsaka, Moggaliputtatissa [atau Moggali-upatissa; atau Moggala-upadeśa][132] memulai aliran Dharmaguptaka, aliran Suvarṣaka, dan aliran Sthavira. Lagi muncul aliran Kaśyapīya dan Sautrantika.”

“Dalam 400 tahun muncul aliran Saṁkrāntika. Dari aliran Mahāsaṅghika, 200 tahun setelah Nibbana-Ku, karena tesis lain muncul aliran Vyavahāra, Lokuttara, Kukkulika, Bahuśrutaka, dan Prajñaptivādin.”

“Dalam 300 tahun, karena perbedaan dalam pengajaran, dari 5 aliran ini muncul: aliran  Mahādeva, aliran Caitaka, aliran Uttara [śaila].[133] Demikianlah terdapat banyak [aliran] setelah suatu periode kemunduran yang panjang. Jika tidak seperti ini, akan terdapat hanya 5 aliran, yang masing-masing berkembang.”

Di sini perpecahan secara khusus dianggap berasal dari revisi tekstual dari Vinaya. Ini memiliki kemiripan yang mengejutkan dengan kejahatan Devadatta seperti yang digambarkan dalam Mahāsaṅghika Vinaya. Ia dikatakan telah berusaha memecah belah Sangha dengan membentuk aturan Vinaya baru dan menghapuskan yang lama. Sebagai tambahan, mengenai anga berunsur 9 ia menulis kalimat yang berbeda, kata-kata yang berbeda, susunan kata-kata (味 = vyañjana) yang berbeda, makna yang berbeda. Dengan mengubah semua perkataan, ia mengajarkan masing-masing mengikuti pengulangannya sendiri.[134]

Kisah “kejahatan” Devadatta ini tidak ditemukan di tempat lain, dan sehingga kita harus memiliki di sini suatu ikhtisar singkat dari tema Mahāsaṅghika. Tampaknya bahwa pada suatu taraf tertentu Mahāsaṅghika menjadi sangat khawatir dengan perubahan-perubahan yang dibuat dalam teks-teks Vinaya, dan membutuhkan pengesahan mitos untuk mengutuk proses ini dan menguatkan kembali integritas tradisi mereka sendiri. Seperti yang selalu terjadi, kejahatan yang sama terjadi dalam siklus mereka yang tidak terelakkan, apakah yang dilakukan pada masa Sang Buddha oleh Devadatta dalam perpecahan awal, atau dalam masa yang belakangan oleh bhikkhu yang tidak bernama dari Śāriputraparipṛcchā. Ironi besarnya dari teks ini bahwa, sementara ia mencela penambahan yang belakangan atas Vinaya, ia sendiri merupakan suatu teks belakangan yang membahas dan membuat putusan atas Vinaya. Ini mengingatkan kita pada ironi dari Dīpavaṁsa yang mengkritik tata bahasa yang jelek sementara menggunakan tata bahasa yang jelek juga, dan mengkritik penambahan tekstual sedangkan ia sendiri memasukkan suatu penyisipan dari [aliran] utara.

Salah satu dari banyak ciri menarik dari Śāriputraparipṛcchā adalah pengesahan silsilah Mahāsaṅghika melalui daftar standar dari lima guru Dhamma. Śāriputraparipṛcchā tidak sendirian dalam hal ini, karena daftar patriark yang sama dipertahankan dalam pernyataan penutup Fa-xian dalam terjemahannya atas Mahāsaṅghika Vinaya; hanya setelah Upagupta pemisahan menjadi 5 aliran terjadi.[135] Oleh sebab itu tampaknya bahwa Upagupta diambil sebagai tokoh pelengkap dalam mitos Mahāsaṅghika, karena ia juga ada untuk (Mūla) Sarvāstivādin. Karena Upagupta berkaitan erat dengan Aśoka, ini pasti berarti bahwa perpecahan dipahami terjadi setelah masa Aśoka. Ini bukanlah penyimpangan yang sembarangan dari Śāriputraparipṛcchā, tetapi suatu ciri intrinsik dari struktur mitos.

Juga patut diperhatikan bahwa untaian tradisi belakangan yang diulangi menerima gagasan bahwa perpecahan terjadi setelah masa Aśoka dan mengaitkan hal ini dengan perselisihan antara murid-murid Upagupta. Kita telah mencatat hal ini dalam sejarawan Tibet Tāranātha. Sebuah contoh dalam bahasa Mandari adalah Fa-yun, yang mengatakan bahwa:

Kassapa, Ānanda, Majjhantika, [Śāṇa]vāsin,[136] dan Upagupta: lima guru tersebut, yang menembus sang jalan dengan kekuatan penuh, tidak akan memecah ajaran. Namun, Upagupta memiliki lima murid yang masing-masing memegang pandangan tertentu. Sebagai akibatnya, mereka memecah Vinayapiṭaka tunggal yang agung dari Sang Tathāgata dan mendirikan lima aliran: Dharmagupta… Sarvāstivādin… Kaśyapīya… Mahīśāsaka… Vātsīputrīya… Mahāsaṅghika.[137]

Daftar patriark dalam Śāriputraparipṛcchā dimaksudkan untuk melibatkan karisma Upagupta atas nama Mahāsaṅghika. Sementara kita terutama mengetahui Upagupta dari sumber (Mūla) Sarvāstivādin, ini hanyalah mencerminkan kuantitas dari teks-teks ini. Tidak ada alasan mengapa klaim Mahāsaṅghika atas Upagupta lebih lemah daripada aliran lainnya.

Klaim ini pasti muncul pada suatu masa dan tempat ketika kemashyuran dan nama baik Upagupta berkembang luas. Dengan demikian kita harus melihat ke arah timur laut, mungkin Mathura, dan sesungguhnya Mahāsaṅghika memperlihatkan di sana dalam sebuah prasasti di ibukota singa yang berasal dari abad pertama M.[138] Menurut Lamotte,[139] Mathura memiliki beberapa penguasa pro-Buddhis selama periode Suṅga and Śaka, tetapi tidak sampai periode Kuṣāṇa dari abad ke-2 M kota itu menjadi salah satu pusat Buddhis yang utama. Adalah pada periode ini Lamotte menghubungkan penciptaan legenda di sekeliling Upagupta dan Mathura. Maka kita untuk sementara dapat menyatakan bahwa Śāriputraparipṛcchā disusun sekitar periode ini dalam persaingan dengan (Mūla) Sarvāstivādin, untuk memastikan klaim mereka sebagai pewaris sejati silsilah Upagupta. Namun, kesimpulan ini sangat lemah, karena kurangnya sumber.

Penanggalan Śāriputraparipṛcchā ini sesuai dengan kemunculannya dalam teks tertulis. Teks ini pasti disusun pada waktu ketika teks dituliskan; lebih lanjut, suatu periode waktu yang cukup pasti telah terlewati karena teks ini telah dilupakan ketika tradisi oral masih murni oral. Kisah Maitreya menyembunyikan teks di surga Tusita tidak tertahankan mengingatkan kita tentang kisah yang sama yang diceritakan atas sutra Mahāyāna. Ini pasti dimaksudkan untuk membangkitkan keyakinan dalam transmisi ini, tetapi bagi kita orang modern yang skeptis lebih mungkin untuk melakukan kebalikannya. Tampaknya bahwa lenyapnya dan kemunculan kembali teks-teks itu dimaksudkan oleh penulis Śāriputraparipṛcchā untuk menetapkan latar atas ketidaksepahaman terhadap teks-teks itu. Membacanya sebagai sejarah, teks ini menyatakan bahwa terdapat suatu masa kekacauan, dan ketika tradisi membangun dirinya kembali, terdapat suatu kebingungan tentang keadaan sebenarnya dari kitab suci. Ini mengingatkan kita situasi di Sri Lanka, di mana Tipitaka dituliskan kiranya disebabkan oleh ketidakpastian politik.[140]

Pertanyaan menarik yang dimunculkan oleh teks ini adalah, apakah Vinaya yang diperluas itu? Tentu saja, kita tidak mengetahui apakah kejadian yang disebutkan memiliki landasan historis yang langsung, atau apakah ada jejak dari Vinaya yang diperluas masih tersisa. Sebenarnya semua Vinaya yang kita miliki telah diperluas pada satu tingkatan atau yang lain. Jadi akan sia-sia untuk berharap menemukan dalam teks-teks yang ada sekarang jejak-jejak kejadian yang ditunjukkan dalam Śāriputraparipṛcchā.[141]

Śāriputraparipṛcchā mengatakan secara eksplisit suatu perselisihan atas penyusunan tekstual. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa perselisihan yang demikian menyebabkan perbedaan apa pun dalam praktek Vinaya. Terdapat banyak cara suatu teks Vinaya dapat diperluas tanpa secara signifikan mempengaruhi prakteknya. Sebagai contoh, bisa saja memasukkan kisah Jātaka tambahan (seperti dalam Mūlasarvāstivāda Vinaya), atau penambahan pelengkap atau ringkasan (seperti dalam Parivāra dari Mahāvihāra), atau pengorganisasian kembali teks di sekeliling narasi utama (seperti Skandhaka dari Sthavira Vinaya). Dalam pengertian ini perselisihan yang digambarkan dalam Śāriputraparipṛcchā adalah cermin yang berlawanan dengan Konsili Kedua, di mana teks-teks disetujui tetapi prakteknya berbeda.

Akhirnya kita mencatat sesuatu yang jelas: bahwa Śāriputraparipṛcchā tidak menyebutkan Mahādeva di mana pun. Jika ia benar-benar merupakan guru pendiri Mahāsaṅghika, tidak dapat dibayangkan bahwa kisah Mahāsaṅghika tentang perpecahan menghilangkannya sepenuhnya.

Catatan Xuan-zang tentang Negeri-Negeri Barat (646 M)

Kisah berikut diceritakan oleh Xuan-zang dalam catatan perjalanannya yang terkenal. Di Magadha, 100 tahun setelah Nirvana, terdapat 500 orang Arahat dan 500 orang bhikkhu biasa, yang semuanya dihormati oleh Aśoka tanpa perbedaan. Salah satu dari para bhikkhu biasa itu adalah Mahādeva, yang “... berpengetahuan luas. Di dalam kesendirian ia mencari kemashyuran sejati,[142] dan dengan pemikiran yang mendalam menulis sebuah ulasan, yang namun menyimpang dari ajaran....” Ia membujuk Aśoka dengan alasannya, kemudian para bhikkhu yang baik melarikan diri ke Kaśmīr, menolak untuk kembali walaupun Aśoka memohon kepada mereka. Tidak ada penyebutan Mahāsaṅghika ataupun 5 tesis.[143]

Menariknya, dua pemisahan Sangha di sini terjadi dalam jumlah yang sama, tidak memasukkan penjelasan yang sangat umum (yang ditemukan dalam Mahāvibhāṣā dan tempat-tempat lain) bahwa Mahāsaṅghika disebut demikian karena mereka adalah kelompok mayoritas. Cousins menganggap penjelasan atas nama Mahāsaṅghika dan Sthavira sebagai suatu “mitos yang berdasarkan etimologi rakyat. Jelasnya, Mahāsaṅghika adalah kenyataannya suatu aliran yang mengaku mengikuti Vinaya dari Sangha awal yang tidak terpecah, yaitu mahāsaṅgha. Hal yang sama Theravāda hanyalah ajaran tradisional, yaitu ajaran awal sebelum ia menjadi terpecah ke dalam aliran-aliran pemikiran.[144]

Lamotte menyatakan bahwa penggambarkan Mahādeva kedengarannya lebih mirip Sarvāstivāda daripada Mahāsaṅghika, walaupun ini adalah kesimpulan yang lemah, yang lebih banyak bergantung pada penafsiran 名實 sebagai nāmarūpa yang meragukan. Fakta bahwa para penentangnya melarikan diri ke Kaśmīr seharusnya cukup untuk mengembangkan bahwa Xuan-zang tidak menganggap Mahādeva sebagai Sarvāstivādin. Seperti yang dicatat Lamotte, ini jelas adalah sebuah referensi atas pendirian Sarvāstivāda di Kaśmīr, dalam pertentangan yang menyolok dengan kisah normatif misi Kaśmir oleh Majjhantika, yang juga dicatat oleh Xuan-zang. Mitos tidak pernah semata-mata memungkinkan konsistensi untuk masuk dalam jalan cerita yang baik.

Pujian karakteristik terhadap pengetahuan Mahādeva patut dicatat, dan mungkin suatu ingatan dari misionaris Vibhajjavādin dengan nama yang sama. Ini hanyalah suatu langkah kecil dari sini sampai pada pendapat murid Xuan-zang Kuei Chi.

Kuei Chi (Mahāyāna, 632-682 M)

“Mahādeva adalah seorang bhikkhu dengan reputasi yang besar dan kebajikan yang terkemuka, yang merealisasi buah ketika masih muda.” Ia dituduh melakukan tiga perbuatan jahat dan lima tesis karena iri hati.[145] Perhatikan bahwa Mahādeva dituduh melakukan tiga perbuatan buruk ānantarika. Ini sesuai dengan sumber utama untuk Mahādeva “yang jahat”, Sarvāstivādin Mahāvibhāṣā, di mana kita akan bahas terakhir. Kuei Chi menunjukkan pada kita bahwa tidak pernah skandal Mahādeva diterima tanpa pertanyaan di antara mereka yang ingin bertanya.

seniya:
Catatan Kaki Bab 4:

[102] Lamotte (History of Indian Buddhism, 281) yang diikuti oleh Nattier dan Prebish (213) menyebutkan seorang “Bodhisattva Mahādeva”, tetapi raja besar dari masa lampau ini, yang mengembangkan 4 brahmavihāra, dan yang silsilahnya diikuti oleh 84.000 raja, tentu saja adalah Makhādeva yang terkenal dari MN 83/MA 67/EA 50.4 dan berbagai Jātaka, dst.

[103] Guru yang lainnya adalah Moggaliputtatissa dan Majjhantika.

[104] Kisah penahbisan Mahinda adalah sama dalam teks Pali dan Mandarin, kecuali teks Pali mengatakan ketika ditahbiskan ia menjadi seorang Arahat dengan paṭisambhidā, sedangkan teks Mandarin mengatakan ia memiliki tiga pengetahuan dan enam abhiññā. (Variasi yang sama ditemukan dalam penggambaran Siggava dan Caṇḍavajji dalam CBETA, T24, no. 1462, p. 678, b28-29, cf. Samantapāsādikā 1.36.) Hanya belakangan, teks Pali mengatakan ia mempelajari Dhamma-Vinaya seperti yang dibacakan dalam dua Konsili, “bersama-sama dengan komentarnya”, sedangkan teks Mandarin mengatakan ia mempelajari Sutta dan Vinaya Piṭaka, menghafal Tripiṭaka. (CBETA, T24, no. 1462, p. 682, a13-14.) Kedua perubahan ini dapat dilihat sebagai pencerminan suatu pandangan Theravādin: sementara 3 pengetahuan dan 6 abhiññā adalah standar, paṭisambhidā bersifat marginal dalam sutta-sutta dan aliran lainnya, tetapi penting bagi akar-ulasan Theravādin Paṭisambhidāmagga. Penyebutan anakronistik Mahinda menghafal komentar tidaklah perlu dijelaskan.

[105] Terjemahan sebagian ada di http://www.sacred-texts.com/journals/ia/18sb.htm. Untuk pembahasan, lihat Liang.

[106] Lihat Warder, 209; Cousins, The ‘Five Points’ and the Origins of Buddhist Schools.

[107] 餘人染污衣。 無明疑他度 。聖道言所顯。 是諸佛正教 (CBETA, T49, no. 2033, p. 20, a24-25) Syair ini telah direkonstruksi ke dalam bahasa Pali oleh  Cousins (The ‘Five Points’ and the Origins of Buddhist Schools, catatan 84): parūpahāro aññāṇaṁ / kaṅkhā paravitāraṇā / dukkhāhāro ca maggaṅgaṁ / etaṁ buddhānusāsanaṁ (atau buddhānasāsanaṁ)

[108] Dibahas di http://sectsandsectarianism.googlepages.com/thefirstmahasanghikas

[109] Lamotte, History of Indian Buddhism, 276

[110] 謂因四眾共議大天五事不同 (CBETA, T49, no. 2031, p. 15, a20-21)

[111] Misalnya Nattier and Prebish, 205; Roth, vii; Walser, 45; dst.

[112] Lamotte, History of Indian Buddhism, 283

[113]有一出家外道。捨邪歸正。亦名大天 (CBETA, T49, no. 2031, p. 15, b1-2)

[114] Juga dikenal sebagai Tarkajvālā. Bhavya’s life story at Tāranātha, 186-189186-189. Terjemahan dalam Rockhill, 182-196.

[115] Tahun kejadiannya adalah 160 AN, alih-alih 100 atau 116 dalam Vasumitra; tetapi Bareu berpendapat bahwa 160 hanya kebingungan untuk 116.

[116] Xuan-zang: 二即本上座部。轉名雪山部 (CBETA, T49, no. 2031, p. 15, b10-11) Tetapi Paramārtha hanya memiliki Sthavira:二雪山住部。亦名上座弟子部 (CBETA, T49, no. 2033, p. 20, b10). Kumārajīva memiliki: “…Satu disebut Sarvāstivāda, juga disebut aliaran Hetuvāda, Mūlasthavira. Yang kedua disebut aliran Haimavata. 一名薩婆多。亦名因論先上座部。二名雪山部 (CBETA, T49, no. 2032, p. 18, a24-25). Karena kedua terjemahan bahasa Mandarin lainnya memberikan daftar dua nama untuk masing-masing Sarvāstivādin dan Haimavata, sedangkan Kumārajīva memiliki tiga nama untuk Sarvāstivādin dan hanya satu untuk Haimavata, tampaknya Kumārajīva telah salah memberikan nama alternatif Haimavata, Mūlasthavira, kepada Sarvāstivāda.

[117] Lamotte, History of Indian Buddhism, 281

[118] Mungkin patut dicatat bahwa daftar guru dari Mahāsaṅghika Vinaya juga mengakui seorang yang bernama Nāga (尊者龍覺 CBETA, T22, no. 1425, p. 492, c22-23),  sementara tidak ada yang bernama Mahādeva. Tetapi ini daftar ini sangat panjang dan meragukan, dan nama Nāga sangat umum, sehingga ini dianggap remeh.

[119] Rockhill, 1992, 189

[120] Cousins, On the Vibhajjavādins, 158

[121] Tāranātha, 80

[122] Semua yang kita punyai adalah empat ulasan dalam terjemahan bahasa Mandarin: dua karya Abhidhamma yang sama (T1506, T1505), sebuah pembahasan ajaran utama mereka (T1649), dan sebuah ringkasan Vinaya (T1461). Lihat Chau.

[123] 舍利弗問經 , CBETA, T24, no. 1465. Terjemahan bahasa Inggris ada di santipada.googlepages.com.

[124] Dalam kasus apa pun, ini bukanlah suatu “Mahāsaṅghika Abhidharma” seperti yang digambarkan dalam Nattier dan Prebish, 207.

[125] 在此時中應行此語。在彼時中應行彼語 (CBETA, T24, no. 1465, p. 900, a10-11)

[126] Ini membuat kesulitan untuk kerangka waktu narasi, khususnya dalam bahasa Mandarin, maka saya berusaha menggunakan “masa kini secara historis”.

[127] 輸柯 shu-ke = Aśoka

[128] 總聞. Seseorang tertentu bernama Bahuśruta  disebutkan dalam Vasumitra sebagai pemimpin dari tiga atau empat kelompok yang membahas lima tesis di Pāṭaliputta pada masa Aśoka. Karakter pertama di sini tidak secara biasa diterjemahkan sebagai bahu, dapat berarti juga sarva, dst. Sementara kisah ini diceritakan berasal dari masa yang berbeda, ini mungkin bahwa nama-nama ini telah bergabung, atau mungkin hanya orang yang berbeda.

[129]為求學來難. Sebuah frase yang tidak jelas. Sasaki menerjemahkan: “Sebagai akibatnya, ini menjadi sulit untuk datang belajar”. (Sasaki 1998, 31, cf. catatan 43.)

[130] 時. Ini hanyalah karakter biasa yang mewakili kata Pali ‘atha kho…’ atau yang mirip. Sementara Lamotte dan Prebish telah menyatakan kronologi Śāriputraparipṛcchā membingungkan, Sasaki (1998, 33) setuju bahwa teks ini dengan terus terang menempatkan perpecahan setelah Puṣyamitra.

[131]為他俾羅也。他俾羅部 (CBETA, T24, no. 1465, p. 900, b28) Ini tidak jelas; teks ini menggunakan dua istilah untuk Sthavira, terjemahan上座 dan transliterasi 他俾羅.

[132]目揵羅優婆提舍 (mu-qian-luo you-po-ti-she) (CBETA, T24, no. 1465, p. 900, c3). Teks tidak jelas, tetapi tampaknya mengatakan bahwa Moggaliputtatissa hanya memulai aliran Dharmaguptaka, walaupun ini dapat dibaca menyatakan ia juga memulai aliran Suvarṣaka dan Sthavira.

[133]末多利

[134] CBETA, T22, no. 1425, p. 281, c12-21. Translation in Walser, 100.

[135] CBETA, T22, no. 1425, p. 548, b10-15

[136] 和修 bukanlah Vasuki, seperti yang dimiliki Lamotte and CBETA. Śāṇavāsin umumnya dilafalkan sebagai  商那和修 contohnya CBETA, T41, no. 1822, p. 493, a12; CBETA, T14, no. 441, p. 310, c10-11; CBETA, T46, no. 1912, p. 146, a4.

[137] Fa-yun at T 2131, 4.1113a22-b19, translation Lamotte, History of Indian Buddhism, 176

[138] Lamotte, History of Indian Buddhism, 525

[139] Lamotte, History of Indian Buddhism, 331

[140] Walaupun Mahāvaṁsa sendiri mengatakan disebabkan oleh “kemunduran para makhluk”, apa pun itu artinya; ini kelihatannya menunjuk pada gagasan Buddhis yang umum atas kemunduran kemampuan spiritual orang-orang.

[141] Namun demikian, saya mempertimbangkan beberapa pilihan dalam http://sectsandsectarianism.googlepages.com/sekhiyarulesreconsidered

[142] 幽求名實. Lamotte menerjemahkan ini sebagai “seorang penyelidik yang halus atas Nāma-Rūpa (sic)” (Lamotte, History of Indian Buddhism, 280), yang rupanya merasa tidak nyaman dengan penggunaan 實untuk rūpa; kenyataannya istilah ini berarti “kebenaran, kenyataan”, dan biasanya menunjuk pada kata India demikian seperti tattva, bhūta, satya, dravya, paramārtha, dst. Beal menerjemahkan: “Dalam pengasingannya ia mencari kemashyuran sejati” (Beal, 1983, 1.150), yang merupakan suatu ingatan yang menenangkan dari fleksibilitas di mana beberapa frase bahasa Mandarin yang dapat diterjemahkan. Setelah konsultasi dengan Rod Bucknell, saya mengikuti Beal, walaupun ini bergantung pada pembacaan teks sebagai 幽求實名. Tetapi frase ini terlalu tidak pasti untuk diandalkan.

[143] CBETA, T51, no. 2087, p. 886, b14

[144] Cousins, The Five Points and the Origins of the Buddhist Schools, 57.

[145] 遂為時俗所嫉 謗之以造三逆 加之以增五事 (CBETA, T43, no. 1829, p. 1, b3-4) Teks memberikan terjemahan lain dari syair yang merangkum lima poin. (CBETA, T43, no. 1829, p. 1, b4-5)

seniya:
Bab 5
Tiga Perbuatan Salah dan Lima Tesis
SARVĀSTIVĀDIN MAHĀVIBHĀṢĀ DISUSUN, menurut legenda, oleh sekelompok 500 orang Arahat di Kaśmīr pada masa raja Kaniṣka; kenyataannya teks ini pasti setelah Kaniṣka dan setelah abad ke-2 M. penciptaan bangunan besar komentar yang mengagumkan ini menandai upaya yang berani oleh cabang Kaśmīr dari Sarvāstivādin untuk mengembangkan dirinya sebagai aliran utama dari Buddhisme yang mengikuti perlindungan Kaniṣka. Teks ini mencurahkan sebuah bagian yang panjang untuk menjelaskan “5 poin”, yang berikutnya menceritakan kisah Mahādeva:

Setelah menjelaskan 5 pandangan salah dan meninggalkannya, maka bagaimana mereka mengatakan 5 poin ini muncul? Mereka mengatakan 5 poin muncul karena Mahādeva.

Di masa lampau terdapat seorang pedagang dari Mathura. Ia memiliki seorang istri muda yang cantik yang melahirkan seorang putra. Wajahnya sangat menawan, maka mereka menamakannya Mahādeva. Tidak lama setelah itu, sang pedagang membawa banyak kekayaan dan pergi ke sebuah negeri yang jauh. Di sana ia sibuk berdagang selama waktu yang lama tanpa kembali. Ketika putranya tumbuh dewasa ia melakukan hubungan tidak senonoh dengan ibunya. Setelah itu, mendengar bahwa ayahnya sedang kembali, pikirannya menjadi takut. Dengan ibunya ia membuat rencana, kemudian membunuh ayahnya. Demikianlah ia melakukan satu perbuatan salah ānantarika.

Perbuatan itu perlahan-lahan diketahui. Maka dengan membawa ibunya mereka bersiap-siap untuk melarikan diri dan bersembunyi di Pāṭaliputta. Di sana ia bertemu dengan seorang bhikkhu Arahat, yang telah ia berikan persembahan di negerinya sendiri. Lagi ia takut perbuatannya akan terungkap, dan maka ia membuat rencana dan membunuh bhikkhu itu. Demikianlah ia melakukan perbuatan salah ānantarika yang kedua.

Pikirannya menjadi sedih dan khawatir. Belakangan ia melihat ibunya melakukan persetubuhan dengan orang lain. Maka dengan marah ia mengatakan: “Untuk kepentinganmu aku telah melakukan dua kesalahan berat. Kita telah pindah ke negeri lain, dan masih tidak menemukan ketenangan. Sekarang engkau telah meninggalkanku dan menyenangkan dirimu sendiri dengan laki-laki lain! Bagaimana aku dapat menahan perbuatan-perbuatan kotor darimu!” Kemudian dengan cara yang sama ia membunuh ibunya. Demikianlah ia melakukan perbuatan salah ānantarika yang ketiga.

Tetapi tidak ada pemotongan dari kekuatan akar kebajikan karena alasan itu, maka ia menjadi sangat bersedih dan tidak dapat tidur dengan tenang, [dengan berpikir]: “Bagaimana seseorang dapat melenyapkan kesalahan berat diri sendiri?” Ia mendengar didesas-desuskan bahwa para pertapa, putra dari Sakya, mengajarkan sebuah Dhamma untuk melenyapkan kesalahan masa lalu. Kemudian ia pergi ke vihara Kukkuṭārāma. Di luar pintu gerbang ia melihat seorang bhikkhu yang sedang berlatih meditasi berjalan, dengan melantunkan syair berikut:

“Jika seseorang melakukan kesalahan yang berat
Dengan melakukan kebajikan, ia membuatnya berakhir
Kemudian orang itu menyinari dunia
Bagaikan bulan yang muncul dari awan.”

Ketika ia mendengar hal ini, hatinya melompat kegirangan, mengetahui bahwa dengan berlindung dalam agama Buddha ia pastinya akan mengakhiri kesalahan itu. Maka ia mendekati bhikkhu itu dan sangat ingin meminta penahbisan. Kemudian bhikkhu itu, ketika ia melihatnya memohon dengan percaya diri, memberikan penahbisan kepadanya tanpa bertanya dengan hati-hati. Ia mengizinkannya untuk tetap memakai nama Mahādeva dan memberikannya ajaran.

Mahādeva cerdas, sehingga tidak lama setelah penahbisan ia dapat mengulangi dari ingatannya seluruh Tripitaka dalam huruf dan maknanya. Ucapannya pintar dan terampil, sehingga ia dapat mengajar, dan semua orang di Pāṭaliputta tanpa kecuali menganggapnya sebagai pembimbing mereka. Raja mendengar hal ini dan sering memanggilnya ke dalam istana, memberikan persembahan kepadanya dan meminta ajaran Dhamma.

Setelah meninggalkan istana, ia pergi untuk tinggal di vihara. Karena pemikiran tidak lurus, dalam mimpi ia mengeluarkan kekotoran [ejakuasi]. Namun, sebelumnya ia telah dipuji sebagai seorang Arahat. Kemudian ia meminta salah seorang muridnya untuk membersihkan jubahnya yang kotor. Sang murid berkata: “Seorang Arahat telah melenyapkan semua āsava.[146 Jadi bagaimana guru sekarang masih mengizinkan hal ini terjadi?” Mahādeva menjawab: “Ini adalah perbuatan onar Māra Devaputta, kamu tidak seharusnya berpikir ini aneh. Terdapat, secara singkat, dua jenis pengeluaran āsava. Yang pertama adalah kekotoran batin. Yang kedua adalah kekotoran [fisik]. Arahat tidak memiliki kekotoran batin āsava. Tetapi bahkan mereka tidak dapat menghindari mengeluarkan āsava kekotoran. Untuk alasan apakah? Walaupun seorang Arahat telah melenyapkan semua kekotoran, bagaimana mungkin mereka tidak memiliki zat-zat seperti air mata, ludah, dan seterusnya? Lebih lanjut, semua Māra Devaputta terus-menerus iri dan membenci Buddhisme. Ketika mereka melihat seseorang berlatih kebajikan, mereka oleh sebab itu akan mendekat untuk menghancurkannya. Mereka bahkan akan melakukan hal ini kepada para Arahat, inilah sebabnya mengapa aku mengeluarkan kekotoran. Itulah apa yang terjadi, maka sekarang kamu tidak seharusnya memiliki sebab untuk keragu-raguan.” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang pertama”.

Lagi bahwa Mahādeva ingin mengajarkan para muridnya untuk bergembira dalam keterikatan personal [padanya]. Ia dengan salah menetapkan suatu sistem dengan penjelasan perlahan-lahan atas 4 buah pertapaan. Kemudian muridnya bersujud dan berkata: “Semua Arahat memiliki kebijaksanaan pencerahan. Bagaimana mungkin kami semua tidak tahu diri kami sendiri?” Kemudian ia menjawab demikian: “Semua Arahat memiliki ketidaktahuan. Kalian sekarang seharusnya tidak kehilangan keyakinan atas diri kalian sendiri. Dikatakan bahwa semua ketidaktahuan dapat dirangkum dalam dua jenis. Yang pertama adalah yang mengotori; Arahat tidak memiliki ketidaktahuan ini. Yang kedua adalah yang tidak mengotori, di mana Arahat masih memilikinya. Oleh sebab itu kalian tidak dapat mengetahui diri kalian sendiri.” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang kedua”.

Kemudian semua murid kembali dan berkata: “Kami baru saja mendengar bahwa seorang mulia telah melampaui keragu-raguan. Bagaimana kami masih memiliki keragu-raguan tentang kebenaran?” Kemudian lagi ia berkata: “Semua Arahat masih memiliki keragu-raguan. Keragu-raguan ada dua jenis. Yang pertama adalah kecenderungan yang melekat pada keragu-raguan; Arahat telah meninggalkan hal ini. Yang kedua adalah keragu-raguan tentang kemungkinan dan ketidakmungkinan;[147] seorang Arahat belum meninggalkan hal ini. Bahkan para Pacceka Buddha adalah sama dalam hal ini yang juga terjadi pada kalian para murid, walaupun mereka tidak memiliki keragu-raguan yang disebabkan oleh kekotoran yang berkaitan dengan kebenaran. Maka mengapa kalian masih memandang rendah diri kalian sendiri?” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang ketiga”.

Setelah itu para murid itu membaca sutta-sutta, yang mengatakan seorang Arahat memiliki mata kebijaksanaan yang mulia, dan dapat merealisasinya bagi diri sendiri berkaitan dengan pembebasan seseorang. Karena alasan ini mereka berkata kepada guru mereka: “Jika kami adalah Arahat kami seharusnya merealisasi untuk diri sendiri. Dan jadi mengapa [sebagai contoh] guru ketika memasuki kota tidak terlihat memiliki kecerdasan untuk merealisasi sendiri [apa jalan benar yang harus diambil]?” Kemudian lagi ia berkata: “Seorang Arahat masih belajar dari orang lain, dan tidak dapat mengetahui dengan sendirinya. Sebagai contoh, Sāriputta adalah yang terkemuka dalam kebijaksanaan; Mahāmoggallāna adalah yang terkemuka dalam kekuatan batin. Tetapi jika [kata-kata] Sang Buddha tidak diingat, mereka tidak dapat mengetahui hal ini dengan sendirinya.[148] Inilah suatu keadaan ketika seseorang dapat belajar dari orang lain dan kemudian ia sendiri akan mengetahui. Oleh sebab itu mengenai hal ini kalian tidak seharusnya berselisih.” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang keempat”.

Tetapi Mahādeva, walaupun ia telah melakukan sejumlah besar kejahatan, tidak memotong dan menghentikan semua akar bermanfaat sebelumnya. Setelah itu sendirian di tengah malam kesalahannya membebaninya [dengan berpikir]: “Di tempat apakah aku akan mengalami semua penderitaan yang hebat itu?” Merasa tertekan dan takut, ia seringkali berteriak: “Oh, betapa menderitanya!” Murid pelayannya mendengar teriakan itu dan terkejut. Di pagi hari ia berkunjung dan bertanya: “Bagaimana kabar anda hari-hari ini?” Mahādeva menjawab: “Aku sangat berbahagia.” Sang murid lanjut bertanya: “Tadi malam apakah anda berteriak ‘Oh, betapa menderitanya!’” Ia kemudian menjawab: “Aku meneriakkan jalan mulia – kamu tidak seharusnya berpikir ini aneh. Dikatakan bahwa jika seseorang tidak melakukannya dengan penuh kesungguhan meminta penderitaan yang mendatangi [seluruh] kehidupan [seseorang], maka jalan mulia tidak akan muncul. Itulah sebabnya tadi malam aku seringkali berteriak ‘Oh, betapa menderitanya!’” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang kelima”.

Setelah itu, Mahādeva mengumpulkan dan mengajarkan 5 pandangan salah ini. Ia membuat syair ini:

Orang lain membawa [kekotoran untuk mengotori jubah];
Ketidaktahuan; keragu-raguan; ia belajar dari orang lain;
Sang jalan disebabkan oleh suatu ucapan:
Inilah yang disebut dispensasi Buddha yang sejati.[149]

Setelah itu, para bhikkhu sesepuh di vihara Kukkuṭārāma satu demi satu meninggal dunia. Pada hari ke-15, datanglah waktunya untuk uposatha.[150] Pada giliran ini Mahādeva mengambil tempat duduk untuk mengajarkan sila. Kemudian ia membacakan syair yang telah ia buat. Pada waktu itu dalam perkumpulan itu terdapat siswa yang masih berlatih dan sudah tidak berlatih lagi yang sangat terpelajar, kokoh dalam sila, dan mengembangkan jhana. Ketika mereka mendengar ajaran itu, tanpa kecuali mereka terkejut dan keberatan. Mereka mengkritik bahwa hanya orang bodoh yang membuat pernyataan yang demikian, dengan mengatakan: “Ini tidak ditemukan dalam Tripitaka!” Mereka segera membuat kembali syair yang berbunyi demikian:

Orang lain membawa [kekotoran untuk mengotori jubah];
Ketidaktahuan; keragu-raguan; ia belajar dari orang lain;
Sang jalan disebabkan oleh suatu ucapan:
Apa yang kamu katakan bukanlah dispensasi Buddha!

Kemudian sepanjang malam dipenuhi dengan perdebatan yang membuat gaduh, sampai akhirnya kelompok-kelompok muncul. Di dalam kota, berita ini tersebat sampai ke menteri negara. Masalah ini perlahan-lahan menyebar, dan tidak akan berhenti. Raja mendengar dan secara pribadi datang ke vihara, tetapi masing-masing kelompok bersikukuh pada pembacaannya sendiri. Kemudian raja, mendengar hal ini, ia sendiri mulai ragu-ragu. Ia bertanya kepada Mahādeva: “Pihak manakah yang harus kita percayai?” Mahādeva berkata kepada raja: “Dalam kitab aturan dikatakan untuk menyelesaikan masalah, seseorang seharusnya bergantung pada apa yang dikatakan mayoritas.” Raja kemudian memerintahkan kedua kelompok Sangha untuk berdiri terpisah. Kelompok orang mulia, walau tua dalam usia, berjumlah sedikit. Kelompok Mahādeva, walau muda dalam usia, berjumlah banyak. Raja kemudian mempercayai kelompok Mahādeva, karena mereka adalah mayoritas, dan menekan kelompok yang lain. Ketika ini telah diselesaikan ia kembali ke istana.

Pada waktu itu, di vihara Kukkuṭārāma masih ada perdebatan terbuka yang tidak dapat dipadamkan dengan mereka yang berpandangan lain, sampai terdapat pemisahan menjadi dua kelompok: yang pertama adalah aliran Sthavira;[151] yang kedua adalah aliran Mahāsaṅghika.

Pada waktu itu semua orang mulia, mengetahui bahwa komunitas [Sangha] sedang berargumentasi, meninggalkan vihara Kukkuṭārāma, berkeinginan untuk pergi ke tempat lain. Ketika para menteri mendengar hal itu, mereka segera memberitahukan raja. Raja, mendengar hal ini, menjadi marah, dan memerintahkan para menterinya: “Bawa mereka semua ke sungai Gangga. Masukkan mereka ke dalam perahu yang rusak dan apungkan mereka pada arus sungai agar tenggelam. Maka kita akan mengetahui siapakah yang adalah orang mulia, dan siapakah yang adalah orang biasa!” Menteri itu dengan patuh menjalankan perintah raja dan melaksanakannya. Kemudian semua orang mulia naik ke atas dengan kekuatan batin, sama seperti seekor raja angsa yang terbang di udara, dan mereka pergi. Sekembalinya, mereka menggunakan kekuatan batin mereka untuk membawa yang lain di perahu yang bersamanya mereka meninggalkan vihara Kukkuṭārāma, dan yang tidak memiliki kekuatan batin. Menunjukkan keajaiban, mereka membuat berbagai wujud. Kemudian mereka berjalan melalui udara menuju barat laut dan pergi.

Ketika raja mendengar dan melihat hal ini, ia sangat menyesal. Ia pingsan dan jatuh ke tanah. Mereka memerciki air kepadanya, dan barulah ia sadar. Dengan segera ia mengirimkan para pengiring untuk mengikuti [para Arahat] ke mana mereka pergi. Seorang menteri kembali setelah menemukan mereka tinggal di Kaśmīr. Tetapi ketika Sangha diminta untuk kembali, semuanya menolak permintaan yang bersikeras itu. Raja kemudian memberikan seluruh Kaśmīr, membangun sebuah vihara untuk para orang mulia tinggal. Setiap vihara dinamakan sesuai dengan berbagai bentuk yang diubah yang sebelumnya diwujudkan oleh masing-masing [ketika melarikan diri]. Dikatakan bahwa terdapat 500 “Vihara Angsa”. Lagi ia mengirimkan seorang utusan dengan banyak kekayaan untuk mengatur kebutuhan materi mereka dan persembahan. Karena hal ini, tanah tersebut sampai sekarang memiliki banyak makhluk suci yang menegakkan Buddha Dhamma, yang telah diturunkan sejak saat itu sampai saat ini dan masih berkembang.

Setelah raja Pāṭaliputta telah kehilangan komunitas tersebut, membawa yang lain ia pergi memberikan persembahan kepada Sangha di vihara Kukkuṭārāma.

Setelah itu, Mahādeva kadangkala pergi ke dalam kota, di mana terdapat seorang peramal. [Mahādeva] bertemu dengannya; [sang peramal] melihatnya, dan secara diam-diam meramalkan bahwa:[152] “Sekarang putra Sakya ini pasti akan meninggal setelah tujuh hari.” Ketika para murid [Mahādeva] mendengar, mereka menjadi tertekan dan berkata [kepada Mahādeva]. Ia menjawab: “Aku telah mengetahui hal ini sejak lama.” Kemudian ia kembali ke vihara Kukkuṭārāma dan mengirim para muridnya untuk menyebarluaskan dan memberitahukan raja dan semua perumah tangga yang kaya di Pāṭaliputta: “Setelah tujuh hari pengasingan diri aku akan memasuki Nibbana.” Ketika mereka mendengar, raja dan semuanya tanpa kecuali mulai meratap.

Ketika tujuh hari telah tercapai, kehidupannya berakhir. Raja dan semua penduduk kota dipenuhi kesedihan dan penyesalan. Mereka membawa kayu bakar wangi, bersama dengan banyak minyak, bunga dan persembahan. Mereka menumpukkannya di satu tempat untuk membakarnya. Tetapi ketika mereka menyalakan api di sana, api langsung padam. Berkali-kali mereka mencoba dalam berbagai cara, tetapi tidak dapat membuatnya terbakar. Dikatakan bahwa seorang peramal berkata kepada orang-orang: “Ini tidak akan terbakar dengan barang-barang kremasi berkualitas bagus ini. Kita harus menggunakan kotoran anjing dan olesan kotoran.” Setelah mengikuti nasehat ini, api segera menyala, dengan seketika membakar dan menjadi abu. Angin kuat bertiup dan menyebarkan sisa-sisanya. Ini karena ia sebelumnya telah membuat pandangan-pandangan salah tersebut. Semua yang memiliki kebijaksanaan seharusnya tahu melenyapkan pandangan-pandangan salah.[153]

seniya:
Kisah ini hanya ditemukan dalam Mahāvibhāṣā (T 1545) yang besar dan tidak dalam terjemahan Vibhāṣā lebih awal oleh Buddhavarman (T 1546).[154] Tetapi siapa yang dapat menolak kisah yang begitu mengerikan ini? Ini menjadi versi definitif, dan lebih jauh diuraikan, misalnya oleh Paramārtha pada abad keenamm, dan diambil oleh kebanyakan kisah bahasa Mandarin yang belakangan.

Terdapat sejumlah poin yang dibuat di sini. Yang pertama kita melihat bahwa teks ini secara eksplisit dihadirkan sebagai suatu tambahan pada pembahasan dasar tentang 5 poin. Berikutnya kita melihat bahwa kisah ini tampaknya berkembang sebagai mitos asal mula yang sudah berkembang. Seperti mitos lainnya, ini mungkin berasal dari sejumlah sumber. Lamotte melihat kisah Aśokavadāna tentang seorang bhikkhu jahat pada masa Upagupta sebagai sebuah sumber yang mungkin.[155] Kenyataanya kebanyakan unsur dari kisah Mahāvibhāṣā dapat dikumpulkan dari unsur-unsur yang sudah ada yang tersedia bagi para penulis Kaśmīr: kisah Upagupta dan bhikkhu jahat yang tidak bernama dari Aśokavadāna memberikan konteks narasinya; warisan Vibhajjavādin yang digunakan bersama dalam Kathāvatthu tentang lima poin, dalam substansi dan urutannya; Vasumitra untuk detail dasar atas perpecahan. Ini dicampur dengan takaran perkembangan sastra, mitos, dan satire yang bagus: kremasi Mahādeva tampaknya adalah parodi dari kremasi Sang Buddha, dengan api kremasi yang tidak dapat menyala, dst.

Detail sisanya yang tidak dapat saya jelaskan dari sumber India adalah motif pembunuhan ayah oleh putranya yang tidur dengan ibunya. Ini tidak ditemukan, sejauh yang saya tahu, dalam mitos India lebih awal mana pun. Kita mencatat bahwa Kaśmīr di bawah pengaruh Yunani dan kadangkala pemerintahan selama beberapa abad sebelum penyusunan Mahāvibhāṣā, dan bahwa beberapa referensi dalam sumber-sumber Yunani pada pertunjukan drama Yunani di Asia. Teater Yunani telah ditemukan dalam penggalian di dekat Bactria, tetapi belum di Kaśmīr.[156] Kemungkinan berpendapat bahwa motif “Oedipal” ini muncul dari pengaruh Yunani.

Motif untuk pembuatan mitos kelihatannya cukup jelas. Penyusunan Mahāvibhāṣā biasanya dianggap pada masa kekuasaan Kaṇiṣka, walaupun kenyataannya ini pasti telah diselesaikan belakangan, karena namanya disebutkan dalam teks itu sendiri sebagai seorang raja dari masa lampau. Tidak diragukan lagi bahan sumber menjangkau suatu periode waktu yang lama, kebanyakan sekitar 500-600 AN. Penyusunan ini menandai upaya berani oleh Vaibhāṣika Kaśmīr untuk memastikan diri mereka sendiri sebagai aliran doktrinal Buddhisme yang terkemuka, dan mengembangkan penafiran mereka sebagai “ortodoks terhadap yang dinilai oleh lainnya” dan dalam taraf yang besar mereka berhasil. Satu masalah yang jelas adalah bahwa Kaśmīr sangat jauh dari daerah penting Buddhis, dan tidak menonjol dalam kisah Buddhis awal mana pun. Sama awalnya dengan Konsili Kedua (100 AN), Vajjiputtaka memastikan keunggulan mereka karena para Buddha semuanya tinggal di negeri sebelah timur.[157] Dengan demikian Vaibhāṣika, yang mengetahui mereka tidak dapat mengklaim keaslian sebagai suatu aliran dari masa Sang Buddha, memerlukan yang terbaik yang berikutnya: sebuah perkumpulan para Arahat yang langsung terbang dari jantung kerajaan Buddhis terbesar sesungguhnya.

Sementara raja tidak disebutkan namanya, tampaknya mungkin bahwa raja itu adalah Aśoka. Teks ini berbicara dari tradisi yang sama seperti Vasumitra, dan tanpa memperhatikan apakah “Vasumitra” dari ulasan itu sama dengan “Vasumitra” yang dihubungkan dengan penyusunan Mahāvibhāṣā, tampaknya tidak mungkin bahwa para penulis Mahāvibhāṣā yang terpelajar tidak mengetahui kisah Vasumitra. Oleh sebab itu dengan mengikuti Vasumitra mereka mungkin menghubungkan kejadian ini dengan Aśoka.

Isi bacaan ini, walaupun tidak tegas, cenderung mendukung kronologi ini. Sejauh yang kita ketahui, Aśoka adalah satu-satunya raja Pāṭaliputta yang secara eksplisit berhubungan dengan misi ke Kaśmīr. Lebih jauh lagi, ia digambarkan mendanakan semua Kaśmīr dan, selain sifat kepatuhan yang berlebihan, Aśoka mungkin hanya satu-satunya raja Pāṭaliputta yang kekuasaannya menjangkau sangat jauh. Alasan penghilangan namanya tidak sulit ditemukan. Bacaan ini diberikan sebagai suatu pengisahan kembali kisah dari sumber lain. Kiranya dalam konteks aslinya identitas sang raja jelas dan para penulis Mahāvibhāṣā mungkin menganggap ini akan dimengerti. Walaupun demikian, meskipun kita dapat setuju dengan menghubungkan episode ini pada kekuasaan Aśoka, kenyataannya bahwa teks ini tidak memberikan waktunya yang berarti bahwa teks ini tidak dapat menjadi sebuah bukti tersendiri dalam mendukung kronologi Vasumitra.

Walaupun kemarahan raja yang sementara, ia segera menjadi lunak dan secara pribadi membangun vihara-vihara di seluruh Kaśmīr, sedangkan mereka (Mahāsaṅghika) yang masih ada di negeri lama tidak murni dan tidak berharga. Sementara kita tidak seharusnya menganggap polemik ini dengan sangat serius, terdapat suatu taraf kebenaran dalam perkataan pedas ini, karena adalah biasa bahwa tradisi yang telah lama berkembang, khususnya dengan sokongan kerajaan, cenderung menjadi merosot, dan gerakan reformasi memiliki lebih banyak kesempatan untuk hidup, bereksperimen, dan tumbuh di wilayah-wilayah luar.

Kisah penggambaran bagaimana lima tesis dirumuskan memiliki cincin realitas. Dalam pengalaman saya, adalah umum bahwa ketika para bhikkhu tinggal dekat dengan seorang guru besar, mereka biasanya akan meyakini ia adalah seorang Arahat, dan tidak dapat dielakkan pertanyaan-pertanyaan muncul atas perilakunya. Beberapa contoh acak yang telah saya dengar pada masa saya sebagai seorang bhikkhu: Dapatkah seorang Arahat merokok? Dapatkah seorang Arahat berjalan ke dalam aula menepuk seekor anjing dan lupa untuk membersihkan kakinya? Dapatkah seorang Arahat menangis selama kotbah Dhamma? Dapatkah seorang Arahat mengumumkan pencapaiannya – di TV? Dapatkah seorang Arahat menderita Alzheimer? Dapatkah seorang Arahat mengungkapkan dukungan bagi seorang calon perdana menteri yang ternyata sangat korup? Dan bukan tidak mungkin – dapatkah seorang Arahat memiliki mimpi basah? Ini muncul persis dalam jenis konteks kehidupan nyata yang digambarkan dalam kisah Mahāvibhāṣā tentang Mahādeva, dan saya berpikir ini sangat mungkin bahwa kejadian ini mewakili jenis konteks yang di dalamnya pertanyaan-pertanyaan ini muncul dan menjadi kontroversial. Ini sangat sejalan dengan bagaimana familiarnya pertanyaan-pertanyaan ini diperlakukan dalam sutta-sutta:

“Di sini, Sandaka, beberapa guru mengaku mengetahui semuanya dan melihat semuanya, memiliki pengetahuan dan penglihatan sempurna demikian: ‘Apakah aku berjalan atau berdiri atau tidur atau sadar, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tidak terhalangi muncul padaku.’ Ia memasuki sebuah rumah kosong, ia tidak mendapatkan dana makanan, seekor anjing menggigitnya, ia bertemu dengan seekor gajah liar, seekor kuda liar, seekor banteng liar, ia bertanya nama dan marga seorang wanita atau pria, ia bertanya nama sebuah desa atau kota, dan jalan menuju ke sana. Ketika ia ditanyai ‘Bagaimana ini?’ ia menjawab: ‘Aku harus masuk ke sebuah rumah kosong, itulah sebabnya aku memasukinya. Aku harus tidak mendapatkan dana makanan, itulah sebabnya aku tidak mendapatkan dana makanan. Aku harus digigit oleh seekor anjing... Aku harus bertemu dengan seekor gajah liar, seekor kuda liar, seekor banteng liar... Aku harus bertanya nama... Aku harus bertanya jalan menuju ke sana, itulah sebabnya aku bertanya’.”[158]

Situasi-situasi demikian akan umum di India kuno seperti halnya pada saat ini, dan kisah Mahāvibhāṣā dengan realistis menunjukkan bagaimana pertanyaan-pertanyaan demikian dapat muncul dalam konteks lima poin.

Kisah di balik poin 2-4, yang berhubungan dengan jenis pengetahuan yang seharusnya dimiliki seorang Arahat, juga tampak bagi saya adalah suatu konteks yang realistis. Mahādeva membuat suatu sistem di mana ia dapat menilai dan menjamin pencapaian para muridnya, dengan membuat Mahādeva dan para muridnya bergantung satu sama lain dalam sejenis pijatan-ego bersama. Jenis hubungan guru/murid yang simbotik ini adalah umum dalam lingkaran spiritual, dan juga umum dalam Buddhisme modern sehingga ini akan ditemani oleh suatu sistem yang memeriksa berbagai pencapaian konsentrasi atau kebijaksanaan. Tidak jarang, para murid sendiri sebenarnya meragukan klaim ini: saya sendiri dalam situasi ini. Keseluruhan konteks ini memancing pertanyaan terhadap kepercayaan bahwa lima tesis ini dimaksudkan sebagai kritik terhadap Arahat. Penafsiran ini telah dipertanyakan Cousins berdasarkan Kathāvatthu, yang berargumen bahwa apa yang dikritik adalah jenis Arahat tertentu, yaitu mereka yang tanpa kekuatan batin. Mahādeva sendiri dianggap sebagai seorang Arahat; dengan mempertimbangkan karakternya dalam kisah ini, tidak mungkin kasusnya bahwa ia mengkritik dirinya sendiri. Ataupun ia tidak mengkritik para pengikutnya. Ia semata-mata menunjukkan bahwa Kearahatan bukanlah kemahatahuan, tetapi hanya berhubungan dengan pengetahuan spiritual yang membebaskan. Sementara seseorang dapat setuju atau tidak setuju dengan penafsiran tertentu ini, kedudukan umum ini tidak berbeda dari aliran Buddhis lainnya. Juga sering dinyatakan bahwa lima tesis meratakan jalan untuk munculnya cita-cita Bodhisattva dan gagasan belakangan tentang “Arahat yang mementingkan diri sendiri”. Sementara mungkin terdapat sesuatu dalam hal ini, tidak ada petunjuk perkembangan yang demikian pada tahap ini. Masalah sebenarnya tampaknya tidak sebanyak masalah teoritis tertentu dengan Kearahatan, tetapi penyalahgunaan otoritas spiritual. Penyesuaian dengan suatu sistem yang dinilai secara eksternal, alih-alih realisasi dari dalam, menjadi standar di mana perkembangan spiritual dinilai.

Satu poin yang menarik dalam kisah di atas adalah bahwa Mahādeva pertama kali mengumumkan ajaran menyimpangnya dalam bentuk sebuah syair yang dibacakan setelah pembacaan dua minggu sekali dari pāṭimokkha. Adalah kebiasaan para bhikkhu dan bhikkhuni untuk datang bersama-sama setiap dua minggu untuk berbagi dalam pembacaan bersama atas aturan monastik mereka. Dalam Mahāpadāna Sutta, pembacaan ini – walaupun dalam konteks seorang Buddha masa lampau – diberikan sebagai syair-syair yang terkenal yang dikenal sebagai “Ovāda Pāṭimokkha”. Tampaknya mungkin bahwa pembacaan beberapa dari syair-syair yang demikian membentuk pāṭimokkha  pertama. Dalam setiap kasus, ini masih ada – dan sesungguhnya memang masih ada – kebiasaan Sangha untuk menyertakan daftar kering aturan Vinaya dengan beberapa syair inspirasi, yang biasanya termasuk “Ovāda Pāṭimokkha”.[159] Beberapa syair ini berakhir dengan pernyataan yang terkenal bahwa: “Inilah ajaran para Buddha”, dan syair-syair tertentu ini kenyataannya ditemukan dalam teks pāṭimokkha Sanskrit dari Mahāsaṅghika dan Sarvāstivāda.

Sekarang frase ini juga ditemukan dalam syair menyimpang  Mahādeva di atas, di mana ia mengklaim bahwa 5 tesisnya adalah “ajaran para Buddha”. Tampaknya bahwa ia menyusun kembali bentuk syair Ovāda Pāṭimokkha-nya sendiri yang secara teratur dibacakan pada uposatha. Salah satu syair Ovāda Pāṭimokkha yang berakhir dengan “Inilah ajaran para Buddha” dimulai frase Anūpavādo, anūpaghāto (Sarv: (nopavā)d(ī) nopaghātī; Mahāsaṅghika āropavādī aparopaghātī). Anūpavādo sama dalam irama dan bunyinya dengan parūpahāro, kata Pali yang bermakna “penyampaian oleh orang lain”, yang muncul memulai syair Mahādeva. Tetapi parūpahāro (secara harfiah “orang lain-dekat-membawa”) tidak mungkin suatu penggambaran yang jelas atas apakah tesis pertama dari lima tesis itu. Namun penggunaan istilah samar-samar yang demikian akan masuk akal jika ini mulanya disusun untuk peran yang ia mainkan dalam Mahāvibhāṣā: untuk menggantikan sedekat mungkin dengan syair yang terkenal yang dibacakan pada uposatha.

Mungkin ciri yang paling penting dari kisah ini bagi tujuan kita saat ini adalah memperhatikan bahwa Mahādeva dituduh melakukan hanya tiga perbuatan ānantarika. Ini dengan hati-hati dihitung, dan jumlahnya diulangi di tempat lain. Sebuah perbuatan ānantarika adalah salah satu kejahatan yang paling kejam yang dikenal dalam Buddhisme, yang mengakibatkan kelahiran kembali yang tidak terhindarkan di neraka. Tetapi daftar perbuatan ānantarika sangat terkenal dan standar, dan terdiri dari lima jenis. Dua yang tidak disebutkan dalam kisah Mahāvibhāṣā adalah dengan kedengkian meneteskan darah Sang Buddha – yang, mengulang sesuatu yang jelas, tidak mungkin setelah kematian Sang Buddha – dan menyebabkan perpecahan dalam Sangha. Mahādeva, walaupun sering dianggap akar perpecahan, tidak dituduh, bahkan dalam teks yang ingin menghancurkan namanya selamanya, dengan sengaja dan jahat menyebabkan suatu perpecahan dalam pengertian teknis yang diperlukan oleh Vinaya. Ini adalah bukti yang sangat kuat bahwa tradisi ini tidak menganggap bahkan pemisahan Mahāsaṅghika, yang disesali karena itu, merupakan suatu perpecahan dalam pengertian ini.

Mahāvibhāṣā jelas tidak menahan diri menuduh Mahādeva menyebabkan perpecahan berdasarkan rasa kasih sayang yang lembut. Mengapa kemudian ia tidak membuat tuduhan ini? Para penulis Mahāvibhāṣā adalah para bhikkhu terpelajar yang menguasai Vinaya. Bagi mereka telah jelas bahwa, jika kisah mereka benar, secara teknis tidak mungkin bagi Mahādeva untuk menyebabkan perpecahan dalam Sangha. Vinaya dengan tegas menyatakan bahwa perpecahan formal tidak dapat disebabkan oleh seorang umat awam atau bahkan seorang samanera, tetapi hanya oleh seorang bhikkhu yang telah ditahbiskan sepenuhnya. Tetapi Mahādeva telah melakukan tiga perbuatan salah ānantarika, yang menyebabkan tidak mungkin baginya untuk ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu. Teks ini sangat mengetahui hal ini, itulah sebabnya ia perlu mencatat bahwa guru penahbisnya tidak menanyakan dengan hati-hati, seperti yang diperlukan untuk ia lakukan dalam Vinaya. Dengan demikian penahbisannya tidak sah, dan ia tidak mungkin menyebabkan suatu perpecahan.[160]

Mahādeva yang Mana?

Kita telah melihat bahwa Bhavya, Vasumitra, dan Śāripūtraparipṛcchā, tidak ada satu pun yang menyebutkan Mahādeva awal, semuanya menyebutkan Mahādeva II yang belakangan, beberapa generasi setelah Aśoka. Ia dihubungkan dengan pembentukan cabang Mahāsaṅghika yang belakangan di Andhra. Bhavya[161] dan Vasumitra[162] menjelaskan bahwa Mahādeva II adalah seorang pertapa yang berubah keyakinan dari ajaran lain, yang tidak sesuai dengan kisah Mahādeva I.

Lamotte berargumentasi terhadap identifikasi Mahādeva yang baik dari tradisi Pali dengan Mahādeva Mahāsaṅghika berdasarkan dua alasan. Alasan minornya adalah argumen geografis: Mahādeva seorang vibhajjavādin yang dikirim ke Mahiṁsaka, sedangkan Mahādeva reformis Mahāsaṅghika yang belakangan berada di Andhra. Lamotte menolak sebagai upaya “sia-sia”[163] untuk menempatkan Mahiṁsaka di Andhra, tetapi belakangan lebih moderat menganggapnya sebagai “mungkin”.[164] Tentu saja, sumber kanon Pali[165] menempatkan suatu tempat bernama “Mahissati” di dekat Ujjeni di Avanti. Tetapi komentar Pali menempatkan Mahiṁsaka di Andhra.[166] Prasasti-prasasti menegaskan bahwa Mahāvihāra memiliki sebuah cabang atau cabang-cabang di Andhra, dan sebenarnya terdapat referensi pada “komentar Andhra”, sehingga kita dapat menganggap bahwa mereka mengetahui apa yang mereka bicarakan, dan bahwa adalah masuk akal bahwa sumber-sumber komentar Pali menganggap Mahiṁsaka sebagai Andhra, tanpa memperhatikan apa pun yang dikatakan sumber lain. Sesungguhnya, terdapat beberapa prasasti yang menunjuk pada Mahīśāsaka di Andhra, dan prasasti-prasasti di wilayah Andhra yang menunjuk pada “Penguasa Kaliga dan Mahisaka”. Kira-kira 200 km ke barat daya dari Nāgārjunikoṇḍa terdapat suatu petunjuk pada Mahiṣa-visaya.[167] Saya oleh sebab itu menyatakan kita memiliki alasan yang masuk akal untuk menganggap bahwa Mahiṁsaka bisa jadi Andhra, setidaknya dari sudut pandang orang Sri Lanka.

Pertimbangan yang lebih penting adalah poin doktrinal yang jelas: bagaimana mungkin Moggaliputtatissa yang ortodoks, seorang Vibhajjavādin yang diakui, berhubungan dengan seorang pengikut ajaran lain seperti Mahādeva? Tetapi kita baru saja melihat bahwa bukti penyimpangan ajaran sesungguhnya lemah. Tampaknya keseluruhan legenda didasarkan pada Mahāvibhāṣā, yang ditulis 400 tahun atau lebih setelah kejadian tersebut. Dan – saya tahu saya terkesan sombong, tetapi ini adalah suatu poin yang penting – Moggaliputtatissa bukanlah “seorang Vibhajjavādin yang diakui”.  Sementara kita dapat menganggap dirinya sendiri termasuk aliran yang disebut Vibhajjavāda, bukti tidak membuat ini eksplisit. Alih-alih, ia mengatakan Sang Buddha adalah seorang Vibhajjavādin, mungkin berbeda dengan para guru ajaran lain [yang mengajarkan] tentang suatu “diri”, yang bukan suatu ajaran Mahāsaṅghika ataupun di mana pun yang dihubungkan dengan Mahādeva.

Pada akhirnya saya cenderung menerima dua orang Mahādeva. Yang pertama hidup pada masa Aśoka, merupakan salah seorang guru Mahinda, dan pergi dalam suatu misi ke Mahiṁsaka (= Andhra), di mana ia menjadi tokoh utama dalam pembentukan aliran Mahīśāsaka. Yang kedua hidup beberapa ratus tahun kemudian di daerah yang sama, dan merupakan seorang pemimpin lokal dari salah satu subaliran  dari Mahāsaṅghika. Keduanya tidak ada hubungannya dengan perpecahan awal ataupun lima tesis.[168] Kesamaan nama dan wilayah aktivitas membawa pada kebingungan atas keduanya, dan kisah tentang bhikkhu jahat yang tidak bernama dari Aśokavadāna disisipkan untuk menjelaskan bagaimana aliran yang paling ortodoks – dari sudut pandang Sarvāstivādin, yaitu diri mereka sendiri – menjadi terelokasi jauh dari pusat kekuatan Buddhisme awal.

Satu poin lebih jauh yang dapat dipertimbangkan: jika Mahādeva mulanya tidak berkaitan dengan 5 ajaran menyimpang, mengapa namanya muncul? Satu alasan dapat berupa kesamaan dalam nama dan lokasi dengan satu atau dua Mahādeva. Tetapi kita dapat juga bertanya, siapa lagi yang dalam Buddhisme yang dihina dengan cara ini? Hanya ada satu orang bhikkhu dalam sejarah Buddhis yang namanya muncul atas perlakuan seperti ini: Devadatta. Ia berhubungan erat dengan Ajātasattu, raja Magadha, seperti halnya Mahādeva berhubungan dengan Aśoka. Dan Devadatta juga mengusulkan sekumpulan “5 tesis” untuk menimbulkan perpecahan. Terdapat banyak asimilasi mitos yang terjadi antara dua sepasang ini. Tanpa bermaksud memperpanjang poin ini, saya akan mengajukan pertanyaan apakah Mahādeva cocok memerankan peran jahat karena namanya mirip dengan Devadatta.

seniya:
Lima Ajaran Menyimpang

Daftar umum lima tesis adalah:

1. Bahwa air sperma dapat dikeluarkan pada seorang Arahat (oleh makhluk bukan-manusia ketikia ia sedang tidur).
2. Bahwa seorang Arahat dapat memiliki keragu-raguan.
3. Bahwa seorang Arahat dapat memiliki ketidaktahuan.
4. Bahwa seorang Arahat dapat dibawa pada pemahaman oleh orang lain.
5. Bahwa sang jalan dapat dimunculkan dengan meneriakkan “Aho! Betapa menderitanya.”

Tiga yang di tengah yang berhubungan dengan “ketidaksempurnaan” pengetahuan Arahat seperti yang dibahas dengan sangat singkat dan berulang-ulang dalam Kathāvatthu; komentar membahas topik ini secara ringkas. Kathāvatthu menekankan pengetahuan dan kebijaksaanan seorang Arahat dan menyebabkan lawan debat menyetujui bahwa Arahat bukan tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan Dhamma. Ini berlanjut beberapa kali, tetapi teks ini dengan sangat menggoda secara singkat menyampaikan poin yang aktual. Lawan debat bertanya: “Mungkinkah seorang Arahat tidak tahu nama atau silsilah seorang wanita atau pria, jalan yang benar dan salah, nama rerumputan, cabang, dan tanaman hutan?” Ini mengingatkan kita pada klaim Mahādeva bahwa seorang Arahat mungkin tidak memiliki pengetahuan pribadi tentang Sāriputta dan Moggallāna, yaitu rincian sejarah [mereka]. Ini kelihatannya masuk akal, dan tidak ada Theravādin akan memperdebatkannya. Masalahnya akan tampak apakah jenis “ketidaktahuan” ada hubungannya dengan “ketidaktahuan” dalam pengertian spiritual. Tetapi yang menanggapi tidak membuat hal ini eksplisit, hanya menambahkan: “Apakah seorang Arahat tidak memiliki pengetahuan tentang buah pemasuk-arus, yang kembali-sekali, yang tidak-kembali, dan Kearahatan?” “Itu tidak seharusnya dikatakan….” Walaupun pengungkapan yang samar-samar ini, poinnya cukup jelas, bahwa seorang Arahat dapat ragu-ragu tentang masalah-masalah duniawi, tetapi tidak tentang masalah-masalah dalam makna spiritual. Dengan demikian seluruh pertanyaan ini kelihatannya lebih merupakan masalah istilah alih-alih perbedaan pandangan dunia.

Lawan debat mengajukan perbedaan antara seorang Arahat yang “terampil dalam Dhamma-nya sendiri” dan yang “terampil dalam Dhamma orang lain”. Komentar menyamakan yang pertama dengan seseorang yang “terbebaskan melalui kebijaksanaan”, yang terampil dalam “Dhamma-nya sendiri” dari Kearahatan, yang kedua juga adalah “yang terbebaskan dalam kedua cara”, yang juga mahir dalam delapan pencapaian. Mungkin akan lebih jelas untuk melihat hal ini sebagai perbedaan antara seseorang yang mengetahui pikirannya sendiri (seperti dalam Satipaṭṭhāna Sutta) dan seseorang yang membaca pikiran orang lain (seperti dalam Pelatihan Bertahap, misalnya Sāmaññaphala Sutta, dst.). Jika memang demikian halnya, komentar Mahāvihāravāsin, bahkan ketika bersikeras atas sifat tidak bercacat dari Arahat, mengembangkan kerangka konseptual yang pada akhirnya menyebabkan pengikisan yang penting atas status Arahat. Akibat nyata dari proses ini berupa kepercayaan, yang normatif dalam Theravāda modern, bahwa seorang Arahat mungkin tidak mencapai jhana.

Mempertimbangkan bahwa tiga tesis tidak kelihatannya begitu penting, pandangan yang lebih kontroversial berikutnya kelihatannya adalah yang pertama dan terakhir. Yang terakhir adalah bahwa seseorang dapat memunculkan sang jalan melalui meratapi “O, penderitaan”. Saya tidak akan membahas ini di sini,[169] tetapi terdapat satu uraian yang menarik dalam pembahasan Kathāvatthu. Kathāvatthu mengatakan bahwa jika ini benar, maka seseorang yang telah membunuh ibunya, ayahnya, atau Arahat, meneteskan darah Sang Buddha atau menyebabkan perpecahan dalam Sangha dapat memunculkan sang jalan hanya dengan menyerukan “O penderitaan!”[170] Ini agak terlalu keras menekankan persoalan, karena dalil itu tampaknya bahwa teriakan “O penderitaan!” merupakan kondisi untuk sang jalan, bukan dengan sendiri cukup. Dalam kasus apa pun, kita memperhatikan bahwa kejahatan ini hampir identik dengan kejahatan yang sesungguhnya berhubungan dengan Mahādeva dalam Mahāvibhāṣā. Daftar ini tentu saja stok, sehingga mungkin kita seharusnya tidak melakukan apa pun terhadapnya. Tetapi mungkin bahwa argumen yang sama diketahui oleh Sarvāstivādin, yang memberikan tuduhan mendarah daging dengan menyematkannya kepada Mahādeva.

“Sesuatu yang Mengalir Keluar”

Tetapi anggapan yang paling menarik, dan mungkin menentukan, adalah apakah seorang Arahat dapat mengeluarkan air sperma. Gagasan ini diungkapkan dalam cara-cara yang berbeda, mungkin karena sifat samar-samar dari syair rangkuman di mana 5 tesis diungkapkan, dan sebagian disebabkan upaya yang mematikan pada kebijaksanaan. Tetapi gagasan dasarnya adalah bahwa suatu pengeluaran [air sperma] tidak selalu menjadi masalah dari kekotoran batin. “Penyampaian” jelas adalah penyampaian air sperma dari seorang Arahat oleh makhluk bukan-manusia, terutama mereka yang berhubungan dengan Māra.

Sementara gagasan ini kelihatannya aneh bagi kita, ini memiliki suatu korelasi dalam pemikiran awal. Malleus Maleficarum yang terkenal mengatakan bahwa para setan yang tidak murni seperti incubi dan succubi “... menyibukkan diri mereka dengan mengganggu proses normal persetubuhan dan konsepsi dengan mengambil air sperma manusia, dan mereka sendiri yang memindahkannya....”[171] Pembahasan di sini sangat layak mendapatkan suatu perbandingan yang rinci dengan Kathāvatthu, tetapi sayangnya, kita harus menunda kesenangan itu pada waktu lain. Kita akan meninjau Vinaya lain mengatakan tentang masalah ini pertama-tama, lalu melihat bagaimana Mahāsaṅghika membandingkan.

Seperti yang sangat sering dalam perdebatan Buddhis, masalah ini muncul karena suatu wilayah abu-abu dalam teks kanon, dalam kasus ini bhikkhu saṅghādisesa yang pertama. Saṅghādisesa merupakan kelompok kedua pelanggaran yang paling serius dalam Vinaya. Sementara kelompok pelanggaran yang paling serius, pārājika, mengharuskan pengusiran yang segera dan permanen dari Sangha, saṅghādisesa memerlukan suatu periode rehabilitasi yang melibatkan kehilangan status, pengakuan pelanggaran kepada semua bhikkhu, dan pengakuan yang ringan tetapi memalukan yang sama.

Aturan dasar untuk saṅghādisesa 1 adalah sama dalam semua pāṭimokkha yang ada: “pengeluaran air sperma dengan sengaja, kecuali dalam mimpi, adalah saṅghādisesa”. Dalam teks Pali, latar belakangnya adalah ini. Pertama kali aturan ini ditetapkan hanya untuk “pengeluaran air sperma dengan sengaja”. Kemudian sejumlah bhikkhu pergi tidur setelah memakan makanan yang lezat, tanpa kesadaran, dan mengalami mimpi basah. Mereka takut mereka telah melakukan suatu pelanggaran. Sang Buddha mengatakan: “Ada kehendak, tetapi ini dapat diabaikan.”[172] Dengan demikian tidak ada pelanggaran untuk mimpi basah, tetapi ini adalah suatu konsesi untuk tujuan Vinaya, bukan suatu penerimaan bahwa tidak ada muatan etis untuk mimpi basah. Poin ini dijelaskan dalam Kathāvatthu 22.6, di mana Mahāvihāravāsin secara khusus menyanggah dalil (yang dianggap komentar berasal dari Uttarapāthaka) bahwa kesadaran mimpi selalu secara etis netral.

Teks Pali agak aneh mengulangi kisah para bhikkhu yang tidak berkesadaran, serakah yang mengeluarkan air sperma sebagai suatu dalih untuk memberikan izin untuk menggunakan sehelai kain duduk untuk mencegah tempat tinggalnya terkotori.[173] Mengapa sehelai kain yang demikian disebut “kain duduk” (nisīdana) tidak jelas, dan penggunaan sehelai kain kecil demikian dengan cepat membuktikan ketidakcukupan, maka Sang Buddha mengizinkan sehelai kain duduk “selebar seperti yang kamu sukai”. Tetapi bacaan ini, yang kelihatannya muncul dari asal mula yang sama dengan kisah saṅghādisesa, menambahkan beberapa pesan yang tegas.

“Mereka, Ānanda, yang tertidur dengan kesadaran yang berkembang dan dengan jelas mengetahui tidak akan mengeluarkan kekotoran. Bahkan orang-orang biasa yang bebas dari kesenangan indera, mereka tidak mengeluarkan kekotoran. Tidak mungkin, Ānanda, tidak dapat terjadi, bahwa seorang Arahat akan mengeluarkan kekotoran.”[174]

Teks melanjutkan memberikan daftar lima bahaya tertidur tanpa kesadaran: Seseorang tidur dengan tidak enak, bangun dengan tidak enak, mendapatkan mimpi buruk, para dewa tidak melindunginya, dan ia mengeluarkan air sperma. Mereka yang tidur dengan penuh kesadaran dapat mengharapkan lima manfaat yang berhubungan.
Daftar lima bahaya/manfaat muncul dalam konteks yang sama dalam Vinaya Sarvāstivāda,[175] Dharmaguptaka,[176] and Mahīśāsaka.[177] Sarvāstivāda lebih lanjut menambahkan hal berikut: “Bahkan jika seorang bhikkhu yang belum bebas dari keserakahan, kebencian dan delusi tidur dengan kesadaran yang tidak bingung dan pikiran yang menyatu ia tidak akan mengeluarkan air sperma; terlebih lagi seseorang yang bebas dari nafsu.”[178] Mahīśāsaka menambahkan sebuah pernyataan yang sama: “Jika seseorang yang belum bebas dari keserakahan, kebencian, dan delusi pergi tidur dengan pikiran yang kacau dan bingung, mereka akan mengeluarkan air sperma; bahkan jika tidak dapat bebas, pergi tidur dengan kesadaran yang berkembang, ia tidak akan melakukan kesalahan itu.”[179] Saya belum menemukan pernyataan-pernyataan yang sama dalam Vinaya lain. Ini adalah sama pada pernyataan yang ditemukan dalam Vinaya Pali, tetapi saya tidak menemukan di mana pun yang menyatakan begitu tegas bahwa tidak mungkin bagi seorang Arahat untuk mengeluarkan air sperma dalam mimpi.

Vinaya Mūlasarvāstivāda, sementara mempertahankan suatu aturan saṅghādisesa yang persis, memberikan hanya suatu kisah awal mula yang singkat, bersifat rumusan, dan tidak ada pernyataan bahwa seseorang mengeluarkan [air sperma] setelah tidur tanpa kesadaran, walaupun teks ini juga mengatakan tentang memiliki nafsu keinginan ketika sedang bermimpi.[180] Ini menyatakan bahwa pengeluaran pada malam hari adalah hasil dari kekotoran batin, tetapi sedikit banyak lebih eksplisit daripada Vinaya lain tentang poin ini. Keseluruhan aturan ini berhubungan dengan bagian yang relatif singkat, tetapi ini bersifat khusus dari Vinaya ini, keringkasan ini lebih mungkin hanya karakteristik literatur daripada suatu perbedaan sektarian.

Dengan demikian semua Vinaya mempertahankan aturan yang sama terhadap pengeluaran air sperma. Dengan pengecualian Mūlasarvāstivāda, aliran Sthavira semuanya mengandung teguran yang menekankan bahwa mimpi basah terjadi karena seseorang pergi tidur tanpa kesadaran. Mahāvihāravāsin, Sarvāstivādin, dan Mahīśāsaka sebagai tambahan mengatakan orang yang belum tercerahkan dapat mencegah mimpi basah dengan tidur penuh kesadaran, lebih lagi seorang yang telah tercerahkan. Mahāvihāravāsin sendiri secara eksplisit menyatakan bahwa tidak mungkin bagi seorang Arahat untuk mengeluarkan air sperma.

Dalam Vinaya Mahāsaṅghika kisah awal mulanya agak berbeda dengan Mahāvihāravāsin. Setelah penetapan awal aturan itu, terdapat dua orang yang masih berlatih (yaitu para Ariya tetapi bukan Arahat) dan dua orang biasa yang mengalami mimpi basah. Mereka ragu-ragu dan memberitahukan Sāriputta, yang memberitahukan Sang Buddha. Sang Buddha berkata:

“Mimpi tidaklah nyata, tidak sejati. Jika mimpi nyata, seseorang yang menjalankan kehidupan suci dalam Dhamma-Ku tidak akan menemukan pembebasan. Tetapi karena semua mimpi tidak sejati, oleh sebab itu, Sāriputta, mereka yang menjalankan kehidupan suci dalam Dhamma-Ku mencapai akhir penderitaan.”[181]

Kemudian ia memberikan daftar (dan mendefinisikan) lima jenis mimpi: mimpi sejati (seperti 5 mimpi Bodhisattva sebelum pencerahannya); mimpi palsu (ketika seseorang melihat dalam mimpi apa yang tidak benar ketika bangun); mimpi yang tidak disadari (setelah bangun, seseorang tidak ingat lagi); mimpi di dalam mimpi; mimpi yang lahir dari pemikiran (seseorang berencana dan berkhayal selama siang hari, kemudian memimpikannya sepanjang malam).[182]

Kemudian teks memberikan 5 sebab ereksi: nafsu indera; kotoran; air seni; gangguan angin; kontak dengan bukan-manusia.[183] Daftar yang sama ditemukan dalam kasus teks Pali untuk pārājika pertama, dalam konteks menegaskan bahwa seorang Arahat dapat menjadi ereksi:

“Terdapat, para bhikkhu, lima sebab ereksi ini: nafsu, kotoran, air seni, angin, atau gigitan serangga. Inilah lima sebab ereksi. Tidak mungkin, para bhikkhu, tidak terjadi bahwa bhikkhu itu dapat menjadi ereksi karena nafsu. Para bhikkhu, bhikkhu itu adalah seorang Arahat.”[184]

Poin terakhir adalah penting: dalam teks Pali ini dengan jelas menunjuk ada “gigitan ulat, dan makhluk-makhluk kecil”, sedangkan Mahāsaṅghika mengatakan tentang “bukan-manusia”, suatu istilah yang secara luas digunakan untuk makhluk-makhluk halus, dan dengan demikian termasuk gagasan “pembawaan oleh Māra”.

Jadi Mahāsaṅghika tidak memuat pernyataan apa pun yang menyalahkan mimpi basah, atau menghubungkannya dengan ketanpa-kesadaran. Sementara Mūlasarvāstivāda juga diam atas topik ini, dalam hal ini ini hanya penghilangan, sedangkan Mahāsaṅghika tampaknya dengan sengaja membenarkan mimpi basah dengan ajaran yang aneh tentang ketidaknyataan mimpi (yang bertentangan segera dengan yang di bawah ini!) Sama halnya, mereka tampaknya menyusun ulang lima sebab ereksi untuk menyatakan kemungkinan terlibatnya Māra.

Berdasarkan hal ini, kita dibenarkan dalam melihat perbedaan sektarian dalam masalah Vinaya ini. Semua Vinaya memperhatikan tentang mimpi basah. Aliran Sthavira, dengan pengecualian yang meragukan dari Mūlasarvāstivāda, menyalahkannya dengan tingkat kenyaringan yang berbeda-beda, sedangkan Mahāsaṅghika memperhatikan untuk memakluminya. Terdapat sedikit keragu-raguan bahwa perbedaan ini berhubungan sebab akar pemisahan antara aliran-aliran berdasarkan “lima poin”. Karena Vinaya ini ditemukan di Pāṭaliputra, teks ini seharusnya dilihat berhubungan dengan pusat atau arus utama Mahāsaṅghika, tidak hanya bagi sub-aliran mereka yang belakangan.

Seperti dengan banyak sekali poin ajaran yang secara teoritis “Theravādin”, tidak ada kesatuan terhadap pertanyaan ini dalam Theravāda saat ini. Pertanyaan ini biasanya dibahas di luar wilayah publik, tetapi membuat jalannya ke dalam setidaknya satu publikasi saat ini. Beberapa Theravādin modern menganggap bahwa pengeluaran [air sperma] pada malam hari bisa jadi kejadian yang sangat alamiah, dengan mengatakan: “Ketika pot telah penuh, ia mengalir keluar”. Pertanyaan ini kadangkala muncul karena keadaan yang sama dengan yang digambarkan dalam kisah Mahādeva: seorang pelayan mencuci jubah seorang bhikkhu yang dihormati dan menemukan bukti yang tidak diharapkan dari “sesuatu yang mengalir keluar”. Sementara tidak berharap untuk memberikan penilaian apakah seorang Arahat dapat mengalami pengeluaran [air sperma], kita dapat mengatakan bahwa beberapa bhikkhu yang telah mengatakan hal ini pada masa modern merupakan para guru meditasi yang benar-benar berlatih dengan baik. Apakah benar atau tidak benar, mereka tidak seperti Mahādeva yang jahat yang muncul dengan tiba-tiba dari khayalan demam dari Mahāvibhāṣā.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version