Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

<< < (3/9) > >>

seniya:
Bab 3
Dīpavaṁsa
SETELAH MENINJAU BUKTI PRASASTI, saya sekarang ingin beralih pada kisah tekstual yang belakangan. Kita telah melihat bahwa bagian yang penting dari tradisi Pali telah ditegaskan oleh penemuan prasasti. Dengan pengecualian yang mungkin dari bacaan Mahāsaṅghika Vinaya yang dibahas lebih awal, tradisi utara sepenuhnya tidak ada dukungan arkeologis untuk masa ini. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita harus menerima tradisi Mahāvihāravāsin sepenuhnya. Saya telah menunjukkan bahwa saya memiliki reservasi yang berat tentang kisah Dīpavaṁsa atas pembentukan aliran-aliran, dan inilah yang sekarang kita tinjau. Pertanyaan utama apakah kita dapat menerima identifikasi Dīpavaṁsa atas Mahāsaṅghika dengan Vajjikaputta yang lalai dari Konsili Kedua.

Kesarjanaan yang baru-baru ini menyambut kematian teori Dīpavaṁsa. Tetapi beberapa sarjana, setelah menghadiri pemakaman di sore hari yang cerah, kembali pada larut malam dengan sebuah sekop. Mereka menggali tanah, yang masih lembut, dan mengganggu jenazahnya dari tidur abadi yang sangat layak baginya. Dengan sihir dan mantra mereka menanamkan dengan kehidupan yang tidak alami, dan mengaturnya pada tugas yang mengerikan: menghancurkan anak-anak muda agar mereka tidak tumbuh sampai kehidupan baru yang penuh. Misi saya jelas: untuk memutus teori perpecahan Dīpavaṁsa seperti tunggul pohon palem, sehingga ia tidak lagi muncul pada masa yang akan datang; kemudian memotong-motong kayunya menjadi serpihan, membakar serpihan itu, dan memencarkan abunya dalam angin.

Jelas saya tidak bermaksud mengkritik Dīpavaṁsa secara umum. Ataupun saya tidak bermaksud mengkritik apa pun tentang kisah Dīpavaṁsa tentang aliran-aliran: urutan munculnya aliran-aliran dan antarhubungan mereka satu sama lain, secara umum dikatakan, tidak kurang masuk akal daripada mana pun yang lainnya; dan kenyataan bahwa teks menganggap penyebab perpecahan akar adalah suatu perselisihan dalam penyusunan tekstual memiliki unsur yang masuk akal.

Secara khusus, saya bermaksud untuk menyanggah pernyataan Dīpavaṁsa bahwa Mahāsaṅghika berasal dari suatu kelompok Vajjikaputta yang terbentuk kembali yang mengadakan suatu “Konsili Besar” yang terpisah setelah Konsili Kedua. Ini tidak didukung oleh sumber lain. Ini jelas bertentangan dengan pesan utama dari Konsili Kedua seperti yang tercatat dalam semua Vinaya: perselisihan telah berhasil diselesaikan.

Membaca dengan dekat Dīpavaṁsa menunjukkan bahwa bacaan tentang perpecahan merupakan suatu penambahan ke dalam suatu bacaan yang berbeda yang berhubungan dengan Konsili Kedua dan Ketiga: Dīpavaṁsa 4.68 dengan jelas menyatakan kesimpulan Konsili Kedua: Aṭṭhamāsehi niṭṭhāsi dutiyo saṅgaho ayan’ti (“Dalam delapan bulan Konsili Kedua selesai.”) Di sini kata niṭṭhāsi menyatakan penyelesaian, dengan mengatakan pada kita bahwa kisah ini seharusnya berakhir di sini. Petunjuk istilah ini didukung dengan ciri sintaksis: baris itu berakhir dengan partikel –ti, yang menunjukkan akhir dari suatu bagian. Dengan demikian Konsili Kedua seperti yang dikisahkan dalam Dīpavaṁsa (atau sumbernya) awalnya ditutup dengan penyelesaian yang berhasil dari Konsili [Kedua], sesuai dengan semua kisah Vinaya.

Detail tekstual ini mungkin ambigu, tetapi terdapat yang lain lagi. Mengikuti penutupan dari Konsili Kedua, Dīpavaṁsa berlanjut memberikan kisah munculnya Mahāsaṅghika dan perpecahan-perpecahan berikutnya yang mengarah pada pembentukan delapan belas aliran semuanya. Jelas ini pasti proses yang memakan waktu bertahun-tahun. Tetapi mengikut semua ini Dīpavaṁsa 5.1 menghubungkannya kembali dengan Konsili Kedua:

Di masa yang akan datang, dalam seratus delapan belas tahun,
Akan muncul bhikkhu tersebut, seorang pertapa sejati.[62]

“Pertapa sejati” adalah Moggaliputtatissa, dan menurut kronologi Dīpavaṁsa masa “118 tahun di masa yang akan datang” adalah masa antara Konsili Kedua dan Ketiga. Dengan kata lain ungkapan ini, walaupun diduga ditetapkan setelah seluruh proses perpecahan, dinyatakan dari sudut pandang segera setelah Konsili Kedua. Keseluruhan kisah perpecahan telah ditambahkan di sini, meninggalkan “118 tahun di masa yang akan datang” tergantung tanpa konteks. Kita tidak dapat meminta petunjuk yang lebih jelas bahwa seluruh kisah perpecahan dan pembentukan Mahāsaṅghika adalah di luar kisah konsili-konsili.

Mencatat bahwa kisah perpecahan sepenuhnya tidak ada dalam komentar Vinaya, Cousins menyimpulkan bahwa: “Ini sangat kuat menyatakan bahwa tidak ada kisah “delapan belas aliran” dilestarikan dalam tradisi komentar Mahāvihāra.”[63] Ia lebih jauh berkata: “Erich Frauwalker memberikan bukti bahwa kisah pembentukan delapan belas aliran dalam Dīpavaṁsa tidak berasal dari tradisi komentar kuno dari Mahāvihāra dan mungkin kenyataannya berasal dari suatu sumber Abhayagiri...”.[64] Dalam setiap kasus, bacaan itu berhubungan dekat dengan Vasumitra, Bhavya I, dan Śāriputraparipṛcchā, dan oleh sebab itu jelas berasal dari suatu sumber “utara”. Adalah ironis bahwa teks yang sama yang sangat mengutuk semua aliran lain itu sendiri mengandung penambahan yang merusak. Mahāvihāra akan lebih baik melekat pada sumber tradisi komentar mereka yang lebih dipercaya.

Dalam menerima sumber utara ini dan berusaha mencocokkannya dengan sejarah mereka yang sangat berbeda, Mahāvihāra pasti berakhir dengan kisah yang membingungkan. Ini sangat jelas bahwa para penulis bacaan Konsili Kedua, baik dalam Vinaya maupun Dīpavaṁsa, memaksudkan ini dibaca sebagai kisah suatu trauma yang penting dalam sejarah Buddhis, suatu kisah yang meskipun demikian mengatasi dengan rukun karena penerapan yang tekun atas prinsip-prinsip Vinaya. Sangat penting, Mahāsaṅghika mempertahankan tradisi yang persis sama dalam Vinaya mereka. Mereka memiliki aturan melarang penggunaan uang seperti yang ditemukan dalam semua aliran lain. Karenanya, mereka mengutuk Vijjaputtaka, menolak mereka dalam Konsili Kedua, dan menyimpulkan bacaan konsili mereka dengan mengatakan: “Demikianlah semua sesepuh seharusnya berlatih dengan rukun”.[65]

Dalam berusaha menyatukan kisah konsili dan perpecahan, Dīpavaṁsa mengaburkan fakta sederhana bahwa masalah problematik yang dibahas dalam kaitan dengan Vajjikaputtaka dalam Konsili Kedua sama sekali tidak ada yang umum dengan masalah yang berkaitan dengan Mahāsaṅghika dari “Konsili Besar”. Konsili Kedua menuduh Vajjikaputta tentang 10 poin kelalaian dalam Vinaya. Tetapi kisah perpecahan Mahāsaṅghika dalam Dīpavaṁsa tidak mengatakan tentang Vinaya. Di sana masalah yang penting adalah pembentukan kembali kitab suci Buddhis. Kita harus jelas tentang hal ini: walaupun pernyataan yang bertentangan oleh beberapa sarjana modern,[66] Dīpavaṁsa tidak menganggap perpecahaan disebabkan oleh 10 poin. Alih-alih, Dīpavaṁsa mengisahkan kisah Konsili Kedua memasukkan 10 poin, kemudian melanjutkan menggambarkan bagaimana Vajjikaputta yang telah dikalahkan bereformasi sebagai Mahāsaṅghika[67] dan mengubah teks-teks. Hubungan antara Mahāsaṅghika dan 10 poin adalah suatu kisah sulap: ini adalah kerjaan Māra. Kita dikondisikan oleh bacaan sebelumnya untuk membaca 10 poin ke dalam bacaan yang belakangan; ini adalah maksud naratif dari Dīpavaṁsa. Tetapi sekali kita menyadari dua kejadian berasal dari awal yang berbeda sepenuhnya, hubungan apa pun antara Mahāsaṅghika dan 10 poin lenyap. Bagaikan bunga langit, ini adalah ilusi yang diciptakan oleh pikiran.

Gagasan sebenarnya bahwa Mahāsaṅghika telah menolak teks-teks secara langsung bertentangan dengan suatu asumsi penting dari seluruh kisah Konsili Kedua, yaitu, bahwa Sangha telah mencapai kesepahaman tentang 10 masalah Vinaya dengan menunjukkannya pada aturan disiplin mereka bersama. Semua dengan bebas ikut serta dalam konsili, dan semua setuju untuk menyelesaikan masalah dengan menunjuk suatu komite dari delapan orang, yang keputusannya, karena ini dengan hati-hati dibenarkan poin demi poin terhadap aturan Vinaya yang diterima secara universal, diterima oleh semua. Jika Vajjiputtaka bermaksud untuk mengubah teks, mereka pasti akan menentang referensi tekstual yang dikemukakan oleh komite.
Kesulitan lebih lanjut dengan posisi Dīpavaṁsa adalah bahwa ia mengasumsikan bahwa Vajjiputtaka dapat dengan gembira pergi dengan mengabaikan Konsili Kedua dan membuat perpecahan mereka sendiri tanpa tanggapan apa pun dari Sangha lainnya. Ini jelas tidak masuk akal, karena kejadian yang mencetuskan Konsili Kedua itu sendiri lebih kurang penting daripada suatu perpecahan besar, tetapi para bhikkhu berkumpul dari seluruh India Buddhis. Setiap kisah lainnya yang kita punyai tentang perpecahan awal mengisahkan berkumpulnya para bhikkhu yang berselisih secara panjang lebar, dan terpecah hanya setelah gagal menemukan suatu penyelesaian.

Ini penceritaan yang khusus jika dibandingkan dengan kisah Samantapāsādikā tentang apa yang terjadi setelah Konsili Kedua. Para sesepuh (yang tidak bernama) mempertimbangkan apakah bencana lainnya akan mempengaruhi sāsana, dan melihat bahwa dalam 118 tahun pada masa Aśoka, banyak bhikkhu akan memasuki Sangha untuk mencari keuntungan dan kemasyhuran. Mereka memikirkan bagaimana untuk mencegah hal ini, dan melihat bahwa satu-satunya yang mampu adalah seorang Brahma bernama Tissa. Mereka pergi ke alam Brahma, dan meminta Tissa untuk turun guna menyelamatkan Buddhisme.[68] Ia setuju – bagaimana mungkin tidak? – setelah itu para sesepuh kembali ke alam manusia dan mengatur sepasang arahat muda, Siggava dan Caṇḍavajji, untuk mengajar sang Brahma ketika ia terlahir kembali sebagai Moggaliputtatissa. Ini adalah suatu pengaturan latar yang mengagumkan dan dramatis untuk Konsili Ketiga. Tetapi jika kita menerima kisah Dīpavaṁsa, maka ketika para sesepuh sedang membuat persiapan yang rumit demikian untuk menyelamatkan Buddhisme di masa yang akan datang, tepat di bawah batang hidung mereka Vajjikaputta sedang menghancurkan kesatuan Sangha selamanya. (Mungkin mereka sedang pergi ke alam Brahma ketika ini sedang terjadi.)

Setelah menggambarkan perpecahan awal, Dīpavaṁsa mengatakan pada kita bahwa berbagai aliran memisahkan diri satu sama lain satu per satu. Ini tidak menyebutkan alasan apa pun mengapa banyak perpecahan ini terjadi, ataupun mengapa perpecahan ini harus terjadi sangat cepat. Namun demikian, keseluruhan proses berakhir dan selesai dengan “delapan belas” aliran semuanya terbentuk sebelum masa Aśoka. Konsili Kedua terjadi pada tahun 100 AN, dan karena Dīpavaṁsa adalah suatu teks “kronologi panjang”, ini memungkinkan 118 tahun bagi aliran-aliran untuk terbentuk.[69] Ini sangat pendek, tetapi jika kita mengikuti kronologi menengah kita hanya memiliki 40 tahun atau lebih. Proses pembentukan suatu aliran dalam agama seperti Buddhisme tidaklah mudah. Ia membutuhkan seorang pemimpin yang kharismatik, seseorang yang dapat mengemukakan suatu penafsiran yang meyakinkan terhadap ajaran, yang menginspirasi baik biarawan maupun pengikut awam. Ia membutuhkan suatu tingkatan pemisahan geografis untuk membangun dukungan umat yang dibutuhkan. Ini membutuhkan pembangunan suatu dasar institusional, yaitu sedikitnya satu vihara, termasuk tempat pemujaan, ruang pertemuan, kamar tinggal, dan sebagainya. Semua ini terjadi, menurut Dīpavaṁsa, dalam satu atau dua generasi, tanpa meninggalkan jejak fisik satu pun. Ini berbeda dengan kisah lainnya seperti Śāriputraparipṛcchā, yang memberikan proses itu beberapa abad untuk terjadi.

Mungkin bahkan lebih tidak masuk akal, kisah ini menyatakan bahwa dalam abad-abad berikutnya hampir tidak ada aliran baru apa pun. Benar, komentar tidak menyebutkan sedikit aliran yang muncul berturut-turut, tetapi kita diharapkan untuk mempercayai bahwa “delapan belas” aliran muncul hampir seketika, dan dalam seribu tahun setelah itu hanya sejumlah kecil aliran baru perlahan-lahan muncul.

Akibat penting dari pandangan Dīpavaṁsa adalah bahwa misi Aśoka adalah “Theravādin” dalam pengertian yang sempit, yang berarti aliran yang sama dengan Mahāvihāravāsin, alih-alih Sthavira atau Vibhajjavādin secara umum. Dengan demikian Theravādin sendiri yang bertanggung jawab sesungguhnya mengubah seluruh India menjadi Buddhisme, suatu keadaan yang terang-terangan bertentangan dengan semua bukti tekstual dan prasasti yang ada.

Tampaknya tidak baik untuk menghubungkan Theravādin dengan gagasan bahwa mereka sendiri yang menyebarkan Buddhisme ke seluruh India, suatu perspektif kesombongan yang menyesakkan. Tetapi bukti prasasti utama untuk aliran dari daratan utama  menegaskan persis seperti itu. Dua prasasti dari vihara Sinhala di Nāgārjunikoṇḍa, berasal dari masa sekitar tahun 250 M, menunjuk pada para guru dari “Theriyas, Vibhajjavādas, Mahāvihāravāsin” yang telah membawa ajaran ke berbagai negeri: Kaśmīr, Gandhāra, Yava[na] (= Yonaloka dari kisah [pengiriman] misi = Bactria Yunani), Vanavāsi, Cīna-Cilāta, Tosali, Avaraṁta, Vaṅga, Da[mila], [Pa]lura, dan Tambapṁṇidīpa.[70] Bukti ini lebih tua dari Dīpavaṁsa dan kisah [pengiriman] misi, tetapi kesamaan penyusunan kata-kata, seperti yang ditunjukkan oleh Cousins, menunjukkan bahwa mereka pasti berasal dari suatu sumber yang umum, diperkirakan tradisi Sinhala kuno.

Mahāvihāravāsin ingin menggambarkan diri mereka pada pusat Buddhisme. Jenius kreatif yang unik dari Dīpavaṁsa adalah untuk mengabadikan pandangan dunia ini dalam mitos penting Buddhisme. Tepat dari awalnya ia menyatakan bahwa Sang Buddha, selama tujuh hari setelah pencerahan-Nya, mengamati dunia, melihat Sri Lanka, dan meramalkan kedatangan Dhamma-Nya di sana setelah Konsili Ketiga.[71] Sangha yang bersatu ditunjukkan sebagai “Theravāda” sejak masa Konsili Pertama.[72] Tidak diragukan lagi, seperti yang diberikan dalam bacaan pembuka, bahwa dengan hal ini Dīpavaṁsa, dengan pengabaian yang sewenang-wenang atas kronologi, memaksudkan Theravādin dalam pengertian sempit (= Mahāvihāravāsin).

Dalam konteks ini motif menempatkan perpecahan awal sebelum Aśoka sudah jelas. Jika perpecahan terjadi setelah Aśoka, maka tidak mungkin untuk menyatakan bahwa Aśoka adalah penyokong khusus Theravāda. Ia akan dilihat sebagai pendukung Buddhisme secara umum. Jika perpecahan terjadi pada masa Aśoka, ini akan bertentangan dengan pesan kemenangan dari Konsili Ketiga Moggaliputtatissa yang berhasil. Satu-satunya solusi adalah menempatkan perpecahan sebelum Aśoka. Kemudian aliran-aliran lain secara implisit dikeluarkan dari narasi, dan Aśoka secara alami menjadi penyokong khusus dari Theravāda.

Penyimpangan Tata Bahasa

Jika kita menyetujui bahwa kisah Dīpavaṁsa tentang perpecahan tidak dapat menunjuk pada masa segera setelah Konsili Kedua, dapatkah kita mengembangkan kapan dan dalam konteks apa perpecahan bermula? Saya pikir kita bisa. Untuk melakukan hal ini, kita perlu melihat lebih dekat pada cara perpecahan yang sebenarnya digambarkan dalam Dīpavaṁsa. Ia menekankan prinsip interpretasi yang digunakan pada konsili:

Ajaran-ajaran yang bersifat kiasan, dan ajaran-ajaran yang bersifat pasti.
Ajaran-ajaran dengan makna yang telah disimpulkan dan dengan makna yang harus disimpulkan
telah dijelaskan oleh para ahli sutta.[73]

Syair ini secara menghina digemakan dalam kisah “Mahāsaṅgīti” dari Vajjiputtaka:

Ajaran-ajaran yang bersifat kiasan, dan ajaran-ajaran yang bersifat pasti.
Ajaran-ajaran dengan makna yang telah disimpulkan dan dengan makna yang harus disimpulkan;
tanpa pemahaman, para bhikkhu tersebut [bingung].[74]

Dīpavaṁsa lebih jauh menjelaskan (4.77) bahwa para Vajjiputtaka (=Mahāsaṅghika) bingung akan kata benda, gender, dan sebagainya. Pendek kata, mereka menyimpang dalam tata bahasa, yang kejahatan terutamanya adalah tekstualitas yang buruk. Akan tidak baik berkepanjangan pada poin ini, tetapi ironisnya bahwa tuduhan ini dibuat oleh Dīpavaṁsa, mungkin buku yang ditulis paling buruk dalam bahasa Pali.

seniya:
Tuduhan penting lainnya adalah bahwa Vajjiputtaka/Mahāsaṅghika mengubah teks-teks kuno, dengan menolak Parivāra, enam kitab Abhidhamma,[75] Paṭisambhidā, Niddesa, beberapa Jātaka, dan beberapa syair, dan melanjutkan menyusun teks-teks lain.[76] Semua karya ini ditemukan dalam kanon Pali. Tanpa kecuali, para sarjana modern setuju bahwa karya-karya ini kenyataannya belakangan dan tidak dapat dianggap buddhavacana yang asli. Dengan demikian Mahāsaṅghika dapat dengan benar diakui sebagai pelopor pendekatan historis-kritis yang akurat pada teks-teks Buddhis.

Gambaran Dīpavaṁsa tentang teks-teks yang ditolak merupakan proyeksi dari sisi gelap Mahāvihāra. Secara bawah sadar, mereka mengetahui sepenuhnya bahwa teks-teks ini adalah belakangan. Kedahsyatan serangan mereka – yang digemakan di tempat lain – menunjukkan ketakutan mereka menerima hal ini, dan hal yang sama dibutuhkan untuk menyebabkan masalah keluar. Mengapa mereka sangat takut? Mengapa tidak hanya menerima, seperti yang dipunyai semua bukti, bahwa beberapa teks mereka bukan buddhavacana? Menerima ketidakaslian teks mereka sendiri akan menghancurkan gambaran diri mereka sendiri sebagai benteng pertahanan dari Buddhisme yang asli, murni. Ini pada gilirannya akan membuat omong kosong ideologi Sri Lanka sebagai “Dhammadīpa”, dan akan meruntuhkan kredibilitas Mahāvihāra dalam persaingan atas dukungan kerajaan dengan Abhayagiri. Ketakutan ini sangat nyata: kita tidak perlu ragu bahwa pada waktu tertentu Mahāvihāra harus berdiri berhadapan dengan kehancurannya sendiri. Tetapi kenyataan tentang ancaman tidak seharusnya membutakan kita pada ilusi yang menyihir tanggapan terhadap ancaman itu.

Daftar teks yang ditolak sangat teliti: “beberapa Jātaka”, “beberapa syair”. Seperti yang telah diketahui, beberapa Jātaka membentuk bagian dari kumpulan kitab suci awal, sedangkan yang lainnya ditambahkan terus-menerus bertahun-tahun. Sama halnya, banyak syair dari Khuddakanikāya adalah awal, tetapi lebih banyak terdapat di antara tingkatan penambahan yang terbaru pada kanon.

Dalam bentuk yang sekarang, semua teks yang ditolak ini berasal dari masa sesudah Aśoka. Sementara proyek Abhidhamma pasti telah berjalan pada masa Aśoka – seperti yang dinyatakan oleh hubungan Abhidhamma Moggaliputtatissa dan ditegaskan oleh kesamaan substansial antara teks-teks Abhidhamma yang ada – teks-teks seperti yang kita ketahui pasti diselesaikan belakangan. Sama halnya, Paṭisambhidāmagga berasal dari masa sekitar 100 M.[77] Niddesa merupakan penerapan metodologi Abhidhamma pada beberapa syair awal, dan pasti berasal dari masa yang sama. Dengan demikian kita dengan teguh berada pada periode “kanonik belakangan” dari literatur Mahāvihāra, dan karenanya seharusnya melihat perselisihan dalam periode ini.

Jika kita ingin mengetahui dengan siapa Mahāvihāravāsin berdebat, komentar Kathāvatthu, walaupun disusun belakangan, merupakan sumber utama informasi kita. Sangat berlimpah, ini menyebutkan perselisihan pendapat dengan Andhaka,[78] suatu kelompok aliran Mahāsaṅghika di wilayah Andhra, termasuk Amarāvati, Nāgārjunikoṇḍa, dst. Demikianlah kita mengetahui bahwa Mahāvihāravāsin berdebat Abhidhamma dengan panjang lebar dengan Andhaka, dan ini pasti mengikuti bahwa Andhaka menolak Abhidhamma Mahāvihāra dan literatur yang berkaitan. Tetapi ini mungkin tidak begitu penting dengan sendirinya, karena ini mungkin bahwa kebanyakan aliran India tidak menerima Abhidhamma Mahāvihāra – dalam kenyataannya, mereka mungkin hampir tidak pernah mendengarnya. Apa masalahnya tidak begitu banyak bahwa Andhaka menolak teks-teks ini, tetapi bahwa Mahāvihāravāsin mengetahui mereka menolak teks-teks ini, dan ini menyakitkan.

Paṭisambhidāmagga dan Niddesa juga penting di sini, walaupun dalam cara yang berbeda. Keduanya dimasukkan dalam Khuddakanikāya, tetapi masing-masing memiliki persamaan dengan Abhidhamma. Paṭisambhidā merupakan kumpulan ajaran minor untuk sutta-sutta awal. Makna utamanya menghubungkan kemampuan pada penjelasan teks dengan penembusan Dhamma: dhamma (teks); attha (makna); nirutti (bahasa); paṭibhāṇa (kelancaran berbicara, yaitu kemampuan seseorang yang, dengan mengetahui teks dan maknanya, dan lancar dalam cara pengungkapan, untuk secara spontan memberikan suatu ajaran yang akurat dan menginspirasi). Paṭisambhidāmagga mengambil kelompok tak berkala ini dan, dengan melebarkan penerapannya hampir melampaui pengenalan, mengembangkan “Buku Sang Jalan” Mahāvihāra pertama yang berbeda. Seperti halnya semua kanonik Abhidhamma, penekanannya pada definisi ajaran yang tepat dan jelas. Warder menunjukkan bahwa penekanan pada kategori ajaran tertentu ini merupakan khas Mahāvihāra.[79]

Niddesa adalah sama tentang penjelasan tekstual. Teks ini merupakan pasangan komentar bergaya Abhidhamma pada Khaggavisāṇa Sutta, Aṭṭhakavagga, dan Pārāyanavagga, syair-syair awal yang kemudian disusun dalam Sutta Nipāta. Gaya teks-teks ini sangat Abhidhammik, yang sangat berlawanan dengan bahasa yang sederhana dan alami dari teks-teks yang dikomentarinya. Dalam kenyataannya, teks ini muncul sebagai upaya untuk “menjinakkan” beberapa teks awal yang mengungkapkan posisi ajaran yang tidak mudah didamaikan dengan pendirian perkembangan Mahāvihāra.

Mengenai Jataka dan syair-syair yang belakangan, ini kelihatannya seakan-akan tidak mungkin kontroversial secara ajaran. Teks ini terutama berkaitan dengan ajaran Bodhisattva yang sedang muncul, yang umum di seluruh aliran Buddhis, dan jika ada kita mengharapkan aliran Mahāsaṅghika, seperti Andhaka, menjadi pelopor dalam gerakan ini. Namun demikian, Kathāvatthu memang mencatat beberapa kontroversi tentang Bodhisattva dan karirnya. Andhaka terbukti menegaskan bahwa Bodhisattva terlahir sebagai hewan atau di neraka atas kemauannya sendiri (issariyakāmakārikāhetu),[80] yang bagi mereka merupakan ungkapan sifat melampaui duniawi (lokuttara), tetapi dilihat Mahāvihāravāsin sebagai suatu penolakan atas hukum kamma. Tidak pasti apakah Mahāsaṅghika menolak beberapa Jataka dan syair-syair karena akibat doktrinal seperti ini, atau hanya karena teks ini ekstra-kanonik.

Mengingat kembali tuduhan Dīpavaṁsa atas tekstualitas yang jelek, saya terkejut oleh kecerdasan suatu pernyataan oleh Franklin Edgerton. Sebelumnya, Emile Senart telah mengedit salah satu dari karya yang paling penting dan sulit dalam literatur Mahāsaṅghika, Mahāvastu, dalam penerangan dari bentuk Sanskrit dan Pali. Edgerton berkomentar bahwa: “catatan panjang lebar Senart sering membiarkan pembaca menerima keputusasaan yang terus-menerus mengancam untuk membingungkannya.”[81] Mengikuti karya Edgerton, saat ini secara umum diakui bahwa teks Mahāsaṅghika ditulis dalam bahasa “Sanskrit Hibrid” Mahāsaṅghika yang khas, dan bukan sekedar bahasa Sanskrit yang buruk. Tetapi keputusasaan Senart akan menggemakan reaksi sarjana Mahāvihāravāsin mana pun, yang dibesarkan dalam tradisi Pali yang lebih sederhana dan murni, yang menentang teks Mahāsaṅghika. Oleh sebab itu kita menyatakan bahwa tuduhan Dīpavaṁsa atas penolakan tekstual dan tata bahasa yang buruk disamakan secara khusus pada aliran Mahāsaṅghika dari Andhra, dan dengan perluasan Buddhism Sanskrit atau “yang dimodernisasi” secara umum, seperti Abhayagiri.[82] Dalam gaya mitos yang biasa, debat-debat yang sezaman dimundurkan untuk memberikannya relevansi universal.

Terdapat beberapa sumber lain yang sama mengaitkan perpecahan pada perbedaan bahasa. Sebagai contoh, Vinītadeva memberikan alasan ini, dan menyebutkan penggunaan bahasa berikut ini: Sarvāstivādin menggunakan bahasa Sanskrit; Mahāsaṅghika menggunakan bahasa Prākrit; Saṁmitiya menggunakan bahasa Apabhraṁśa; Sthavira menggunakan bahasa Paiśacī.[83] Kisah Dīpavaṁsa pasti dilihat dalam penjelasan ini, yaitu, ia menyoroti terutama perselisihan bahasa. Tetapi perbedaan bahasa hanyalah akibat dari penyebaran geografis. Hampir tidak mungkin bahwa komunitas-komunitas yang tinggal di lokasi yang sama akan memperdebatkan apakah bahasa yang digunakan. Bahasa pasti berbeda-beda seraya aliran-aliran menyebar di seluruh India dan mengikuti nasehat Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma dalam dialek lokal.[84] Perhatikan bahwa orang Sri Lanka tidak mengikuti nasehat ini, dan memelihara Dhamma dalam lidah asing, yang mereka sangat kuat meyakini secara harfiah sebagai bahasa yang diucapkan Sang Buddha.

Kenyataan bahwa teks-teks ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Sinhala menunjukkan bahwa mereka telah mencapai tingkat “kanonisasi” yang tinggi bahkan sebelum mencapai pulau tersebut. Kecenderungan ini memuncak pada ideologi esensialis bahasa yang belakangan, di mana Pali dianggap sebagai “bahasa akar dari semua makhluk”.[85] Ini berarti bahwa seseorang yang telah mencapai paṭisambhidā melalui pengetahuan mendalamnya sendiri akan memahami bahwa phassā or vedano adalah bentuk nominatif yang salah dan akan mengetahui bahwa dalam “bahasa inti” (Pali) ini seharusnya phasso dan vedanā. Bagi aliran Pali, bahasa Sanskrit Hibrid Mahāsaṅghika bukan semata-mata dialek yang berbeda, tetapi suatu penyimpangan Dhamma yang fundamental.[86]

seniya:
Konteks Orang Sri Lanka

Ini semua menjadi lebih masuk akal ketika kita mempertimbangkan iklim di mana Dīpavaṁsa dan kronologi-kronologi berikutnya disusun. Kejadian-kejadian yang digambarkan dekat dengan kematian raja Mahāsena sekitar tahun 304 M, yang mengikuti kemenangan Mahāvihāra atas saingan sengitnya vihara Abhayagiri. Persaingan ini telah dimulai sekitar 400 tahun sebelumnya, ketika vihara Abhayagiri, setelah dibangun oleh raja Vaṭṭagāminī, menjadi rumah bagi Bahalamassutissa, pengikut seseorang tertentu yang bernama Mahātissa, yang diusir dari Mahāvihāra karena keakraban yang tidak pantas dengan umat awam. Vihara ini kemudian dianggap sebagai yang bersifat memecah belah dari Theravāda.[87] Abhayagiri menjadi [vihara] yang dihubungkan dengan ajaran-ajaran yang dicurigai diimpor dari daratan [India]. Karena sedikit jika ada dari literatur mereka yang bertahan, tidak jelas persisnya bagaimana posisi doktrinal mereka berkembang.[88]

Kedua vihara menerima dukungan kerajaan sampai masa Vohārika Tissa, kira-kira tahun 230 M, ketika Abhayagirivāsin dituduh mengimpor kitab “Vetulya”. Biasanya diasumsikan bahwa ini sesuatu yang berhubungan dengan Mahāyāna, walaupun terdapat sedikit bukti langsung. Dalam setiap kasus, kitab-kitab ini diganyang. Tidak ada pembahasan tentang ajaran-ajaran yang diajarkan atau mengapa ajaran-ajaran ini sangat berbahaya. Kita bahkan mungkin dimaafkan untuk membayangkan apakah isi sebenarnya dari teks-teks ini sepenuhnya relevan.[89]

Dalam setiap kasus, buku-buku “Vetulya” dibakar dan para bhikkhu dilecehkan. Mengikuti ini, raja-raja Vohārikatissa, Goṭhābhaya, dan Jeṭṭhatissa mendukung Mahāvihāra. Tetapi Abhayagiri terus menyebabkan masalah. 60 orang bhikkhu diusir oleh Goṭhābhaya karena menganut Vetullavāda; ini digambarkan dalam Mahāvaṁsa sebagai “duri dalam ajaran sang penakluk”,[90] persis seperti Dīpavaṁsa menyebut Vajjiputtaka dan para pemecah belah lainnya sebagai “duri dalam pohon banyan”. Belakangan kemudian, Nikāyasaṅgraha dari Dharmakīrti (abad ke-14) mengubah perumpamaan yang murni harfiah ini menjadi sejarah, dengan menyatakan bahwa kira-kira tahun 32 SM, tak lama setelah Abhayagiri dibangun, sekelompok bhikkhu Vajjiputtaka, di bawah kepemimpinan seseorang tertentu bernama Dharmaruci, datang ke Sri Lanka dan, ditolak oleh Mahāvihāra, menemukan dukungan di Abhayagiri. Inilah Vajjiputtaka/Mahāsaṅghika yang lalai.[91]

Tetapi segera keadaan berubah. Seorang bhikkhu bernama Saṅghamitta datang dari India. Dilukiskan dalam warna yang paling gelap oleh Mahāvihāravāsin, bhikkhu ini membantu Abhayagiri untuk berkumpul kembali. Ia ditolak oleh raja Jeṭṭhatissa dan melarikan diri kembali ke India; tetapi pada saat penobatan Mahāsena ia kembali dan melakukan upacara penobatan untuk raja. Di bawah pengaruh Saṅghamitta, raja Mahāsena menganiaya Mahāvihāra: para bhikkhu diusir dari vihara tersebut selama sembilan tahun, dan Abhayagirivāsin, bersama dengan menteri Soṇa, merampok harta kekayaan Mahāvihāra untuk menghias Abhayagiri. Para pendukung dari Mahāvihāra sangat gempar sehingga seorang menteri bernama Meghavaṇṇabhaya mengundurkan diri ke wilayah Malaya, di mana Mahāvihāravāsin tinggal dalam pengasingan, mengumpulkan laskar perang dan bergerak menuju ibukota. Namun masa itu sifat kepahlawanan masih berlaku. Menteri pemberontak tersebut merenungkan bahwa ia tidak seharusnya makan jauh dari sahabat baiknya sang raja, maka menjelang peperangan itu mereka berbagi sarapan. Raja bertanya mengapa Meghavaṇṇabhaya bermaksud untuk berperang, dan ia menjawab bahwa ia tidak tahan melihat penghancuran Mahāvihāra. Raja dengan bijaksana meminta maaf dan berjanji untuk membangun kembali Mahāvihāra: suatu teladan mengagumkan bagi mereka yang akan melakukan perang suci saat ini. Tetapi salah satu istri raja sangat bersedih sehingga ia memerintahkan Saṅghamitta dan Soṇa dibunuh. Abhayagiri kemudian dilucuti untuk menghiasi Mahāvihāra.

Kejadian-kejadian ini memuncak dengan kematian Mahāsena. Mahāvaṁsa, dalam terjemahan Geiger, berakhir dengan kata-kata ini: “Demikianlah ia mengumpulkan bagi dirinya sendiri banyak jasa kebajikan dan banyak rasa bersalah,” sangat sempurna membungkus dunia moral yang sangat dalam dan ambigu dari kronologis Sri Lanka. Di sepanjangnya kita melihat sebuah pengabdian yang sejati pada cita-cita Dhamma. Sementara terdapat sedikit bukti perembesan ajaran-ajaran dan praktek yang maju melalui budayanya, masih raja-raja membuat usaha terus-menerus untuk menghidupkan cita-cita raja yang baik seperti yang ditunjukkan oleh Aśoka. Tetapi permintaan terhadap pemerintah mutlak tidak berkompromi dengan cita-cita yang mulia ini. Setelah dengan dekat menjalin konsep Buddhisme mereka dengan bangsa Sri Lanka, Sangha menemukan tidak mungkin mempertahankan ketidakbergantungan dari arena politik. Sementara kita tidak dapat menerima semua yang kita temukan dalam halaman-halaman yang berdarah ini, kita harus ingat bahwa sejarah adalah seperti ini, di mana pun, sepanjang waktu. Bagi seluruh Sri Lanka tidak lebih buruk daripada, dan mungkin lebih baik daripada kebanyakannya. Tidak diragukan tradisi-tradisi Buddhis lain telah menghadapi pilihan yang pahit dan perjuangan yang mematikan. Perbedaannya bahwa kita tidak mengetahui apa pun tentang tradisi-tradisi Buddhis lain, karena orang Sinhala satu-satunya umat Buddhis dari India kuno yang melestarikan sebuah literatur sejarah. Literatur tersebut menyatakan bahwa tanpa kadangkala kekerasan yang mendukung, Buddhisme tidak akan bertahan. Sementara kita harus menyesalkan kekerasan itu, kita tidak dapat menolak bahwa tradisi, termasuk teks-teks yang mengatakan kita kisah ini, kenyataannya telah bertahan di mana semua yang lain gagal.

Dīpavaṁsa dan Mahāvaṁsa dibentuk dalam suatu iklim perjuangan yang menyedihkan dan kejam. Bagi para bhikkhu dari Mahāvihāra, perbedaan antara aliran-aliran bukan suatu perselisihan yang sopan mengenai poin-poin Abhidhamma, tetapi suatu perang yang mematikan untuk bertahan hidup. Pembentukan tahap “klasik” dari literatur Mahāvihāravāsin – kronologis dan komentar – merupakan akibat langsung dari perjuangan ini.

Tentu saja gambar ini berat sebelah dan melodramatis. Fa-xian, yang menghabiskan dua tahun di Sri Lanka sedikit setelah kejadian yang telah kita gambarkan, melihat Abhayagiri sebagai vihara utama; Abhayagiri memiliki 5000 orang bhikkhu, sedangkan Mahāvihāra hanya dapat mengumpulkan 3000 orang bhikkhu. Secara karakteristik, Fa-xian tidak mengatakan adanya ketegangan, tetapi memuji keindahan dan ketaatan yang ia saksikan dalam kedua vihara. Semangat pertempuran dari kronologi adalah sebanyak suatu gejala dari kerangka pemikiran karena ia merupakan catatan perselisihan sebenarnya.

Terdapat sesuatu dalam kisah-kisah dari masa lalu ini yang memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi Sangha di masa kini. Mahāvihāravāsin, dalam masa-masa yang keras dan sangat terpolitisasi itu, membutuhkan suatu “yang lain”. Ini dapat dilihat sebagai suatu ungkapan dari ideologi vibhajjavāda, suatu kebutuhan untuk memisahkan diri sendiri untuk menciptakan suatu rasa kesucian dan kemurnian. Di seluruh pemikiran religius dan magis, suatu pemisahan fisik yang diritualkan merupakan suatu sumber dan makanan bagi kekuatan suci. Definisi dan identifikasi “yang lain” dibutuhkan untuk mendefinisikan dan mengidentifikasikan “diri sendiri”. Perwujudan ini perlu menyetankan petunjuk “yang lain” pada sisi gelap Mahāvihāravāsin: mereka menolak apa yang mereka takuti dalam dirinya sendiri. Kita telah mencatat ironi yang melekat dalam Dīpavaṁsa: ditulis dengan tidak sopan, ia menuduh “mereka” dengan tekstualitas yang buruk; dan sementara  salah satu tesis utama mereka adalah impor luar yang dicangkokkan dengan buruk, ia menuduh “mereka” memperkenalkan unsur-unsur asing. Kita akan melihat dalam pembahasan kita tentang Śāriputraparipṛcchā bahwa Dīpavaṁsa tidak sendirian dalam memfokuskan pada butiran debu di mata saudaranya.

Sementara ironi ini mungkin aneh, bahkan menggelikan, teks yang sama mengandung ironi yang agak lebih berbahaya. Yang paling jelas adalah bahwa, walaupun desakan tradisi dalam melestarikan Buddhisme yang “asli” tidak berubah, kenyataannya titik berat kronologis adalah untuk mensahkan penyatuan Gereja dan Negera, suatu inovasi revolusioner tanpa contoh sebelumnya di daratan utama [India]. Ini sebabnya banyak penekanan diberikan pada penemuan kembali yang mistik Aśoka sebagai pemenang dari cabang Buddhisme Mahāvihāra. Tetapi melampaui teladan perlindungan Aśoka terhadap Sangha atau bahkan ikut campur dalam urusan Sangha, kronologis mengejar politisasi Buddhisme sampai pada kesimpulan yang tidak terelakkan: pembenaran Buddhis atas perang. Mahāvaṁsa menggambarkan raja Duṭṭhagāmini yang merasa bersalah kembali dari medan perang dan mencari pelipur lara dari Sangha atas pembunuhan ribuan orang dalam perang, sama seperti Aśoka mencari penghiburan dari Moggaliputtatissa atas pembunuhan para bhikkhu Aśokārāma, atau Ajātasattu mencari penghiburan dari Sang Buddha atas pembunuhan terhadap ayahnya raja Bimbisāra. Para Arahat meyakinkan raja bahwa ia tidak perlu merasa begitu bersalah, karena ia sebenarnya hanya membunuh satu setengah orang: satu adalah yang menjalankan lima sila; setengahnya telah mengambil perlindungan dalam Tiga Permata. Sisanya tidak dihitung.

Seperti semua mitos baik, kutipan ini tidak lekang oleh waktu; karena ini menjadi sentral bagi pembenaran Sangha Sri Lanka modern atas perang melawan Tamil. Theravāda, sementara mempertahankan suatu kualitas tradisi tekstual, dalam praktek tidak melestarikan lebih banyak atau lebih kurang Buddhisme sejati daripada aliran lainnya. Tetapi perbedaan yang sangat nyata antara bhikkhu ideal seperti digambarkan dalam sutta-sutta awal dan kenyataan Buddhisme seperti yang ada menciptakan suatu ketegangan dalam tingkatan yang dalam, suatu ketegangan yang tidak dapat diselesaikan, tetapi diproyeksikan pada “yang lain”.

Adalah raja Parakkamabāhu I (1153-1186) yang, di tengah-tengah kampanye militer yang tampaknya tidak habis-habisnya, akhirnya mendamaikan berbagai persaudaraan Sangha. Cūḷavaṁsa dengan tajam menyatakan bahwa: “walaupun banyak upaya yang dilakukan dalam berbagai cara oleh para raja sebelumnya sampai masa sekarang, [para bhikkhu] berubah dalam sikap mereka dari satu ke yang lainnya dan menyukai berbagai perselisihan.”[92] Analogi dengan Konsili Aśoka di sini dibuat eksplisit: “Bahkan seperti Penguasa Manusia Dhammāsoka dengan Moggaliputtatissa, demikian juga ia [Parakkamabāhu] mempercayakan maha sesepuh Mahākassapa....”[93] Mengikuti teladan Aśoka, mereka mengumpulkan semua bhikkhu bersama-sama, menanyai mereka, menyelesaikan masalah satu demi satu, mengusir para bhikkhu yang jahat, dan menciptakan Sangha yang bersatu “seperti yang telah ada di masa Sang Buddha.”[94]

Dari sedikit contoh ini – yang dapat diperluas tidak terbatas – kita dapat melihat bagaimana kronologis Mahāvihāravāsin dibangun pada suatu struktur dari siklus yang berulang-ulang, dari persamaan yang berulang kali. Ini menjadi jelas bagaimana penggambaran Dīpavaṁsa terhadap Mahāsaṅghika sebagai para bhikkhu Vajjiputtaka yang jahat adalah suatu mitos pembacaan kembali dari situasi pada masa Dīpavaṁsa. Dalam mitos waktu adalah siklus yang terus-menerus menggigit ekornya sendiri: adalah seperti ini sekarang, maka pasti telah seperti ini di masa lampau. Nama-nama dan detailnya menunjukkan permukaan yang berkilauan dari penampilan yang selalu berubah, tetapi pola utamanya bermain dengan dirinya sendiri dengan meyakinkan yang tidak terelakkan, seperti perubahan musim atau bintang yang berputar di langit. Kronologi Sinhala dengan berani memadukan sejarah politik dan budaya bangsa mereka sendiri dengan mitos penting Buddhis, kehidupan Sang Buddha. Sama seperti setiap penahbisan adalah pengulangan yang diritualkan dari pelepasan keduniawian Sang Buddha, membuat tindakan jauh itu nyata pada masa kini, demikian pula setiap kejadian dalam stuktur mitos memberitahukan masa sekarang yang abadi, makna yang selalu ada dari sejarah yang hidup sebagai takdir. Demikianlah pengkambinghitaman dan pengusiran Vajjiputtaka menjadi suatu pembersihan yang dibutuhkan kapan pun kemurnian Sangha terancam.

Apakah Buddhaghosa seorang Theravādin?

Gagasan kemurnian silsilah merupakan unsur yang penting dalam strategi membangun suatu aliran Buddhisme. Ini walau kenyataan bahwa gagasan paramparā, suatu silsilah penahbisan tertentu, tidak ada dalam teks-teks awal. Tentu saja, ini tidak masuk akal untuk mengambil kesimpulan dari teks-teks awal bahwa teks-teks ini menganggap suatu nilai tertentu sebagai gagasan dari hubungan langsung penahbisan dari guru ke murid. Tetapi ini tidak mungkin ditafsirkan sebagai sentral.

Dalam cara yang sama Warder bertanya apakah Nāgārjuna adalah seorang Mahāyānis, kadangkala seseorang dapat membayangkan sampai jangkauan apa Buddhaghosa, penyusun abad ke-5 dari tradisi komentar Mahāvihāravāsin yang definitif, adalah seorang Theravādin dalam hal silsilah penahbisannya.

Tidak ada yang eksplisit untuk dilanjutkan. Tradisi yang belakangan menyatakan bahwa ia lahir di Magadha, tetapi ini adalah upaya yang transparan untuk memastikan latar belakangnya yang ortodoks. Menariknya, orang Burma mempertahankan bahwa Buddhaghosa lahir di Burma. Sementara tidak ada orang selain orang Burma yang akan menganggap ini masuk akal, tradisi ini menyatakan bahwa penahbisannya dilacak oleh orang Burma sampai misi Soṇa dan Uttara ke Suvaṇṇabhūmi. Dengan kata lain, ia datang dari salah satu misi yang lain, bukan berasal dari misi yang membangun Mahāvihāra. Dari perspektif orang Burma belakangan ini tentu saja semuanya “Theravāda”, tetapi pada masa Buddhaghosa gagasan suatu bentuk Buddhisme yang bersatu di seluruh Asia tenggara tidak ada, dan kenyataannya terdapat banyak aliran di wilayah tersebut.

Karena Buddhaghosa datang dari India, dan dianggap bahwa kebanyakan mayoritas Buddhis India tidak menggabungkan diri dengan Theravādin dalam pengertian sempit yang dibutuhkan oleh Dīpavaṁsa (= Mahāvihāravāsin), kita mungkin membayangkan apakah penahbisannya benar-benar “Theravādin”. Ia memang menyebutkan telah berdiam di beberapa tempat pada daratan utama, beberapa telah diidentifikasi di India Selatan: “Mayūrasuttapaṭṭana” (Mylapore dekat Chennai); “Kañcipura” (Conjevaram dekat Chennai); dan kata-kata tambahan dalam Visuddhimagga menggambarkan ia sebagai “dari Moraṇḍacetaka” (Andhara?).[95] Namun, Mahāvaṁsa mengatakan ia lahir di dekat Bodhgaya, walaupun ini adalah tradisi yang agak belakangan, yang dianggap berasal dari Dharmakīrti pada abad ke-14. Tentang penahbisannya, Mahāvaṁsa tidak mungkin kurang spesifik: ketika berkelana “di sekitar India”, ia berdiam di “sebuah vihara”, di mana ia bertemu dengan “seorang guru” bernama Revata, di mana ia mendapatkan penahbisan.[96] Revata dikatakan mengajarkan pāḷi dari Abhidhamma, tetapi pāḷi di sini digunakan dalam pengertian umum teks dan tidak harus mengimplikasikan kanon Pali yang kita ketahui. Buddhaghosa tampaknya menyiapkan suatu ulasan yang disebut Ñāṇodaya, yang tidak ada yang diketahui tentangnya, dan Aṭṭhasālinī, suatu komentar terhadap Dhammasaṅgaṇī. Komentar yang ada oleh Buddhaghosa terhadap Dhammasaṅgaṇī memang disebut Aṭṭhasālinī, tetapi tidak diketahui apakah ini memiliki hubungan dengan karya yang lebih awal, jika memang ia pernah ada.

Ketika Buddhaghosa ingin mengerjakan karya yang lebih lanjut tentang komentar paritta, Revata mengatakan padanya:

“Di sini hanya teks [pāḷi] yang telah dipertahankan,
tidak ada komentar di sini,
dan sama halnya tidak ada Ajaran Sang Guru:
yang telah terpecah dan tidak ditemukan.”[97]

Revata kemudian memuji kemurnian tradisi komentar Sri Lanka dan mendorong Buddhaghosa untuk pergi ke sana dan mempelajarinya. Kisah ini adalah suatu gagasan legenda untuk menekankan keunggulan tradisi Sri Lanka; meragukan apakah orang India melihat hal ini dengan cara yang sama. Polemik dikesampingkan, tradisi ini tidak memberikan kita dasar yang dapat dipercaya yang dapat memastikan bahwa Buddhaghosa telah memiliki suatu penahbisan dalam tradisi Mahāvihāra.

seniya:
Saya mengambil contoh Buddhaghosa hanya untuk membuat poin retorika. Tetapi adalah biasa bagi para bhikkhu untuk melakukan perjalanan di sekitar vihara-vihara yang berbeda, berdiam dengan persaudaraan yang berbeda. Ini pasti telah terjadi bahkan lebih banyak dengan vihara Abhayagiri, yang dikatakan oleh Mahāvihāravāsin menerima para bhikkhu India dari tradisi yang berbeda. Tetapi Abhayagirivāsin belakangan bergabung dengan Mahāvihāravāsin, walaupun ketidakmurnian yang diduga benar ini dalam silsilah penahbisan mereka.

Situasi yang sama pasti telah terjadi di seluruh Buddhisme Asia Tenggara, karena kita mengetahui bahwa wilayah Thailand, Burma, dan Kamboja di mana Theravāda sekarang berkembang sebelumnya didominasi Mahāyāna, atau Buddhisme Śrāvakayāna Sanskrit. Kita mencatat menyebarluasnya kejadian kultus Upagupta di seluruh wilayah ini, yang sepenuhnya tidak ada dari Sri Lanka, dan membayangkan apakah ini memberikan suatu petunjuk pada jenis Buddhisme yang ada sebelum Theravāda yang ortodoks. Menurut I-Tsing, di daratan pada perbatasan timur India semua empat aliran utama berkembang, sedangkan di wilayah pulau Mūlasarvāstivāda menonjol.[98]

Ketika wilayah-wilayah ini “diubah keyakinannya” menjadi Theravāda (yang terutama terjadi sekitar abad ke-11 s/d 12), tidak mungkin bahwa semua bhikkhu mengambil penahbisan baru. Tentu saja, sejarah resmi akan menyatakan bahwa ketika agama [Buddha] direformasi sehingga semua bhikkhu menyesuaikan diri dengan sistem baru. Tetapi kepraktisan dari hal ini tidak masuk akal: mengirimkan para bhikkhu administrasi kota yang berjalan sejauh ribuan mil dari intaian macan, penuh penjahat, jejak hutan-hutan yang berhantu mencari tak terhitung desa kecil, berusaha membujuk para bhikkhu senior bahwa penahbisan mereka tidak sah atau tidak tepat dan harus dilakukan lagi, semuanya berdasarkan beberapa kompromi politik di sebuah ibukota yang jauh, di sebuah wilayah yang perbatasan dan kesetiaannya selalu bergeser. Sebagai sejarah ini hanyalah khayalan, dan kenyataannya pasti bahwa reformasi itu secara langsung mempengaruhi vihara-vihara pusat tertentu. Yang lain mungkin menggunakan suatu prosedur informal seperti daḷhikamma (tindakan memperkuat), yang hanya merupakan prosedur ad hoc [dengan maksud khusus] yang ditemukan sebagai pengganti saṅghakamma yang sebenarnya. Tetapi bagi kebanyakan reformasi tidak relevan, bahkan jika mereka pernah mendengarnya. Hanya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa silsilah “Theravāda” yang saat ini, seperti semua yang lain, pasti merupakan campuran dari banyak untaian yang berbeda.

Penelitan Bizot di daerah ini menunjukkan bahwa situasi saat ini dalam Theravāda kenyataannya mempertahankan dua gaya penahbisan yang berbeda.[99] Satu melibatkan pembacaan perlindungan selama pabbajjā; yang lain, perlindungan dibacakan dua kali, satu mengakhiri kata-kata dengan anusvāra –ṁ (dilafalkan –ng), dan lagi dengan nasal labial –m. Dua pernyataan pabbajjā memiliki akarnya dalam Buddhisme Mon kuno dari masa Dvāravatī (abad ke-7 s/d 8 ), yang mungkin diperkenalkan ke Asia Tenggara (“Suvaṇṇabhūmi”) dari India Selatan. Bizot meyakini bahwa pabbajjā dua-pernyataan ini berhubungan dengan praktek meditasi esoterik tertentu. Pabbajjā satu-pernyataan dari Mahāvihāra diperkenalkan kemudian, sekitar abad ke-14 s/d 15, oleh para bhikkhu yang berhubungan dengan Sri Lanka. Tetapi ketika silsilah Sri Lanka didirikan kembali dari Thailand, ini dengan pabbajjā dua-pernyataan dari Mon. Sementara itu, pabbajjā satu-pernyataan secara terus-menerus dipaksakan dalam Sangha di Asia Tenggara, khususnya mengikuti reformasi Dhammayuttika yang modernis dari Pangeran Mongkut pada abad ke-19. Dalam salah satu ironi sejarah yang lezat ini, pabbajjā dua-pernyataan Mon sekarang hanya bertahan di Sri Lanka, sedangkan pabbajjā satu-pernyataan tersebar luas di seluruh Asia Tenggara.

Kerumitan situasi ini diakui oleh Somdet Ñāṇasaṁvara, Saṅgharāja Thailand saat ini, dalam suatu karya penting Buddha Sāsana Vaṁsa. Karya ini membahas silsilah penahbisan Thai modern dan reformasi yang diperkenalkan pada abad ke-19 ketika Dhammayuttika Nikāya dibentuk berdasarkan tradisi Burma Mon. diyakini bahwa tradisi ini berasal dari misi Soṇa and Uttara ke Suvaṇṇabhūmi pada masa Aśoka. Berikut adalah beberapa pernyataan Somdet Ñāṇasaṁvara:

“Sejak Mahāparinibbāna Sang Buddha sampai saat ini, lebih dari 2000 tahun telah berlalu, dengan demikian sulit untuk mengetahui apakah silsilah murni yang diturunkan kepada kita masih utuh atau tidak.” (16)

“Jika silsilah ini telah lenyap, ini tidaklah merugikan, seperti halnya pengabdian Pukkusāti[100] dalam kehidupan tanpa rumah tidaklah merugikan.” (18)

“Sasana dalam kedua negeri [Sri Lanka dan Suvaṇṇabhūmi] melebur menjadi satu sehingga silsilah mereka berasal dari sasana yang sama yang telah dikirimkan raja Aśoka dari ibukotanya di Pāṭaliputta.” (30)

[Setelah masa raja Parakkamabāhu dari Sri Lanka] “Para bhikkhu Sri Lanka diberikan [penahbisan] dengan para bhikkhu Rāmañña [Mon] dan ada pendapat bahwa karena para bhikkhu Sri Lanka berasal dari garis [silsilah] Soṇa dan Uttara, mereka berasal dari komuni yang sama.[101] Dengan demikian para sesepuh saling mengundang untuk berpartisipasi dalam saṅghakamma dan bersama-sama memberikan penahbisan yang lebih tinggi.” (31)

[Silsilah tersebut memasuki Thailand] “Berulang kali melalui banyak masa... seraya Buddhisme memasuki negeri ini dalam periode-periode, aliran, dan bentuk yang berbeda-beda, adalah sangat sulit mengetahui bagaimana mereka melebur dan bagaimana mereka mengalami kemunduran.” (76)

[Dhammayuttika Nikāya menghidupkan kembali Buddhisme Thai melalui] “pendirian kembali di Siam suatu silsilah dari Yang Mulia Mahinda, Soṇa, dan Uttara.” (77)

Jadi sementara terdapat beberapa yang kelihatannya hampir seperti kepercayaan mistis terhadap kemurnian silsilah penahbisan, suara-suara waras masih ditemukan. Tidak ada bhikkhu yang hidup sekarang dapat menjamin silsilah penahbisannya sendiri. Dalam situasi ini lebih aman dan lebih masuk akal untuk berfokus pada cara kehidupan suci dijalankan alih-alih pada klaim yang tidak dapat diverifikasi atas masa lalu yang sebagian besar tidak tercatat.

Catatan Kaki Bab 3:

[62] Anāgate vassasate vassāna’ṭṭhārasāni ca,
Uppajjissati so bhikkhu samaṇo paṭirūpako.
Di sini paṭirūpaka jelas tidak bermakna “palsu”.

[63] Cousins, The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools, 56

[64] Cousins, On the Vibhajjavādins, 153

[65] 如是諸長老應當隨順學 (CBETA, T22, no. 1425, p. 493, c10)

[66] Misalnya Nattier and Prebish, 200

[67] Dīpavaṁsa biasanya menggunakan istilah yang sinonim Mahāsaṅgīka.

[68] Gambaran cermin mitos dari “Permohonan oleh Brahma” yang mendorong Sang Buddha untuk mengajar.

[69] Lihat Lampiran.

[70] EI, XX, 1929, pg. 22. Lihat Lamotte, History of Indian Buddhism, 299; Cousins, On the Vibhajjavādins, 141.

[71] Dīpavaṁsa 1.14 ff.

[72] Dīpavaṁsa 4.11, 18, 31, 32, 33, 54, 84, 88, 90; 5.28; 6.24, 29, 39, 43, 54.

[73] Dīpavaṁsa 4.22: Pariyāyadesitañcāpi atho nippariyāya desitaṁ, Nītathaññeva neyyathaṁ dīpiṁsu suttakovidā.

[74] Dīpavaṁsa 4.73: Pariyāya desitaṁ cāpi atho nippariyāya desitaṁ, Nītathaṁ ce'va neyyathaṁ ajānivāna bhikkhavo.

[75] “Enam”, karena kitab ketujuh, Kathāvatthu, tidak disusun sampai Konsili Ketiga, yang belakang menurut kronologi Mahāvihāra.

[76] Dīpavaṁsa 4.76, 82

[77] Ñāṇamoḷi, The Path of Discrimination, xxxvii ff.

[78] Kira-kira setengah dari perselisihan ini adalah dengan Andhaka atau sub-alirannya.

[79] Ñāṇamoḷi, The Path of Discrimination, pendahuluan

[80] Kathāvatthu 622

[81] Dikutip dalam Prebish, Śaikṣa-Dharmas yang telah direvisi, 191

[82] Cf. Roth, lv

[83] Pachow, 42

[84] Lihat Edgerton, 1-2; Lamotte, History of Indian Buddhism, 552-556

[85] Ñāṇamoḷi, Path of Purification 486-487 (XIV 25)

[86] Collins (81) mengatakan tentang “definisi-sendiri yang berbasis teks” dari Mahāvihāra.

[87] Mahāvaṁsa 33.99

[88] Terdapat suatu catatan dalam Samantapāsādikā 3.582 tentang perselisihan atas suatu poin dari Vinaya, di mana, dalam peringatan yang luar biasa dari pengaruh teladan Aśoka, diselesaikan oleh menteri sang raja. Saya tidak dapat menemukan bacaan ini dalam Sudassanavinayavibhāsā, yang mungkin memiliki suatu hubungan [dengan] Abhayagiri.

[89] Dalam Cūḷavaṁsa (lanjutan yang belakangan dari Mahāvaṁsa) terdapat suatu kisah tentang suatu teks tertentu bernama “Dhammadhātu”, yang dibawa dari India. (Cv 41.37ff.) Raja, yang tidak dapat membedakan apa yang benar dan salah, menyimpannya dalam tempat suci dan memujanya. Ajaran-ajaran yang diajarkan dalam teks ini sepenuhnya dikesampingkan: kita diberitahukan bahwa raja tidak memahami teks ini. Apa yang dipertaruhkan adalah ritual pemujaan naskah fisik.

[90] Mahāvaṁsa 33.111: vetullavādino bhikkhū, abhayagirinivāsino / gāhayitvāsaṭṭhimatte, jinasāsanakaṇṭake.

[91] Lamotte, History of Indian Buddhism, 371. Beberapa penulis modern (lihat Perera, 37) menghubungkan ini dengan Vātsīputrīya (Puggalavādin). Ini mungkin tidak sepenuhnya tidak tepat, karena sejak masa Nikāyasaṅgraha tidak terdapat banyak kejelasan tentang aliran-aliran ini.

[92] Cūḷavaṁsa 73.19 Kejadian ini juga tercatat dalam prasasti Galvihara dari Parakkamabāhu. Lihat Hallisey, 178

[93] Cūḷavaṁsa 78.6

[94] Cūḷavaṁsa 78.27

[95] Buddhaghosa, xvi

[96] Mahāvaṁsa 37.216ff

[97] Mahāvaṁsa 37.227

[98] I-Tsing, 9-10

[99] Terima kasih saya haturkan kepada Rupert Gethin atas informasi ini.

[100] Ini merupakan referensi pada kisah Pukkusāti dalam Dhātuvibhaṅga Sutta, yang meninggalkan keduniawian karena keyakinannya kepada Sang Buddha sebelum secara resmi menerima penahbisan. Ñāṇasaṁvara juga menyebutkan pelepasan keduniawian Mahāpajāpati, bhikkhuni pertama, sebagai suatu teladan yang berharga dalam konteks ini.

[101] Samānasaṁvāsa, suatu istilah teknis Vinaya yang berarti dapat melakukan saṅghakamma bersama.

seniya:
BAB 4
Monster atau Orang Suci?
SAYA SEKARANG INGIN MELIHAT pada beberapa kisah perpecahan, yang mengawali pemisahan pertama, ke dalam Sthavira dan Mahāsaṅghika. Nama yang paling terkenal adalah Mahādeva.[102] Bagi sumber-sumber Pali (termasuk Sudassanavinayavibhāsā), Mahādeva merupakan salah satu misionaris yang dikirim oleh Moggaliputtatissa. Ia merupakan salah satu guru[103] untuk penahbisan Mahinda, dan dengan demikian berdiri pada sumber asli tradisi Mahāvihāravāsin.[104] Mahādeva dipercaya dengan misi ke Mahiṁsaka (Andhra?), di mana ia mengajarkan kotbah tentang utusan surgawi [Devaduta Sutta]: 40.000 orang menembus Dhamma, sedangkan 40.000 orang lagi ditahbiskan. Frauwallner menganggap daerah ini sebagai rumah bagi aliran Mahīśāsaka, dan menyatakan ini berasal dari hasil misi ini. Mempertimbangkan kedekatan bukti Mahīśāsaka dengan tradisi Mahāvihāravāsin, hubungan ini tidaklah mengejutkan.

Tetapi terdapat Mahādeva yang lain. Ia juga dikatakan tinggal di Pāṭaliputta pada masa Aśoka. Ia juga seorang pemimpin suatu kelompok besar dalam periode perpecahan. Dan ia juga berhubungan dengan wilayah Andhra. Mempertimbangkan hubungan yang mengejutkan ini, kelihatannya aneh bahwa identifikasi keduanya tidak diambil begitu saja. Sampai kita menyadari siapakah Mahādeva [yang kedua] ini: pencetus “lima tesis” yang dicerca dan dihina; pembunuh ayah dan ibunya, pembunuh seorang Arahat, pemicu perpecahan awal yang selamanya memisahkan komunitas Buddhisme awal yang bersatu.

Namun, kisah mengerikan ini ditemukan dalam komentar Sarvāstivādin Mahāvibhāṣā, kelihatannya harus diperjuangkan atas dukungan historisnya. Dalam bab ini kita akan meninjau kembali sumber-sumber utara yang utama atas perspektif mereka terhadap perpecahan pertama. Dalam bab berikutnya kita akan melihat bagaimana ini berhubungan dengan Mahādeva yang seharusnya.

Samayabhedoparacanacakra oleh Vasumitra[105]

Ulasan yang terkenal dan berpengaruh tentang asal mula aliran-aliran disusun oleh seorang Sarvāstivādin bernama Vasumitra. Berdasarkan landasan ajaran teks ini diperhitungkan lebih awal daripada Mahāvibhāṣā, dan mungkin seharusnya diperkirakan berasal dari masa sekitar 500 AN (100 M). Teks ini ada dalam tiga terjemahan bahasa Mandarin dan satu bahasa Tibet.

Menurut Vasumitra, sekitar 100 tahun setelah Nirvana (116 tahun menurut terjemahan Kumārajīva), ketika Aśoka memerintah di Pāṭaliputta, Sangha terbagi menjadi Mahāsaṅghika dan Sthavira, disebabkan oleh lima tesis. Lima tesis ini menganggap ketidaksempurnaan seorang Arahat, yang semuanya kelihatannya agak berbeda dengan kesempurnaan yang diberikan kepada Arahat dalam sutta-sutta awal. Tetapi penafsirannya adalah semuanya, dan banyak sarjana telah menyimpulkan setelah pemeriksaan yang dekat bahwa tesis ini, sementara bersifat kontroversial, tidak mengandung fitnah yang serius terhadap Arahat. Mereka mungkin hanya berlaku pada beberapa Arahat, atau hanya berhubungan dengan hal-hal duniawi yang tidak penting dalam pencerahan spiritual.[106]

Dalam Vasumitra dan tempat lainnya lima tesis diberikan dalam suatu syair berkarakteristik samar. Berikut adalah versi Paramārtha:

Orang lain mengotori jubah
Ketidaktahuan; keragu-raguan; dan dituntun oleh orang lain;
Jalan suci muncul melalui ucapan:
Itulah ajaran Sang Buddha yang sejati[107]

Berbagai nama disebutkan sebagai yang mendukung lima tesis: Nāga (atau Mahāraṭṭha dalam terjemahan Paramārtha), Pratyantika (?), Bahuśruta; dan dalam dua terjemahan sebuah nama tambahan, mungkin Mahābhadra.[108] Mahādeva tidak muncul dalam dua terjemahan bahasa Mandarin yang lebih awal dari Vasumitra, ataupun dalam terjemahan bahasa Tibet.[109]

Hanya yang terakhir dari tiga terjemahan bahasa Mandarin, oleh Xuan-zang, menyebutkan Mahādeva, dengan mengatakan: “Dikatakan karena empat perkumpulan tidak sepaham dalam pendapat mereka atas lima poin Mahādeva.”[110] Lamotte menyatakan bahwa detail ini disisipkan dari Mahāvibhāṣā, yang juga diterjemahkan oleh Xuan-zang. Pernyataan ini dapat ditegaskan dengan suatu perbandingan rangkuman syair dari tesis menyimpang ini. Ini adalah karakter untuk karakter yang sama dengan versi (yang diterjemahkan di bagian bawah) dari Mahāvibhāṣā. Xuan-zang menerjemahkan Mahāvibhāṣā pada tahun 656-659 M dan Vasumitra pad tahun 662, maka ia pasti telah menyalin terjemahan awalnya dari Mahāvibhāṣā ke dalam Vasumitra. Ini membuktikan Xuan-zang dipengaruhi oleh Mahāvibhāṣā dalam terjemahannya atas Vasumitra, dan sehingga kita dibenarkan dalam berpikir bahwa penyisipan Mahādeva juga merupakan suatu penemuan baru Xuan-zang, dan tidak ada dalam teks India.

Adalah agak memalukan bahwa, walaupun kenyataan bahwa Lamotte dengan jelas menunjukkan bahwa Mahādeva ini adalah suatu penyisipan belakangan dalam ulasan Vasumitra, kita masih melihat banyak sekali referensi yang menyatakan bahwa Vasumitra menyalahkan perpecahan aliran kepada Mahādeva.[111] Ini tidak meragukan lagi disebabkan nama baik Xuan-zang sebagai penerjemah. Adalah poin penting, karena nama Mahādeva dilumuri dengan kotoran skandal tidak seperti yang lain, dan baunya akan tetap tertinggal selama ia dihubungkan dengan asal mula Mahāsaṅghika.

Semua terjemahan Vasumitra mengatakan seorang Mahādeva yang belakangan, dan sehingga kita oleh sebab itu akan membedakan Mahādeva I, penyebab perpecahan yang seharusnya, dari Mahādeva II. Ia adalah seorang pertapa dari agama lain yang ditahbiskan dalam Mahāsaṅghika 200 tahun setelah Nirvana, dan mendirikan sub-aliran Caitya.[112] Xuan-zang, setelah menyebutkan Mahādeva yang pertama, mengatakan bahwa setelah 200 tahun terdapat seseorang yang ditahbiskan, meninggalkan yang salah dan menjalankan yang benar, yang juga bernama Mahādeva.[113] Dengan demikian ia dengan jelas mengakui keberadaan dua orang Mahādeva. Ini tidak serta merta jelas apa hubungan, jika ada, antara kedua Mahādeva satu sama lain.

Nikāyabhedavibhaṅgavyakhyāna oleh Bhavya[114]

Bhavya, atau Bhāvaviveka, adalah seorang filsuf Madhyamaka dari abad ke-6 M. Ia mencatat tiga kisah perpecahan bersama-sama dengan penjelasan aliran-aliran dan ajarannya. Bhavya I adalah pendapat yang sebenarnya dari Bhavya dan gurunya, sedangkan ia mencatat Bhavya II (Vibhajjavādin) dan Bhavya III (Puggalavāda) untuk kepentingan catatan itu. Ia juga memasukkan suatu tradisi lebih jauh yang menganggap perpecahan berasal dari perselisihan filosofis, khususnya perdebatan Sarvāstivādin dalam ketiganya. Bhavya menulis pada masa yang jauh dari kejadian-kejadian itu, walaupun tidak diragukan ia bergantung pada sumber-sumber yang lebih awal yang saat ini lenyap dari kita.

Daftar pertama (Bhavya I) meniru daftar Vasumitra, dengan beberapa perubahan kecil tetapi penting.[115] Ini biasanya dianggap sebagai asal mula Sarvāstivādin, tetapi tidak seperti Vasumitra aliran pertama yang disebutkan bukan Sarvāstivāda tetapi Haimavata atau “Sthavira awal” (“Mūlasthavira”). Tidak mungkin kelompok mana pun menyebut kelompok lain sebagai “Sthavira awal”, maka sebutan ini pasti persepsi aliran itu sendiri. Mungkin Bhavya I seharusnya dilihat sebagai variasi Haimavata terhadap Vasumitra.

Atau mungkin ini sebaliknya: Vasumitra adalah variasi Sarvāstivāda dari Bhavya I. ini adalah hipotesis yang radikal, karena Bhavya ditulis jauh belakangan daripada Vasumitra. Tetapi Vasumitra juga menunjuk pada Haimavata sebagai Mūlasthavira.[116] Mengapa seorang penulis Sarvastivādin menyebut kelompok lain sebagai “Sthavira awal”? Dalam pemikiran biasa, Sthavira yang muncul dari perpecahan Mahāsaṅghika seharusnya dianggap sebagai “Sthavira awal”. Tetapi Vasumitra menyisipkan Sarvastivādin pada puncak daftarnya sedangkan Haimavata sebagai yang kedua, walaupun mereka disebut “Sthavira awal”. Lebih alami menganggap Bhavya I sebagai yang awal mula, yang membuat daftar itu suatu penyusunan Haimavata, dan Vasumitra suatu pengulangan Sarvastivādin. Jika terdapat suatu kebenaran dalam hipotesis ini, agak mengejutkan bahwa bukti prasasti untuk semua aliran, bahkan dalam tahap pembentukannya, adalah Haimavata; dan lagi dalam Haimavata kita melihat apa yang mungkin menjadi bentuk paling awal dari daftar aliran-aliran.

Ciri khas lainnya dari Bhavya I adalah bahwa ia memberikan sejumlah sinonim untuk Sarvastivādin: Hetuvādins (= Vasumitra), Muruntaka, dan Vibhajjavādin. Ini dengan jelas menyatakan bahwa Sarvastivādin dapat disebut Vibhajjavādin; tetapi ketika menjelaskan istilah-istilah ini belakangan kemudian, kisah yang sama mendefinisikan Sarvāstivāda dan Vibhajjavāda sebagai istilah yang berlawanan. Keadaan masalah yang aneh ini hanya akan masuk akal jika daftar awal muncul pada suatu masa dan tempat di mana Sarvāstivāda = Vibhajjavāda, tetapi penjelasan rincinya berasal dari masa yang belakangan, ketika kedua istilah ini menjadi bermakna ajaran yang berlawanan. Karena teks-teks Sarvāstivādin sendiri memperlakukan Vibhajjavādin sebagai lawan, mungkin identifikasi ini dapat muncul dari teks-teks ini; oleh sebab itu nama alternatif ini hilang dari Vasumitra. Istilah Muruntaka sulit dipahami. Bhavya menjelaskannya sebagai “mereka yang tinggal di Gunung Muruntaka”. Ini mungkin suatu penunjukan pada pegunungan Urumuṇḍa di dekat Mathura, yang dikenal dalam bahasa Pali sebagai Ahogaṅgapabbata. Pegunungan ini merupakan lokasi vihara-vihara hutan dari patriark besar (Mūla) Sarvāstivādin Śāṇavāsin and Upagupta, dan juga adalah tempat pengasingan diri patriark Konsili Ketiga, Moggaliputtatissa.

Daftar Bhavya kedua (Bhavya II) tidak memberikan informasi tahun atau sebab perpecahan, dan hanya memberikan daftar pemisahan aliran-aliran. Teks ini menganggap perpecahan awal menjadi tiga aliran: Sthavira, Mahāsaṅghika, dan Vibhajjavādin. Cousins meyakini ini pasti versi Vibhajjavādin daratan [India], karena ia memperlakukan Vibhajjavādin sebagai salah satu aliran awal. Dengan demikian ini mewakili persepsi Vibhajjavādin sendiri atas diri mereka sendiri sebagai kelompok yang berhubungan erat yang terdiri atas Mahīśāsaka, Kaśyapīya, Dharmaguptaka, dan Tāṁraśātīya (= Mahāvihāravāsin?). Tentu saja, jika teori ini benar, ini hanya akan berlaku sebagai bukti dari periode menengah yang belakangan (sekitar 400 M), dari masa ketika kutipan ini jelas berasal. Kita mencatat bahwa Vibhajjavādin daratan mungkin melihat diri mereka sendiri sebagai pembentuk kelompok-kelompok aliran yang demikian, tetapi persepsi demikian tidak dapat dibuktikan bagi Mahāvihāravāsin, yang melihat diri mereka sendiri sebagai yang tersendiri secara radikal.

Daftar Bhavya yang paling penting tidak diragukan lagi adalah Bhavya III, yang mencatat perspektif Puggalavāda, yang tidak diketahui dari sumber mana pun. Kisah ini sama seperti kisah Vasumitra, tetapi berbeda dalam banyak detail. Dikatakan bahwa 137 tahun setelah Nirvana, di bawah raja-raja Nanda dan Mahāpadma (pendahulu Aśoka), terdapat sekumpulan bhikkhu besar di Pāṭaliputta: Mahākaśyapa, Mahāloma, Mahātyāga, Uttara, Revata, dst. Māra mengambil bentuk seorang bhikkhu yang bernama Bhadra dan mengemukakan lima tesis. Belakangan Sesepuh Nāga dan Sāramati (atau Sthiramati) yang “sangat terpelajar” (bahuśruta) mengadopsi lima tesis, yang mengakibatkan perpecahan antara Mahāsaṅghika dan Sthavira.[117] Nama Nāga bersesuaian dengan Vasumitra.[118] Bhadra mungkin sama dengan 大德 dari Paramārtha dan Xuan-zang. Bahuśruta juga bersesuaian dengan Vasumitra dan mungkin Śāriputraparipṛcchā, walaupun terdapat beberapa ambiguitas apakah kita harus menganggapnya sebagai sebuah nama atau sebuah kata sifat.

102 tahun kemudian, Mahāsaṅghika terpecah. Mahādeva, yang sebelumnya seorang pertapa yang mengikuti ajaran lain dan tinggal di sebuah pegunungan dengan sebuah cetiya, menolak beberapa ajaran dasar Mahāsaṅghika, dan mendirikan sub-aliran Cetiya dari Mahāsaṅghika (yang berbasis di Andhra).[119] Inilah satu-satunya Mahādeva yang dikenal Bhavya, dan jelas sama dengan Mahādeva II dari Vasumitra. Ini seharusnya tidak mengalihkan perhatian bahwa tiga daftar Bhavya mewakili perpektif beberapa aliran, dan Mahādeva I tidak memiliki bagian untuk berperan.

Bhavya III sepaham dengan Dīpavaṁsa dalam menempatkan perpecahan pertama sebelum Aśoka. Kesepahaman dalam hal periode perpecahan ini telah dianggap beberapa sarjana menunjukkan bahwa sumber-sumber ini saling memperkuat dan oleh sebab itu pasti memiliki suatu landasan historis yang asli. Tetapi ini sangatlah problematik. Kita melihat bahwa penanggalan Dīpavaṁsa atas perpecahan sepenuhnya tidak berguna, dan tidak ada sumber lain menempatkan perpecahan sebelum Aśoka. Tidak ada keberatan dalam kesepahaman kedua sumber jika salah satu sumber dapat ditunjukkan salah. Lebih lanjut, selain dari periode umum dan kenyataan kosong dari dua perpecahan antara Sthavira dan Mahāsaṅghika, Dīpavaṁsa dan Bhavya III tidak memiliki hal yang umum: bukan sebabnya (revisi tekstual vs. 5 tesis); bukan waktu spesifiknya (100 AN vs. 137 AN); bukan tempatnya (Vesālī vs. Pāṭaliputta); bukan rajanya (Kāḷaśoka vs. Nanda dan Mahāpadma); bukan prosedurnya (Dīpavaṁsa menggambarkan Mahāsaṅghika pergi keluar dengan sendirinya untuk menyusun teks mereka, sedangkan Bhavya III menggambarkan suatu konflik dan pemisahan). Kita harus memeras dengan keras untuk menggali makna apa pun dari semata-mata kesepahaman periode umum ini.

Bhavya III dapat dibandingkan, bukan dengan Dīpavaṁsa, tetapi dengan Vasumitra. Tetapi penanggalan hanyalah sumber kebingungan: Bhavya III ditetapkan di bawah pemerintahan raja-raja yang lebih awal, tetapi karena perbedaan penanggalan dari masa Sang Buddha sampai Aśoka, tanggal kalendernya lebih belakangan (137 AN vs. 116 AN dari Vasumitra). Tidak ada dari hal ini yang memberikan kita keyakinan bergantung pada semua penanggalan ini.

Dengan demikian Bhavya berdiri sebagai kisah yang tersendiri, yang bertentangan dengan semua sumber lain dalam banyak detail penting termasuk penanggalan, dan yang disusun berabad-abad setelah kejadian tersebut: Bhavya menulis pada abad ke-6, dan sumbernya untuk bagian ini mungkin berasal dari sekitar abad ke-3 s/d ke-6.[120] Para bhikkhu yang disebutkan tidak muncul sebagai satu kelompok di tempat lain mana pun, dan sementara beberapa nama adalah familiar, tidak ada bukti yang mendukung untuk suatu kelompok yang demikian. Penyebutan Bhadra yang dirasuki Māra memberikan cukup bukti atas sifat polemik dari kisah ini. Tāranātha kemungkinan menggambarkan ia sangat jahat seakan-akan ia dirasuki Māra.[121]

Bhavya III tidak diambil berdasarkan nilai mukanya bahkan dalam tradisi Tibet. Tāranātha, yang menulis pada abad ke-17 berusaha mempersatukan berbagai sumber termasuk Bhavya dan kisah Vaibhāśika tentang Mahādeva, menempatkan Mahādeva setelah Aśoka, kemudian Bhadra sebagai salah satu pengikutnya; sama halnya para bhikkhu lain yang disebutkan dalam kisah Bhavya di atas ditempatkan dalam generasi-generasi setelah Aśoka, ketika penyimpangan semakin parah sehingga menyebabkan perpecahan pada masa Nanda yang belakangan. Benar atau tidak dari versi Tāranātha bukan poin di sini, tetapi ini memberikan suatu contoh untuk tidak menerima kronologi dari Bhavya III.

Kita telah melihat bahwa mitologi Mahāvihāravāsin melukiskan gambar latar belakang yang cukup rinci bagi kita untuk memahami motif dalam menempatkan perpecahan ketika mereka melakukannya. Di bawah ini kita akan melihat bahwa hal yang sama berlaku bagi Sarvāstivāda, dan beberapa tingkat bagi Mahāsaṅghika. Tetapi tidak ada materi legenda yang bertahan dari kelompok aliran Puggalavāda.[122] Dengan demikian tidak ada cara mengambil kesimpulan apakah motif khusus mereka dalam menempatkan perpecahan begitu awal. Tetapi kita dapat menganggap bahwa mereka memiliki rasa penyesalan yang sedemikian, yang berhubungan dengan kebutuhan universal manusia untuk mencari otoritas kuno atas tradisi spiritual diri sendiri. Dalam kasus ini unsur penting dalam kisah mereka adalah untuk menempatkan perpecahan pada masa Nanda dan Mahāpadma, dan dengan demikian (seperti Mahāvihāravāsin) menetapkan latar untuk memberitahukan kemenangan besar mereka di bawah Aśoka beberapa dekade kemudian.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version