Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)

<< < (2/22) > >>

Yumi:
102  Pañcattaya Sutta
Lima dan Tiga

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu,”—“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(SPEKULASI TENTANG MASA DEPAN)

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan.

(I)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(II)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(III)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(IV)   Atau mereka menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian].
(V)   Atau beberapa menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini.

“Demikianlah (a) mereka menggambarkan keberadaan diri yang tidak hancur setelah kematian; (b) atau mereka menggambarkan pemusnahan kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian]; (c) atau mereka menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini. Demikianlah [pandangan-pandangan] ini dari lima menjadi tiga, dan dari tiga menjadi lima. Ini adalah ringkasan dari ‘lima dan tiga’.

3. (I) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana [229] yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan bahwa diri itu, yang memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi;
   Atau memiliki persepsi dari kesatuan;
   Atau memiliki persepsi dari keberagaman;
   Atau memiliki persepsi terbatas;
   Atau memiliki persepsi tanpa batas.
Atau yang lainnya, di antara sedikit dari mereka yang melampaui hal ini, beberapa menyatakan tentang kasiṇa-kesadaran, yang tanpa batas dan tanpa gangguan.

4. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki diri dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu sebagai materi … atau mereka menggambarkannya sebagai memiliki persepsi dan tanpa batas. Atau yang lainnya, [230] beberapa menyatakan tentang landasan kekosongan, tanpa batas dan tanpa gangguan; [bagi mereka] “tidak ada apa-apa” dinyatakan sebagai persepsi yang paling murni, paling tinggi, paling baik, dan tidak terlampaui—apakah persepsi bentuk, persepsi tanpa bentuk, persepsi kesatuan, atau persepsi keberagaman. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

5. (II) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

6. “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah; ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, tanpa persepsi.’

7. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Bahwa petapa atau brahmana mana pun mengatakan: “Terlepas dari bentuk materi, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan, aku akan menjelaskan datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kemunculan kembalinya, pertumbuhannya, peningkatannya, dan kematangannya.”—itu adalah tidak mungkin. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

8. (III) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

9. “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah dan tanpa persepsi adalah kelumpuhan; [ ]ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, bukan [ ]persepsi juga bukan tanpa-persepsi.’

10. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki persepsi juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Jika petapa atau brahmana mana pun menjelaskan bahwa memasuki landasan ini terjadi melalui bentukan-bentukan sehubungan dengan apa yang dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali, itu dinyatakan sebagai bencana dalam memasuki landasan ini. [232] Untuk landasan ini, dinyatakan, tidak dicapai sebagai pencapaian dengan bentukan-bentukan; landasan ini, dinyatakan, dicapai sebagai pencapaian dengan sisa-sisa bentukan-bentukan. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

11. (IV) “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian] [ ]mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Semua petapa dan brahmana baik ini, bergegas ke depan, menyatakan keterikatan mereka sebagai berikut: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’ Seperti halnya seorang pedagang yang pergi ke pasar dan berpikir: ‘Karena ini, itu akan menjadi milikku; dengan ini, aku akan mendapatkan itu’; demikian pula, para petapa dan brahmana baik ini tampak seperti para pedagang itu ketika mereka menyatakan: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’

12. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian], karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. [ ]Seperti halnya seekor anjing yang terikat oleh tali pengikat pada sebuah tiang atau tonggak [233] akan terus-menerus belari dan berputar di sekeliling tiang atau tonggak yang sama itu; demikian pula, para petapa dan brahmana baik itu, karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

13. [ ]“Para bhikkhu, petapa atau brahmana mana pun yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan, semuanya menyatakan kelima landasan ini atau salah satu di antaranya.

-----------------------
*** Bersambung

ko indra, yg ini uda betul blm ya? krn beda dgn yg no. 10.
8. (III) “Di sana, ... menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:

10. “Sang Tathāgata, ... menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian,

trus yg ini "mereka mengkritik"nya dihapus kan?
11. (IV) “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian] [ ]mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan

Yumi:
Lanjutan 102  Pañcattaya Sutta
-----------------------------------------

(SPEKULASI TENTANG MASA LAMPAU)

14. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa lampau dan menganut pandangan tentang masa lampau, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa lampau.

(1)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(2)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(3)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi dan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(4)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan abadi juga bukan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(5)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(6)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(7)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas dan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
( 8 )   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan terbatas juga bukan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(9)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi kesatuan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(10)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi keberagaman: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(11)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(12)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi tidak terukur: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(13)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(14)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kesakitan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(15)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan dan kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(16)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’


15. (1) “Di sana, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal ini—itu adalah tidak mungkin. [ ]Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

16. (2-16) “Di sana, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi ... abadi dan tidak abadi ... bukan abadi juga bukan tidak abadi ... terbatas ... tidak terbatas ... terbatas dan tidak terbatas ... bukan terbatas juga bukan tidak terbatas ... memiliki persepsi kesatuan ... memiliki persepsi keberagaman ... memiliki persepsi terbatas ... memiliki persepsi tidak terukur ... [mengalami] kenikmatan luar biasa ... [mengalami] kesakitan luar biasa ... [mengalami] kenikmatan dan kesakitan ... tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal ini—itu adalah tidak mungkin. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

(NIBBĀNA DI SINI DAN SAAT INI)

17. (V) “Di sini, Para bhikkhu, [ ]seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan.’ Kegembiraan keterasingan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. [ ]Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul.

18. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

19. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, masuk dan berdiam dalam kenikmatan nonduniawi. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kenikmatan nonduniawi.’ Kenikmatan nonduniawi itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul. [236] Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul.

20. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

21. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan dan kenikmatan nonduniawi, masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan nonduniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan nonduniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul.

22. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

23. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, kenikmatan nonduniawi, dan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’

24. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’ Tentu saja yang mulia ini menyatakan jalan menuju Nibbāna. Namun petapa atau brahmana baik ini masih melekat, melekat apakah pada pandangan tentang masa lampau atau pada pandangan tentang masa depan atau pada belenggu kenikmatan indria atau pada kegembiraan keterasingan atau pada kenikmatan nonduniawi atau pada perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Dan ketika yang mulia ini menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan,’ itu juga dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak petapa atau brahmana baik ini. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

25. “Para bhikkhu, kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini telah ditemukan oleh Sang Tathāgata, yaitu, kebebasan melalui ketidakmelekatan, [ ]dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak. Para bhikkhu, itu adalah kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini yang ditemukan oleh Sang Tathāgata, [238] yaitu, kebebasan melalui ketidakmelekatan, dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Yumi:
103  Kinti Sutta
Bagaimana Pendapat Kalian mengenai Aku?

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusināra, di Hutan Persembahan. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”—“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku, Para bhikkhu? Bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi makanan? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi tempat tinggal? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi kehidupan yang lebih baik?”

“Kami tidak berpendapat demikian mengenai Sang Bhagavā: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah, atau demi makanan, atau demi tempat tinggal, atau demi kehidupan yang lebih baik.’”

“Jadi, Para bhikkhu, kalian tidak berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah … atau demi kehidupan yang lebih baik.’ Maka bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku?”

“Yang Mulia, kami berpendapat seperti berikut mengenai Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelaskasihan.’”

“Jadi, Para bhikkhu, kalian berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Sang Bhagavā berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelaskasihan.’

3. “Maka, Para bhikkhu, hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsung—yaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapan—dalam hal-hal ini kalian semuanya harus berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan.

4. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih tinggi.

5. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya,’ [ ]maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: [‘]‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam. Dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

6. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan.’ [204] Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

7. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ [  ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

8. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam. Dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

9. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, seorang bhikkhu mungkin melakukan suatu pelanggaran.

10. “Sekarang, Para bhikkhu, kalian tidak boleh terburu-buru menegurnya; melainkan, orang itu harus diperiksa sebagai berikut: ‘Aku tidak akan direpotkan dan orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

11. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku tidak akan direpotkan, tetapi orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan. Akan tetapi, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa ia akan terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

12. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, tetapi orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, walaupun ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

13. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, dan orang itu mungkin akan terluka; [242] karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan dan orang itu mungkin terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

14. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan dan orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; dan aku tidak dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan tidak dapat mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Seseorang sebaiknya tidak meremehkan keseimbangan terhadap orang seperti itu.

15. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan, maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak salah satu pihak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ [ ]Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.’

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

16. “Kemudian bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak pada pihak yang berlawanan harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.’

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: [243] ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

17. “Jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia yang membuat para bhikkhu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkan mereka dalam yang bermanfaat?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, Teman-teman, aku menghadap Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma itu, aku berkata kepada para bhikkhu itu. Para bhikkhu itu mendengarkan Dhamma itu, dan mereka keluar dari yang tidak bermanfaat dan menjadi kukuh dalam yang bermanfaat.’ Dengan menjawab demikian, bhikkhu itu tidak meninggikan dirinya sendiri juga tidak merendahkan orang lain; ia menjawab sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataannya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Yumi:
104  Sāmagāma Sutta
Di Sāmagāma

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Sāmagāma.

2. Pada saat itu, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia di Pāvā.  Setelah kematiannya, para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok; dan mereka bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Caramu salah. Caraku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan di awal [244] engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya engkau katakan di akhir engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan saksama telah diputarbalikkan. Pernyataanmu telah diperlihatkan. Engkau telah dibantah. Pergi dan belajarlah lebih baik, atau bebaskan dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Sepertinya seolah-olah terjadi pembantaian di tengah-tengah para murid Nigaṇṭha Nātaputta. Dan para pengikut awam berpakaian putih menjadi jijik, cemas, dan kecewa dengan murid-murid Nigaṇṭha Nātaputta, seperti seharusnya yang terjadi pada Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, yang tidak membebaskan, tidak menghasilkan kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak sepenuhnya tercerahkan, dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa perlindungan.

3. Kemudian Samaṇera Cunda, [ ]yang telah melewatkan musim hujan di Pāvā, mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang sedang terjadi.

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Samaṇera Cunda: “Sahabat Cunda, ini adalah berita yang harus disampaikan kepada Sang Bhagavā. Marilah kita menghadap Sang Bhagavā dan memberitahukan kepada Beliau.”

“Baik, Yang Mulia,” Samaṇera Cunda menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Samaṇera Cunda pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan [345] Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Samaṇera Cunda ini, Yang Mulia, mengatakan bahwa: ‘Yang Mulia, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia. Setelah kematiannya, para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok … dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa naungan.’ Aku berpikir, Yang mulia, ‘Semoga tidak terjadi perselisihan dalam Sangha ketika Sang Bhagavā telah meninggal dunia. Karena perselisihan demikian, akan mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.’”

5. “Bagaimana menurutmu, Ānanda? Hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepadamu setelah secara langsung mengetahuinya—yaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapan—adakah engkau melihat, Ānanda, bahkan dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini?”

“Tidak, Yang Mulia, aku tidak melihat bahkan ada dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini. Tetapi, Yang Mulia, ada orang-orang yang hidup dengan menghormati Sang Bhagavā yang mungkin, setelah Beliau meninggal dunia, menciptakan perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan penghidupan dan sehubungan dengan Pātimokkha. [ ]Perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.”

“Perselisihan sehubungan dengan penghidupan atau sehubungan dengan Pātimokkha adalah hal sepele, Ānanda. Tetapi jika muncul perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan jalan atau cara, [ ]perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.

6. “Terdapat, Ānanda, enam akar perselisihan ini. [ ]Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, [246] dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu, dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidakmunculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan.

7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu bersikap meremehkan dan congkak … iri dan tamak … curang dan menipu … berkeinginan jahat dan berpandangan salah, dan melepaskannya dengan susah-payah. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu, dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. [247] Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidakmunculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan. Ini adalah enam akar perselisihan.

12. “Ānanda, terdapat empat jenis perkara ini. Apakah empat ini? Perkara karena perselisihan, perkara karena tuduhan, perkara karena pelanggaran, dan perkara sehubungan dengan pelaksanaan perbuatan. Ini adalah empat jenis perkara.

13. “Ānanda, terdapat tujuh jenis penyelesaian perkara. [ ]Untuk menyelesaikan dan mendamaikan perkara pada saat terjadinya: penghapusan perkara melalui konfrontasi dapat diberikan, penghapusan perkara karena ingatan dapat diberikan, penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu dapat diberikan, pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran, pendapat mayoritas, pernyataan karakter buruk atas seseorang, dan menutup dengan rumput.

14. “Dan bagaimanakah terjadinya penghapusan perkara melalui konfrontasi? [ ]Di sini para bhikkhu berselisih: ‘Ini adalah Dhamma,’ atau ‘Ini bukan Dhamma,’ atau ‘Ini adalah Disiplin,’ atau ‘Ini bukan Disiplin.’ Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. [ ]Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sehingga sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah penghapusan perkara melalui konfrontasi. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui konfrontasi.

15. “Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sehingga sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas.

16. “Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ingatan? [  ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: [ ]‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ [248] Dalam kasus ini, penghapusan perkara karena ingatan harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ingatan. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ingatan.

Yumi:
17. “Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu? [ ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku telah menjadi gila, Teman, aku kehilangan akal-sehat, dan ketika aku gila aku mengatakan dan melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Aku tidak ingat, aku gila ketika aku melakukan hal itu.’ Dalam kasus ini, penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu.

18. “Dan bagaimanakah terjadinya pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran? Di sini seorang bhikkhu, apakah ditegur atau tidak ditegur, mengingat suatu pelanggaran, menyatakannya, dan mengungkapkannya. Ia harus mendatangi seorang bhikkhu senior, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia harus bersujud di kakinya. Kemudian, sambil duduk berlutut, ia harus merangkapkan tangan dan berkata: ‘Yang Mulia, aku telah melakukan pelanggaran itu; aku mengakuinya.’ Bhikkhu senior berkata: ‘Apakah engkau melihat?’—‘Ya, aku melihat.’—‘Apakah engkau akan mempraktikkan pengendalian di masa depan?’—‘Aku akan mempraktikkan pengendalian di masa depan.’ Demikianlah pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran. [ ]Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran. [249]

19. “Dan bagaimanakah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang? [ ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan. Tetapi, Teman-teman, aku ingat telah melakukan pelanggaran ringan itu.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Teman-teman, ketika tidak ditanya, aku mengakui telah melakukan pelanggaran ringan; jadi ketika ditanya, mengapa aku tidak mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Bhikkhu itu berkata: ‘Teman, jika engkau tidak ditanya, engkau tidak akan mengakui telah melakukan pelanggaran ringan ini; jadi mengapa, ketika ditanya, engkau mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan? Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia berkata: ‘Aku ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan. Aku bergurau, aku hanya meracau, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak ingat telah melakukan melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Demikianlah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pernyataan karakter buruk atas seseorang. [250]

20. “Dan bagaimanakah terjadinya menutup dengan rumput? [ ]Di sini ketika para bhikkhu telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, mereka mungkin telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah mereka berkumpul, seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak salah satu pihak bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’

“Kemudian seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak pihak lainnya bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’ Demikianlah menutup dengan rumput. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan menutup dengan rumput.

21. “Ānanda, terdapat enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. [ ]Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan [251] penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apa pun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalahpahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

22. “Jika, Ānanda, kalian menjalankan dan mempertahankan keenam prinsip kerukunan ini, apakah engkau melihat ucapan apa pun juga, baik hal kecil maupun hal besar, yang tidak dapat engkau terima?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Oleh karena itu, Ānanda, jalankan dan pertahankanlah keenam prinsip kerukunan ini. Hal itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version