Melepas Dua Putri, Ibu Terima Uang Susu Rp 6 Juta
Tidak seluruh amoy Singkawang yang digaet pria Taiwan hidup bahagia setelah
menikah. Tidak sedikit yang bernasib sebaliknya. Bahkan, sampai ada yang mengadu
ke polisi karena merasa dicurangi para makelar.
HASYIM ASHARI, Singkawang
Banyak keluarga Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar), yang
kebetulan anak gadisnya disunting pria Taiwan, bersikap tertutup bila dikorek
ceritanya.
Di antara sepuluh keluarga yang didatangi Pontianak Post (Grup Jawa Pos), hanya
dua yang bersedia diwawancarai. Salah satunya adalah keluarga Ng Khiuk Hiong.
Wanita 65 tahun ini tinggal di Kelurahan Sedau, sekitar 15 kilometer dari Kota
Singkawang.
Perjalanan ke rumah Khiuk harus melewati jalan setapak. Di kanan-kiri jalan
setapak itu, banyak tumbuh semak belukar. Jika dibandingkan dengan rumah-rumah
di sekitarnya, tempat tinggal Khiuk terlihat lebih mentereng dan lebih besar.
Ukurannya sekitar 6 meter x 14 meter.
"Dulu, rumah ini tidak begini. Bernapas saja susah," tutur Khiuk, mengawali
perbincangannya dengan Pontianak Post (PP).
Selama ngobrol, Khiuk harus didampingi penerjemah. Maklum, dia hanya bisa
berbahasa Khek, bahasa daerah setempat.
Kehidupan keluarga Khiuk pernah sangat menderita. Itu terjadi ketika suaminya,
Phang Hon Siu, jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1992. Sejak saat itulah,
Khiuk harus bekerja keras untuk menghidupi enam anaknya (tiga putri, tiga
putra). "Karena serba pas-pasan dan untuk makan saja susah, saya tidak kuat lagi
menyekolahkan mereka," ceritanya.
Di tengah kondisi keluarga yang serbasusah, datang seseorang ke rumah Khiuk.
Orang itu memberi tahu, ada pria Taiwan yang sedang mencari istri.
Kabar itu lantas diteruskan Khiuk ke putri sulungnya, Phang Miao Sung. Sung kini
berumur 32 tahun. Saat ditawari untuk menikah dengan pria Taiwan, usia Sung 19
tahun. Ketika itu, Khiuk berharap, jika putrinya benar-benar dinikahi pria
Taiwan, beban berat keluarganya bisa berkurang.
Pendek cerita, Sung akhirnya benar-benar dinikahi pria Taiwan. Setelah menikah,
Sung langsung diboyong ke Taiwan. "Menantu saya pedagang," ujar Khiuk, tanpa
bersedia merinci lebih jelas pekerjaan menantunya itu.
Agaknya, kisah sukses Sung digaet pria Taiwan membuat adik-adiknya terpengaruh
untuk mengikuti jejak sang kakak. Beberapa bulan setelah Sung menikah, adiknya,
Phang Miao Ha, juga dinikahi pria Taiwan. Bahkan, saat itu, umur Miao Ha baru 15
tahun (kini 28 tahun).
"Saya tidak pernah memaksa putri-putri saya. Saya bilang, kalau tidak cocok,
tidak perlu dipaksakan. Rupanya, mereka sama-sama suka," tutur Khiuk. Tak lenyap
dari ingatan Khiuk, saat melepas putri-putrinya untuk dinikahi pria Taiwan, dia
diberi uang susu Rp 3 juta. Jadi, untuk dua putrinya, Khiuk menerima Rp 6 juta.
Dua tahun berselang, putri ketiga Khiuk, Phang Yuk Fui, juga dinikahi pria
asing. Hanya, yang berbeda dengan kakak-kakaknya, Yuk Fui dinikahi pria asal
Hongkong. Setelah menikah, Yuk Fui juga diboyong suaminya ke Hongkong.
Sejak saat itulah, perekonomian keluarga Khiuk terus bertambah baik. Itu berkat
jasa tiga putrinya.
"Mereka mengirimi saya 5.000 dolar Taiwan (sekitar Rp 1,5 juta) dua bulan
sekali. Selain untuk keperluan sehari-hari, ditabung untuk bangun rumah," tutur
Khiuk yang kini dikaruniai lima cucu dari tiga anak perempuannya itu.
Kini, rumah Khiuk terlihat lebih mentereng daripada rumah-rumah lain di
sekitarnya. Dulu, rumah itu hanya berukuran 4 meter x 6 meter. Dinding dan
lantainya papan. Atapnya kumpulan daun nipah.
Tapi, sekarang, semua berubah. Di rumah itu ada empat kamar tidur. Dinding dan
lantainya dilapisi marmer.
Kisah keluarga Khiuk adalah potret mereka yang sukses setelah dinikahi pria
Taiwan. Tapi, tidak sedikit yang bernasib malang. Seorang di antara mereka
adalah Tjew Sin Fung. Amoy berusia 17 tahun itu bernasib malang setelah dinikahi
pria Taiwan. Ketika didatangi wartawan PP di tempat penampungannya di sebuah
shelter milik LBH Peka, Singkawang, wajahnya sendu. Selama menceritakan nasib
kelamnya, wanita bertubuh semampai yang akrab disapa Afung itu sesekali menyeka
air matanya yang berlinang.
Sama dengan kisah amoy-amoy lain, kesediaan Afung dinikahi pria Taiwan
dilatarbelakangi alasan ekonomi. "Waktu itu saya ingin membantu mama,"
ceritanya.
Dia lantas menuturkan penggalan pahit kehidupan keluarganya. "Bapak saya
meninggal dua tahun lalu karena sakit paru-paru," katanya. Sejak saat itu, ibu
Afung, Tjew Miao Ngo, yang berusia 55 tahun menjadi tulang punggung keluarga.
Afung dan dua saudaranya hidup dalam kemelaratan.
Setahun kemudian, pada 2006, Afung ditawari bibinya, Kimoi, menikah dengan pria
Taiwan. "Kata bibi, umur pria Taiwan itu 30-an tahun," ujarnya. Terdorong ingin
membantu keluarga, Afung tidak berpikir panjang. Pernikahan pun dilaksanakan.
Saat itu Mei 2006. Seluruh biaya pernikahan ditanggung pengantin pria. Saat itu,
mama Afung diberi angpau Rp 6 juta. Afung diberi Rp 1 juta. Setelah menikah,
Afung diboyong suaminya ke Taiwan.
Di sana, dia diajak hidup di rumah mertua. "Ternyata, suami saya pengangguran.
Untuk uang belanja saya, dia minta mamanya," cerita Afung.
Tak hanya itu, Afung juga sering disekap di dalam kamar berukuran sekitar 4
meter x 4 meter. "Itu terjadi selama dua bulan. Saya benar-benar tidak tahan,’
kata Afung yang hanya mengenyam sekolah hingga kelas 3 SMP itu.
Karena tidak kuat, Afung minta cerai. Suaminya setuju, tapi mengajukan syarat:
Afung harus membayar Rp 30 juta. Sebab, sebesar itulah uang yang sudah
dikeluarkan selama proses menyunting, menikahi, hingga memboyong Afung.
Karena tidak punya uang sebanyak itu, Afung mengadu kepada Afuk. Dia adalah
makelar asal Taiwan yang memfasilitasi pernikahan Afung. "Saat itu, dia (Afuk)
menawari saya, kalau ingin dapat uang Rp 30 juta, saya harus mau ditawarkan ke
pria Taiwan lainnya untuk dinikahi," ujarnya. Cerita sampai di situ, Afung mulai
menitikkan air mata.
Terdorong ingin pisah dari suami pertamanya, Afung menyetujui tawaran Afuk.
Sejak saat itu, Afung mulai ditawarkan Afuk. Selama menunggu suami baru, Afuk
menyediakan berbagai fasilitas. Mulai makan, penginapan, hingga sebuah sedan
mewah untuk bepergian.
"Saya ditawarkan dari rumah ke rumah. Tiap rumah kami ketuk untuk mengetahui
apakah saya cukup diminati untuk dijadikan istri. Dari rumah pertama hingga
kesembilan, rupanya, tidak ada yang mau. Kalaupun ada, saya yang tidak mau. Baru
di rumah kesepuluh, pria bernama Lai Chin Fin, 32, tertarik dengan saya. Saya
juga sudah lelah, jadi langsung mengaku cocok kepada Afuk," bebernya.
Afung lantas menjalin hubungan dengan Lai Chin Fin. "Kami akhirnya menikah
Agustus 2006," tuturnya. Setelah pernikahan dilangsungkan di Taiwan, Afung
mengutarakan niatnya kepada Afuk agar diizinkan pulang ke kampung halamannya di
Bengkayang. Alasannya, ingin menjenguk sang ibu. Awalnya, Afuk tidak setuju.
Tapi, setelah diyakinkan, makelar itu akhirnya mengizinkan. Afuk lantas
mengontak kaki tangannya (cangkau) di Singkawang dan Pontianak agar mengawasi
Afung selama berada di kampung halamannya. Tidak itu saja, sebelum pulang ke
tanah air, Afuk lebih dulu merekayasa identitas Afung. "Nama saya di paspor
diganti menjadi Tjiew Mei Ling. Umur saya juga dituakan menjadi 22 tahun,"
katanya. Sampai saat ini, Afung tidak mengerti mengapa identitasnya harus
direkayasa.
Setelah tiba di tanah air dan bertemu ibunya, tiba saatnya Afung harus balik ke
Taiwan. Tapi, balik ke Taiwan menjadi langkah berat bagi Afung. Saat itu, dia
mengaku masih trauma dengan pernikahan pertamanya. Afung lantas memberanikan
diri untuk melapor ke sebuah LSM (lembaga swadaya masyarakat) di Singkawang.
"Setelah saya laporkan, seorang cangkau langsung diringkus polisi," ceritanya.
Yang dilaporkan Afung adalah pemalsuan identitas dirinya.
Amoy lain bernasib malang yang juga berani melapor adalah Tun Sui Lang alias
Alang. Kehidupan pernikahan wanita 18 tahun itu dengan pria Taiwan hanya
bertahan satu tahun. Dia merasa dicurangi oleh Lina Moice, 53, makelar asal
Pademangan, Jakarta Utara, yang menjadi perantara pernikahannya. Akhirnya, dia
mengadukan si makelar itu ke polisi. Selanjutnya, Lina Moice ditangkap polisi.
Kini, dia mendekam di LP Singkawang.
Fenomena para amoy berani mengadukan nasibnya yang teraniaya itu dianggap
sebagai hal yang menarik. Sebab, selama puluhan tahun praktik kawin campur itu
mentradisi, baru kali itulah ada yang berani mengadukan nasibnya.
Hal ini dibenarkan Hairiah SH, anggota Komnas HAM Perwalian Kalimantan Barat
(Kalbar) Divisi Kelompok Khusus.
"Kalau ada yang mengatakan, pengantin pesanan (praktik kawin campur) bukan
masalah, lihat dulu. Apa karena hanya satu-dua orang yang bermasalah, terus kita
semua diam?" kata Hairiah yang mantan direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Kalbar itu.
Menurut dia, sejak dari awal, praktik kawin campur para amoy dengan pria Taiwan
(pengantin pesanan) itu kebanyakan dibarengi dengan berbagai tindak pelanggaran.
Pelanggaran itu, lanjutnya, bisa berupa pemalsuan identitas, kepemilikan paspor
ganda, pemaksaan kehendak, mempekerjakan anak di bawah umur, tipu daya, hingga
jerat utang.
Dia bahkan menyebut, pengantin pesanan merupakan wajah lain dari trafficking.
Pernikahan yang terjadi, lanjutnya, bukan bertujuan untuk mencari pasangan hidup
dan kemandirian, melainkan eksploitasi pihak-pihak tertentu untuk mengeruk
keuntungan. Belum lagi pihak perempuan yang menjadi subordinat.
"Ini kejahatan transnasional yang terorganisasi," tegasnya seraya menyebut
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang
sebagai acuan.
Dia menambahkan, di Taiwan, pengantin pesanan berposisi rentan terjadi kekerasan
dalam rumah tangga. "Mereka (para amoy yang dinikahi pria Taiwan) tidak
mendapatkan kepastian hukum sebelum menetap selama empat tahun. Selama itu
mereka masih dianggap warga negara kelas rendah," jelasnya. (habis)