Bro GandalftheElder, Bro Bond, Bro Andri, Bro Upasaka, dan Sis Pannadevi,
Dalam diskusi ini, saya menangkap seolah-olah orientasi seksual disamakan dengan Pandaka. Namun kalau kita menilik arti kata sebenarnya dari "pandaka" yang berarti "laki-laki yang tidak memiliki buah pelir" maka secara harafiah yang dimaksudkan dalam sutra-sutra adalah kasim atau kaum kebirian. Dalam hal ini, di India, kasim atau kaum kebirian adalah laki-laki yang dengan sengaja mengangkat kelaminnya untuk menjadi pandaka. Di India modern pun, kaum kebirian dikenal dengan nama "Hijrah." Hijrah bukan sekadar persoalan transformasi jenis kelamin seperti konsep "transeksual" di Barat. Hijrah sebenarnya sangat berbeda dengan waria. Hijrah atau kasim (atau Pandaka) mengangkat alat kelaminnya, sedangkan banyak waria sama sekali tidak dan transeksual melakukan operasi ganti kelamin (bukan sekadar menghilangkan kelaminnya). Di India, Hijrah juga dikenal memiliki kekuatan atau kesaktian dan memperoleh penghidupannya dengan berkeliling dari rumah ke rumah untuk memberikan berkat karena dipercaya berkat yang diberikan oleh Hijrah lebih manjur daripada berkat dari dewa
)
Nah, kalau kita kembali ke Pandaka, maka tidak lain yang dimaksud sebenarnya adalah kaum kebirian ini, bukan homoseksual ataupn waria. Kedua yang terakhir ini, sebenarnya adalah konsep yang lahir karena pengaruh budaya Barat. Pandaka sendiri tidak langsung sinonim artinya dengan homoseksual dan waria, namun meliputi deskripsi rentang perilaku dan kondisi fisik yang luas. Kelima jenis Pandaka tersebut adalah:
(1) asittakapandaka: orang yang memperoleh kepuasan dari mengoral kelamin orang lain dan dari menelan air maninya, atau siapa hanya menjadi secara seksual terpuasukan setelah menelan air mani orang lain.
(2) ussuyapandaka: voyeurisme, seseorang yang memperoleh kepuasan seksual dari menonton laki2 dan wanita saling berhubungan seks.
(3) opakkamikapandaka:Kasim (Eunuch), orang-orang yang orang seksual dikastrasi. Yang lain tidak sama dengan empat jenis dari pandaka Orang-orang ini mencapai kondisi mereka setelah kelahiran dan tidak terlahir sebagai pandaka. Dalam hal ini, Laksamana Ceng Ho yang banyak dipuja oleh orang Tionghoa sebenarnya termasuk dalam golongan ini.
(4) pakkhapandaka: Orang-orang yang menjadi secara seksual tergugah di paralel dengan tahap dari bulan.
(5) napumsakapandaka (juga kadang kala dipanggil sekedar napumsaka): Seseorang dengan alat kelaminnya tidak bisa ditentukan dengan jelas, apakah laki-laki atau perempuan, mempunyai hanya satu saluran kandung kemih. Berbeda dengan yang nomer 3, napumsaka terlahirkan dengan alat kelamin yang tidak jelas atau tidak ada. Beberapa orang menafsirkan hal ini sama dengan homoseks yang dikatakan kebanci-bancian, namun yang diartikan di sini sebenarnya jelas, yang tidak jelas adalah alat kelaminnya. Dalam dunia kedokteran kita mengenal Interseks, yaitu orang dilahirkan dengan kelamin ganda atau hermaprhodite. Jadi jelas yang dimaksud sebagai napumsaka adalah interseks atau hermaprhodite, bukan homoseks karena pada dasarnya secara genital atau fungsi reproduksi seksual tidak ada gangguan sama sekali pada apa yang kita sebut sebagai homoseks.
Nah, dari kelima jenis pandaka di atas, sama sekali tidak disinggung tentang "percintaan antara sesama jenis" melainkan hanyalah deskripsi mengenai perilaku tertentu (misalnya oral seks & voyeurisme) dan orang dengan kondisi genital tertentu (kasim dan interseks) serta orang yang terakhir adalah orang yang memiliki siklus seksual yang aneh dan tidak lazim karena muncul dan hilang mengikuti bulan. Dalam hal ini, sebagian darinya bisa berlaku juga untuk heteroseksual.
Lebih lanjut lagi, jika kita periksa ke Vinaya Pitaka, kita akan menemukan pada bagian Sangghadisesa, "Ketika itu seorang bhikkhu bermaksud untuk membuat (mani) keluar, berkata kepada seorang samanera, "Mari, Awuso, Samanera, peganglah alat kelamin saya ." Ia memegang alat kelaminnya dan asucinya pun keluar. Muncul penyesalan pada dirinya ... "Bhikkhu anda telah melakukan pelanggaran sangghadisesa." (Vinaya Pitaka, Buku 1, hal. 275) Kutipan ini menunjukkan bahwa memegang alat kelamin pada sesama bhikkhu hingga air mani keluar menyebabkan bhikkhu tersebut akan dibawa ke persidangan sangha dan diberi hukuman, namun dalam hal ini tidak berarti harus lepas jubah (ciimw), karena tidak dianggap sebagai dukkata. Hanya bhikkhu yang secara diam-diam menyentuh alat kelamin samaneran pada saat ia sedang tertidur dianggap sebagai dukkata.
Dalam hal ini, kita lihat bahwa aksi menyentuh kelamin sesama jenis hingga air mani keluar tidak dimasukkan ke dalam kriteria Pandaka, padahal dalam perspektif masa kini perilaku tersebut akan dikategorikan sebagai homoseksual. Hukuman berat hanya akan diberikan pada yang menyerang secara gelap di malam-malam yang sebenarnya identik dengan pelecehan seksual dan pemerkosaan (cmiiw, soalnya saya kurang paham benar bedanya sangghadisesa dan dukkata).
Jadi, jika kita di sini konsep "pandaka" tidak sama dengan homoseks dan pada kenyataannya tidak semua perilaku yang kita anggap homoseksual pada masa kini dianggap sebagai pandaka. Dengan kata lain, yang dilarang dalam sila ketiga Buddhis adalah perilaku tertentu seperti oral seks dan voyeurisme yang dapat dianggap sebagai perilaku seks yang salah.
Kelima sila Buddhis jangan dilihat sebagai seperangkat aturan baku yang sifatnya kaku dan ketat definisinya. Sebaliknya. sila-sila Buddhis diadakan untuk membantu umat Buddhis untuk mengulangi lobha, moha dan dosa di dalam dirinya. Perilaku seks yang salah dan mengambil barang yang bukan miliknya harus dikaitkan kembali dengan lobha, meminum minuman memabukan dan berbohong harus dilihat sebagai moha, sedangkan membunuh adalah dosa. Maka ketika kita membahas perilaku seks yang salah, sebenarnya singkatnya adalah semua perilaku seks yang dilandaskan pada lobha yang kuat adalah salah, tidak peduli apakah orang itu orientasi seksualnya homoseks atau heteroseks. Bahkan untuk yang menjalankan kehidupan suci sangat jelas sekali kalau seks itu sendiri adalah bentuk lobha. Pancasila Buddhis dalam hal ini adalah soal mengikis habis lobha, moha dan dosa, bukan soal menentukan secara definitif dan teknis mana perilaku yang melanggar mana yang tidak sebagaimana dilakukan dalam syariah agama I.
Mengenai apakah perilaku homoseks adalah menyimpang atau tidak, telah jelas kukatakan bahwa dalam ilmu psikologi dan psikiater menurut standar WHO, APA hingga Depkes RI semuanya telah sepakat untuk mencabutnya dari kriteria gangguan jiwa. Jika kemudian ada yang melihat seseorang menjadi homoseks akibat kamma buruk di masa lampau, saya setuju akan hal ini. Namun, kondisi yang merupakan kamma buruk dari masa lampau tidak harus dijadikan aib atau menyimpang. Misalnya, perempuan dan orang yang terlahir cacat pun dalam Buddhisme dianggap sebagai hasil kamma buruk di masa lampau, namun tidak berarti mereka harus dianggap menyimpang, dikucilkan serta diasingkan semata-mata karena kondisi yang dibawanya sejak lahir. Selain itu cukup aneh, jika seseorang menyandang kondisi yang dibawanya sejak lahir, kemudian harus dianggap melanggar pancasila semata-mata karena kondisi yang dibawa sejak lahir tersebut???
Inilah yang menjadi perdebatan antara saya dan bro upasaka, apakah homoseksual adalah bawaan atau pilihan. Dalam hal ini, secara ilmiah telah banyak dibuktikan bahwa homoseks adalah hasil dari bawaan. Lihat artikel ini:
http://en.wikipedia.org/wiki/Biology_and_sexual_orientation. Jika seseorang menjadi homoseks karena bawaan sejak lahir sungguh aneh seseorang dikucil dan dianggap melanggar sila hanya karena ia menjadi homoseks?
Mengenai apakah seorang homoseks bisa mencapai tingkat kesucian atau tidak. Jika menurut Abhidhamma, maka orang yang dianggap dapat mencapai jhana adalah Tihetuka Puggala (yaitu orang yang terlahir dengan moha, lobha dan dosa yang tipis), sedangkan Dvihetuka Puggala dan Ahetuka Puggala dianggap tidak mungkin mencapai jhana. Namun, pembagian ini sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin ataupun komposisi hormon atau kromosom di tubuh seseorang. Dalam hal ini, saya sebenarnya sangat meragukan jika ada yang mengatakan bahwa seseorang tidak bisa mencapai tingkat kesucian semata-mata hanya karena kondisi fisik yang dibawanya sejak lahir. Dalam Mahayana, saya juga mengenal bahwa semua makhluk hidup memiliki "Bodhicitta" atau hakikat Kebuddhaan dalam dirinya dan memiliki potensi yang sama untuk mencapai Kebuddhaan, maka jika pertanyaan apakah seorang homoseks bisa mencapai Kebuddhaan atau tidak? Maka jawabanku berdasarkan pandangan ini.
Terimakasih atas diskusinya. Saya juga akan mengakhiri diskusi ini sampai sini saja. Untuk teman-teman gay, lesbian dan waria Buddhis yang kebetulan mengikuti diskusi ini mohon jangan berkecil hati dikarenakan pandangan sebagian anggota forum ini. Saya tetap menyampaikan bahwa semua makhluk memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai Kebuddhaan atau tingkat kesucian manapun, jangan putus asa untuk terus berlatih! Seorang laki-laki heteroseks pun, yang dikatakan lahir karena hasil kamma baik di masa lampau, jika tidak berlatih dan tenggelam dalam lobha, moha dan dosa tetap tidak ada gunanya! Okey selamat berjuang dan semoga semua makhluk mencapai pantai seberang!