Ada 9 hal yg secara alamiah tak mampu dilakukan oleh seorang arahat: menyimpan kepemilikan, secara sengaja membunuh bentuk kehidupan apapun,mencuri, melakukan hubungan seksual, mengatakan kebohongan yg disengaja, dan bertindak tidak pantas karena nafsu,karena niat buruk, karena delusi,atau karena rasa takut (Angutara Nikaya IX,7).
Sebagai contoh,karena nafsu indrawi telah sepenuhnya teratasi,tak ada lagi percikan api yg tersisa untuk memantik nafsu seks. Semua Arahanta "betul-betul impoten"
Lebih Jauh, para Arahanta telah membasmi, sekali untuk selamanya, tiga jenis kesombongan(mana): "aku lebih buruk"; dan "aku setara". Di dalam
ajaran Buddha, bahkan perendahan diri seperti "aku payah" dipandang sebagai kesombongan dalam bentuk kebalikannya. Para Arahanta, sudah menjadi bawaanya, tidak mampu lagi mempersepsi dalam kerangka "aku"(Samyuta Nikaya 22,89). Mereka memandang tubuh dan pikiran sebagai proses impersonal. Bagi mereka, tidaklah beralasan membandingkan sebuah proses dengan proses lainnya seperti halnya membandingkan nilai sepotong kayu dengan sebutir mangga.
Berkaitan dengan 3 bentuk kesombongan, hanya pada pencerahan penuhlah semua perbandingan pribadi padam.
Kontroversi2 lama dan merepotkan, seperti apakah seorang Arahat lebih tinggi daripada Bodhisatva ataukah sebaliknya, semuanya lenyap. Seorang Arahat menjalani hidup kebenaran, yg tanpa inti diri, melampui ukuran2 semacam itu. Elitisme bukanlah bagian dari pencerahan penuh. Demikianlah kita dapat mengharapkan kerendahan hati sejati dari seorang Arahat, seperti yg ditunjukan oleh kisah berikut.
Bhikkhu Sariputta adalah seorang Arahat terkemuka, diakui semua orang sebagai luar biasa bijaksana. Suatu pagi beliau pergi utk menerima dana makanan dgn mengenakan jubah yg tidak rapi. Seorang samanera cilik memergoki hal itu dan secara terbuka mengingatkan bhikkhu agung tersebut. Alih-alih menanggapi dengan sesuatu seperti "Emangnya kamu siapa, anak kecil, berani2nya menegur aku!" dengan tenang Bhikkhu Sariputta memeriksa untuk melihat apakah beliau memang tidak mengenakan jubah dengan rapi. Melihat bahwa ternyata benar adanya, Bhikkhu Sariputa pergi ke balik semak, merapikan jubahnya lantas muncul kembali untuk berterima kasih kepada samanera cilik itu, memuji hormat anak itu sebagai "guru saya" Itulah kerendahan hati nan anggun, sebuah ciri seorang Arahat (Th-a 2,116)
Sumber buku: Mindfulness, Bliss, And Beyond
Penulis : Ajahn Brahm