Yap, saya setuju dengan saudara fabian bahwa kita hendaknya menerima poin2 dalam Atthakathā yang tidak bertentangan dengan Tipitaka / ajaran fundamental Sang Buddha. Bahkan saya pribadi melihat bahwa ada beberapa poin yang tidak begitu jelas di dalam Tipitaka, ternyata diperjelas dalam Atthakathā dan yang terpenting bisa dialami kebenarannya saat ini.
Namun demikian, masih ada satu ganjalan dengan satu pernyataan di atas bahwa Atthakathā disusun oleh para arahat yang umumnya (atau semuanya) belajar langsung dari Sang Buddha. Jika kita menyelidiki Atthakathā saat ini, isi kitab ini terus mengalami tambahan2 mungkin sejak Konsili Agung Pertama (pathamasaṅgiti) sampai setidaknya pada abad 3 Setelah Masehi. Setelah Atthakathā dibawa Bhikkhu Mahinda dari India ke Sri Lanka pada abad 3 Sebelum Masehi, di Sri Lanka, isi Atthakathā ini mengalami berbgai penambahan. Ini terlihat dengan banyak sekali kejadian2 yang terjadi di Sri Lanka atau nama2 bhikkhu terkenal di Sri Lanka dimasukkan ke dalam Atthakathā. Mungkin awalnya Atthakathā disusun oleh para arahat, namun apakah tambahan2 yang muncul belakangan juga disisipkan oleh para arahat? Hmm.... masih jadi pertanyaan.. Anyway, siapapun yang menyusun Atthakathā entah arahat atau bukan tidak begitu bermasalah. Yang penting jika isi Atthakathā itu membantu seseorang dalam mengembangkan pikiran2 positif dan melenyapkan pikiran2 negatif, hendaknya kita menerimanya.
Samanera yang saya hormati,
Saya rasa memang benar Atthakata ada tambahan-tambahan belakangan tapi saya rasa hanya beberapa yang merupakan tambahan, ada beberapa hal yang menjadi bahan pemikiran saya mengenai hal ini,
- Saya rasa memang tidak semua Atthakata yang ditulis berasal langsung dari jaman konsili pertama.
- Bahkan walau Sutta sekalipun tidak semuanya merupakan kata-kata Sang Buddha contohnya: Payasi Sutta; Digha Nikaya. Dan beberapa sutta yang lain bukan kata-kata Sang Buddha dan ditambahkan oleh para Arahat pada konsili pertama, tetapi isinya sejalan dengan ajaran Sang Buddha.
- Jadi menurut pendapat saya Tipitaka adalah kumpulan ajaran Buddha. (Sammasambuddha maupun Savakabudha)
-Yes or no diterima sebagai bagian Tipitaka adalah berdasarkan kesepakatan diantara Bhikkhu-Bhikkhu yang kompeten dan kredibel di masanya.
- Ada juga mereka yang belajar Dhamma, menghakimi Atthakata bahkan Abhidhamma, tidak jarang mereka yang menghakimi ini memiliki gelar cukup menyeramkan Phd, ini adalah realitas nyata yang kita alami (bahkan isu ini berhembus sangat kencang di Srilangka di Universitas tertentu).
Mungkin banyak diantara kita yang diliputi illusi bahwa bhikkhu di masa lampau karena tak ada pendidikan formal dianggap mereka memiliki intelektual yang lebih rendah daripada kita, orang-orang yang hidup di jaman modern. Padahal bila melihat banyak fakta tidaklah demikian.
Sebagai contoh Visuddhi Magga yang disusun oleh Achariya Buddhagosa bukan merupakan suatu karya yang bisa dianggap sepele bahkan bila dipandang dari kacamata modern, elaborasinya yang luar biasa bisa dianggap merupakan karya agung yang belum bisa tertandingi bahkan oleh manusia jaman sekarang.
Oleh karena itu sepantasnya bila kita menilai hal-hal yang berkaitan dengan dhamma jangan melihat
Who's, who, where, when... tetapi melihat
what...Sehingga saya berkesimpulan sejalan dengan Samanera:
Anyway, siapapun yang menyusun Atthakathā entah arahat atau bukan, masa lampau atau masa sekarang, ditulis di India Srilangka Thai maupun Indonesia, tidak begitu bermasalah. Yang penting jika isi Atthakathā itu membantu seseorang dalam mengembangkan pikiran2 positif dan melenyapkan pikiran2 negatif, hendaknya kita menerimanya.
maaf ijinkan saya menambahkan sedikit yang warna biru Samanera.