//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Membaca Sutta secara kritis  (Read 51511 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #60 on: 25 August 2008, 11:30:13 PM »
mempertanyakan keotentikan tipitaka sebenernya bukanlah barang baru. sudah banyak skolar (mulai tahun 18xx sampe 19xx) yg mendalami dan menggali teks2 awal buddhis, dokumen2 sejarah dan kitab2 komentar, bukan saja yg berbahasa pali namun teks2 yg tersebar di berbagai negara dan tempat yg berusia tua dan telah ditelusuri berasal dari buddhism awal (early buddhism).

dari membaca, mengumpulkan dan merangkum seluruh dokumen2 dan teks2 tersebut ternyata ada beberapa pola yg menarik:

* kitab2 yg berasal dari sekte2 awal buddhis yg tersebar di berbagai negara, beragam bahasa tersebut memiliki bagian2 (sutta) yg sangat mirip dan perbedaannya hanya dari segi bahasa yg sepele, namun berintikan ajaran dan pesan yg sama

* kitab2 yg berasal dari sekte2 awal buddhis yg tersebar di berbagai negara, beragam bahasa tersebut masing2nya terdapat bagian2 yg tidak diketemukan pada kitab versi yg lainnya

* kitab2 yg berasal dari sekte2 awal buddhis yg tersebar di berbagai negara, beragam bahasa tersebut memiliki bagian2 yg identik, namun ada yg urut2annya sudah berubah (hasil restrukturisasi untuk mengorganisirnya secara sistematis menurut struktur2 tertentu)

* ttg perkataan di mahaparinibbana sutta yaitu membandingkan kata2 seseorang yg mengaku mendengar dari mulut Sang Buddha dengan beracuan pada sutta (dan vinaya), sebuah kitab komentar yg tua (netti?),  kata "sutta" di sini mengacu pada 4 kebenaran mulia, alias kotbah pertama Sang Buddha yg memuat ajaran paling penting: dhammacakkapavatana sutta

* beberapa kesimpulan menyimpulkan penggolongan teks menjadi 3: sutta, vyarakana dan geyya. sutta yg merupakan bagian yg paling tua (contohnya dhammacakkapavattana sutta, dan sutta2 di samyutta) menjadi sumber utama ajaran yg paling dasar, bersifat deklaratif (artinya bukan tanya jawab panjang, melainkan berupa penjelasan), selalu berisikan ajaran monastik (juga bersifat transcendental / lokuttara), sedangkan vyarakana berbentuk tanya jawab prosa, biasanya tanya jawab yg panjang dengan murid dan biasanya bersifat monastik dan geyya biasanya berbentuk gabungan prosa dan puisi, ditujukan pada umat awam, dewa atau lain2, bersifat inspirasional / devosional.

sudah tentu semuanya ini tetaplah teori dan tidak ada kepastian mutlak mengenai mana yg lebih tua dan lebih otentik, namun jelas sekali bahwa tipitaka itu melalui perkembangan selama ratusan tahun hingga menemukan bentuknya yg sekarang. mayoritas besar (kalo tidak bisa dikatakan semua) skolar buddhis setuju dengan ini...

silakan setuju atau tidak, ini hanya sekadar informasi...
bagaimanapun juga lebih penting praktek dan mengkonfirmasikan apa yg anda baca dengan pengalaman dan praktek anda sendiri, dalam hal ini bermeditasi, bukan hanya membaca secara intelektual...
« Last Edit: 25 August 2008, 11:37:36 PM by morpheus »
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Mengapa harus merasa kerdil? Bukankah SB telah membekali kita Kalama-sutta?
« Reply #61 on: 26 August 2008, 12:25:00 AM »
Bila ada yang mempertanyakan keotentikan Tipitaka dengan kondisi "kita" saat ini bukankah seperti seekor anak burung pipit yang baru menetas yang memberi komentar seekor rajawali gagah yang sedang terbang?
Bila dengan sedikit kejelian atau kebetulan atau dengan upaya penuh kesengajaan, ada rekan yang menemukan inkonsistensi penggunaan istilah dalam satu atau dua sutta, lalu apakah berarti sutta tersebut bukan berasal dari mulut Sang Buddha. Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa sutta tersebut bukan dari mulut Sang Buddha? Bagaimana pula kita meminta orang lain untuk membuktikan bahwa sutta tersebut otentik dari mulut Sang Buddha?
Kita hanya menggunakan logika-logika terbatas yang kita miliki? Kalau kita kemudian dengan dalil-dalil kita berhasil meyakinkan orang bahwa sutta itu tidak otentik, kemajuan bathin apa yang kita peroleh? Hanya untuk menunjukkan bahwa kita adalah seorang intelektual buddhis?
Mengapa harus berusaha mensejajarkan diri kita dengan para murid utama, para tipitakadhara, para pencapai kesucian, kalau kita masih seekor anak burung pipit yang menetas saja mungkin juga belum?
Salam,
CKRA

Mengapa pula kita harus merasa kerdil? Bukankah Sang Buddha sudah wanti-wanti agar kita jangan menerima begitu saja apa yang dikatakan kitab suci, apa yang dikatakan guru-guru? Melainkan mengkaji sendiri, apakah suatu ajaran itu bermanfaat bagi kemajuan batin kita atau tidak.

Apa gunanya mengkaji secara kritis Tipitaka? Satu contoh: dalam Mahaparinibbana sutta ditampilkan seolah-olah Sang Buddha berkata "pembebasan hanya ada di dalam ajaranku; di dalam ajaran guru-guru lain tidak ada pembebasan". Apakah itu benar? Ternyata tidak. Itu cuma membuat umat Buddha menjadi seperti katak di bawah tempurung, tidak mampu melihat pembebasan di dalam ajaran-ajaran lain. Selain menjadi katak di bawah tempurung, ajaran seperti itu cuma membuat umat Buddha menjadi arogan di antara penganut berbagai agama. Jelas itu bukan ajaran Sang Buddha, sekalipun tercantum dalam Mahaparinibbana-sutta.

Contoh kedua: di dalam sutta yang sama ditampilkan seolah-olah Sang Buddha mengajarkan bahwa ukuran keabsahan suatu ajaran sebagai ajaran Buddha adalah dengan membandingkan dengan Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka. Apakah itu benar? Itu sangat bertentangan dengan semangat Kalama-sutta. Kalau ajaran itu dianut secara membuta-tuli, lalu bagaimana dengan ajaran yang terkandung dengan kitab-kitab Mahayana, Vajrayana dsb? Apakah semua itu "ajaran palsu" karena tidak tercantum dalam Sutta Pitaka & Vinaya Pitaka? Jelas ajaran seperti itu cuma membuat umat Buddhis Theravada menjadi umat yang arogan di antara sesama umat Buddha. Jelas ajaran itu bukan ajaran Buddha.

Salam,
hudoyo

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #62 on: 26 August 2008, 12:31:16 AM »
Bila ada yang mempertanyakan keotentikan Tipitaka dengan kondisi "kita" saat ini bukankah seperti seekor anak burung pipit yang baru menetas yang memberi komentar seekor rajawali gagah yang sedang terbang?
Bila dengan sedikit kejelian atau kebetulan atau dengan upaya penuh kesengajaan, ada rekan yang menemukan inkonsistensi penggunaan istilah dalam satu atau dua sutta, lalu apakah berarti sutta tersebut bukan berasal dari mulut Sang Buddha. Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa sutta tersebut bukan dari mulut Sang Buddha? Bagaimana pula kita meminta orang lain untuk membuktikan bahwa sutta tersebut otentik dari mulut Sang Buddha?
Kita hanya menggunakan logika-logika terbatas yang kita miliki? Kalau kita kemudian dengan dalil-dalil kita berhasil meyakinkan orang bahwa sutta itu tidak otentik, kemajuan bathin apa yang kita peroleh? Hanya untuk menunjukkan bahwa kita adalah seorang intelektual buddhis?
Mengapa harus berusaha mensejajarkan diri kita dengan para murid utama, para tipitakadhara, para pencapai kesucian, kalau kita masih seekor anak burung pipit yang menetas saja mungkin juga belum?
Salam,
CKRA

Mengapa pula kita harus merasa kerdil? Bukankah Sang Buddha sudah wanti-wanti agar kita jangan menerima begitu saja apa yang dikatakan kitab suci, apa yang dikatakan guru-guru? Melainkan mengkaji sendiri, apakah suatu ajaran itu bermanfaat bagi kemajuan batin kita atau tidak.

Apa gunanya mengkaji secara kritis Tipitaka? Satu contoh: dalam Mahaparinibbana sutta ditampilkan seolah-olah Sang Buddha berkata "pembebasan hanya ada di dalam ajaranku; di dalam ajaran guru-guru lain tidak ada pembebasan". Apakah itu benar? Ternyata tidak. Itu cuma membuat umat Buddha menjadi seperti katak di bawah tempurung, tidak mampu melihat pembebasan di dalam ajaran-ajaran lain. Selain menjadi katak di bawah tempurung, ajaran seperti itu cuma membuat umat Buddha menjadi arogan di antara penganut berbagai agama. Jelas itu bukan ajaran Sang Buddha, sekalipun tercantum dalam Mahaparinibbana-sutta.

Contoh kedua: di dalam sutta yang sama ditampilkan seolah-olah Sang Buddha mengajarkan bahwa ukuran keabsahan suatu ajaran sebagai ajaran Buddha adalah dengan membandingkan dengan Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka. Apakah itu benar? Itu sangat bertentangan dengan semangat Kalama-sutta. Kalau ajaran itu dianut secara membuta-tuli, lalu bagaimana dengan ajaran yang terkandung dengan kitab-kitab Mahayana, Vajrayana dsb? Apakah semua itu "ajaran palsu" karena tidak tercantum dalam Sutta Pitaka & Vinaya Pitaka? Jelas ajaran seperti itu cuma membuat umat Buddhis Theravada menjadi umat yang arogan di antara sesama umat Buddha. Jelas ajaran itu bukan ajaran Buddha.

Salam,
hudoyo

ini senada dengan postingan rekan tesla (mungkin merupakan ajaran MMD), dan izinkan saya mengulangi pertanyaan saya, apakah ini asumsi ataukah memang sudah terbukti? kalau sudah terbukti bisa minta referensinya?

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #63 on: 26 August 2008, 12:32:56 AM »
 [at] Semit

Referensinya adalah hati nurani Anda sendiri, para pembaca.

Offline Semit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 172
  • Reputasi: 30
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #64 on: 26 August 2008, 12:38:16 AM »
[at] Semit

Referensinya adalah hati nurani Anda sendiri, para pembaca.

Nah... Sdr. Hudoyo yang bijaksana, telah memposisikan diri sebagai wakil dari hati nurani para pembaca. Apakah semua pembaca memiliki hati nurani yang sama dan menyimpulkan dengan cara yang sama? mungkin saja statement ini berlaku bagi sebagian pembaca yang telah terindoktrinasi dengan MMD, tapi ini tetap tidak mewakili "para" pembaca _/\_

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #65 on: 26 August 2008, 12:44:30 AM »
ini senada dengan postingan rekan tesla (mungkin merupakan ajaran MMD), dan izinkan saya mengulangi pertanyaan saya, apakah ini asumsi ataukah memang sudah terbukti? kalau sudah terbukti bisa minta referensinya?

Saya rasa pembahasan ini tidak ada kaitannya dengan ajaran MMD. Anda tidak perlu menggunakan sentimen itu.
Saya sendiri bukan eksponen apa-apa dalam MMD. Tak tahulah rekan Tesla dan Morpheus bagaimana.
Yang jelas, pendapat bahwa Tipitaka tidak semuanya otentik, adalah pendapat banyak orang yang mempelajari Buddhism dengan open minded dan juga para scholar / Buddholoog di dunia internasional.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Nanda-sutta (Sn 5.7) -- deklarasi pluralisme ajaran Sang Buddha
« Reply #66 on: 26 August 2008, 01:00:20 AM »
Saya baru saja mengkaji Nanda-sutta (Suttanipata 5.7) dengan membandingkan dua terjemahan Inggris (Thanissaro & terjemahan dari www.metta.lk) dengan teks aslinya. Sutta ini saya anggap sangat penting karena merupakan pernyataan Sang Buddha tentang pluralitas keyakinan, yang cocok dengan pluralisme keagamaan di zaman modern ini. Di situ Sang Buddha menyatakan bahwa pembebasan bisa tercapai di luar lingkungan Buddha-sasana, yaitu di kalangan petapa & brahmana dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu juga berlaku bagi umat Buddha sendiri; yakni antara lain: "melepaskan pandangan/doktrin, pengajaran, pengalaman, dan dengan memahami sepenuhnya keinginan, menjadi bebas dari kotoran batin." Istilah 'petapa & brahmana' (sama.na-braahma.naa) yang digunakan Sang Buddha dalam sutta ini jelas-jelas merujuk pada para pejalan spiritual di luar Buddha-sasana. Bukan "para arahat" sebagaimana dipahami oleh Rekan Kelana yang mencoba memutarbalik sutta ini untuk memenuhi pandangannya yang eksklusif dan fanatik. ... Mengingat pentingnya sutta ini, saya coba terjemahkan ulang dengan menggunakan kedua terjemahan Inggris dan teks aslinya. Terjemahan Indonesia yang ada terkesan bertele-tele dan tidak tepat.

Salam,
hudoyo


Suttanipata 5.7
Nanda-sutta
Pertanyaan Pemuda Nanda (Nanda-maanava-pucchaa)

YM Nanda bertanya: “Orang bilang, ada orang-orang arif (muni) di dunia. Di antara mereka, manakah yang disebut arif: yang memiliki pengetahuan, ataukah yang memiliki cara-hidup?” (1077)

Sang Buddha menjawab: “Nanda, bukan karena pandangan, pembelajaran, atau pengetahuan, seorang arif menjadi pandai; melainkan mereka yang hidup tanpa senjata, tanpa keinginan, tanpa kesulitan (visenikatvaa aniighaa niraasaa caranti), merekalah yang kunamakan arif (muni).” (1078)

YM Nanda bertanya: “Ada petapa (sama.na) & brahmana (braahma.naa) yang mengaku suci melalui pandangan/doktrin (di.t.thi), melalui sila & ritual (silabatta), dan melalui berbagai cara lain; dengan hidup seperti itu, apakah mereka telah mengatasi kelahiran (jaati) dan usia tua (jara)? Saya bertanya padamu, o Bhagava; jelaskanlah padaku.” (1079)

Sang Bhagava menjawab: “Para petapa & brahmana yang mengaku suci melalui pandangan, melalui sila & ritual, dan melalui berbagai cara lain, dengan hidup seperti itu, tidak seorang pun telah mengatasi kelahiran dan usia tua.” (1080)

YM Nanda bertanya: “Jika Sang Bhagava berkata, para petapa & brahmana yang mengaku suci melalui pandangan, melalui sila & ritual, dan melalui berbagai cara lain, tidak mampu menyeberangi arus banjir (ogha) ini, lalu siapakah di alam manusia & dewa ini (deva-manussa-loke) yang telah mengatasi kelahiran & usia tua? Saya bertanya padamu, o Bhagava; jelaskanlah padaku.” (1081)

Sang Bhagava menjawab: “Saya tidak berkata bahwa semua petapa & brahmana terbelenggu dalam kelahiran & usia tua. Mereka yang melepaskan pandangan/doktrin (di.t.tha.m), pengajaran (suta.m), pengalaman (muta.m) dan berbagai cara lain, dan dengan memahami sepenuhnya keinginan (ta.nha), menjadi bebas dari kotoran batin (anaasavaa), kukatakan padamu, merekalah yang menyeberangi arus banjir (ogha) ini.” (1082)

YM Nanda berkata: “Saya bersuka-cita, o Gotama, dengan kata-kata Sang Mahaarif, yang diutarakan dengan jelas, tanpa pemilikan. Barang siapa melepaskan pandangan/doktrin (di.t.tha.m), pengajaran (suta.m) & pengalaman (muta.m), dan berbagai cara lain (anekaruupa.m), dan dengan memahami sepenuhnya keinginan (ta.nha), menjadi bebas dari kotoran batin (anaasavaa), saya katakan pula, merekalah yang menyeberangi arus banjir (ogha) ini.” (1083)
« Last Edit: 26 August 2008, 01:03:17 AM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #67 on: 26 August 2008, 01:10:09 AM »
Nah... Sdr. Hudoyo yang bijaksana, telah memposisikan diri sebagai wakil dari hati nurani para pembaca. Apakah semua pembaca memiliki hati nurani yang sama dan menyimpulkan dengan cara yang sama? mungkin saja statement ini berlaku bagi sebagian pembaca yang telah terindoktrinasi dengan MMD, tapi ini tetap tidak mewakili "para" pembaca _/\_

Anda seenaknya membaca tulisan orang. ... Apa yang saya tulis adalah berdasarkan hati nurani saya. ... Saya tidak memaksakan hati nurani saya pada Anda. ... Bagaimana Anda membacanya terserah hati nurani Anda. ... Ada orang yang hati nuraninya fanatik, ada yang tidak fanatik ... Ada yang hati nuraninya melekat erat pada kitab suci, ada yang bebas menggunakan Kalama-sutta.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #68 on: 26 August 2008, 01:15:29 AM »
Apa ada Kemungkinan sebenarnya sang Buddha itu menyatakan bahwa Hanya ajarannya yang paling Benar, tapi sama murid2nya dirubah jadi seakan2 bersifat universal :))
Karena ajaran Sang Buddha khan harus Exclusive :))

Ini ngomong atau nglindur ...

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #69 on: 26 August 2008, 01:32:16 AM »
Sdr. Tesla memang benar bahwa Nanda membicarakan para guru yang di luar, tapi karena Sang Buddha melihat tidak terdapat guru yang melebihi Tathagatha dan Para Arahat pada masa itu maka Ia menyatakan dengan secara halus bahwa guru agama dan brahamna yang beberapa itu adalah para Tathagatha dan Para Arahat. Justru karena pertanyaan Nanda berhubungan dengan orang luar maka akan menjadi arogan jika Sang Buddha langsung menjawab “tidak ada” atau “hanya saya saja” atau “hanya kami saja”.

Seorang yang bebas (arahat/buddha) bukan seorang politikus seperti Anda. Seorang yang bebas bicara apa adanya. Banyak contohnya di dalam sutta-sutta, Sang Buddha selalu bicara blak-blakan kepada lawan bicaranya, entah bhikkhu entah orang luar. Yang baik dikatakan baik, yang jelek dikatakan jelek; tidak pernah yang jelek dikatakan baik, atau sebaliknya.


Quote
Coba kita bandingkan dengan Itivutaka 3.68 http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=879  yang merupakan pernyataan dari Sang Buddha yang bukan didasari dari pertanyaan seseorang dan tidak berkaitan dengan orang lain (guru lain), Ia menyatakan dengan tegas bahwa Tathagata yang Tertinggi.


hehe ... ini yang dikatakan oleh Suchamda "argumen yang berputar" (circular). Kalau ada non-Buddhis minta bukti obyektif tentang kebesaran Buddha, Anda menampilkan satu ayat dari Tipitaka. Apa artinya "bukti" seperti itu? ... :)) ... Persis sama kalau saya minta bukti kepada seorang Keristen bahwa "tidak ada keselamatan di luar nama Yesus" lalu ditunjukkannya ayat Alkitab ... atau kalau saya minta bukti kepada seorang Islam bahwa "hanya Islam yang diridhoi Allah", lalu ditampilkannya sebuah ayat Al-Qur'an. ... Apa artinya "bukti" seperti itu? :)) ... Belajarlah logika sedikit.


Quote
Mungkin ada yang bisa menunjuk suatu kelompok yang menjunjung suatu ajaran yang merupakan Paticcasamupadda dalam lebel yang berbeda?? Dipersilahkan untuk menunjuknya agar kita bisa membandingkannya dengan Paticcasamupadda yang dibabarkan oleh Sang Buddha.

Kenapa ribut-ribut soal Paticca-samuppada? Menurut Anda, apakah belajar paticca-samuppada syarat mutlak untuk pembebasan? Menurut saya, pengetahuan tentang paticca-samuppada SAMA SEKALI TIDAK DIPERLUKAN untuk pembebasan. ... Anda pernah bermeditasi vipassana atau tidak? ...

Quote
Pertanyaan yang sempat terpikir oleh saya, apakah ada yang salah ketika  Paticcasamupadda memang ekslusif dibabarkan oleh Buddha? Bagi saya Paticcasamupadda adalah suatu keunikan (kalau mau dibilang ekslusif).

Kali ini Anda betul 100%. Paticca-samuppada itu eksklusif ajaran Agama Buddha ... Sayangnya, karena pembebasan itu bersifat universal, maka paticca-samuppada-- maupun ajaran-ajaran eksklusif lain dari agama apa saja--sama sekali tidak relevan bagi tercapainya pembebasan.

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #70 on: 26 August 2008, 06:33:52 AM »
Untuk "pengetahuan" paticca samuppada, IMO juga tidak diperlukan.

Quote
Kali ini Anda betul 100%. Paticca-samuppada itu eksklusif ajaran Agama Buddha ... Sayangnya, karena pembebasan itu bersifat universal, maka paticca-samuppada-- maupun ajaran-ajaran eksklusif lain dari agama apa saja--sama sekali tidak relevan bagi tercapainya pembebasan.

Termasuk agama Buddha juga Pak Hud?

Jadi kalau eksklusif maka tidak relevan bagi pembebasan. Padahal dari semua agama dan ajaran hanya Buddhisme yang mengajarkan pembebasan (nibbana).

atau definisi pembebasannya berbeda pak?
There is no place like 127.0.0.1

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #71 on: 26 August 2008, 06:59:12 AM »
Apa ada Kemungkinan sebenarnya sang Buddha itu menyatakan bahwa Hanya ajarannya yang paling Benar, tapi sama murid2nya dirubah jadi seakan2 bersifat universal :))
Karena ajaran Sang Buddha khan harus Exclusive :))

Ini ngomong atau nglindur ...

kakakakak, dah jelas ini ngomong pak pak :))
karena saking eklusipnya maka banyak yang meniru ajarannya dan mencomotnya sana sini dan bikin ajaran baru, padahal intinya sama aja dari ajaran sang buddha juga bukan dari guru yang lain :)) sudah terbukti khan memang ajarannya yang paling Bener :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #72 on: 26 August 2008, 07:04:35 AM »
Kalo ajaran anata khan eklusip ajaran Buddha khan :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #73 on: 26 August 2008, 07:05:36 AM »
tumibal lahir eklusip juga khan ajaran Buddha.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kejanggalan-Kejangalan dalam Sutta
« Reply #74 on: 26 August 2008, 07:11:07 AM »
Untuk "pengetahuan" paticca samuppada, IMO juga tidak diperlukan.

Di dalam kesadaran vipassana, paling-paling paticca-samuppada disadari/dilihat dalam rumusannya yang paling sederhana, sekalipun di sini masih tercampur pikiran & ingatan akan pengetahuan yang pernah dipelajari di masa lampau:

"Imasmi.m sati, ida.m hoti.
Imass’ uppaadaa, ida.m uppajjati.
Imasmi.m asati, ida.m na hoti.
Imassa nirodhaa, idha.m nirujjhati."

"Bila ini ada, itu ada,
Dengan munculnya ini, muncul pula itu,
Bila ini tidak ada, itu tidak ada,
Dengan lenyapnya ini, lenyap pula itu."

Tidak pernah paticca-samuppada terlihat sebagai 12 nidana dalam kesadaran vipassana yang kuat; kalau muncul ingatan 12 nidana, itu cuma pengetahuan yang malah membuat pemeditasi vipassana tidak 'melihat apa adanya', itu cuma pengetahuan "Agama Buddha" -- berarti pikiran sudah beroperasi lagi tanpa disadari. Demikianlah pengetahuan agama Buddha malah sering kali menjadi penghambat orang 'melihat apa adanya' dalam praktik vipassana oleh seorang Buddhis, seperti juga ajaran agama lain bisa muncul sebagai penghambat bagi pemeditasi yang beragama lain.

Quote
Quote from: hudoyo
Kali ini Anda betul 100%. Paticca-samuppada itu eksklusif ajaran Agama Buddha ... Sayangnya, karena pembebasan itu bersifat universal, maka paticca-samuppada-- maupun ajaran-ajaran eksklusif lain dari agama apa saja--sama sekali tidak relevan bagi tercapainya pembebasan.

Termasuk agama Buddha juga Pak Hud?
Jadi kalau eksklusif maka tidak relevan bagi pembebasan. Padahal dari semua agama dan ajaran hanya Buddhisme yang mengajarkan pembebasan (nibbana).
atau definisi pembebasannya berbeda pak?

Ya, dalam kesadaran vipassana tidak ada pikiran "ini agamaku". ...

Tentang 'nibbana', pembebasan adalah suatu pengalaman batin yang terletak di luar pikiran. ... Oleh karena itu, tidak ada deskripsi atau label apa pun yang universal bagi pembebasan. ... Dalam agama Buddha pembebasan itu disebut 'nibbana'. ... Dalam Hinduisme disebut 'moksha'. ... Dalam agama-agama monoteistik disebut 'penyatuan dengan Tuhan', sekalipun istilah ini masih bersifat dualistik, karena masih ada 'aku' yang bersatu dengan 'Tuhan'; di atas 'penyatuan dengan Tuhan', masih ada tingkat kesadaran tertinggi, di mana 'aku' dan 'Tuhan' runtuh bersama-sama. -- Baca pengalaman Bernadette Roberts tentang pengalamannya dalam bukunya "The Experience of No-Self" -- terjemahan buku itu, 150 halaman, sudah saya jadikan e-book yang bisa Anda download dari www.box.net:

"Buku Kehidupan - J Krishnamurti.zip" - http://www.box.net/shared/0b6p7vb9c4
"Pengalaman Tanpa Diri - Bernadette Roberts.pdf" - http://www.box.net/shared/mw7o9fpwc4
"Duduk Diam dengan Batin yang Hening.zip" - http://www.box.net/shared/ws2o0g7i8w

Menurut hemat saya, Bernadette Roberts dan J. Krishnamurti adalah orang-orang yang telah tercerahkan di luar Buddha-sasana.

*****

Apakah benang merah yang menghubungkan 'nibbana' Buddhis, 'moksha' Hindu, "runtuhnya aku dan Tuhan" Bernadette Roberts, dan 'lenyapnya aku' dari Krishnamurti? ... Benang merahnya adalah 'tidak adanya aku lagi' ... 'aku' yang dalam batin puthujjana selalu merasa menjadi pusat (center) dari eksistensinya, sementara orang-orang lain menjadi obyek-obyek di sekeliling dirinya, 'aku' yang selalu berpikir "ini milikku, ini aku, ini diri/atta-ku" (eta.m mama, eso hamasmi, eso me atta 'ti). ... Dengan lenyapnya 'aku' itu, maka orang yang tercerahkan, di dalam atau di luar Buddha-sasana, tidak pernah berpikir lagi seperti itu, melainkan "ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diri/atta-ku" (n'eta.m mama, n'eso hamasmi, n'eso me atta 'ti).

Salam,
hudoyo
« Last Edit: 26 August 2008, 07:24:00 AM by hudoyo »