Uraian kedua mengenai Vipassana I
Setelah lewat putaran keempat debat antara Rekan Fabian dan saya mengenai meditasi vipassana, sekarang Rekan Fabian mengubah taktiknya: ia tidak lagi mengritik MMD, melainkan menulis sebuah esei tentang "meditasi vipassana" (baca: "vipassana versi Mahasi Sayadaw"). ... Setelah membaca esei tersebut, saya berterima kasih karena lebih mengetahui seluk-beluk vipassana versi Mahasi Sayadaw yang menekankan konsentrasi dan usaha, setidak-tidaknya sebagaimana dipahami oleh Rekan Fabian. Banyak aspek dari vipassana versi Mahasi Sayadaw yang sejalan dengan vipassana versi MMD, dan hal itu tidak perlu saya tanggapi lagi. Tetapi ada aspek-aspek lain dari vipassana versi Mahasi Sayadaw yang berbeda, bahkan bertolak belakang, dengan vipassana versi MMD; ini perlu saya tanggapi dengan menjelaskan posisi MMD berkaitan dengan aspek-aspek itu, sehingga pembaca forum ini memperoleh kejelasan mengenai perbedaan praksis (praktik) antara vipassana versi Mahasi Sayadaw yang menekankan konsentrasi dan usaha dengan vipassana versi MMD yang tidak menekankan kedua hal itu. Mengetahui perbedaan ini penting bagi rekan-rekan praktisi vipassana versi Mahasi Sayadaw yang ingin mencoba vipassana MMD.
(1) Rekan Fabian bercerita tentang persyaratan yang diterapkan bagi seorang "calon guru vipassana" di Myanmar untuk bisa mendampingi seorang guru vipassana, yang harus mencapai 'sankharupekkha-nyana' dulu, dan
"minimal berlatih satu bulan secara intensif". Menurut hemat saya, hal itu bisa dimengerti dan tidak mengherankan, karena memang vipassana versi Mahasi Sayadaw menekankan konsentrasi dan usaha untuk mencapai nyana-nyana. Semua pemeditasi tahu betapa sulitnya berkonsentrasi, sehingga tidak mengherankan bahwa nyana-nyana itu tercapai dalam waktu yang lama. ... Di lain pihak,
MMD tidak menekankan kosentrasi dan usaha untuk mencapai nyana-nyana. MMD justru menekankan sikap pasif, tidak mengharapkan apa-apa, tidak berucaha mencapai apa-apa, tidak berkonsentrasi pada satu obyek terus-menerus. Yang menjadi kendala bagi pemeditasi MMD justru pengertian dan keinginan untuk berkonsentrasi untuk mencapai sesuatu. Apalagi bagi mereka yang sudah mempunyai pengalaman bermeditasi--entah vipassana, entah meditasi lain--yang menekankan konsentrasi. Tetapi, bila kemampuan untuk sadar tanpa konsentrasi ini bisa muncul tanpa diusahakan, tanpa diinginkan & tanpa dikejar, maka
pemeditasi MMD akan dengan mudah sekali mencapai keheningan (berhentinya semua reaksi batin) dan masuk ke dalam khanika-samadhi; jauh lebih mudah daripada pemeditasi vipassana yang menekankan konsentrasi & usaha.
(2) Rekan Fabian menulis,
"Teman teman ini untungnya berlatih dibawah bimbingan guru meditasi Vipassana yang terlatih yang memang dianggap telah mencapai tahap pandangan terang tertentu, sehingga dapat meluruskan pandangan siswa tersebut." ... Mengenai peran seorang guru meditasi, bisa dimengerti pentingnya peran itu bila meditasi yang bersangkutan berupa konsentrasi dengan usaha maksimal untuk mencapai berbagai nyana dengan segala liku-liku dan perangkapnya. Di sini malah ditekankan perlunya
"guru meditasi Vipassana ... yang memang dianggap telah mencapai tahap pandangan terang tertentu". ... Yang menjadi masalah besar di sini ialah
apakah "anggapan bahwa guru vipassana A,B,C telah mencapai pencerahan (ariya)" itu benar atau tidak? Bukankah hal itu
mustahil dipastikan secara obyektif, dan hanya merupakan
kepercayaan dari si murid belaka? Banyak umat Buddha di Indonesia silau oleh atribut lahiriah. Fakta bahwa seorang guru vipassana berjubah kuning dan memiliki gelar Mahathera bukan jaminan bahwa ia telah tercerahkan; sebaliknya, fakta bahwa seorang guru vipassana cuma seorang awam (bukan bhikkhu) tidak niscaya bahwa ia belum tercerahkan. Banyak orang awam adalah Sotapanna; banyak bhikkhu belum sotapanna. Di Myanmar sendiri banyak orang awam mengajar vipassana secara kompeten. Yang ingin saya tekankan di sini ialah
atribut lahiriah bukan kriteria atau jaminan bahwa seseorang sudah atau belum tercerahkan...
Di dalam MMD, peran seorang guru meditasi tidak sepenting seperti di dalam "vipassana tradisional". Di dalam MMD, peran guru meditasi tidak lebih sekadar "menunjukkan pintu" untuk dilalui oleh si murid. Di dalam MMD, apabila seorang pemeditasi sudah mengalami khanika-samadhi, yang merupakan kesadaran yang amat berbeda dengan kesadaran sehari-hari, maka itu akan memberikan keyakinan (saddha) yang cukup baginya akan pembebasan terakhir dari dukkha yang akan dicapainya kelak. Bila pemeditasi MMD telah mencapai khanika-samadhi, ia tidak memerlukan bimbingan guru lagi sama sekali. Baginya tidak ada risiko melekat dan bergantung pada seorang guru; dirinya sendiri menjadi guru baginya, karena untuk melepas, untuk diam, tidak diperlukan tuntunan apa-apa lagi dari seorang guru di luar dirinya. Khanika-samadhi itu sendiri akan mendorongnya melepaskan sisa-sisa atta/dirinya, sampai habis sama sekali. ...
(3) Rekan Fabian menulis tentang pencerahan yang muncul dari meditasi vipassana:
"Pengertian bagaimana? yaitu batin dan jasmani bersifat tidak permanen, selalu berubah, tidak menyenangkan dan tidak memuaskan, serta susah dikendalikan, tak mau menurut dan berjalan semaunya." ... Dalam meditasi vipassana, ketika orang melihat bahwa segala sesuatu tidak permanen, selalu berubah, maka
pikirannya memberi label: "anicca". Ketika orang melihat bahwa segala sesuatu tidak menyenangkan, tidak memuaskan, maka
pikirannya memberi label: "dukkha". Kedua label itu adalah produk pikiran untuk menjelaskan pencerahan tentang ketidakekalan dan penderitaan yang dialaminya;
dalam hal 'anicca' dan 'dukkha' ini, kedua label itu cocok dengan pengalaman batin sebelum pikiran memberinya label. ...
Tetapi ketika ia melihat bahwa segala sesuatu tidak bisa dikendalikan, berjalan semaunya dan tidak mau menurut, lalu
pikirannya memberi label: "anatta", maka di sini telah terjadi
PENCAMPURAN PENGALAMAN DENGAN KONSEP YANG DIPELAJARI SEBELUMNYA. ... Sebetulnya yang terjadi adalah demikian: pemahaman bahwa "segala sesuatu tidak bisa dikendalikan, tidak mau menurut, dan berjalan semaunya" itu
DISEBABKAN karena
ada keinginan dari si aku/atta pemeditasi itu untuk mengendalikan & mengatur fenomena badan & batin ini menurut kehendaknya, sehingga menimbulkan frustrasi karena fenomena badan & batin ini tidak menuruti kehendaknya. Kalau pemeditasi
menyadari/melihat keinginan dari si aku/atta itu, maka--beranalogi dengan pemahaman akan 'anicca' & 'dukkha' di atas--
ia seharusnya memberi label "atta" pada keinginan yang membuatnya frustrasi itu. Ini sejalan dengan ucapan Sang Buddha dalam puluhan sutta:
"Dalam batin seorang puthujjana (orang biasa) selalu ada pikiran: 'ini milikku, ini aku, ini atta/diriku." ...
... Dalam batin seorang
non-Buddhis yang berlatih vipassana
pencampuran seperti ini tidak terjadi! ... Ketika pemeditasi non-Buddhis itu melihat bahwa keinginan dirinya untuk mengendalikan & mengatur fenomena badan & batin ini tidak terpenuhi maka
ia tidak memberi label "anatta", melainkan label "atta/diri" pada keinginan itu. ... Inilah
'melihat apa adanya' yang sesungguhnya tentang kenyataan atta/diri, bukan seperti yang diajarkan dalam
Visuddhi-magga bahwa
pemeditasi vipassana akan melihat anicca, dukkha dan anatta. Jelas bahwa uraian dalam Visuddhi-magga itu ditulis oleh bhikkhu yang masih mencampuradukkan antara
'melihat apa adanya' dan
'melihat disertai konsep'. ...
Jadi dalam meditasi vipassana yang dilihat oleh pemeditasi adalah kenyataan apa adanya yang kemudian diberinya label:
"anicca", "dukkha" dan (seharusnya)
"atta", selama masih ada keinginan untuk mengendalikan badan & batin ini dalam batin pemeditasi itu. Dengan kata lain,
pemeditasi vipassana tidak mungkin melihat, menyadari 'anatta' SELAMA IA MASIH MEMPUNYAI KEINGINAN & PIKIRAN (ATTA/DIRI). ... Pemeditasi non-Buddhis (dan pemeditasi Buddhis yang benar-benar
melihat apa adanya tanpa dicampuri konsep 'anatta') akan terus menyadari
'anicca', 'dukkha' dan 'atta/diri' setiap kali ia melihat fenomena badan & batin dalam dirinya, sampai pada suatu titik ia
masuk ke dalam khanika-samadhi di mana ketiga label itu runtuh, dan tidak ada pikiran lagi. ... Itulah
kenyataan apa adanya dari 'anatta'. Ia
baru mengalami 'anatta' di dalam khanika-samadhi, ketika pikiran & atta/diri diam, ketika kelima rintangan batin berhenti untuk sementara; tetapi
di situ tidak ada lagi pelabelan dan penyebutan sebagai 'anatta'.
(4) Rekan Fabian lalu menulis panjang lebar mempertahankan pentingnya usaha dalam vipassana versi Mahasi Sayadaw. Kesimpulannya ditulis dalam kalimat yang diberi bold merah:
"Tak ada pekerjaan apapun yang bisa dilakukan tanpa usaha, untuk bisa memperhatikan tanpa usaha atau untuk bisa memperhatikan apa adanya, juga diperlukan usaha." ... Terhadap pernyataan itu, jawaban MMD singkat saja:
"Selama masih ada usaha maka orang tidak bisa melihat apa adanya. Orang baru bisa melihat apa adanya bila segala usaha untuk melihat apa adanya disadarinya sebagai sia-sia dan dilepaskan."Dalam kehidupan sehari-hari, selama kita jaga,
setiap tindakan kita selalu mengandung unsur TUJUAN, USAHA & WAKTU. Mulai dari tindakan yang paling kasar, paling mementingkan diri sendiri, sampai tindakan yang paling halus, paling tidak mementingkan diri sendiri. Semua tindakan kita itu bersumber dari atta/diri/aku. ... Dan kondisi batin seperti ini bahkan dibawa ke dalam meditasi vipassana secara naif, dengan melakukan konsentrasi dan usaha untuk mencapai nyana-nyana. Jelas, di sini si atta/diri tetap bersemayam, sekalipun sekarang mengenakan topeng sebagai meditator yang ingin mencapai pencerahan/pembebasan, ingin menjadi ariya (suci), ingin mencapai nyana-nyana, ingin mencapai nibbana. ... Saya dulu pernah bertahun-tahun terjebak dalam pemahaman meditasi sebagai konsentrasi dan usaha. Setelah secara tiba-tiba menyadari kesia-siaan usaha seperti ini, berhentilah segala usaha untuk berkonsentrasi, dan barulah muncul khanika-samadhi tanpa diusahakan. Itulah awal dari perkembangan MMD.
(5) Rekan Fabian menulis:
" ... [pemeditasi] lupa bahwa prinsip Vipassana adalah melihat segala sesuatu apa adanya. Apa adanya bagaimana? Melihat apa adanya bahwa batin dan jasmani bersifat tidak kekal, bersifat tidak menyenangkan dan tidak memuaskan, susah dikendalikan dan tak mau menurut." ... "Definisi" vipassana dari Rekan Fabian ini terkesan melompat dan artifisial, sehingga patut dipertanyakan apakah sesungguhnya Rekan Fabian telah mengalami 'melihat apa adanya' atau belum? ... Bagi saya,
prinsip vipassana adalah sadar akan gerak-gerik pikiran/si aku yang mendistorsikan apa adanya, sampai pikiran/si aku itu berhenti (khanika-samadhi) dan orang baru 'melihat apa adanya'. ...
Tampak jelas bahwa 'melihat apa adanya' yang dimaksud Rekan Fabian di atas
sudah tercampur dengan ajaran/konsep, terutama konsep 'anatta', ketika ia mendefinisikan
'melihat apa adanya' seperti di atas--sesuai dengan ajaran Visuddhi-magga-- adalah
melihat anicca, dukkha dan ANATTA. ... Bagi saya, ketika orang melihat apa adanya dalam vipassana maka di situ
tidak ada konsep, tidak ada ajaran apa-apa lagi; dan itu
hanya bisa terjadi bila orang melepaskan konsep 'anicca, dukkha & anatta' (tilakkhana) yang pernah dipelajarinya sebelumnya.
Melihat 'apa adanya' tanpa konsep hanya terjadi bila orang melihat aku/diri di dalam setiap gerak pikirannya; itu
FAKTA, bukan konsep lagi,
tidak ada konsep 'anatta' di dalam melihat apa adanya 'atta/diri' itu. Itu terjadi di dalam khanika-samadhi. Barulah
ketika khanika-samadhi muncul, maka ia melihat apa adanya bahwa atta/diri itu runtuh. Itulah
melihat/menyadari 'anatta' tanpa konsep 'anatta'. ...
(6) Kemudian Rekan Fabian menguraikan panjang lebar
"kemajuan yang dicapai oleh seorang pemeditasi vipassana", tentunya vipassana versi Mahasi Sayadaw. ... Ia menggunakan contoh menghadapi rasa sakit yang muncul di kaki: ... dengan berbagai rasionalisasi (upaya pembenaran oleh pikiran), misalnya,
"ia tidak melihat kesan kaki, atau kaki yang sakit, ia melihat hanya suatu fenomena yang muncul dan berubah di arah tertentu, pada jarak tertentu dari perhatiannya, tetapi itu bukan lagi sakit kaki, karena konseptual indera yang disebut kaki telah lenyap" ... dsb dsb ... sampai pada
"pada tahap ini secara otomatis ia sanggup melihat lebih lama pada objek karena tidak terganggu (inilah samadhi atau konsentrasi), karena penyebab gangguan sudah semakin tidak memiliki daya untuk mengganggu, ini disebabkan konsentrasi yang kuat" ... "objek yang muncul tersebut hanya sebagai fenomena, ia bukan objek kaki, dan ia bukan bagian dari kaki, menurut kebenaran mutlak, rasa sakit di kaki hanya merupakan keadaan batin yang muncul diakibatkan oleh persepsi penolakan" ... "pada tahap ini secara otomatis ia sanggup melihat lebih lama pada objek karena tidak terganggu (inilah samadhi atau konsentrasi), karena penyebab gangguan sudah semakin tidak memiliki daya untuk mengganggu" ... "inilah yang dimaksud melihat apa adanya, yaitu sakit adalah sakit dan sakit tidak terkait dengan apapun" ...
"bila objek atau fenomena sakit yang muncul masih terkait dengan sesuatu, ... itu berarti ia masih belum bisa melihat apa adanya ... maka perhatiannya masih terseret, karena perhatiannya masih terseret maka ia masih merasa sakit." ... Di sini terlihat jelas sekali bahwa
tujuan konsentrasi dan usaha dalam meditasi vipassana versi Mahasi Sayadaw, menurut pemahaman Rekan Fabian, antara lain adalah UNTUK MENGATASI RASA SAKIT, sekalipun itu dicapai dengan berbagai rasionalisasi dan usaha berkonsentrasi.
Dalam MMD, rasa sakit tidak dihadapi dengan rasionalisasi, konsentrasi atau usaha, melainkan
disadari reaksi batin terhadap rasa sakit itu di samping rasa sakit itu sendiri; disadari
penolakan batin terhadap rasa sakit, yang adalah wajar dan alamiah ... Penolakan itu sendiri tidak ditolak, karena
tidak ada tujuan untuk mengatasi rasa sakit agar bisa duduk berjam-jam tanpa rasa sakit. ... Dalam MMD, pemeditasi
bebas untuk mengikuti penolakan itu, atau untuk tidak mengikutinya ... pemeditasi
bebas untuk mengubah posisi tubuh kalau merasa sakit, dan bebas pula untuk tidak mengubah posisi tubuh kalau ia menghendakinya ... Dengan sikap bebas itu,
pada akhirnya toh pemeditasi MMD mampu duduk berjam-jam tanpa rasa sakit lagi, tanpa usaha berkonsentrasi untuk mengatasi rasa sakit itu. ...
(7) Usaha dan konsentrasi dalam vipassana versi Mahasi Sayadaw itu mencapai konsekuensi logisnya dalam pengertian 'khanika-samadhi' sebagaimana didefinisikan oleh Rekan Fabian:
"hanya mengamati SATU objek terus-menerus, yang selalu muncul dan lenyap kembali." ... Bagi Rekan Fabian, 'khanika-samadhi' adalah identik dengan
"tidak merasa sakit lagi", malah Rekan Fabian berani mendalilkan bahwa
"Jika masih merasa sakit duduk satu jam, maka kemungkinan besar ia belum mencapai tahap khanika samadhi yang sesungguhnya." ...
Dalam ronde terdahulu saya sudah menguraikan sedikit banyak apa itu 'khanika-samadhi' yang dialami oleh para praktisi MMD. Di sini saya ulangi kembali:
"Testimoni beberapa praktisi MMD mengindikasikan bahwa mereka telah mengalami khanika-samadhi; ada yang dalam retret 3 hari, retret 7 hari, atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya khanika-samadhi tidak ada kaitannya dengan latihan konsentrasi; dalam MMD tidak ada konsentrasi sama sekali. Tidak pula berkaitan dengan lamanya mengikuti retret, melainkan dengan berhentinya pikiran, dengan lepasnya rasa aku dan rasa memiliki, termasuk memiliki ajaran, memiliki kemampuan bermeditasi. Khanika-samadhi tidak ada kaitannya dengan kemampuan duduk dua jam tanpa rasa sakit, kemampuan untuk tidak mengantuk selama berhari-hari, atau dengan kemampuan-kemampuan "hebat" lainnya. Khanika-samadhi bisa dialami dalam beberapa detik, beberapa menit atau beberapa jam. Di dalam khanika-samadhi orang berada dalam kesadaran yang berbeda dengan kesadaran biasa yang dirongrong oleh kelima rintangan batin. Dalam khanika-samadhi pikiran tidak bergerak (lihat Mulapariyaya-sutta), tidak ada kesadaran subyek-obyek, tidak ada pengetahuan & pengalaman, tidak ada obyek yang diamati sekalipun semua fenomena tampak muncul dan lenyap tanpa diamati satu per satu, tidak ada atta/diri, tidak ada kehendak, tidak ada reaksi terhadap kesakitan fisik maupun kenyamanan fisik, tidak ada kesadaran waktu. ..." Inilah perbedaan mendasar antara pengertian 'khanika-samadhi' menurut Rekan Fabian dan menurut saya. Menurut saya,
dalam khanika-samadhi orang tidak berkonsentrasi terus-menerus pada satu obyek; sebaliknya,
orang menyadari segala sesuatu yang muncul pada badan & batinnya dari saat ke saat, timbul-lenyap, melalui keenam indranya, tanpa bereaksi sedikit pun, tanpa menanggapi dengan pikiran sedikit pun. Dengan kata lain,
obyek yang muncul dalam kesadaran (bukan obyek yang diperhatikan)
dalam khanika-samadhi selalu berubah-ubah dari saat ke saat. Yang
membedakan khanika samadhi dari dari meditasi konsentrasi adalah tidak adanya satu obyek yang diperhatikan terus-menerus; dan yang
membedakan khanika-samadhi dari kesadaran sehari-hari adalah tidak adanya kelima rintangan batin yang muncul, dan tidak adanya reaksi batin sebagai pikiran yang muncul menanggapi setiap rangsangan yang masuk melalui keenam indra.
<bersambung, karena kuota 20ribu karakter terlewati>