//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Abhidhamma & vipassana  (Read 199748 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #540 on: 22 August 2008, 01:53:32 PM »
makanya ada about sutta itu oleh penerjemah

Quote
The Buddha explains how he "crossed over the flood" of craving.

dan catatannya

Quote
Translator's note: This discourse opens the Samyutta Nikaya with a paradox. The Commentary informs us that the Buddha teaches the devata in terms of the paradox in order to subdue her pride. To give this paradox some context, you might want to read other passages from the Canon that discuss right effort.
« Last Edit: 22 August 2008, 01:56:28 PM by Sumedho »
There is no place like 127.0.0.1

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #541 on: 22 August 2008, 02:20:31 PM »
Oh, saya baru tahu kalo catatan penterjemah itu memang merujuk ke usaha benar (right effort). Tadinya hanya mencoba menafsirkan sendiri saja dan menurut saya cocok dengan keadaan "usaha" vs "tanpa usaha" di sini  ;D

Kembali lagi, kalo kita tidak mengerti definisi orang yang diajak bicara, maka bisa 'muter-muter' ke mana-mana.
Jadi dari pihak "pengusaha" mengatakan "tanpa usaha itu seperti berdiam, dan akan tenggelam". Sebaliknya dari pihak "penganggur" mengatakan "usaha itu seperti mendorong, maka akan terbawa arus itu sendiri".

Jadi sekarang, ada yang mau menjelaskan "usaha" dan "tanpa usaha" menurut definsinya masing2? Atau perlu thread baru?

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #542 on: 22 August 2008, 04:45:21 PM »
kasih yg trademark tanpa usaha dulu aja :))
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Debat Fabian vs. Hudoyo - 05a.1
« Reply #543 on: 22 August 2008, 10:08:34 PM »
Uraian kedua mengenai Vipassana I

Setelah lewat putaran keempat debat antara Rekan Fabian dan saya mengenai meditasi vipassana, sekarang Rekan Fabian mengubah taktiknya: ia tidak lagi mengritik MMD, melainkan menulis sebuah esei tentang "meditasi vipassana" (baca: "vipassana versi Mahasi Sayadaw"). ... Setelah membaca esei tersebut, saya berterima kasih karena lebih mengetahui seluk-beluk vipassana versi Mahasi Sayadaw yang menekankan konsentrasi dan usaha, setidak-tidaknya sebagaimana dipahami oleh Rekan Fabian. Banyak aspek dari vipassana versi Mahasi Sayadaw yang sejalan dengan vipassana versi MMD, dan hal itu tidak perlu saya tanggapi lagi. Tetapi ada aspek-aspek lain dari vipassana versi Mahasi Sayadaw yang berbeda, bahkan bertolak belakang, dengan vipassana versi MMD; ini perlu saya tanggapi dengan menjelaskan posisi MMD berkaitan dengan aspek-aspek itu, sehingga pembaca forum ini memperoleh kejelasan mengenai perbedaan praksis (praktik) antara vipassana versi Mahasi Sayadaw yang menekankan konsentrasi dan usaha dengan vipassana versi MMD yang tidak menekankan kedua hal itu. Mengetahui perbedaan ini penting bagi rekan-rekan praktisi vipassana versi Mahasi Sayadaw yang ingin mencoba vipassana MMD.

(1) Rekan Fabian bercerita tentang persyaratan yang diterapkan bagi seorang "calon guru vipassana" di Myanmar untuk bisa mendampingi seorang guru vipassana, yang harus mencapai 'sankharupekkha-nyana' dulu, dan "minimal berlatih satu bulan secara intensif". Menurut hemat saya, hal itu bisa dimengerti dan tidak mengherankan, karena memang vipassana versi Mahasi Sayadaw menekankan konsentrasi dan usaha untuk mencapai nyana-nyana. Semua pemeditasi tahu betapa sulitnya berkonsentrasi, sehingga tidak mengherankan bahwa nyana-nyana itu tercapai dalam waktu yang lama. ... Di lain pihak, MMD tidak menekankan kosentrasi dan usaha untuk mencapai nyana-nyana. MMD justru menekankan sikap pasif, tidak mengharapkan apa-apa, tidak berucaha mencapai apa-apa, tidak berkonsentrasi pada satu obyek terus-menerus. Yang menjadi kendala bagi pemeditasi MMD justru pengertian dan keinginan untuk berkonsentrasi untuk mencapai sesuatu. Apalagi bagi mereka yang sudah mempunyai pengalaman bermeditasi--entah vipassana, entah meditasi lain--yang menekankan konsentrasi. Tetapi, bila kemampuan untuk sadar tanpa konsentrasi ini bisa muncul tanpa diusahakan, tanpa diinginkan & tanpa dikejar, maka pemeditasi MMD akan dengan mudah sekali mencapai keheningan (berhentinya semua reaksi batin) dan masuk ke dalam khanika-samadhi; jauh lebih mudah daripada pemeditasi vipassana yang menekankan konsentrasi & usaha.

(2) Rekan Fabian menulis, "Teman teman ini untungnya berlatih dibawah bimbingan guru meditasi Vipassana yang terlatih yang memang dianggap telah mencapai tahap pandangan terang tertentu, sehingga dapat meluruskan pandangan siswa tersebut." ... Mengenai peran seorang guru meditasi, bisa dimengerti pentingnya peran itu bila meditasi yang bersangkutan berupa konsentrasi dengan usaha maksimal untuk mencapai berbagai nyana dengan segala liku-liku dan perangkapnya. Di sini malah ditekankan perlunya "guru meditasi Vipassana ... yang memang dianggap telah mencapai tahap pandangan terang tertentu". ... Yang menjadi masalah besar di sini ialah apakah "anggapan bahwa guru vipassana A,B,C telah mencapai pencerahan (ariya)" itu benar atau tidak? Bukankah hal itu mustahil dipastikan secara obyektif, dan hanya merupakan kepercayaan dari si murid belaka? Banyak umat Buddha di Indonesia silau oleh atribut lahiriah. Fakta bahwa seorang guru vipassana berjubah kuning dan memiliki gelar Mahathera bukan jaminan bahwa ia telah tercerahkan; sebaliknya, fakta bahwa seorang guru vipassana cuma seorang awam (bukan bhikkhu) tidak niscaya bahwa ia belum tercerahkan. Banyak orang awam adalah Sotapanna; banyak bhikkhu belum sotapanna. Di Myanmar sendiri banyak orang awam mengajar vipassana secara kompeten. Yang ingin saya tekankan di sini ialah atribut lahiriah bukan kriteria atau jaminan bahwa seseorang sudah atau belum tercerahkan...

Di dalam MMD, peran seorang guru meditasi tidak sepenting seperti di dalam "vipassana tradisional". Di dalam MMD, peran guru meditasi tidak lebih sekadar "menunjukkan pintu" untuk dilalui oleh si murid. Di dalam MMD, apabila seorang pemeditasi sudah mengalami khanika-samadhi, yang merupakan kesadaran yang amat berbeda dengan kesadaran sehari-hari, maka itu akan memberikan keyakinan (saddha) yang cukup baginya akan pembebasan terakhir dari dukkha yang akan dicapainya kelak. Bila pemeditasi MMD telah mencapai khanika-samadhi, ia tidak memerlukan bimbingan guru lagi sama sekali. Baginya tidak ada risiko melekat dan bergantung pada seorang guru; dirinya sendiri menjadi guru baginya, karena untuk melepas, untuk diam, tidak diperlukan tuntunan apa-apa lagi dari seorang guru di luar dirinya. Khanika-samadhi itu sendiri akan mendorongnya melepaskan sisa-sisa atta/dirinya, sampai habis sama sekali. ...

(3) Rekan Fabian menulis tentang pencerahan yang muncul dari meditasi vipassana: "Pengertian bagaimana? yaitu batin dan jasmani bersifat tidak permanen, selalu berubah, tidak menyenangkan dan tidak memuaskan, serta susah dikendalikan, tak mau menurut dan berjalan semaunya." ... Dalam meditasi vipassana, ketika orang melihat bahwa segala sesuatu tidak permanen, selalu berubah, maka pikirannya memberi label: "anicca". Ketika orang melihat bahwa segala sesuatu tidak menyenangkan, tidak memuaskan, maka pikirannya memberi label: "dukkha". Kedua label itu adalah produk pikiran untuk menjelaskan pencerahan tentang ketidakekalan dan penderitaan yang dialaminya; dalam hal 'anicca' dan 'dukkha' ini, kedua label itu cocok dengan pengalaman batin sebelum pikiran memberinya label. ...

Tetapi ketika ia melihat bahwa segala sesuatu tidak bisa dikendalikan, berjalan semaunya dan tidak mau menurut, lalu pikirannya memberi label: "anatta", maka di sini telah terjadi PENCAMPURAN PENGALAMAN DENGAN KONSEP YANG DIPELAJARI SEBELUMNYA. ... Sebetulnya yang terjadi adalah demikian: pemahaman bahwa "segala sesuatu tidak bisa dikendalikan, tidak mau menurut, dan berjalan semaunya" itu DISEBABKAN karena ada keinginan dari si aku/atta pemeditasi itu untuk mengendalikan & mengatur fenomena badan & batin ini menurut kehendaknya, sehingga menimbulkan frustrasi karena fenomena badan & batin ini tidak menuruti kehendaknya. Kalau pemeditasi menyadari/melihat keinginan dari si aku/atta itu, maka--beranalogi dengan pemahaman akan 'anicca' & 'dukkha' di atas--ia seharusnya memberi label "atta" pada keinginan yang membuatnya frustrasi itu. Ini sejalan dengan ucapan Sang Buddha dalam puluhan sutta: "Dalam batin seorang puthujjana (orang biasa) selalu ada pikiran: 'ini milikku, ini aku, ini atta/diriku." ...

... Dalam batin seorang non-Buddhis yang berlatih vipassana pencampuran seperti ini tidak terjadi! ... Ketika pemeditasi non-Buddhis itu melihat bahwa keinginan dirinya untuk mengendalikan & mengatur fenomena badan & batin ini tidak terpenuhi maka ia tidak memberi label "anatta", melainkan label "atta/diri" pada keinginan itu. ... Inilah 'melihat apa adanya' yang sesungguhnya tentang kenyataan atta/diri, bukan seperti yang diajarkan dalam Visuddhi-magga bahwa pemeditasi vipassana akan melihat anicca, dukkha dan anatta. Jelas bahwa uraian dalam Visuddhi-magga itu ditulis oleh bhikkhu yang masih mencampuradukkan antara 'melihat apa adanya' dan 'melihat disertai konsep'. ...

Jadi dalam meditasi vipassana yang dilihat oleh pemeditasi adalah kenyataan apa adanya yang kemudian diberinya label: "anicca", "dukkha" dan (seharusnya) "atta", selama masih ada keinginan untuk mengendalikan badan & batin ini dalam batin pemeditasi itu. Dengan kata lain, pemeditasi vipassana tidak mungkin melihat, menyadari 'anatta' SELAMA IA MASIH MEMPUNYAI KEINGINAN & PIKIRAN (ATTA/DIRI). ... Pemeditasi non-Buddhis (dan pemeditasi Buddhis yang benar-benar melihat apa adanya tanpa dicampuri konsep 'anatta') akan terus menyadari 'anicca', 'dukkha' dan 'atta/diri' setiap kali ia melihat fenomena badan & batin dalam dirinya, sampai pada suatu titik ia masuk ke dalam khanika-samadhi di mana ketiga label itu runtuh, dan tidak ada pikiran lagi. ... Itulah kenyataan apa adanya dari 'anatta'. Ia baru mengalami 'anatta'  di dalam khanika-samadhi, ketika pikiran & atta/diri diam, ketika kelima rintangan batin berhenti untuk sementara; tetapi di situ tidak ada lagi pelabelan dan penyebutan sebagai 'anatta'.

(4) Rekan Fabian lalu menulis panjang lebar mempertahankan pentingnya usaha dalam vipassana versi Mahasi Sayadaw. Kesimpulannya ditulis dalam kalimat yang diberi bold merah: "Tak ada pekerjaan apapun yang bisa dilakukan tanpa usaha, untuk bisa memperhatikan tanpa usaha atau untuk bisa memperhatikan apa adanya, juga diperlukan usaha." ... Terhadap pernyataan itu, jawaban MMD singkat saja: "Selama masih ada usaha maka orang tidak bisa melihat apa adanya. Orang baru bisa melihat apa adanya bila segala usaha untuk melihat apa adanya disadarinya sebagai sia-sia dan dilepaskan."

Dalam kehidupan sehari-hari, selama kita jaga, setiap tindakan kita selalu mengandung unsur TUJUAN, USAHA & WAKTU. Mulai dari tindakan yang paling kasar, paling mementingkan diri sendiri, sampai tindakan yang paling halus, paling tidak mementingkan diri sendiri. Semua tindakan kita itu bersumber dari atta/diri/aku. ... Dan kondisi batin seperti ini bahkan dibawa ke dalam meditasi vipassana secara naif, dengan melakukan konsentrasi dan usaha untuk mencapai nyana-nyana. Jelas, di sini si atta/diri tetap bersemayam, sekalipun sekarang mengenakan topeng sebagai meditator yang ingin mencapai pencerahan/pembebasan, ingin menjadi ariya (suci), ingin mencapai nyana-nyana, ingin mencapai nibbana. ... Saya dulu pernah bertahun-tahun terjebak dalam pemahaman meditasi sebagai konsentrasi dan usaha. Setelah secara tiba-tiba menyadari kesia-siaan usaha seperti ini, berhentilah segala usaha untuk berkonsentrasi, dan barulah muncul khanika-samadhi tanpa diusahakan. Itulah awal dari perkembangan MMD.

(5) Rekan Fabian menulis: " ... [pemeditasi] lupa bahwa prinsip Vipassana adalah melihat segala sesuatu apa adanya. Apa adanya bagaimana? Melihat apa adanya bahwa batin dan jasmani bersifat tidak kekal, bersifat tidak menyenangkan dan tidak memuaskan, susah dikendalikan dan tak mau menurut." ... "Definisi" vipassana dari Rekan Fabian ini terkesan melompat dan artifisial, sehingga patut dipertanyakan apakah sesungguhnya Rekan Fabian telah mengalami 'melihat apa adanya' atau belum? ... Bagi saya, prinsip vipassana adalah sadar akan gerak-gerik pikiran/si aku yang mendistorsikan apa adanya, sampai pikiran/si aku itu berhenti (khanika-samadhi) dan orang baru 'melihat apa adanya'. ...

Tampak jelas bahwa 'melihat apa adanya' yang dimaksud Rekan Fabian di atas sudah tercampur dengan ajaran/konsep, terutama konsep 'anatta', ketika ia mendefinisikan 'melihat apa adanya' seperti di atas--sesuai dengan ajaran Visuddhi-magga-- adalah melihat anicca, dukkha dan ANATTA. ... Bagi saya, ketika orang melihat apa adanya dalam vipassana maka di situ tidak ada konsep, tidak ada ajaran apa-apa lagi; dan itu hanya bisa terjadi bila orang melepaskan konsep 'anicca, dukkha & anatta' (tilakkhana) yang pernah dipelajarinya sebelumnya. Melihat 'apa adanya' tanpa konsep hanya terjadi bila orang melihat aku/diri di dalam setiap gerak pikirannya; itu FAKTA, bukan konsep lagi, tidak ada konsep 'anatta' di dalam melihat apa adanya 'atta/diri' itu. Itu terjadi di dalam khanika-samadhi. Barulah ketika khanika-samadhi muncul, maka ia melihat apa adanya bahwa atta/diri itu runtuh. Itulah melihat/menyadari 'anatta' tanpa konsep 'anatta'. ...

(6) Kemudian Rekan Fabian menguraikan panjang lebar "kemajuan yang dicapai oleh seorang pemeditasi vipassana", tentunya vipassana versi Mahasi Sayadaw. ... Ia menggunakan contoh menghadapi rasa sakit yang muncul di kaki: ... dengan berbagai rasionalisasi (upaya pembenaran oleh pikiran), misalnya, "ia tidak melihat kesan kaki, atau kaki yang sakit, ia melihat hanya suatu fenomena yang muncul dan berubah di arah tertentu, pada jarak tertentu dari perhatiannya, tetapi itu bukan lagi sakit kaki, karena konseptual indera yang disebut kaki telah lenyap" ... dsb dsb ... sampai pada "pada tahap ini secara otomatis ia sanggup melihat lebih lama pada objek karena tidak terganggu (inilah samadhi atau konsentrasi), karena penyebab gangguan sudah semakin tidak memiliki daya untuk mengganggu, ini disebabkan konsentrasi yang kuat" ... "objek yang muncul tersebut hanya sebagai fenomena, ia bukan objek kaki, dan ia bukan bagian dari kaki, menurut kebenaran mutlak, rasa sakit di kaki hanya merupakan keadaan batin yang muncul diakibatkan oleh persepsi penolakan" ... "pada tahap ini secara otomatis ia sanggup melihat lebih lama pada objek karena tidak terganggu (inilah samadhi atau konsentrasi), karena penyebab gangguan sudah semakin tidak memiliki daya untuk mengganggu" ... "inilah yang dimaksud melihat apa adanya, yaitu sakit adalah sakit dan sakit tidak terkait dengan apapun" ...
"bila objek atau fenomena sakit yang muncul masih terkait dengan sesuatu, ... itu berarti ia masih belum bisa melihat apa adanya ... maka perhatiannya masih terseret, karena perhatiannya masih terseret maka ia masih merasa sakit."
... Di sini terlihat jelas sekali bahwa tujuan konsentrasi dan usaha dalam meditasi vipassana versi Mahasi Sayadaw, menurut pemahaman Rekan Fabian, antara lain adalah UNTUK MENGATASI RASA SAKIT, sekalipun itu dicapai dengan berbagai rasionalisasi dan usaha berkonsentrasi.

Dalam MMD, rasa sakit tidak dihadapi dengan rasionalisasi, konsentrasi atau usaha, melainkan disadari reaksi batin terhadap rasa sakit itu di samping rasa sakit itu sendiri; disadari penolakan batin terhadap rasa sakit, yang adalah wajar dan alamiah ... Penolakan itu sendiri tidak ditolak, karena tidak ada tujuan untuk mengatasi rasa sakit agar bisa duduk berjam-jam tanpa rasa sakit. ... Dalam MMD, pemeditasi bebas untuk mengikuti penolakan itu, atau untuk tidak mengikutinya ... pemeditasi bebas untuk mengubah posisi tubuh kalau merasa sakit, dan bebas pula untuk tidak mengubah posisi tubuh kalau ia menghendakinya ... Dengan sikap bebas itu, pada akhirnya toh pemeditasi MMD mampu duduk berjam-jam tanpa rasa sakit lagi, tanpa usaha berkonsentrasi untuk mengatasi rasa sakit itu. ...

(7) Usaha dan konsentrasi dalam vipassana versi Mahasi Sayadaw itu mencapai konsekuensi logisnya dalam pengertian 'khanika-samadhi' sebagaimana didefinisikan oleh Rekan Fabian: "hanya mengamati SATU objek terus-menerus, yang selalu muncul dan lenyap kembali." ... Bagi Rekan Fabian, 'khanika-samadhi' adalah identik dengan "tidak merasa sakit lagi", malah Rekan Fabian berani mendalilkan bahwa "Jika masih merasa sakit duduk satu jam, maka kemungkinan besar ia belum mencapai tahap khanika samadhi yang sesungguhnya." ...

Dalam ronde terdahulu saya sudah menguraikan sedikit banyak apa itu 'khanika-samadhi' yang dialami oleh para praktisi MMD. Di sini saya ulangi kembali: "Testimoni beberapa praktisi MMD mengindikasikan bahwa mereka telah mengalami khanika-samadhi; ada yang dalam retret 3 hari, retret 7 hari, atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya khanika-samadhi tidak ada kaitannya dengan latihan konsentrasi; dalam MMD tidak ada konsentrasi sama sekali. Tidak pula berkaitan dengan lamanya mengikuti retret, melainkan dengan berhentinya pikiran, dengan lepasnya rasa aku dan rasa memiliki, termasuk memiliki ajaran, memiliki kemampuan bermeditasi. Khanika-samadhi tidak ada kaitannya dengan kemampuan duduk dua jam tanpa rasa sakit, kemampuan untuk tidak mengantuk selama berhari-hari, atau dengan kemampuan-kemampuan "hebat" lainnya. Khanika-samadhi bisa dialami dalam beberapa detik, beberapa menit atau beberapa jam. Di dalam khanika-samadhi orang berada dalam kesadaran yang berbeda dengan kesadaran biasa yang dirongrong oleh kelima rintangan batin. Dalam khanika-samadhi pikiran tidak bergerak (lihat Mulapariyaya-sutta), tidak ada kesadaran subyek-obyek, tidak ada pengetahuan & pengalaman, tidak ada obyek yang diamati sekalipun semua fenomena tampak muncul dan lenyap tanpa diamati satu per satu, tidak ada atta/diri, tidak ada kehendak, tidak ada reaksi terhadap kesakitan fisik maupun kenyamanan fisik, tidak ada kesadaran waktu. ..."

Inilah perbedaan mendasar antara pengertian 'khanika-samadhi' menurut Rekan Fabian dan menurut saya. Menurut saya, dalam khanika-samadhi orang tidak berkonsentrasi terus-menerus pada satu obyek; sebaliknya, orang menyadari segala sesuatu yang muncul pada badan & batinnya dari saat ke saat, timbul-lenyap, melalui keenam indranya, tanpa bereaksi sedikit pun, tanpa menanggapi dengan pikiran sedikit pun. Dengan kata lain, obyek yang muncul dalam kesadaran (bukan obyek yang diperhatikan) dalam khanika-samadhi selalu berubah-ubah dari saat ke saat. Yang membedakan khanika samadhi dari dari meditasi konsentrasi adalah tidak adanya satu obyek yang diperhatikan terus-menerus; dan yang membedakan khanika-samadhi dari kesadaran sehari-hari adalah tidak adanya kelima rintangan batin yang muncul, dan tidak adanya reaksi batin sebagai pikiran yang muncul menanggapi setiap rangsangan yang masuk melalui keenam indra.

<bersambung, karena kuota 20ribu karakter terlewati>

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Debat Fabian vs. Hudoyo - 05a.2
« Reply #544 on: 22 August 2008, 10:09:28 PM »
(8 ) Akhirnya, Rekan Fabian membuat suatu pernyataan yang agak mengherankan bagi para praktisi MMD: "konsentrasi yang benar berarti perhatian kita memusat pada SATU objek perhatian, MENGOSONGKAN PIKIRAN bukan samadhi yang benar !!!" (dibold merah dan diberi tiga buah tanda seru, mungkin karena frustrasinya). Mungkin yang dimaksud oleh Rekan Fabian dengan 'mengosongkan pikiran' dan ditolaknya adalah pernyataan saya tentang 'berhentinya pikiran'; kedua ungkapan itu sekalipun mirip satu sama lain, tapi besar perbedaannya: yang satu bersifat aktif, yang lain bersifat pasif, lalu dicampuradukkan oleh Rekan Fabian ...

Pernyataan Rekan Fabian itu sekaligus mengingkari anjuran Sang Buddha kepada para pemditasi seperti tercantum dalam Bahiya-sutta, Malunkyaputta-sutta dan Mulapariyaya-sutta:

(a) Dalam Bahiya-sutta & Malunkyaputta-sutta, Sang Buddha menganjurkan "hanya melihat, hanya mendengar, hanya mencerap, hanya mengingat" apa adanya; artinya, tanpa berkonsentrasi pada SATU obyek terus-menerus.

(b) Dalam Mulapariyaya-sutta, Sang Buddha menganjurkan agar, dalam menerima rangsangan melalui keenam indra, pemeditasi berhenti pada persepsi (sa~njanati), dan tidak bereaksi dengan pikiran, konseptualisasi (ma~n~nati), apalagi dengan bersenang hati (abhinandati).

Seperti diketahui, dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menjelaskan proses terjadinya reaksi pikiran terhadap setiap rangsangan yang masuk melalui keenam indra dalam batin seorang puthujjana (orang biasa). Proses itu terjadi secepat kilat melalui enam tahap:
(i) muncul rangsangan melalui salah satu dari keenam indra (sa~njanati = mempersepsikan, perceiving)--ini masih belum pikiran;
(ii) muncul reaksi oleh pikiran: berpikir, mengkonseptualisasikan (conceiving, ma~n~nati);
(iii) muncul konsep atta/aku yang masih menyatu dengan obyek (ma~n~nati);
(iv) konsep atta memisahkan diri dari obyek, muncul dualitas subyek-obyek (ma~n~nati);
(v) konsep atta membentuk hubungan dengan obyek (ma~n~nati);
(vi) atta bersenang hati dengan obyek (abhinandati).


(Dalam sutta aslinya, Sang Buddha menyebutkan banyak obyek, mulai dari 'tanah' sampai 'nibbana' -- dalam batin seorang puthujjana terjadi:)
(i) pa.thavi.m pa.thavito sa~njaanaati -- he perceives earth as earth;
(ii) pa.thavi.m ma~n~nati -- he conceives earth;
(iii) pa.thaviyaa ma~n~nati -- he conceives in earth;
(iv) pa.thavito ma~n~nati -- he conceives from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti ma~n~nati -- he conceives "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m abhinandati -- he delights in earth.
 

(Sang Buddha menganjurkan kepada orang yang sedang berlatih (sekha), ketika melihat langsung sebuah rangsangan, agar tidak berpikir mengkonsepsikan rangsangan itu dan menghubungkan dengan dirinya:)
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m maa ma~n~ni -- let him not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa maa ma~n~ni -- let him not conceive in earth;
(iv) pa.thavito maa ma~n~ni -- let him not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti maa ma~n~ni -- let him not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m maabhinandi -- let him not delight in earth.


Demikianlah, Sang Buddha menganjurkan agar dalam batin seorang yang berlatih vipassana, ketika datang rangsangan dari keenam indra (langkah #1, dibold merah), tidak berlanjut menjadi reaksi berupa pikiran/konseptualisasi dan munculnya atta/diri (langkah #2-#6, dibold biru).

Itulah yang dicoba sadari dalam praktik MMD. Langkah #2-#6 itulah yang saya sebut 'berpikir'. Di dalam khanika-samadhi, rangsangan-rangsangan hanya berhenti sampai pada langkah #1, dan tidak muncul langkah #2-#6. Kalau pun langkah #2-#6 itu terlanjur muncul, dalam MMD itu disadari dengan cepat, sehingga seketika itu juga lenyap kembali, dan orang kembali berada dalam khanika-samadhi.

Itulah yang saya sebut 'berhentinya pikiran'. Dan itulah yang oleh Rekan Fabian secara simpel dan naif disalahartikan sebagai "mengosongkan pikiran". Mengapa ia sampai pada salah pengertian seperti itu? Mungkin sekali karena ia belum pernah mengalami berhentinya langkah #2-#6 itu; karena baginya 'khanika-samadhi' adalah berkonsentrasi pada SATU obyek terus-menerus dengan pelabelan, artinya dengan berpikir.

Salam,
hudoyo

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #545 on: 22 August 2008, 10:14:31 PM »
Uraian kedua mengenai Vipassana II

Bagian kedua uraian Rekan Fabian ini lagi-lagi hanya relevan bagi model vipassana yang menggunakan konsentrasi dan usaha (antara lain vipassana versi Mahasi Sayadaw), dan tidak relevan bagi MMD. Sekalipun demikian ada beberapa pernyataan Rekan Fabian yang saya rasa perlu ditanggapi karena secara diametral menyentuh MMD:

***

Fabian: "Perlu rekan-rekan netter berhati hati dengan istilah tanpa konsep, karena tanpa konsep adalah pengamatan yang terjadi secara alamiah sebagai akibat konsentrasi yang dan perhatian yang kuat, bila tidak disertai dengan perhatian dan konsentrasi yang kuat, maka hanya menjadi konsep “tanpa konsep”, yang berarti sebenarnya adalah sebuah konsep juga."

Hudoyo: "Kesadaran tanpa-konsep sama sekali tidak ada kaitannya dengan konsetrasi yang kuat, melainkan berkaitan dengan berhentinya pikiran yang membentuk konsep-konsep. Sekalipun konsentrasi kuat, bila masih ada pengertian 'Nah, ini anatta', sebagaimana diajarkan dalam Visuddhi-magga, itu masih konsep juga. Secara alamiah, bila rasa aku & pikiran selalu disadari terus-menerus, tanpa konsentrasi yang kuat, pada akhirnya pikiran akan berhenti, dan batin masuk ke dalam khanika-samadhi; di situ tidak ada konsep apa pun lagi."

***

Fabian: "meditator semakin lepas dari PERSEPSI INDRA lebih jauh lagi, bila ia telah meditasi selama 3 jam, mungkin ia hanya merasa baru bermeditasi satu jam atau setengah jam, pada saat ini batinnya telah masak, ia dapat bermeditasi untuk waktu yang lama tanpa terganggu oleh perasaan atau persepsi yang muncul."

Hudoyo: "Ukuran kesadaran bukanlah bermeditasi berjam-jam. Lagi pula 'lepas dari persepsi indra' bukanlah ukuran kesadaran tanpa-pikiran & tanpa-aku, bukan ukuran dari khanika-samadhi. Mulapariyaya-sutta jelas menyatakan bahwa dalam diri seorang yang berlatih (sekha) tetap ada 'persepsi indra' (abhijanati), bahkan dalam batin seorang arahat & Buddha tetap ada 'persepsi indra'. Yang dilatih dalam vipassana menurut Mulapariyaya-sutta bukan 'lepasnya persepsi indra', melainkan berhentinya konseptualisasi (maa ma~n~ni), agar tidak muncul kembali (na ma~n~nati), sebagaimana kondisi batin arahat/buddha."

***

Fabian: "Saya sudah mengenal Bahiya Sutta bahkan sebelum mengenal Vipassana, dan saya pernah mencoba mempraktekkan sesuai dengan nasehat Sang Buddha kepada Y.A. Bahiya pada waktu berVipassana, tetapi menurut pengalaman saya dengan mengamati fenomena cara Bahiya Sutta, tidak membuat orang menemukan jalan pintas. Karena kematangan batin tetap berproses secara bertahap, tidak meloncati tahap tertentu."

HUdoyo: "Saya dulu bertahun-tahun menjalankan vipassana versi Mahasi Sayadaw dengan menekankan konsentrasi & usaha, tapi sukar sekali khanika-samadhi muncul dalam batin. Justru ketika saya menemukan Bahiya-sutta, dan saya melepaskan segala konsentrasi & usaha, khanika-samadhi muncul dengan seketika, tanpa usaha, tanpa proses apa pun: hanya melihat, hanya mendengar, hanya merasa ... seperti anjuran Sang Buddha dalam Bahiya-sutta."

***

Fabian: "Karena ia tidak melihat isinya maka ia dapat melihat apa adanya yaitu: fenomena hanya fenomena tidak lebih…!!! Fenomena tidak terkait dengan indera, tidak terkait dengan perasaan dan tidak terkait dengan apapun. Bila fenomena terkait dengan batin dan jasmani, itu karena kita mengaitkannya, kita mengonsepkannya, sehingga timbul rasa malas, rasa kantuk, rasa sakit dan berbagai hal negatif lainnya. Fenomena muncul diakibatkan suatu kondisi yang mendahului. Tetapi bila kita bisa terlepas dari kondisi tersebut maka kita juga akan terlepas dari fenomena."

Hudoyo: "Ini aneh! Menurut saya, semua dan setiap fenomena selalu terkait dengan badan & batin, masuk melalui keenam indra badan & batin; tidak ada fenomena yang bebas dari badan & batin. Sang Buddha bersabda: "Para bhikkhu, saya hanya mengajarkan dunia dan lenyapnya dunia"; maksudnya dunia = nama-rupa. Rasa mengantuk, rasa sakit dsb adalah wajar dan alamiah selama itu merupakan fenomena jasmani. Dalam khanika-samadhi, yang berhenti adalah reaksi batin terhadap segala fenomena badan & batin yang munucul; reaksi batin itu muncul dalam bentuk panca-nivaranani (keinginan, ketidaksenangan, kemalasan, kegelisahan & keraguan) dan dalam bentuk pikiran, lamunan, harapan dsb. Itulah yang lenyap dalam khanika-samadhi; sedangkan rasa sakit, pegal, linu, capek dsb sepanjang itu fenomena jasmani tetap akan ada, dan tidak perlu dilawan."

***

Fabian: "Karena tidak ada rasa negatif yang muncul maka ia tidak bosan memperhatikan objek selama 2 jam, 3 jam… bahkan seharian… "

Hudoyo: "Ini bisa dimengerti karena dalam vipassana versi Mahasi Sayadaw ditekankan konsentrasi. Tapi dalam MMD, berhentinya panca-nivaranani tidak perlu harus diwujudkan dengan duduk diam seharian berkonsetrasi pada satu obyek. Orang bisa berada dalam khanika-samadhi sambil duduk, berdiri, berjalan, mengerjakan pekerjaan sehari-hari (yang tidak memerlukan kegiatan pikiran/intelektual), selama berjam-jam bahkan seharian."

***

Fabian: "Mengapa bisa sehari semalam? Karena rasa enggan, rasa bosan, rasa malas, serta kondisi-kondisi batin negatif (nivarana) lainnya sebelumnya telah diatasi dengan dengan memunculkan faktor-faktor batin positif yang berlawanan, yaitu: berusaha tidak malas bila kemalasan timbul, dengan berusaha bertahan pantang menyerah bila rasa bosan timbul dsbnya."

Hudoyo: "Dalam MMD, panca-nivaranani (keinginan, ketidaksenangan, kemalasan, kegelisahan, keraguan) akan hilang dengan sendirinya bila khanika-samadhi muncul. Munculnya khanika-samadhi bukanlah hasil dari perlawanan terhadap panca-nivaranani itu dengan mensubstitusikannya dengan faktor-faktor batin positif yang menjadi lawannya, melainkan dengan menyadari terus-menerus gerak-gerik si aku/pikiran yang melakukan perlawanan dan ingin melenyapkan panca-nivaranani itu."

***

Fabian: "Dengan berhentinya objek yang terus menerus diperhatikan maka batin terbebas. Dengan terbebasnya batin maka timbul ketenangan dan kedamaian yang luar biasa, dan dari situ muncul kebahagiaan."

Hudoyo: "Lho, Anda baru sampai di situ? ;) ... Ketenangan (passadhi), kedamaian luar biasa (upekkha)  & kebahagiaan (piti, sukham) tidak ada hubungannya sama sekali dengan kebebasan batin. Semua itu tidak lebih dari kotoran vipassana (vipassana-upakilesa). Dalam khanika-samadhi, tidak ada rasa senang dan rasa susah, apa lagi rasa yang berlebihan, rasa yang luar biasa dsb. Yang ada cuma rasa 'berbeda' dari kesadaran sebelumnya, rasa 'bangun' dari sebuah mimpi, rasa 'lega' (yang bukan rasa bahagia) karena beban batin/si aku telah lepas; itu pun hanya dirasakan pada saat baru masuk khanika-samadhi itu, dan masih teringat akan kesadaran sehari-hari yang baru ditinggalkan, setelah beberapa lama semua rasa itu pun lenyap."

***

Fabian: "Pada waktu batin terbebas, ia mengetahui bahwa
-   fenomena-fenomena batin dan kondisi-kondisi batin yang mendahuluinya tidak menyenangkan, karena ia membandingkan dengan keadaan setelah lenyapnya kondisi-kondisi (inilah kebenaran Ariya pertama, yaitu kondisi-kondisi yang menimbulkan fenomena tidak menyenangkan/dukkha).
-   Selanjutnya ia mengetahui bahwa penyebab ketidak bahagiaan adalah karena fenomena fenomena batin yang timbul dari kondisi-kondisi batin (inilah kebenaran Ariya kedua).
-   Dengan berhentinya kondisi-kondisi batin maka fenomena-fenomena batin akan berhenti juga (inilah kebenaran Ariya ketiga).
-   Dan yang keempat: jalan untuk menghentikan ketidak bahagiaan yang disebabkan oleh kondisi-kondisi yang menimbulkan fenomena-fenomena adalah jalan Ariya berunsur delapan. Yang telah dilaluinya."


Hudoyo: "Ini persis seperti diajarkan dalam Visuddhi-magga, yang saya tolak. Ini berarti kembalinya konsep 4 Kebenaran Mulia yang pernah dipelajari sebelumnya. Berarti pikiran bergerak kembali, dan khanika-samadhi putus. Ini tidak terjadi pada batin yang bebas. ... Pada waktu batin bebas, ia tidak mengenal apa-apa lagi, ia tidak ingat ajaran agama (termasuk Buddha-Dhamma) yang pernah dipelajarinya sebelumnya, ia tidak punya pengetahuan & pengalaman dari masa lampau apa pun (yang berkaitan dengan pembebasan), ia bahkan tidak menyadari bahwa ia 'bebas'. ... Baru setelah ia keluar dari khanika-samadhi dan kembali ke dalam alam pikiran & kesadaran sehari-hari, ia baru berpikir: "Itulah pembebasan, di mana tidak ada pikiran & aku lagi; sekarang ini aku berada dalam alam pikiran, yang serba berubah dan tidak memuaskan; dan semua itu disebabkan oleh gerak pikiran & si aku; semua itu berakhir bila pikiran & si aku itu berakhir; itulah akhir dukkha, sebagaimana dikatakan oleh Sang Buddha kepada Bahiya & Malunkyaputta; tapi tidak ada jalan gradual yang bisa ditempuh oleh si aku untuk melenyapkan si aku; lenyapnya si aku itu terjadi secara seketika." Pikiran-pikiran seperti itu muncul sesudah orang "turun" kembali dari khanika-samadhi ke dalam kesadaran pikiran sehari-hari."

***

Fabian: "Dari uraian diatas bisa dilihat segala sesuatu terjadi melalui proses, memang lebih mudah bagi orang yang tak mengenal prosesnya untuk mengatakan bahwa, semua terjadi secara tiba-tiba, instantly (sehingga tak perlu menjawab bagaimana prosesnya)."

Hudoyo: "Kontroversi bahwa pembebasan itu tercapai dengan seketika versus pembebasan tercapai secara bertahap (gradual) adalah kontroversi lama sejak zaman Huineng versus Xenshiu. Saya sependapat dengan Huineng. Bagi saya, pembebasan bukan hasil sebuah proses, bukan buah dari suatu tindakan (kamma); alih-alih, pembebasan adalah runtuhnya hukum sebab-akibat, hukum karma-phala, runtuhnya atta/diri dengan seketika."

***

Fabian: "Sang Buddha mengatakan dalam salah satu sutta di Samyutta Nikaya yang isinya kurang lebih mengatakan bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan tidak terjadi secara tiba-tiba, semuanya terjadi melalui proses yang bertambah lama bertambah dalam, bagai kemiringan lantai samudera (ocean slope). Mohon kalau ada para netter yang masih ingat nomer suttanya dengan tepat, mohon beritahukan kepada para netter yang lain."

Hudoyo: "Kalau memang ada sutta dimaksud dalam Samyutta Nikaya, maka sutta itu mendukung paham Xenshiu (pencerahan bertahap), dan saya tidak menganggap sutta itu berasal dari mulut Sang Buddha. Saya sendiri tidak berpegang pada sutta mana pun dalam masalah ini, melainkan pada pengalaman sendiri. Dalam khanika-samadhi, ketika atta/diri tidak ada, orang mencicipi nibbana para arahat, sekalipun hanya untuk sementara waktu, kemudian kembali kepada kesadaran puthujjana (orang biasa). Ini dikatakan pula oleh YM Buddhadasa Mahathera. Di situ saya menyadari bahwa pencerahan harus terjadi seketika pada saat kini; kalaupun belum terjadi pada saat kini, orang harus tetap memusatkan perhatiannya pada saat kini, sampai pencerahan itu muncul. Paham yang melihat pencerahan secara bertahap di masa depan justru akan menjauhkan pencerahan itu sendiri."

***

Fabian: "Tak ada suatu peristiwa yang berkenaan batin dan jasmani yang terjadi begitu saja, semuanya melalui proses yang bertambah lama tambah berkembang, tak ada peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Sebenarnya pada kebenaran mutlak, perbedaan terletak pada kecepatan pencapaian (cepat atau lambatnya)."

Hudoyo: "Pencerahan/pembebasan bukanlah peristiwa yang terjadi dalam kesadaran dan kehidupan sehari-hari; pencerahan/pembebasan adalah pengalaman yang terbalik dibandingkan pengalaman dalam kesadaran sehari-hari. Justru tidak ada pembebasan yang terjadi secara berangsur-angsur, bertahap; pembebasan harus terjadi dengan seketika, dan bukan hasil dari latihan, dari konsentrasi, dari usaha si aku."

***


Fabian: "Bila asumsi bahwa kesucian batin bisa dicapai secara tiba-tiba tanpa melalui proses, maka kita tak perlu bermeditasi, siapa tahu kita sedang melihat daun mendadak mencapai pencerahan ... Bila ada peristiwa yang terjadi secara mendadak, berarti itu terjadi secara kebetulan, karena tidak melalui proses. Bila tidak melalui proses maka semua bisa terjadi begitu saja, bila bisa terjadi begitu saja maka tak ada hukum sebab-akibat, bila tak ada hukum sebab-akibat maka tak ada hukum karma."

Hudoyo: "Pengandaian Anda justru tepat. Pembebasan bukan hasil latihan meditasi; lenyapnya aku bukan hasil usaha si aku, orang yang berusaha melenyapkan akunya ibarat seekor anak anjing yang berputar-putar mengejar ekornya sendiri, mustahil berhasil; orang bisa mencapai pencerahan kapan saja, bahkan tanpa meditasi; sebaliknya, selama orang bermeditasi mengharapkan pembebasan, jangan harap pembebasan akan terjadi. Pembebasan bukan hasil dari hukum sebab-akibat, pembebasan justru bebas dari hukum sebab-akibat (hukum karma). Janganlah menghubung-hubungkan pembebasan dengan usaha si aku, dengan hukum karma-phala, dengan latihan meditasi; pembebasan tidak bisa dipahami dalam kaitan dengan kesadaran sehari-hari, dengan si aku dengan harapannya dan usahanya, dengan hukum karma. 'Ia akan datang seperti pencuri di waktu malam, ketika tidak diharapkan'; begitu kata Alkitab Keristen."

***

Fabian: "Kemampuan batin 'melihat segala sesuatu apa adanya' atau 'melihat tanpa konsep' muncul dengan sendirinya sebagai akibat dari meditasi, yaitu seiring dengan bertambah kuatnya sati (perhatian) dan samadhi (konsentrasi atau kemampuan perhatian terus bertahan pada objek)."

Hudoyo: "Kemampuan melihat apa adanya tanpa konsep bukan hasil dari konsentrasi, semakin orang berkonsentrasi semakin ia tidak melihat apa adanya. Kemampuan melihat apa adanya akan datang dengan sendirinya bila orang secara pasif tanpa bereaksi menyadari setiap kali ia TIDAK melihat apa adanya, menyadari setiap kali ia melihat dengan konsep/pikiran, sehingga pada akhirnya pikiran/konsep itu akan runtuh dengan sendirinya, tanpa usaha konsentrasi apa pun."

***

Fabian: "Kita tidak perlu berusaha untuk 'melihat hanya melihat, mendengar hanya mendengar' dsbnya..karena bila meditator pemula yang batinnya belum terlatih, melakukan seperti yang dinasehatkan Sang Buddha kepada Y.A. Bahiya maupun Y.A. Malunkyaputta, maka itu adalah berarti me”melihat apa adanya”kan atau meng”tanpa konsep”kan sesuatu yang sebenarnya berkonsep."

Hudoyo: "Dalam retret MMD sudah berkali-kali terbukti orang berhasil melakukan anjuran Sang Buddha kepada Bahiya untuk 'hanya melihat, hanya mendengar ...dsb'. Anjuran Anda untuk mengabaikan ajaran Sang Buddha kepada Bahiya & Malunkyaputta hanya didorong oleh keterkondisian batin Anda yang melekat erat pada vipassana versi Mahasi Sayadaw, dan harus ditolak tegas; Anda lebih mementingkan ajaran Mahasi Sayadaw daripada ajaran Buddha Gautama! Justru 'mencapai pembebasan secara bertahap melalui konsentrasi' itulah konsep yang mengelabui dan menutup mata, dan membuat para praktisi vipassana macet dalam praktiknya. Saya sarankan kepada Rekan Fabian, batasi anjuran Anda pada ajaran Mahasi Sayadaw, dan jangan menyinggung-nyinggung Bahiya-sutta & Malunkyaputta-sutta sama sekali, karena Anda tidak paham apa yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada Bahiya & Malunkyaputta, dan hanya memancing tanggapan dari mereka yang memahami ajaran Sang Buddha kepada Bahiya & Malunkyaputta."

***

Fabian: "Pada meditasi yang alami meditator hanya selalu menyadari dan mencatat apapun yang terjadi, tidak berpikir ini dengan konsep atau ini tanpa konsep…,ia hanya mengamati… entah itu baik atau tidak baik, konsep atau tanpa konsep, suka atau tidak suka dsbnya, dengan kata lain meditasi Vipassana tidak dilandasi praduga atau judgment ini berpikir atau ini tidak berpikir."

Hudoyo: "Pada meditasi yang alami, pemeditasi hanya menyadari fenomena badan & batinnya dari saat ke saat, tanpa mencatat ... menyadari fenomena batin berarti menyadari setiap kali pikiran muncul, setiap kali konsep muncul, sehingga pikiran/konsep itu lenyap kembali dengan seketika, sebagaimana dianjurkan Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta dan Bahiya-sutta ... Meditasi vipassana bukan mengabaikan pikiran, melainkan justru menyadari setiap kali pikiran muncul, karena pikiran inilah salah satu manifestasi aku/atta yang paling halus, yang akan membelenggu manusia dalam dukkha dan samsara."

***

Fabian: "Bila ia mengamati “ini tanpa konsep” atau “ini dengan konsep” maka meditator tersebut sebenarnya secara halus terperangkap pada bentuk pikiran yang halus, yaitu berkontemplasi mengenai konseptual atau tidak konseptual."

Hudoyo: "Pemeditasi yang TIDAK mengenali pikirannya sebagai pikiran (salah satu fenomena batin) dan bukan kebenaran apa adanya akan macet dalam praktik vipassananya, ia akan terus-menerus berkonsentrasi dan berusaha didorong oleh bentuk pikiran yang halus yang menganggap USAHANYA AKAN MENGHASILKAN PEMBEBASAN."

***

Fabian: "Pada meditator yang belum terlatih, mengamati dengan konseptual adalah sifat alami yang tak terhindarkan dan selalu terjadi, hal itu tak perlu ditolak, hanya amati saja, bila nanti batinnya telah terlatih dan bersih maka pengamatan menjadi murni dan pengamatan tanpa konsep terjadi dengan sendirinya secara alami."

Hudoyo: "Ini sudah lebih baik. Menyadari setiap kali pikiran/konsep muncul, tanpa perlu menolak pikiran yang berseliweran, TANPA PERLU BERKONSENTRASI pada obyek apa pun; tanpa perlu mengharapkan batin menjadi terlatih dan menjadi "bersih". Maka, ketika orang tidak mengharapkan apa-apa, ketika orang tidak berkonsentrasi pada apa pun, ketika orang secara sadar berada bersama pikiran yang berseliweran, maka khanika-samadhi (berhentinya pikiran/aku) akan muncul secara alami."

Salam,
hudoyo
« Last Edit: 23 August 2008, 07:48:34 AM by Sumedho »

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #546 on: 22 August 2008, 10:17:51 PM »
wahhh

panjang bener

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #547 on: 22 August 2008, 10:20:32 PM »
mahabuddhavamsa adalah buku karangan mingu sayadaw dari burma pada abad ke-20.
sudah tentu isinya merupakan opini dan komentar beliau terhadap sutta2 dari sudut pandang burmese buddhism yg kental dengan teori2 abhidhamma dan penafsiran agama buddha orthodox. orang2 banyak menyebut mahabuddhavamsa sebagai "kitab komentar burmese". cmiiw hasil googling saya ini.
suttanya sendiri tercatat di tipitaka dengan singkat:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/ud/ud.1.10.than.html

Betul. Udana 1.10 adalah salah satu sutta pendek dari lapisan yang tertua dari Tipitaka Pali. Artinya, lebih dekat pada zaman Sang Buddha hidup dibandingkan sutta-sutta panjang dalam Digha Nikaya & Majjhima Nikaya.

Dongeng-dongeng tentang Arahat Bahiya Darucariya yang terdapat dalam kitab-kitab Komentar ditulis seribu tahun setelah zaman Sang Buddha, sehingga saya menganggap isinya tidak lebih daripada legenda.

Kisah tentang Bahiya dalam Maha-Buddhavamsa tidak lebih dari interpretasi dari YM Tipitakadhara Mingun Sayadaw yang ditulis pada abad ke-20, dua ribu lima ratus tahun setelah zaman Sang Buddha, sehingga nilai sejarahnya bisa diabaikan.

Salam,
hudoyo

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #548 on: 22 August 2008, 10:24:29 PM »
wahhh
panjang bener

Cukup untuk bacaan seminggu. :)) :)) :))

Salam,
hudoyo

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #549 on: 23 August 2008, 12:54:07 AM »
Quote
Jadi sekarang, ada yang mau menjelaskan "usaha" dan "tanpa usaha" menurut definsinya masing2? Atau perlu thread baru?

Usaha (dalam pengertian psikologis) itu menyiratkan waktu : ada proses dari sini menuju kesana; ada tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapainya adalah dengan bertolak dari yang ini untuk mencapai yang itu.
Setiap usaha selalu menyiratkan adanya pusat / subyek yaitu si "aku" sebagai si penggerak.
Proximate causenya adalah : ketidakpuasan.
« Last Edit: 23 August 2008, 01:08:33 AM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #550 on: 23 August 2008, 07:35:44 AM »
Aneh, tombol 'modify' pada posting sendiri kok tidak muncul? Apakah penulis posting tidak bisa mengubah tulisan yang telah dikirimkan?

Salam,
hudoyo

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #551 on: 23 August 2008, 07:38:00 AM »
Lho, sekarang muncul tombol 'modify' pada posting yang baru saya kirimkan, tapi tombol itu tetap tidak ada pada posting yang saya kirimkan tadi malam (yeseterday) pk 22:24. Apakah ada batas waktu maksimal untuk boleh memperbaiki posting?

Salam,
hudoyo

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #552 on: 23 August 2008, 07:41:22 AM »
Benar sekali Pak Hud, sekarang editan posting hanya berlaku 30 menit dari waktu posting. Sudah sempat dibahas panjang di thread lain dan sepertinya ini adalah aturan yang akan dicoba di berlakukan mengingat banyak yang mengedit postingan lama sehingga diskusi kehilangan konteks.
There is no place like 127.0.0.1

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #553 on: 23 August 2008, 07:45:32 AM »
Karena posting saya kemarin tidak bisa di-modify lagi, terpaksa saya meralatnya di sini:

Dalam Reply #545, beberapa kali saya menyebut 'panca-nivarani' ... seharusnya: 'panca-nivaranani' (lima rintangan batin, nivarana).

Salam,
hudoyo

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Abhidhamma & vipassana
« Reply #554 on: 23 August 2008, 07:48:55 AM »
Sudah saya bantu edit Pak :)
There is no place like 127.0.0.1

 

anything