//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - Suchamda

Pages: [1] 2
1
Diskusi Umum / Perlukah Guru dalam belajar Dharma?
« on: 31 July 2008, 10:38:17 AM »
http://groups.yahoo.com/group/Mahayana_Indonesia/message/3818

Peran Guru
oleh : Master Sheng Yen
 

Tanya:

Seberapa pentingkah mempunyai seorang guru dalam berlatih Buddhadharma? Apa bisa terjadi masalah jika kita mempraktikkan sila dan prinsip-prinsip buddhist tanpa bimbingan seorang guru?

 

Shifu:

Sulit untuk mempraktikkan Buddhadharma dengan serius kalau tidak disertai bimbingan seorang guru yang piawai. Sekedar mengandalkan buku-buku hanya akan cukup pada level pemula saja, bahkan pada beberapa kasus bisa malah beresiko. Buku-buku, termasuk juga buku yang Anda baca ini, memang bisa bicara tentang prinsip-prinsip namun, pada bukunya sendiri, takkan mampu menjelaskan seluk-beluk liku-liku praktik yang detil dan mendalam. Dan tentu saja, buku itu kan tidak bisa melakukan observasi atau memberikan petunjuk-petunjuk pada situasi serta kondisi yang spesifik.

Setiap praktisi pada dasarnya pasti unik, dan ada perubahan serta fluktuasi terus menerus pada kondisi fisiologi, mental, mood, dan chi atau enerji vitalnya. Beragam orang bereaksi terhadap situasi dengan cara beraneka-ragam pula, sehingga diperlukan pelbagai metode bagi si guru untuk menanggapi setiap situasi dari para murid tersebut. Lebih jauh lagi, situasi-situasi serta tanggapannya, kendatipun nampak mirip atau bahkan mungkin kelihatannya sama  bagi mata awam, musti tetap dipahami setiap waktu sebagai event-event yang unik. Hanya seorang guru yang sungguh berpengalaman yang bisa mengamati dan menginterpretasikan fenomena yang begitu kompleks dan terus berubah itu, serta kemudian mampu memberikan petunjuk-petunjuk yang sesuai.

 

Apa Anda mau percaya kepada seorang dokter atau ahli bedah jika semua pengetahuannya hanya berlandaskan dari membaca buku?

Setiap pasien pasti berbeda; kondisi serta penyakit pun terus berubah. Dokter tidak bisa cuma mengandalkan pengetahuan dari buku, ia juga menimba dari pengalaman praktik-langsungnya, dan dari apa yang mereka pelajari dari orang lain. Para dokter memanfaatkan segala sumber daya yang mereka punya guna menolong pasien-pasien. Demikian pula halnya dalam hal berlatih Buddhadharma.

Begitu kalian mulai menjalankan praktik, kalian bakal menghadapi berbagai situasi serta tantangan – aneka respon pada tubuh, ucapan dan pikiran – hal-hal yang tadinya tidak pernah Anda kenal. Akan sungguh bodoh dan berbahaya kalau hanya mengandalkan seluruhnya pada buku-buku untuk menyelesaikan aneka macam pertanyaan dan persoalan tersebut.

Pertama, buku-buku itu kan tidak mempunyai semua jawaban; kedua, karena jawaban-jawaban pada buku tersebut boleh jadi tidak sesuai dengan kondisi spesifik Anda; dan yang ketiga, bisa saja Anda salah menafsirkan petunjuk dalam buku tersebut. Maka dari itu, adalah penting bagi praktisi buddhis yang serius – apakah jalurnya Tibetan, Zen, Ch’an, ataupun Sukhavati – untuk mempunyai seorang guru yang berkwalitas di sisinya guna memandu, memberi saran serta dorongan. Sementara itu, orang-orang yang sekedar praktik musiman saja memang tidak perlu studi dan berlatih bersama dengan seorang guru, meski seyogianya tetap juga dianjurkan.

 

Murid:

Apa peran seorang guru bagi para murid untuk menjalani tiga jalur praktik – sila, samadhi, dan prajna?

 

Shifu:

Pertama-tama seorang buddhist musti mengambil Lima Sila (Panca Sila atau Five Precepts) sebagai panduan dasar bagi perilakunya, yakni: tidak membunuh, tidak mengambil barang yang bukan miliknya, tidak berbuat asusila, tidak berbohong, dan tidak mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan kesadaran. Di level permukaan – atau mungkin bagi praktisi yang sekedar coba-coba – sila ini nampaknya seperti gampang dan sederhana; namun bagi praktisi yang serius, prinsip serta kedalaman seluk-beluk sila bisa menjadi lumayan rumit, dan aneka pertanyaan pun pasti bakal muncul.

Oleh karena bagi beberapa praktisi, atau bagi orang-orang yang tidak kenal dengan lingkungan budaya dimana Buddhadharma berkembang, karena merasa tidak jelas tentang sila, maka banyak orang yang takut untuk mengambilnya. Mereka bisa salah paham menganggapnya sebagai perintah agama yang kaku; padahal sila seharusnya dipahami sebagai panduan-arah bagi perilaku kita. Orang-orang itu mungkin ragu tentang bagaimana cara menjaga kemurnian sila mereka, atau bingung apakah mereka telah melanggar atau tidak; atau andaikata memang melanggar, bagaimana cara menghadapi kenyataan semacam itu.

Guru-guru yang piawai, apalagi mereka yang secara khusus menekuni praktik sila, akan sangat paham dan berpengalaman tentang detil serta liku-likunya. Mereka tahu jelas beda antara menjaga dengan melanggar sebuah sila di pelbagai situasi yang berbeda. Sebagai misal, ada dua orang yang melakukan atau atau mengucapkan hal yang meski kelihatannya sama, namun yang satu bisa melanggar sila sementara yang lainnya tidak.

 

Demikian pula, kebanyakan orang tidak memahami dengan jelas tentang samadhi – atau konsentrasi meditatif – aspek kedua dari praktik Buddhadharma. Di beberapa kejadian, ada praktisi yang keliru menganggap bahwa keheningan dangkal atau pikiran yang jernih sebagai keadaan mencapai samadhi, atau bahkan pencerahan. Ini karena mereka tidak pernah mempunyai pengalaman-langsung (direct experience) tentang samadhi atau pencerahan. Apa yang diketahui cuma dari yang mereka baca di buku atau bayangan mereka sendiri. Seorang guru yang berkwalitas sangat diperlukan untuk memverifikasi jenis, tingkat, serta ketulenan dari pengalaman-meditasi tersebut.

Guru berkwalitas yang pernah mengalami sendiri samadhi dan pencerahan dapat menentukan keadaan pikiran sang murid dengan lewat mengamati reaksi-reaksi mereka di aktifitas keseharian, ucapan, dan suasana batin mereka. Dari observasi semacam itu seorang guru akan mampu menilai tingkatan praktik serta pencapaian sang murid.

 

Selama bertahun-tahun, banyak murid-murid saya yang mendatangi saya, yakin bahwa mereka telah mengalami samadhi atau pencerahan. Kebanyakan ternyata keliru. Tapi hal tersebut toh tidak berkembang menjadi urusan yang serius karena saya ada di situ untuk membetulkan pemahaman mereka serta memberi panduan ke arah yang tepat. Namun hal seperti itu bisa jadi berbahaya manakala si praktisi terjatuh ke dalam “keadaan sesat” (demonic state). Keadaan-sesat ini bisa bermacam-macam; dalam hal ini yang saya maksud khususnya adalah: keadaan ketika si murid berkhayal (delusively) menyangka bahwa mereka telah mencapai pencerahan, atau telah mengembangkan kesaktian. Apabila mereka melekat-kuat pada delusinya itu, maka kemelekatannya itu bakal menjadi penghalang besar bagi jalan praktiknya. Gangguan sesat tersebut bisa timbul dari respon-respon fisik maupun psikologis terhadap praktik mereka, dan hal demikian kadang urusannya ruwet dan tidak gampang. Di permukaan, mereka yang sesat tersebut mungkin nampak sama saja dengan praktisi yang lain, dan boleh jadi tidak sadar kalau sesat; namun manakala kumat delusinya, mereka bisa merusak atau mencederai, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Pada kasus yang terburuk, ketika orang yakin sekali bahwa mereka telah tercerahkan sempurna, acapkali mustahil bagi seorang guru untuk menolongnya agar kembali ke jalur yang benar.

 

Murid:

Lalu bagaimana orang demikian itu bisa ditolong?

Shifu:

Tergantung karma mereka. Jikalau mereka punya akar karma yang bagus[1], bisa nanti akhirnya menginsyafi bahwa mereka sesungguhnya tidak tercerahkan, atau bahwa sebenarnya mereka tidak punya kesaktian.

Kebijaksanan (wisdom) sejati adalah ketidakmelekatan (non-attachment). Ini bukanlah pengetahuan (knowledge), bukan pandangan seseorang, bukan pula kepintaran ataupun reaksi kesigapan.

Pandangan-benar yang dijelaskan dalam Jalan Mulia Beruas Delapan bukanlah wisdom yang sama dengan yang disebut sebagai wisdom tulen. Wisdom di dalam pandangan-benar mungkin lebih baik kalau disebut sebagai wisdom-kegigihan, maksudnya adalah: kebijaksanaan yang bisa membuat seseorang untuk tetap jernih tinggal dan bertahan pada jalan yang berlandaskan prinsip-prinsip Buddhadharma. Sementara: wisdom tulen itu berasal dari pengalaman-langsung akan shunyata (kekosongan). Orang yang belum mengalami pencerahan maka dari itu musti bersandar pada kebijaksanaan Sang Buddha sebagai panduan dan penunjuk arah. Mendengarkan Buddhadharma adalah langkah awal buat mengembangkan kebijaksanaan.

 

Buddhisme menyebut pengetahuan yang diperoleh dari mendengarkan Buddhadharma sebagai “kebijaksanaan yang diperoleh dari mendengarkan.”[2] Langkah selanjutnya menumbuhkan “kebijaksanaan yang diperoleh dari merenung.” Akhirnya, apabila seseorang bisa menjalankan praktik dengan tekun, maka ia bisa mencapai “kebijaksanaan yang diperoleh dari praktik [meditasi].” Wisdom yang tulen adalah: kebijaksanaan yang terakhir ini, dan datangnya semata-mata yang berasal dari pengalaman shunyata.

 

Murid:

Apakah Shifu bisa menjelaskan lebih lanjut perbedaan antara kebijaksanaan yang diperoleh dari mendengar, dari berpikir atau merenung, dan yang dari praktik?

Shifu:

Seseorang yang sudah mendengarkan dan bisa menerima Ajaran dasar Sang Buddha seperti: Empat Kebenaran Mulia, Duabelas Matarantai Kemunculan Berkondisi, dan Jalan Mulia Beruas Delapan – berarti telah mencapai kebijaksanaan yang berasal dari “mendengarkan.” Kemudian manakala ia meresapi dan merenungkan prinsip-prinsip ini lewat analisa serta kontemplasi, maka ia mulai mengembangkan kebijaksanaan yang berasal dari berpikir atau merenung. Pada awalnya, kebijaksanaan tersebut masih merupakan buah dari pikiran yang memilah-milah (discrimination) serta akal-budi (reasoning); namun suatu waktu nanti ia bakal mengecap kebijaksanaan ini lewat kontemplasi-langsung (direct contemplation). Bagi pemula, apa yang baru saja saya jelaskan mungkin nampak tidak masuk akal; namun pemikiran-intelektual (intellectual thinking) memang beda dengan kontemplasi-langsung. Perbedaan ini hanya bisa dikenali semata-mata lewat praktik-meditasi.

Yang terakhir, adalah kebijaksanaan yang diperoleh langsung dari praktik, kebijaksanaan yang tertinggi, yang tulen, atau pengalaman shunyata (kekosongan). Wisdom-tulen itu memang boleh dibilang asalnya adalah semata-mata dari hasil praktik-meditasi saja, namun penting untuk dipahami bahwa pencapaian tersebut tetap dibangun dari kebijaksanaan yang dikembangkan lewat mendengar serta merenung. Di tiap-tiap level ini diperlukan petunjuk dari seorang guru yang berpengalaman. Awalnya kita bisa belajar dari membaca buku, namun ketika hendak berlatih secara serius, diperlukan bantuan dari seorang guru.

 

Murid:

Bagaimana sebaiknya cara memilih seorang guru? Adakah petunjuk tertentu buat membantu kita memutuskan bahwa orang itu memenuhi syarat untuk mengajar atau tidak?

Shifu:

Guru yang baik musti punya pengetahuan serta pemahaman yang benar, menjaga kemurnian silanya, punya kemampuan membimbing orang lain, dan penuh welas-asih. Dengan kwalifikasi seperti itu, ia paling tidak bisa mengajari praktisi pemula. Akan tetapi, para praktisi serius mesti mencari seorang guru yang “matanya terang” – seseorang yang pernah mengalami-langsung wisdom yang tulen. Hanya guru-guru yang punya pengalaman pencerahanlah yang bisa melihat bahwa seseorang sudah punya pengalaman shunyata atau tidak. Tanpa punya pengalaman-langsung-shunyata sendiri, seorang guru bisa keliru menyangka keadaan pikiran yang jernih atau samadhi sebagai pencerahan.

Guru-guru yang tidak memiliki pengalaman pencerahan takkan bisa membimbing orang ke praktik yang mendalam. Pun, andaikata daya samadhi mereka sangat kuat, mereka hanya akan bisa mengajar sampai tingkatan yang pernah mereka capai; pencapaian tersebut hanya ibarat seperti sebutir batu yang berendam dalam air dingin, atau hantu yang duduk di dalam gua gelap di tengah gunung.[3] Ya, bagaimana bisa seseorang membimbing oranglain untuk mencapai suatu tingkatan yang mereka sendiri belum pernah capai? Dan, kalaupun seandainya si murid kemudian barangkali mengalami pencerahan, si guru itu sendiri toh tidak punya pengalaman pribadi langsung guna mengkwalifikasi pencapaian tersebut.

 

Murid:

Mengapa terkadang orang berganti guru Dharma?

Shifu:

Kalaupun itu terjadi, biasanya oleh karena si murid tidak puas dengan praktik mereka sendiri. Barangkali karena mereka merasa macet pada keadaan tertentu dan tak tahu lagi bagaimana cara melewati celah sempit itu. Buat memecahkan situasi pribadinya, boleh juga mereka pergi ke tempat lain guna mencari pertolongan. Dalam perjalanan itu, bisa saja seorang guru tertentu menolong menjernihkan jalan ataupun mengganti arah mereka. Ini sebuah indikasi, paling tidak sejauh ini, bahwa guru tersebut memang memenuhi syarat buat mengajar si murid.

[1] Tradisi Ch’an atau Buddhisme China umumnya: mengistilahkan seseorang yang punya bakat baik, yang telah banyak melakukan kebajikan, dengan kata lain: yang punya banyak pahala (merit atau parami), sebagai: orang yang mempunyai akar karma mendalam atau tajam (deep and sharp karmic root) – ed.

[2] Istilah “mendengarkan” di sini adalah termasuk pengetahuan yang didapat dari “membaca” – karena jaman dahulu belum ada buku – ed.

[3] Istilah dalam tradisi Ch’an untuk menunjukkan seseorang yang praktiknya hanya mandeg pada level samadhi – ed.

2
Theravada / Apa bedanya Bhikkhu Selibat dan Sex Maniac???
« on: 12 June 2008, 12:02:37 AM »
Kulonuwun.
Numpang nanya, apakah perbedaannya antara orang yang menjalankan vinaya hidup selibat (berpantang sex) tetapi sehari-harinya hidup menit demi menit untuk menekan-nekan libidonya; dan seorang sex maniac yang "just do it"???

Beda atau sama saja? ^-^
(sori pertanyaan bodoh) ;D

Mohon pencerahannya.

3
Diskusi Umum / Mengukur pencapaian pencerahan?
« on: 26 May 2008, 08:51:05 PM »
Bagaimanakah mengetahui seseorang sudah mencapai pencerahan?
Ada yg mengatakan, sudah mencapai pencerahan itu berarti sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
Ukurannya adalah sudah tidak pernah melanggar sila lagi.

Hehehe........saya kok geli mendengar pendapat ini, apakah benar?

Menurut saya, kalau ukurannya cuman itu, maka ada 3 jenis orang yang akan cepat mencapai "kesucian" :
1. Psikopat
2. Manusia berhati besi
3. Munafik (artis)

 ^-^

Salam,
Suchamda
(maaf bila sambil bercanda)

4
Diskusi Umum / Pemetaan praktek Theravada dan Vajrayana
« on: 25 May 2008, 11:44:17 AM »
The Relationship Between Theravadan and Vajrayana Practices Theravadan is in blue; Tibetan is in Red

Some clarification of the terms:

Samadi: the collected, tranquil, alert mind which is stabilized by one-pointed practice; there can be mental absorption in the objects of mind in this practice.

Shamata with support:
conceptual effort applied to collecting and stabilizing the mind in one- pointedness without absorption.

Sati/mindfulness: the alert, aware, wakeful mind which recognizes, brings into awareness and connects with all sense objects, including mind itself.

Shamata without support : effortless mindfulness without an object; an early stage of rigpa.

Vipassana: Inquiry, investigation into the nature of mind. Its final outcome is conceptual knowledge of egolessness/emptiness; releases gross mental fixations leading to letting go.

Yidam practice: "personal" deities (which are the nature of mind itself) are used as objects for purification to release fixations, negativities and obscurations in the mind. They are energy patterns of Buddhas which exist within emptiness and natural clarity which manifest unimpeded compassionate activity. We access a yidam by forming a visualization of them in our mind while chanting their mantra. We do this to infuse and mix our minds with the wisdom and compassion of a particular Buddha or realized being such as the purification accomplished by Vajrasattva, the wisdom unveiled by Manjusri, etc. It is through the blessings of the yidam that the mind is thus transformed. Practice begins with a fabricated image and progresses to the completion stage beyond concept.

Letting go: the culmination of the Theravadan path - releasing mental clinging; a subtle sense of self (as a trace of the Knower) often remains as bare attention. There is no training offered to dispense with the Knower or to stabilize the mind that has let go of clinging.

Dzogchen: non-conceptual non-meditation (no meditative objects) practice which trains the mind to rest in rigpa and stabilize rigpa; it "unties the subtle knots of mind"; there is no object of meditation, including no experience of awareness, attention, or consciousness as an object; there is no separation of self/other in the knowing.

rigpa: the natural mind which is not dependent on or mixed with the senses; beyond conceptual knowledge of egolessness/emptiness; the experiencing, knowing mind without a Knower. It is the natural cognizing (knowing) mind - the union of empty essence, clarity and unimpeded unobstructed compassionate energy.


5
Diskusi Umum / HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« on: 23 January 2008, 11:11:28 PM »

6
Dikatakan bahwa Bodhisattva bisa memilih kelahiran di alam apa saja untuk berkarya. Apakah ada account dalam kitab2 Buddhis bahwa ada binatang yang merupakan bodhisattva?

Dikatakan bahwa Karmapa ke-16 adalah seorang yang mampu memilah bodhisattva diantara sekumpulang burung kenari.
Dan barusan saja saya membaca tentang Si kucing bernama Scarlett yang menyelamatkan anak-anaknya di sebuah rumah yang terbakar walaupun ia harus mengalami luka yang parah. Peristiwa ini terjadi di tahun 1996 di Brooklyn (USA). Ia dan anak2nya kemudian dirawat oleh North Short Animal League dan menjadi salah satu mascott untuk fund-raising dan aktivitas public relationnya. Ia bahkan menggetarkan dan menggerakkan hati masyarakat dunia tentang arti kasih sayang.

Saya sendiri, walau tubuh ini tetap berdiri tegak di belakang monitor, namun secara tersembunyi air mata berlinang dalam hati bertelut tersujud kepadanya. Bukan! Bukan menyembah seekor binatang! Tetapi kepada aspek cinta kasih dan pengorbanan yang luar biasa. Dalam mata batinku , disitu tampak sosok bodhisattva. Yes, maybe you say that I am delusioned atau terlalu sentimentil, tapi tidak... Mungkin itulah yg disebut manifestasi pure vision. Ia telah mengajar kepada banyak manusia di dunia ini.
Dari gambaran ini kita dapat melihat manifestasi wujud cintakasih yang nyata, dan disinilah kita beranjali utk belajar kepada seekor bodhisattva yang telah mencapai taraf Kittenhood. ^-^


Scarlett bersama anak-anaknya kala dirawat di shelter house.



http://www.moggies.co.uk/html/scarlett.html

Why is everyone so surprised
that I saved my furry five;
that in spite of pain and danger
I brought them out alive?
True my eyes were barely open
but I heard their frantic wails;
through smoke and flames I saw
scorched ears and burning tails.
Every trip was a burdened choice
but I could make no other.
The rescuers have called me cat...

but I am also "mother."



Author - Rosemary Asmussen





7
Diskusi Umum / Karma adalah pemikiran PRIMITIF !
« on: 02 January 2008, 11:34:49 AM »
Silakan baca dulu thread ini :
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=1673&sid=e9617ce0a604d559bcc431f7afd9945c

Saya harapkan terjadi diskusi dengan penalaran Buddhistik yang sehat dan arif. Mohon jangan kemudian terdorong untuk menjelekkan agama lain. Bahaslah isinya tanpa menyinggung 'siapa'-nya. Gunakan argumen dan referensi, bukan dengan statement emosionil / prejudice. Pendapat yang berlawanan seperti ini justru akan bermanfaat untuk melakukan retrospeksi dan penelaahan lebih mendalam mengenai Dhamma.

 _/\_

8
Diskusi Umum / Game Persepsi & Buddhism
« on: 27 December 2007, 05:35:22 AM »



Kali ini saya ingin mengajak rekan-rekan untuk berbicara tentang persepsi dan insight2 yang saya dapatkan dalam game ini.

Silakan kalian lihat gambar dibawah ini, dan berikan komentar apakah gambar gadis tersebut menari berputar searah jarum jam (ke kanan) atau berlawanan dengan arah jarum jam (ke kiri).
Saya menunggu minimal 5 jawaban rekan sebelum saya lanjutkan diskusi ini.













Mohon pengertian moderator utk saya posting di ruang ini karena nantinya saya akan kaitkan dengan Buddhism.

9
Mahayana / Madhyamaka Buddhism dan Postmodernism
« on: 25 December 2007, 10:59:17 AM »
Introduction

The dialogue between postmodern science and Buddhism is indicative of the
difficulties within scientific inquiry regarding physics and epistemology. While
understanding the nature of particle physics is a difficult task in light of new theoretical
interpretations of the quantum world, it is an even more difficult task to question the
epistemological frameworks that are the foundations of the theoretical interpretations
themselves. Hence, the use of Buddhist philosophy is intended to shed light on the
question of whether or not our epistemic frameworks are adequate to deal with complex
issues within the quantum world. However, within the dialogue between postmodern
science and Buddhism, there is little emphasis on postmodern philosophy.

It is one thing to say that quantum science is a postmodern science, since it deals
with the theoretical break from classical and modern interpretations of physics and
epistemology. However, for contemporary scientists, it is another thing to say that these
epistemologies of the old paradigm should be rejected. Most scientists acknowledge that
conventional epistemic knowledge is questionable or unreliable in the face of quantum
evidence.1 Yet, simultaneously, they refuse to throw out these conventions since there is
nothing to replace the established epistemic systems that are used.
Postmodern philosophers, on the other hand, welcome the rejection of these
epistemic formulations. In fact, postmodernists demand epistemic deconstruction.
Likewise, Madhyamaka Buddhism offers a similar conclusion regarding epistemic
knowledge formulated by the postmodernists. So, if there is to be a comparison between
Buddhism and postmodern science, then postmodern philosophy should be involved de
facto in this dialogue since it shares with Buddhism similar critiques and positions regarding epistemic systems. I contend that there are many similarities between
Madhyamaka Buddhism and postmodern philosophy in their critiques of the legitimacy
of traditional western epistemology. Therefore, the aim of this essay is to uncover
similarities between Madhyamaka Buddhism and postmodernism in regard to critiques of
western rationalism, specifically the assumption that reality can be rationally understood
as a complete or totalized system of knowledge.
In so doing, there are three objectives. The first objective is to describe the
philosophical positions held by postmodernism and Madhyamaka Buddhism that reject,
or at least question, western epistemology. The second objective is to explain the
similarities between postmodernism and Madhyamaka regarding their alternative
philosophical perspectives of epistemic systems. Finally, the third objective is to defend
the postmodernist and Madhyamaka positions against the critiques of those who interpret
postmodernism and Madhyamaka as nihilistic.

10
Tibetan / Gambar-gambar Yidam Tibetan
« on: 22 December 2007, 08:15:28 PM »
Gambar-gambar Buddha, Bodhisattva, Yidam, dsb Tibetan Buddhism :
http://www.himalayanart.org/pages/browse_subjects.cfm#V

11
Diskusi Umum / Apakah semua karena kamma?
« on: 03 November 2007, 10:00:31 AM »
Pandangan yang mengatakan segala sesuatu terjadi dalam kehidupan ini
hanya karena kamma saja adalah termasuk suatu pandangan yang salah
yg disebut pubbekatahetuditthi.
Di dalam kehidupan yg kini, manusia dilahirkan dengan suatu kondisi
yg disebut sampatti (bila terlahir dalam kondisi menguntungkan) ,
misal: rupawan, cerdas, ulet, dikeluarga kaya/bangsawan, dsb; maupun
vipatti (bila terlahir dalam kondisi tidak menguntungkan)misal :
terlahir cacat, penyakitan, di keluarga miskin, dsb.

Dari beberapa sampatti dan vipatti itu terdapat yg disebut
payogasampatti, yaitu kala seseorang memiliki kecerdasasan,
kewaspadaan, keuletan, pengetahuan, dsb. Payogasampatti adalah
gabungan dari sati (perhatian murni), viriya (semangat) dan nana
(pengetahuan). Pengetahuan ini adalah tentang hal-hal yg menuju
kepada kebijaksanaan dan cara-cara utk menjalankan kehidupan ini
secara benar.
Jadi seseorang bisa mengharapkan bahwa karma buruk tidak berbuah dan
karma baik yang berbuah apabila memiliki payogasampatti ini. Dengan
kata lain, seseorang hendaknya tidak menggantungkan kesejahteraan
pada kusala kamma dimasa lampau, namun hendaknya mengandalkan usaha
mereka yang dilakukan pada kehidupan sekarang. Payogasampatti
menyalurkan kusala kamma masa lampau mengalir ke arah yang benar.
Apabila kita berhati-hati, waspada, penuh perhatian, dan mengelola
kehidupan ini dengan cara-cara yang sehat dan benar, maka akusala-
kamma yg lemah / minor dapat ditangkal dengan kamma baik yang lebih
besar, disini dan sekarang juga.

Orang-orang barat yang datang 'menjajah' Indonesia secara ekonomis
ini datang dengan segala kelebihan posisi teknologi maupun
finansialnya adalah karena mereka sangat cermat, bekerja keras,
terampil, cerdas, kritis, serta pintar. Keterampilan mereka rata2
jauh lebih unggul daripada keterampilan rata2 penduduk Indonesia.
Dengan penuh perhitungan mereka memperhitungan 4P marketing
(product, place, price , promotion) + Timing, secara tepat dan
strategik (patirupa desa) untuk usaha mereka karena mereka
berpengetahuan luas dan berpengalaman. Dengan demikian itu maka
banyaknya payogasampatti, kusala-kamma lampau mereka berkesempatan
sangat baik untuk berbuah dan sesuai dengan itu mereka menjadi
semakin kaya dan usaha mereka cepat berkembang.

Mudah-mudahan bermanfaat.

Thu Jan 12, 2006 10:36 pm
http://groups.yahoo.com/group/mubi/message/33939

12
Diskusi Umum / Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« on: 27 October 2007, 12:43:12 AM »
Dear rekan2 semua,
Ini adalah sambungan dari diskusi topik : "Pilih yang mana?" http://www.dhammacitta.org/forum/index.php?topic=795.new#new

Saya ingin mengajukan topik diskusi sehubungan dengan sikap seorang pembelajar Buddhism yaitu apakah seseorang sebaiknya hanya belajar dari satu aliran tradisi saja ataukah mencoba mempelajari dari berbagai macam aliran tradisi. (Terutama di dalam menuju aspek pelajaran tertinggi buddhism : sunyata.)
Apakah mempelajari sesuatu pengertian cukup dari satu tradisi saja ataukah perlu membandingkannya dengan yang lain?

Saya mengangkat topik ini karena barusan saja gara2 browsing di inet ketemu secara kebetulan (serendipity) tulisan yang sama dengan apa pemikiran saya yang  ditulis tadi sore di topik "Pilih yang mana?".
Berikut ini adalah cuplikan dari buku "Freedom from Extremes: Gorampa's "Distinguishing the Views" and the Polemics of Emptiness (Studies in Indian and Tibetan Buddhism)" di bagian Introduction nya ,pg.2 :

All knowledge --and this includes philosophy-- is polemical by nature. (Johan Huizinga)

The Great German Indologist Max Mueller once wrote, "To know one is to know none". For Mueller, knowledge is comparative. To know a thing -- a text, a practice, a culture-- it is necessary to see how the thing relates to other things. It is by understanding the nexus of relationships betweeen things that knowledge arises. And if, as Pierce puts it, "a thing without oppositions , ipso facto, does not exist", then one can conclude that knowledge not only has a positive (catapathic) aspect, but also a negative (apopathic) one. To know something requires that one understand both what a thing is and what it is not. Comprehension is a relational act. It requires that one be able to relate a given thing to other things that are similar, but also that one have an awareness of the way in which a given thing differs from other things. Knowing things in themselves --as isolates-- is an incomplete form of knowledge.
"To know one is to know none". If something is to be fully known, it is necessary to understand how it relates to other things. More specifically, true knowledge requires the ability not only to chart similarities, but also to notice differences and contrasts.

13
Apa itu Chan (Zen)?
Apakah praktik Chan tidak perlu bermeditasi, cukup dengan gebukan tongkat
seorang guru untuk membuat kita tercerahkan?
Apa itu pencerahan?
Bagaimana mempraktikkan Chan dalam kehidupan sehari-hari?

Dapatkan jawabannya di:

Chan Meditation
Question & Answer
by Ven. Guo Jun

Ekayana Buddhist Centre, 6 November 2007
Jl. Mangga II No 8 Tanjung Duren, Jakarta Barat
Pukul 19.00 - 21.00

Biografi singkat Ven. Guo Jun:
Guo Jun Fashi adalah pewaris Dharma (Dharma Heir) YA Master Sheng Yen - pendiri
Dharma Drum Mountain (Fa Gu Shan) di Taiwan; beliau ditahbiskan di Mahabodhi
Monastery, Singapura, oleh YA Master Song Nian

Fashi memperoleh diploma di bidang Bioteknologi dari Ngee Ann Polytechnic,
Singapura dan juga gelar sarjana Filsafat Agama Buddha dari Fu Yan Buddhist
Institute, Taiwan, serta sarjana Psikologi dan Sosiologi dari Monash University,
Australia. Beliau juga telah mempelajari dan mempraktekkan secara ekstensif
praktik Buddhis dari tradisi Tanah Suci, Tibetan, Myanmar, Thai dan Korea.

Saat ini Guo Jun Fashi menjabat sebagai kepala vihara dari Dharma Drum Retreat
Center di New York, Amerika dan Mahabodhi Monastery di Singapura. Beliau juga
merupakan guru pembimbing dari Asia-Pacific Buddhist Translation Group dan
merupakan anggota dari Australian Psychologist Society

14
Tibetan / A Key Points of Mahamudra Instruction
« on: 04 October 2007, 12:22:59 PM »
helo

15
Buddha meninggalkan kehidupan keduniawian untuk mendapatkan jalan bagi
manusia agar bisa keluar dari jeratan dukkha. Yang kutahu, kala beliau telah mendapatkan Pembebasan Ultimate, kembali kepada rakyat untuk mengajarkan jalan tersebut semata karena rasa cinta kasihnya. Ia pergi bertapa bukan semata untuk dirinya, tetapi untuk mencari solusi bagi umat manusia.

Yang kutahu, Kebuddhaan dalam hubungannya antara kebijaksanaan dan cintakasih adalah sesuatu yang tak dapat dipisahkan.

Aku berusaha untuk merealisasi Kebuddhaan adalah untuk menolong
semua mahluk hidup agar terlepaskan dari lautan penderitaan.
Semoga, tindakanku bukanlah semata buat kepentingan diriku tetapi untuk semua mahluk. Menurutku, bagi seorang Buddha maka tiada lagi yang disebut diri.
Oleh karena itu, maka sudah semestinya yang kulatih dalam jalan
Kebuddhaan adalah membina diri untuk untuk mengalahkan diri demi kebahagiaan semua mahluk.

Jalan yang kulalui adalah jalan Kearahatan. Tidak berbeda pula didasari oleh pemahaman ini.
Bagaimana aku bisa mencapai kesucian apabila yang kupikirkan
semata untuk menyelamatkan diriku sendiri? Bagaimana bisa
menghilangkan ego bila kenyataannya aku sangat egois?

Di tahap awal, barangkali kedua jalan ini memiliki pijakan aspirasi
yang berbeda. Akan tetapi dalam prosesnya hingga mencapai suatu
kematangan batin tertentu, maka antara kedua jalan ini tidak lagi akan
berbeda dalam masalah altruisme ini. Makna semoga semua mahluk
berbahagia bukan cuma hanya dijadikan slogan, tetapi merupakan suatu
aspirasi yang harus kami laksanakan.

Dalam situasi yang keruh dan kebrutalan yang mengerikan seperti yang
terjadi di negeriku selama 48 tahun itu, maka sudah sepantasnyalah kami
cukup bersabar menahan diri. Karma individu tidaklah terlepas dari karma kolektif.Bagi seorang pejalan spiritual, maka tiada aku dan kamu, tetapi engkau dan semua mahluk hidup yang lain tidaklah berbeda dengan apa yang disebut diri. Semoga kematangan batin dari para Guru dan seniorku menjadi panutan dan harapan bagi keputusasaan rakyat negeriku.

Saudaraku di negeri nan jauh, barangkali engkau mengecam kami kala kami turun ke jalan untuk mengupayakan kedamaian bagi rakyat. Tapi apabila karena kami sudah menipiskan sedikit kegelapan batin, apakah
mampu kami menutup mata terhadap penderitaan dan kekejaman ekstrim yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun dialami oleh saudara2ku?
Aspirasi kami untuk mencapai kesucian semata dengan mengabaikan saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air demi keselamatan kami pribadi adalah hal yang akan bisa menjerumuskan kami dalam kemunafikkan semata. Bagaimana mungkin kami melatih dalam jalan kesucian, yang tahu bahwa kami diemban oleh hati nurani rakyat untuk bertindak keluar menyuarakan tangisan mereka tetapi kami menutup mata terhadap kenyataan itu?
Maaf bila kalian berpikir kami salah. Maaf bila kami melanggar vinaya. Tapi kami telah berpikir dan menimbang beribu kali. Semata berdiam diri ataupun berharap-harap pasif bahwa pedang besi berbalik menjadi sekuntum bunga teratai adalah hal yang tidak mungkin setidaknya untuk saat ini. Tidak mungkin kami setelah sekian lama mendengar jeritan dan tangisan siksa orang-orang yang tak bersalah untuk bersikap acuh demi mementingkan pelatihan kami sendiri. Karena apabila demikian maka itu adalah suatu kontradiksi dengan apa yang ingin kami perjuangkan secara spiritual.

Melihat dukkha yang sedemikian dramatis dialami oleh rakyat kami, kami bikkhu Burma, sudah tidak akan mampu untuk berkarir semata bagi pembebasan diri kami pribadi seraya mengabaikan panggilan dan jeritan sesama kami yang berteriak dalam sengsara dan kesakitan.Barangkali aspirasi kami untuk mencapai kearahatan dalam masa kehidupan yang sekarang haruslah kami tinjau ulang, karena saat ini yang dibutuhkan adalah sebuah act of Bodhisattva.
Pun, kalau kami memaksakan diri melakukan itu sembari mengucilkan diri bertapa di tempat yang sepi, apakah kami akan mampu menutup telinga batin terhadap teguran keras suara hati nurani kami sendiri? Oleh karena itu bagaimana mungkin kami mendapatkan ketenangan dan kedamaian untuk memperjuangkan aspirasi spiritual kami? Bagaimana mungkin kami membohongi diri dengan beranggapan bahwa nyawa kami lebih berharga dari nyawa mereka? Pengabaian terhadap jeritan permintaan tolong rakyat adalah sebuah kejahatan besar bagi diri kami.
Oleh karena itu, Kami akan berjuang, tetapi dalam cara kedamaian dan cintakasih.
Sudah terlambat bagi kami untuk berbalik arah. Kami akan melakukan perjuangan sekalipun harus
melakukan pattanikkujana (membalikkan mangkuk pindapata).
Kalau karma tidak mengharuskan kami untuk mati terbunuh dalam
perjuangan, kami akan kembali meneruskan pelatihan spiritual guna
mencapai pembebasan tertinggi di kehidupan yang sekarang juga. Tapi
seandainya kami harus mati terbunuh, biarlah darah yang meleleh ini menjadi bahan bakar dahsyat bagi pencapaian kesucian kami di masa kehidupan yg akan datang.
Biarlah diri ini menjadi dana untuk membeli kebahagiaan rakyat negeriku.
Semoga semua mahluk berbahagia.

Salam,
Suchamda
(Untuk mengenang para bikkhu yang terbunuh dalam perjuangan rakyat di
Burma, serta pada para calon martir yang sedang berjuang.)

Pages: [1] 2