Begini Petrus, Sang Buddha mengajarkan manusia adalah tubuh dan batin (pikiran, perasaan, pencerapan, kesadaran). Tubuh dan batin ini tidak kekal, selalu berubah, tidak memuaskan. Tidak dikenal adanya jiwa atau roh, yang disebut atta atau atman. Tubuh ini terserang penyakit, akan tua dan mati. Sehingga dikatakan bukan aku. Perasaan memuaskan dan tidak memuaskan dan netral tidak dapat diatur, bukan aku (coba jongkok 1 jam
), Pikiran tidak dapat dikendalikan, selalu timbul dan lenyap, tidak permanen, tidak memuaskan, bukan aku. Memang ada pikiran bahagia, tetapi hal tersebut tidak kekal. Pencerapan mata bergantung pada fisik mata, tidak dapat dikendalikan, tidak permanen, tidak memuaskan, bukan aku. Kesadaran bukan aku.
Bagaimana dengan kelahiran kembali? Tubuh mati, batin mati. Karena ada sebab akibat, maka timbullah batin baru, kelahiran kembali, yang kualitasnya ditentukan batin yang mati tersebut. Ada 5 hukum sebab akibat yang mengatur alam semesta, hukum fisika, hukum biologi, hukum pikiran, hukum karma (moralitas), dan hukum dhamma. Sering dikira yang mengatur adalah semata-mata karma, tetapi penyebab segala sesuatu tidak hanya karma.
Karena itu disebut secara mutlak tidak ada atta, karena batin timbul dan lenyap, tubuh timbul dan lenyap. Siklus lahir dan mati ini berupa lingkaran, awal tidak dapat diketahui.
Semua itu diajarkan Sang Buddha pada pengalaman, yang dialami melalui meditasi. Jadi bukan berdasarkan keyakinan, atau iman semata, melainkan praktek langsung. Praktek ini diyakini umat Buddha dapat dicapai, saat ini dalam arti kehidupan ini juga bisa dilihat.
Memang pandangan tersebut agak aneh bagi umat samawi (ketuhanan). Sebaliknya bagi para meditator yang telah mengalami sendiri, ketuhanan (jiwa/roh/atman) adalah pandangan salah (karma) yang menyebabkan siklus lahir dan mati ini terus berlanjut.