//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kumpulan Cerita Buddha  (Read 40070 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Kumpulan Cerita Buddha
« on: 25 October 2011, 11:20:57 PM »
1.Kisah Seekor Kelinci Yang Suka Beramal

Cerita ini menggambarkan sampai dimana keikhlasan seekor binatang dengan amalnya.

Dahulu kala Sang Bodhisattva dilahirkan kembali sebagai seekor kelinci. Tempat tinggalnya di dalam rimba raya yang penuh dengan pohon-pohon yang rindang dan daun-daunnya yang berwarna hijau sepanjang masa. Rumahnya di dalam lubang kecil di tepi sungai. Karena tabiatnya yang halus dan peramah, maka semua penghuni hutan itu menjadi sahabatnya. Oleh karenanya ia merasa sangat bahagia. Tambahan lagi ia mempunyai tiga sahabat yang sangat akrab, yaitu seekor anjing air, seekor serigala dan seekor kera. Mereka merupakan empat serangkai yang tidak terpisahkan dan selalu bersama-sama. Seperti kata pepatah “ringan sama dijinjing berat sama dipikul”.

Tidak ada satupun di antara kawan-kawannya yang mengira, bahwa kelinci itu bukanlah kelinci yang biasa. Mengapa demikian? Ya, karena kelinci itu demikian sederhananya, dan tingkah lakunya pun tidak berbeda dengan binatang-binatang lain.
Tetapi kita tahu, bahwa kelinci itu adalah penjelmaan dari Buddha yang akan datang. Sebab itu ia memiliki sifat-sifat yang luhur. Dan keluhuran budinya itu ditunjukkannya dengan sederhana sekali. Tetapi yang terpenting baginya ialah menjalankan kebajikan beramal. Pada tiap-tiap kesempatan ia selalu menganjurkan supaya kawan-kawannya berbuat amal.

Karena sangat rajin selalu menganjurkan berbuat amal, maka kelinci itu sangat menarik perhatian binatang-binatang lain. Hali ini sampai pula terdengar di khayangan, tempat tinggal para para dewa, terutama dewa Cakra, yang memerintah semua dewa-dewa sangat tertarik kepada kelinci itu. Timbullah pertanyaan pada diri Sang Cakra, apakah kelinci itu yakin benar akan apa yang dianjur-anjurkannya tentang kebajikan beramal. Maka tidaklah tertahan lagi keinginannya untuk mengetahui hal itu, lalu dicarinya akal untuk mencoba keyakinan sang kelinci.
Dengan maksud itu ia turun dari khayangan dan menjelma menjadi seorang pendeta yang sudah tua usianya. Badannya dibuatnya berkerut dan sengsara seperti orang tua yang banyak menderita, miskin dan lapar.
Demikian pendeta itu sampai di hutan tempat tinggal kelinci. Tidak jauh dari rumah kelinci, ia merendahkan diri dan merintih-rintih minta tolong.

Seperti telah diterangkan di atas, kelinci itu selalu bersama kawan-kawannya. Demikian juga sekarang. Ketika mereka mendengar suara orang merintih minta tolong, berlari-larilah keempat binatang itu menuju tempat datangnya suara. Dan apakah yang mereka lihat? Seorang pendeta yang sudah tua, badannya kurus kering dan kepayahan.
Ibalah hati keempat binatang itu melihat kesengsaraan orang tua, apalagi seorang pendeta yang suci. Bertambahlah terharu mereka melihat sang pendeta hampir meninggal karena sangat lapar dan dahaga.

“Tunggulah,” kata mereka, “Kami akan mencarikan makanan dan minuman.” Ya, memang demikianlah, mereka harus mencari dahulu jika hendak makan dan minum. Anak-anak tentu mengerti juga, bahwa binatang-binatang hutan itu tidak mempunyai apa-apa di rumahnya. Mereka harus mencari makanan di mana-mana. Dan di mana saja terdapat makanan, di situlah mereka makan sampai kenyang.
Demikianlah, maka tidak lama kemudian si anjing air kembali dengan membawa tujuh ekor ikan. Ikan-ikan itu diberikannya semua kepada sang pendeta. Kemudian datanglah serigala membawa seekor kadal dan sedikit susu asam. Si kera datang pula dengan membawa beberapa buah mangga yang lezat-lezat. Dan akhirnya datanglah kelinci……

Anak-anak tentu mengira kelinci itu membawa makanan yang enak-enak pula, bukan? Sebab tidaklah dia yang selalu menganjur-anjurkan supaya orang menjalankan amal! Tetapi, apa yang terjadi? Kelinci tidak membawa apa-apa. Satu butir makanan pun tidak ada padanya. Memang hari itu hari sial baginya. Dengan tangan hampa ia berdiri di hadapan orang tua itu. Ia sangat malu, lebih-lebih terhadap kawan-kawannya.
Dalam hati ia berkata, “Ah, benar-benar binatang tidak berguna aku ini! Aku yang seringkali berbicara tentang kebajikan beramal, tetapi kenyataannya aku tidak mampu memberikan apa-apa kepada orang suci ini. Orang tua yang sangat memerlukan pertolongan dengan segera? Satu-satunya yang dapat kuamalkan kepadanya hanyalah badanku sendiri. Dan ini harus kulakukan!”

Karena pendeta itu sebenarnya adalah dewa Cakra, maka ia dapat mengetahui pikiran orang lain. Oleh karena itu mengertilah ia akan maksud kelinci itu. Tetapi sebagai pendeta ia dilarang membunuh makhluk. Sekarang yang perlu diketahui ialah, apakah kelinci itu benar-benar menyerahkan badannya sebagai makanan? Dikumpulkannya beberapa batang kayu dan dibakarnya. Kemudian dengan diam ia memandang kepada kelinci.
Dengan tidak berpikir panjang lagi kelinci itu meloncat ke dalam api yang menyala-nyala. Dan matilah ia dengan ikhlas dan bahagia, dengan keyakinan, bahwa perkataan-perkataannya tentang amal telah dibuktikannya dengan perbuatan.

Dan untuk memperingati perbuatan kelinci yang penuh keikhlasan dalam menjalankan amalnya, maka dewa Cakra menganugerahi kepadanya keputusan untuk menghias menara istana-istana para dewa. Dan anak-anak pun bisa melihatnya di bulan purnama.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #1 on: 25 October 2011, 11:23:37 PM »
2. Kisah Seekor Anak Burung Puyuh

Sebuah cerita tentang makhluk yang terhindar dari bahaya maut, karena menjalankan ahimsa.

Terlebih dahulu akan diterangkan apa yang dimaksud dengan AHIMSA. Seorang yang menjalankan ahimsa itu suci hatinya. Ia tidak boleh menyakiti atau membunuh sesama makhluk. Dan orang suci itu tertentu akan mendapatkan pahala.
Demikianlah, pada suatu ketika Sang Bodhisattva turun ke dunia ini sebagai seekor anak burung puyuh. Ia tinggal bersama-sama dengan saudara-saudaranya di sebuah sarang di dalam semak-semak. Saudara-saudaranya bertambah hari bertambah gemuk dan kuat. Sebaliknya ia sendiri tidak menjadi besar dan sayapnya sangat lemah. Apa yang menyebabkan demikian menyedihkan keadaan dirinya?

Ayah dan ibunya mengasuh anak-anaknya dengan baik. Mereka diberi makan secukupnya tanpa ada yang dikecualikan. Seharusnya ia juga menjadi besar dan kuat, seperti saudara-saudaranya.
Sebabnya adalah ia merupakan penjelmaan dari Sang Bodhisattva. Dan karena ia akan menjadi Buddha di kemudian hari, maka ia mempelajari AJARAN SUCI dengan sepenuh hati. Dengan sendirinya ia menaati segala ketentuan-ketentuan dan perintah-perintah dari ahimsa. Ini berarti, ia tidak makan apa yang diberikan ayah, ibu dan saudara-saudaranya yang berupa cacing, kumbang, dan binatang-binatang kecil lainnya.

Pada suatu hari timbul kebakaran hebat dalam hutan di dekat tempat tinggal keluarga burung puyuh itu. Semua burung dan binatang penghuni hutan itu sangat terkejut dan dalam keadaan kacau balau mereka melarikan diri, agar terhindar dari bahaya maut. Hanya anak burung puyuh itu yang tidak dapat melarikan diri karena sayapnya masih lemah.
Nyala api makin bertambah besar menjilat-jilat kian-kemari, membakar pohon-pohon semak-semak dan tempat tinggal binatang-binatang hutan yang lain. Ayah, ibu dan saudara-saudaranya sudah terbang semua meninggalkannya seorang diri di sarang.
Sementara itu api terus menyala-nyala dan bertambah besar. Ketika nyala api sudah sedemikian dekatnya, sehingga sarangnya  hampir terjilat, ia mencicit-cicit kepada dewa Api, “O, Agni, dewa api yang jaya! Tuanku tentu melihat, bahwa aku ini terlampau kecil dan kurus untuk menjadi santapanmu tamu agung sebagai tuanku. Di sini tidak ada makanan untuk Tuanku, karena semua binatang-binatang telah lari meninggalkan tempat ini. Silahkan Tuanku pulang kembali!”

Dan alangkah ajaibnya! Walaupun angin meniup dengan kerasnya, namun karena kata-kata hakiki dari burung puyuh kecil itu, tiba-tiba api berhenti mengganas dan padam. Dan terhindarlah ia dari bahaya maut.

Apakah sebabnya maka ia secara ajaib dapat tertolong dari bahaya kebakaran hutan itu? Sebabnya ialah selama hidupnya ia telah menyelamatkan jiwa binatang yang lain, bagaimana pun kecil binatang-binatang itu, ia berkeyakinan, bahwa setiap makhluk berhak untuk hidup, dan hanya Dialah yang berhak mengambil mereka kembali.
Dan sejak itu, tiap terjadi kebakaranhutan di daerah itu akan padam dengan sendirinya setelah sampai di tempat yang ajaib itu.

"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline will_i_am

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.163
  • Reputasi: 155
  • Gender: Male
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #2 on: 26 October 2011, 04:27:56 PM »
1.Kisah Seekor Kelinci Yang Suka Beramal

Cerita ini menggambarkan sampai dimana keikhlasan seekor binatang dengan amalnya.

Dahulu kala Sang Bodhisattva dilahirkan kembali sebagai seekor kelinci. Tempat tinggalnya di dalam rimba raya yang penuh dengan pohon-pohon yang rindang dan daun-daunnya yang berwarna hijau sepanjang masa. Rumahnya di dalam lubang kecil di tepi sungai. Karena tabiatnya yang halus dan peramah, maka semua penghuni hutan itu menjadi sahabatnya. Oleh karenanya ia merasa sangat bahagia. Tambahan lagi ia mempunyai tiga sahabat yang sangat akrab, yaitu seekor anjing air, seekor serigala dan seekor kera. Mereka merupakan empat serangkai yang tidak terpisahkan dan selalu bersama-sama. Seperti kata pepatah “ringan sama dijinjing berat sama dipikul”.

Tidak ada satupun di antara kawan-kawannya yang mengira, bahwa kelinci itu bukanlah kelinci yang biasa. Mengapa demikian? Ya, karena kelinci itu demikian sederhananya, dan tingkah lakunya pun tidak berbeda dengan binatang-binatang lain.
Tetapi kita tahu, bahwa kelinci itu adalah penjelmaan dari Buddha yang akan datang. Sebab itu ia memiliki sifat-sifat yang luhur. Dan keluhuran budinya itu ditunjukkannya dengan sederhana sekali. Tetapi yang terpenting baginya ialah menjalankan kebajikan beramal. Pada tiap-tiap kesempatan ia selalu menganjurkan supaya kawan-kawannya berbuat amal.

Karena sangat rajin selalu menganjurkan berbuat amal, maka kelinci itu sangat menarik perhatian binatang-binatang lain. Hali ini sampai pula terdengar di khayangan, tempat tinggal para para dewa, terutama dewa Cakra, yang memerintah semua dewa-dewa sangat tertarik kepada kelinci itu. Timbullah pertanyaan pada diri Sang Cakra, apakah kelinci itu yakin benar akan apa yang dianjur-anjurkannya tentang kebajikan beramal. Maka tidaklah tertahan lagi keinginannya untuk mengetahui hal itu, lalu dicarinya akal untuk mencoba keyakinan sang kelinci.
Dengan maksud itu ia turun dari khayangan dan menjelma menjadi seorang pendeta yang sudah tua usianya. Badannya dibuatnya berkerut dan sengsara seperti orang tua yang banyak menderita, miskin dan lapar.
Demikian pendeta itu sampai di hutan tempat tinggal kelinci. Tidak jauh dari rumah kelinci, ia merendahkan diri dan merintih-rintih minta tolong.

Seperti telah diterangkan di atas, kelinci itu selalu bersama kawan-kawannya. Demikian juga sekarang. Ketika mereka mendengar suara orang merintih minta tolong, berlari-larilah keempat binatang itu menuju tempat datangnya suara. Dan apakah yang mereka lihat? Seorang pendeta yang sudah tua, badannya kurus kering dan kepayahan.
Ibalah hati keempat binatang itu melihat kesengsaraan orang tua, apalagi seorang pendeta yang suci. Bertambahlah terharu mereka melihat sang pendeta hampir meninggal karena sangat lapar dan dahaga.

“Tunggulah,” kata mereka, “Kami akan mencarikan makanan dan minuman.” Ya, memang demikianlah, mereka harus mencari dahulu jika hendak makan dan minum. Anak-anak tentu mengerti juga, bahwa binatang-binatang hutan itu tidak mempunyai apa-apa di rumahnya. Mereka harus mencari makanan di mana-mana. Dan di mana saja terdapat makanan, di situlah mereka makan sampai kenyang.
Demikianlah, maka tidak lama kemudian si anjing air kembali dengan membawa tujuh ekor ikan. Ikan-ikan itu diberikannya semua kepada sang pendeta. Kemudian datanglah serigala membawa seekor kadal dan sedikit susu asam. Si kera datang pula dengan membawa beberapa buah mangga yang lezat-lezat. Dan akhirnya datanglah kelinci……

Anak-anak tentu mengira kelinci itu membawa makanan yang enak-enak pula, bukan? Sebab tidaklah dia yang selalu menganjur-anjurkan supaya orang menjalankan amal! Tetapi, apa yang terjadi? Kelinci tidak membawa apa-apa. Satu butir makanan pun tidak ada padanya. Memang hari itu hari sial baginya. Dengan tangan hampa ia berdiri di hadapan orang tua itu. Ia sangat malu, lebih-lebih terhadap kawan-kawannya.
Dalam hati ia berkata, “Ah, benar-benar binatang tidak berguna aku ini! Aku yang seringkali berbicara tentang kebajikan beramal, tetapi kenyataannya aku tidak mampu memberikan apa-apa kepada orang suci ini. Orang tua yang sangat memerlukan pertolongan dengan segera? Satu-satunya yang dapat kuamalkan kepadanya hanyalah badanku sendiri. Dan ini harus kulakukan!”

Karena pendeta itu sebenarnya adalah dewa Cakra, maka ia dapat mengetahui pikiran orang lain. Oleh karena itu mengertilah ia akan maksud kelinci itu. Tetapi sebagai pendeta ia dilarang membunuh makhluk. Sekarang yang perlu diketahui ialah, apakah kelinci itu benar-benar menyerahkan badannya sebagai makanan? Dikumpulkannya beberapa batang kayu dan dibakarnya. Kemudian dengan diam ia memandang kepada kelinci.
Dengan tidak berpikir panjang lagi kelinci itu meloncat ke dalam api yang menyala-nyala. Dan matilah ia dengan ikhlas dan bahagia, dengan keyakinan, bahwa perkataan-perkataannya tentang amal telah dibuktikannya dengan perbuatan.

Dan untuk memperingati perbuatan kelinci yang penuh keikhlasan dalam menjalankan amalnya, maka dewa Cakra menganugerahi kepadanya keputusan untuk menghias menara istana-istana para dewa. Dan anak-anak pun bisa melihatnya di bulan purnama.


kok agak beda yah sama versi lainnya???
di versi lain mengatakan bahwa kelinci yang meminta dewa sakka untuk menyalakan api, dan si kelinci terakhir juga tidak mati....
dewa sakka kemudian mengukir gambar kelinci tersebut di bulan...
hiduplah hanya pada hari ini, jangan mengkhawatirkan masa depan ataupun terpuruk dalam masa lalu.
berbahagialah akan apa yang anda miliki, jangan mengejar keinginan akan memiliki
_/\_

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #3 on: 27 October 2011, 12:14:42 AM »
3. Kisah Raja Angsa Emas

Sebuah cerita yang menggambarkan, bahwa persahabatan yang suci murni lebih kuat daripada jerat pemikat burung.

Beribu-ribu tahun sebelum Sang Buddha hidup di dunia, sukamanya disebut SANG MAHA AGUNG, lahir sebagai Raja Angsa di danau Manasa. Danau itu sangat indah, tiada bandinganya di seluruh dunia. Airnya jernih, dan beraneka warna bunga-bunga yang cantik menambah keindahan danau itu. Dan yang tercantik di antaranya ialah bunga teratai merah dan putih.

Raja Angsa mempunyai sahabat karib dan pembantu yang setia, bernama Sumukkha. Bersama kawannya ini ia memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya terdiri dari angsa-angsa yang berdiam di danau Manasa, tak terhitung banyaknya. Karena keagungan budi, maka kedua kawan itu dijunjung tinggi oleh rakyatnya dan kemashuran mereka jauh melintasi tapal batas kerajaan. Lagi pula mereka memiliki bulu yang berkilau-kilauan bagaikan emas yang sangat mengagumkan.

Berita tentang keindahan angsa-angsa itu akhirnya sampai di kota Banaras, hingga pada Baginda Raja. Timbullah hasrat Baginda untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan angsa-angsa yang luar biasa itu.
Tetapi hal itu tidaklah mudah, sekalipun Baginda adalah seorang Raja yang berkuasa. Bagaimanakah akal Baginda supaya maksudnya tercapai?
Baginda harus berunding dengan menteri-menterinya. Demikianlah, maka pada suatu hari para menteri dipanggil menghadap Baginda. Titah Baginda ialah supaya menteri-menteri mencari akal untuk menangkap angsa-angsa itu. Maka bersidanglah menteri-menteri itu dan akhirnya didapatkannya suatu akal, yaitu: Baginda menitahkan untuk membangun sebuah danau yang lebih besar dan indah daripada danau Manasa, lalu ditanami bunga-bunga yang lebih cantik, lebih meriah daripada di danau Manasa.

Menurut pendapat menteri-menteri, apabila angsa-angsa melihat danau baru itu, pastilah mereka akan lebih suka bertempat tinggal di situ. Ada gula, ada semut, kata peribahasa. Dan siapa gerangan tidak akan tertarik kepada hal-hal yang serba indah!
Nasihat-nasihat menteri itu benar-benar tepat. Baginda menyetujui akal ini. Maka para ahli bangunan diperintahkan membangun danau yang diusulkan itu. Tidak lama kemudian selesailah danau itu dibangun.
Dan benarlah apa yang dikira-kirakan. Kebetulan beberapa ekor angsa terbang di atas danau buatan itu. Mereka sangat tertarik akan keindahannya, akan airnya yang jernih serta keelokan bunga-bunganya. Segera angsa-angsa itu terbang kembali ke danau Manasa dan diceritakan pengalaman-penglaman mereka kepada kawan-kawannya.

Sebenarnya mereka hendak membujuk angsa-angsa lainnya supaya pindah ke danau yang lebih indah itu. Dan karena bujukan itu, maka kawan-kawannya terpikat.

Segera angsa-angsa beramai-ramai menghadap Raja mereka untuk memohon persetujuannya.
Sebenarnya Raja Angsa dan sahabatnya Sumukha tidak setuju akan maksud rakyatnya, karena dipandang kurang bijaksana. Di danau Manasa mereka hidup bahagia. Mengapa hendak pindah ke danau lain? Tetapi karena berpendapat bahwa suara terbanyaklah yang menentukan, maka Raja Angsa akhirnya setuju.

Sementara itu raja Banaras pun tidak tinggal diam. Sebenarnya tidaklah patut menuduh seorang raja berbuat curang, tetapi memang demikianlah perbuatan Raja Benaras itu.
Baginda menitahkan seorang pemikat burung untuk memasang jerat-jerat di danau. Ketika Raja Angsa dengan riangnya berenang di danau, sekonyong-konyong kakinya kena jerat. Segera ia sadar akan bahaya yang menimpa diri dan rakyatnya. Maka dengan suara yang nyaring berserulah ia, agar mereka selekasnya meninggalkan danau celaka itu.
Semua angsa dengan patuh menjalankan perintah rajanya kecuali satu. Siapakah gerangan?
Tak lain dan tak bukan ialah Sumukha.
Dengan tegas ia menolak untuk meninggalkan rajanya yang sedang dalam keadaan bahaya. Dikatakan olehnya, bahwa tali persahabatan yang mengikat mereka berdua lebih kuat daripada jerat pemikat burung manapun juga.

Dan ketika pemikat burung memeriksa jerat-jeratnya, sangatlah heran ia mendapatkan bukan satu, tetapi dua ekor angsa. Dimintanya kepada mereka keterangan tentang duduk perkara yang sebenarnya. Oleh Sumukha dijelaskan segala sesuatu dari awal hingga akhir.

Kemudian Sumukha mendesak supaya dia sajalah yang ditawan sebagai pengganti rajanya.
Pemikat burung sangatlah terharu ketika mendengar riwayat dua angsa tersebut. Karena itu ia bermaksud melepas mereka.
Tetapi maksud yang mulia itu ditolak, karena Raja Angsa dan Sumukha khawatir akan nasib yang nanti menimpa pemikat burung. Jika ia tidak berhasil menawan Raja Angsa, ia tentu akan dihukum berat oleh Raja Banaras.
Karena itu mereka minta kepada pemikat burung untuk membawa mereka berdua menghadap Sri Baginda. Dan dibawalah dua angsa itu menghadap raja.
Dengan gembira Raja Banaras menerima kedatangan Raja Angsa dan Sumukha. Tidak jemu-jemunya Baginda memandang angsa-angsa yang berbulu emas itu.

Dan ketika mendengar riwayat persahabatan Raja Angsa dengan Sumukha yang menharukan itu, maka Baginda menyerahkan tahta kerajaanya kepada Raja Angsa. Sedangkan karena keluhuran budinya Sumukha diangkat menjadi menteri.
Akhirnya tinggallah dua angsa itu di dalam istana untuk beberapa lamanya dan memberi ajaran-ajaran Buddha kepada Sri Baginda Raja Banaras.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #4 on: 27 October 2011, 12:18:51 AM »
4. Kisah Seekor Caraba

Sebuah cerita tentang kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup.

Pada masa yang jauh silam Sang Bodhisattva turun ke dunia sebagai seekor Caraba, yakni sebangsa rusa tetapi mempunyai keistimewaan. Berlainan dengan rusa-rusa lain yang berkaki empat, Caraba berkaki delapan. Kakinya yang empat buah lagi tumbuh di punggung, seperti terlihat pada gambar di sebelah ini.
Badannya kuat sekali dan larinya sangat cepat. Selain daripada itu ia sangat baik budi terhadap sesama makhluk hidup. Ini tidaklah mengherankan, karena ia kelak akan menjadi Buddha.

Pada suatu hari raja negeri tempat tinggal Caraba pergi berburu. Pengikut Baginda banyak sekali, terdiri dari abdi-abdi istana. Mereka menjelajah hutan-hutan mencari binatang-binatang buruan dan banyaklah sudah yang mereka tangkap. Tetapi tanpa disadari Baginda terpisah dari pengiring-pengiringnya dan tersesat di dalam hutan.

Setelah beberapa lama mengembara di hutan itu, sampailah Baginda di suatu tempat tidak jauh dari tempat tinggal Caraba. Dan tidak lama kemudian Raja berjumpa dengan binatang yang aneh itu.
Baginda heran sekali melihat rusa yang belum pernah dilihat selama hidupnya. Demikian tertariknya Baginda akan keindahan rusa tersebut, sehingga ia bertekad bulat untuk menangkapnya. Segera Baginda memacu kudanya dan Caraba dikejarnya. Tetapi seperti yang telah dikatakan di atas, Caraba sangat cepat larinya. Tidak ada kuda di dunia ini yang melebihi kecepatannya. Demikian pun kuda Baginda. Walaupun terhitung kuda yang sangat cepat larinya, namun tidak dapat menyusul Caraba.

Tidak lama kemudian mereka yang sedang kejar-mengejar itu sampai di sebuah lobang tanah yang sangat lebar dan dalam. Dengan mudah dan gemulai Caraba melompat. Tetapi kuda Baginda sangat terkejut ketika menghadapi lobang yang curam itu. Sekonyong-konyong ia tersentak berdiri dan karena gerakan yang tiba-tiba itu, membuat Baginda terlempar melalui kepala kudanya masuk ke dalam lobang. Dan lebih malang lagi…lobang itu amat dalam, sehingga tidak mudah untuk keluar dari situ tanpa pertolongan.
Walaupun tahu bahwa Raja hendak menangkap dan membawanya ke istana, Caraba tetap ingin menolong Baginda. Dengan tiada ayal lagi meloncatlah Caraba ke dalam lobang. Ia meminta Baginda untuk naik di atas punggungnya. Dengan susah payah berhasillah ia dengan penumpangnya keluar dari lobang, kemudian dibawanya ketepi hutan dan ditunjukkannya jalan ke istana.

Dengan penuh rasa terima-kasih Baginda memeluk Caraba dan bertanya apa yang harus diberikan kepadanya sebagai tanda terima-kasih. Maukah Caraba menerima istana dan lain-lain kekayaan Baginda?
Tetapi semua pemberian itu ditolaknya. Satu-satunya permintaan yang dikemukakan oleh Caraba hanyalah agar Raja jangan lagi memburu bintanag-bintatang yang tidak berdosa dan meminta Baginda berusaha membuat kebajikan dengan cara-cara yang lain.

Dengan senang hati Baginda menyanggupi, karena sadar bahwa binatang pun dapat mempunyai budi yang baik.
Lalu berpisahlah mereka masing-masing pergi menempuh jalanya masing-masing.


Penerbit: Dian Dharma
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline heny_alons

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 21
  • Reputasi: 3
  • Gender: Female
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #5 on: 27 October 2011, 08:22:45 AM »
2. Kisah Seekor Anak Burung Puyuh

...bahwa setiap makhluk berhak untuk hidup, dan hanya Dialah yang berhak mengambil mereka kembali...

[/b][/color]

"hanya Dialah" maksudnya Tuhan atau "Karma" ?
:)

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #6 on: 29 October 2011, 12:11:34 AM »
kok agak beda yah sama versi lainnya???
di versi lain mengatakan bahwa kelinci yang meminta dewa sakka untuk menyalakan api, dan si kelinci terakhir juga tidak mati....
dewa sakka kemudian mengukir gambar kelinci tersebut di bulan...

kurang tw looo..
pos mengikuti isi buku nyaa saja..

klo ble, d post loo..
yg versi lainnyaaa...

biar w tw perbedaannyaa dmna.. ;D ;D ;D
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #7 on: 29 October 2011, 12:14:50 AM »
"hanya Dialah" maksudnya Tuhan atau "Karma" ?

W juga kurang mngerti loo..
ketik mnurut bukunya saja..
;D ;D ;D
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #8 on: 29 October 2011, 12:19:15 AM »
5. Kisah Seekor Rusa Ruru

Cerita ini tentang jiwa besar yang suka mengampuni kesalahan orang lain.

Jauh di dalam hutan belantara, di suatu tempat yang hampir-hampir tidak pernah didatangi manusia, Sang Bodhisattva hidup sebagai seekor rusa ruru.
Binatang rusa biasanya sangat liar. Tetapi betapapun liarnya, mereka tidak akan dengan sengaja menyembunyikan diri di suatu tempat terpencil, seperti yang terjadi pada rusa ruru itu. Lebih-lebih jika mengetahui bahwa di tempat-tempat lain terdapat banyak makanan dan minuman.

Mengapa ia bersembunyi?
Ini dikarenakan rusa itu mempunyai kulit yang berwarna kuning berkilau-kilauan bagaikan emas. Di badannya bertaburan bintik-bintik laksana bertatahkan ratna mutu manikam. Rusa yang demikian indah warnanya tentu akan menarik perhatian binatang-binatang lain. Tetapi bukan itu sebab ia bersembunyi, karena biasanya binatang-binatang yang diam bersama-sama di hutan, memiliki hubungan yang baik antara yang satu dengan  yang lain.
Yang dikhawatirkan ialah apabila ia berkeliaran di dekat perkampungan dan terlihat oleh manusia. Dan manusia itu bersifat tamak. Jika melihat barang-barang yang luar biasa, ia ingin memilikinya.

Maka mengertilah kita sekarang, mengapa rusa ruru bersembunyi jauh-jauh di dalam hutan lebat itu. Tetapi perbuatannya tersebut bukan karena ia takut mati. Ia berbuat demikian karena ingin menjaga agar manusia jangan berbuat kejahatan akibat hawa nafsunya. Demikian luhur budinya, tetapi bukankah ia sebenarnya seorang bodhisattva?

Pada suatu hari rusa ruru sedang berjalan-jalan dan hendak pergi minum ke sungai. Tiba-tiba terdengar olehnya orang berteriak-teriak minta tolong. Cepat-cepat ia lari ke tepi sungai asal suara jeritan itu.
Ia memandang sekelilingnya.

Kebetulan sungai itu sedang banjir. Airnya mengalir dengan deras. Dan di tengah-tengah arus yang deras itu kelihatan seorang yang dengan mati-matian berusaha mengelakkan bahaya maut.
Dengan tidak berpikir panjang lagi rusa ruru meloncat ke dalam sungai dan berenang ke arah orang yang hampir tenggelam itu. Disuruhnya orang yang malang itu naik ke punggungnya. Dengan susah payah, karena derasnya arus sungai, sampai jugalah mereka ke tepi.
Betapa senang hati orang itu karena terhindar dari bahaya maut. Jika tidak ada rusa ruru yang memberi pertolongan, ia tentu akan mati tenggelam. Maka untuk menyatakan terima-kasih yang sebesar-besarnya, ia menyembah di hadapan rusa ruru dan bertanya, bagaimana ia dapat membalas budinya. Tetapi rusa ruru tidak memerlukan apa-apa dari orang itu, karena merasa sudah puas dengan hidupnya. Hanya ia minta agar orang itu jangan memberitahukan kepada orang lain di mana tempat persembunyiannya. Kemudian mereka berpisah.

Lama kemudian, pada suatu malam, permaisuri Raja bermimpi aneh sekali. Dalam mimpinya ia melihat rusa ruru dengan badannya yang indah keemasan, berdiri di atas singgasana raja, sedang memberi wejangan di hadapan pembesar-pembesar istana tentang ajaran-ajaran Buddha.
Segera setelah bangun dari tidur Sri Ratu menghadap Baginda dan menceritakan tentang mimpinya. Baginda berjanji kepada permaisuri, bahwa ia akan memerintahkan menangkap rusa ruru itu.

Baginda yang selalu meluluskan permintaan permaisuri, segera mengundang dan mengumpulkan kepada segenap rakyatnya, bahwa barangsiapa dapat menunjukkan tempat persembunyian rusa ruru akan mendapat hadiah berupa sebuah desa dengan sawah-sawah beserta perlengkapan-perlengkapannya.
Ini adalah kesempatan untuk lekas menjadi kaya-raya. Oleh karena itu pengumuman Baginda disambut oleh rakyatnya dengan hangat sekali. Setiap orang ingin mendapat hadiah itu. Lebih-lebih si miskin yang setiap hari harus membanting tulang untuk mendapatkan sesuap nasi.

Demikian pula orang yang pernah ditolong rusa ruru dari bahaya maut. Anak-anak tentu masih ingat kepada orang yang hampir tenggelam itu, bukan? Hanya dialah satu-satunya orang yang mengetahui tempat persembunyiannya. Dan ia sendiri adalah seorang yang sangat miskin.
Ingin juga ia sekali-kali merasakan kenikmatan duniawi menjadi orang kaya.
Karena itu, meskipun ia ingat akan janjinya, ia tak dapat mengekang maksudnya yang jahat. Pikirannya terombang-ambing di antara kebaikan dan kejahatan. Akhirnya pikiran jahatlah yang menang.
Demikianlah, maka ia menghadap Raja dan memberi-tahukan tempat persembunyian rusa ruru. Di saat itu juga Baginda dengan pemburu-pemburunya berangkat. Orang itu ikut serta pula sebagai penunjuk jalan.

Setiba di hutan, tempat di mana rusa ruru biasa berjalan-jalan dikepung oleh pemburu-pemburu raja. Tidak lama kemudian kelihatanlah rusa ruru itu berjalan dengan tiada sadar akan bahaya yang mengancam dirinya.
“Itu dia,” kata penunjuk jalan itu, sambil menunjuk ke arah rusa yang indah itu.
Tetapi ketika Raja hendak melepaskan panahnya ke arah rusa ruru, tiba-tiba dilihatnya tangan orang yang menunjuk itu terlepas dari badannya. Tangan itu jatuh di tanah.
Seketika itu juga Raja mengerti, bahwa ada sesuatu yang ganjil. Belum lagi ia sempat berbicara, rusa itu sudah menghampirinya dan bertanya, “Bagaimanakah Tuan sampai dapat mengetahui tempat persembunyian hamba?”
Maka diceritakanlah oleh Raja kepadanya tentang impian Sri Ratu dari awal sampai akhir. Sebaliknya rusa ruru pun menceritakan tentang peristiwa yang mengenai orang itu dan tentang janjinya kepadanya.

Maka Raja sangat murka kepada orang itu, karena tidak menepati janjinya. Orang itu hendak dibunuhnya saat itu juga. Tetapi rusa ruru mencegahnya, karena menurut pendapatnya membunuh sesama makhluk hidup adalah bertentangan dengan ajaran-ajaran Buddha, sekalipun orang itu berbuat seperti kata peribahasa: “Air susu dibalas dengan air tuba”. Lagipula Raja sendiri telah berjanji akan memberikan hadiah kepada orang yang dapat menunjukkan persembunyiannya dan janji itu pun harus ditepati pula.
Raja merasa sangat terharu karena kemuliaan budi rusa ruru itu, sehingga ia menyetujui nasihatnya. Dan ia mengundang rusa ruru supaya mau diajak serta ke istana dan memberikan wejangan-wejangan tentang ajaran dari Buddha.
Demikianlah, maka segala sesuatu berjalan seperti impian Sri Ratu: rusa ruru berdiri di atas singgasana emas dari Raja dan memberi wejangan, teristimewa tentang ajaran: “KASIHANILAH SESAMA MAKHLUK HIDUP”.

"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #9 on: 29 October 2011, 12:22:26 AM »
6. Kisah Seekor Kera Besar

Sebuah cerita tentang pengorbanan seekor binatang untuk keselamatan teman-temannya.

Pada zaman dahulu, ketika seluruh kehidupan manusia dan binatang dalam keadaan aman dan damai, Sang Bodhisattva lahir kembali ke dunia sebagai seekor kera besar. Ia menjadi pemimpin segerombolan kera yang hidup bersama-sama di pohon ara di tepi sungai.
Buahnya banyak sekali, segar rasanya dan harum baunya. Kera-kera itu tidak perlu khawatir akan kehabisan makanan dan sungai yang airnya jernih itu menyediakan air minum bagi mereka. Pendek kata, mereka hidup senang dan bahagia.

Tetapi ada sebuah cabang dari pohon ara itu yang tumbuh di atas sungai dekat permukaan air. Pemimpin kera minta kepada kawan-kawannya agar mengamat-amati jangan sampai cabang itu ada buahnya, sebab dapat membawa akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Tetapi meskipun diawasi setiap hari, cabang berbuah juga sebuah. Kera-kera tidak mengetahui hal itu, sebab buah tersebut tumbuhnya di sela daun-daun.
Bertambah hari buah tadi bertambah besar dan masak. Akhirnya karena sudah ranum, ia jatuh…ke dalam sungai, lalu dibawa arus ke hilir, sampai di pemandian Raja negeri itu.
Kebetulan pada saat itu Bahinda sedang bersuka-ria mandi dengan permaisuri dan dayang-dayang. Seorang dayang melihat buah ara terapung-apung di air. Maka diambilah buah itu dan dipersembahkan kepada raja.

Ketika raja melihat buah yang sedap dan harum itu, ia tak dapat menahan keinginannya, sehingga dimakanlah buah tersebut. Alangkah lezatnya. Ia ingin mendapat buah itu lebih banyak lagi. Pikirnya, bahwa jika ada sebuah tentu masih ada lagi yang lainnya.
Maka dengan pemburu-pemburu kerajaan, Baginda berangkat ke hulu menyusuri tepi sungai. Dan tak lama kemudian sampailah mereka di bawah pohon ara.

Yang tidak diduga Raja adalah banyaknya kera di atas pohon itu. Kera-kera itu makan seenaknya seakan-akan buah-buah itu adalah milik mereka sendiri.
Perbuatan  semacam itu terang tidak dapat dibiarkan saja dalam suatu kerajaan, sebab semua kekayaan adalah milik Raja. Jika ada kelebihannya, barulah hamba-hambanya boleh memilikinya. Karena itu kemarahan Raja sangat memuncak.

Ia memerintahkan pemburu-pemburunya supaya menembak mati semua kera-kera serakah itu. Kera-kera itu akan menemui ajalnya, jika tidak ada kera besar yang menjadi pemimpin mereka. Ia sadar akan bahaya yang sedang mengancam kawan-kawannya. Karena itu ia harus segera bertindak.
Maka dengan cepat ia naik ke puncak pohon ara dan dari tempat itu dengan sekali lompat sampailah ia di pucuk gunung yang ada di sekitarnya.
Jarak antar gunung dengan pohon ara itu terlalu jauh bagi kera-kera yang lain. Maka ia melompat kembali dengan membawa sepotong bambu panjang yang diikatkannya kepada kedua kaki belakangnya. Kedua tangannya memegang erat-erat puncak pohon ara. Dengan demikian, maka bambu itu dijadikannya jembatan antar gunung dan pohon ara.

Kera-kera yang lain diperintahnya supaya melarikan diri melalui jembatan bambu itu.
Semua kera menurut perintah, walaupun mereka tahu betapa berat dan payahnya kera besar itu mendukung mereka.
Sementara itu Raja dengan pemburu-pemburunya di bawah dengan keheran-heranan melihat ketangkasan regu penolong yang hanya terdiri dari satu kera saja. Maka Raja menjadi sadar akan kesalahannya dan melarang pemburu-pemburunya menembaki kera-kera itu. Dan ketika kera yang terakhir telah melalui jembatan bambu dan kera besar tak dapat bangun lagi karena sangat kepayahan, maka Raja segera bertindak. Ia memerintahkan beberapa pemburu untuk memasang kain di bawah pohon ara dan pemburu yang lain menembak putus jembatan itu.

Demikianlah, tidak lama kemudian kera besar jatuh dalam keadaan hampir mati di atas kain itu. Raja sendiri yang memberi minuman kepadanya dan kain basah yang membuat kera itu sadar kembali, sehingga dapat berbicara lagi. Ia memberi wejangan tentang pelajaran agama Buddha dan pahala yang dapat dipetik daripadanya untuk seluruh umat manusia. Raja dengan hormat dan penuh perhatian mendengarkannya.
Kemudian karena kepayahan kera besar itu meninggal, tetapi dengan hati puas, sebab ia telah menolong kawan-kawannya dan telah membuat musuhnya menjadi sahabat.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline pejantan tanggung

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 28
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #10 on: 29 October 2011, 07:36:48 AM »
 ::)

nb:cocok jadi writer

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #11 on: 30 October 2011, 01:19:17 AM »
7.Kisah Seekor Gajah

Sebuah cerita pengorbanan seekor binatang untuk menyelamatkan manusia.

Pada suatu ketika Sang Maha Agung kembali ke dunia sebagai seekor gajah. Tempat ditinggalnya di dalam hutan. Di dalam hutan ini terdapat gunung-gunung dan sebuah danau yang dalam. Dan seluruhnya dikelingi padang pasir yang sangat luas. Untunglah tak ada manusia hidup di sini. Dan walaupun gajah itu hidup sebatang kara, ia merasa aman dan bahagia.

Pada suatu hari, ketika sedang bercengkrama di tepi hutan, terdengar olehnya suara manusia. Suara itu datang dari arah padang pasir. Dan karena tidak mungkin orang berada di padang pasir untuk bersenang-senang, maka tentulah suara itu ratapan manusia tersesat atau yang dalam kesusahan. Dan…demikianlah kenyataannya!

Aku tak dapat menghitung berapa mengitung berapa ratus orang yang ada pada waktu itu. Dan semuanya dalam keadaan payah. Mereka meratap-ratap minta tolong, karena lapar dan dahaga. Dan ketika mereka melihat seekor gajah besar menuju ke tempat mereka, maka mereka berpikir bahwa ajal sudah sampai. Gajah itu tentu akan membunuh mereka semua. Sebab mereka tidak tahu, bahwa gajah itu adalah Sang Bodhisattva, yang hatinya penuh dengan rasa belas kasihan terhadap mereka yang sedang ditimpa mala-petapa. Ia hanya memberi pertolongan.

Dengan suaranya meraung seperti terompet, gajah itu menanyakan hal ihkwal mereka. Maka barulah orang-orang itu mengerti, bahwa mereka berhadapan dengan seekor gajah yang luar biasa.
Maka diterangkan kepadanya, bahwa mereka adalah orang-orang buangan. Beberapa ratus di antara mereka telah meninggal di tengah jalan dan sekarang mereka sendiri tak tahu lagi apa yang harus mereka jalankan. Padang pasir itu sangat luas; makanan dan minuman mereka telah habis.
Gajah tahu benar, bahwa di dalam hutan tak ada makanan untuk mereka. Ia juga mengerti bahwa orang-orang itu tidak bisa meneruskan perjalanan mereka, jika tidak membawa bekal yang cukup banyak. Bagi dia masih ada satu jalan jika hendak menolong mereka. Dan ia bertetap hati akan memberi pertolongan mereka. Dan apa yang akan diperbuatnya nanti sangat memilukan hati kita, tetapi tidak usah disesalkan nantinya.

Sambil menunjuk ke sebuah gunung, gajah berkata kepada orang-orang itu, supaya mereka pergi ke gunung itu, kalau mereka hendak selamat. Di kaki gunung itu ada sebuah danau dengan airnya yang jernih dan di dekatnya mereka akan mendapatkan seekor gajah yang sudah mati. Dagingnya supaya dipakai untuk persediaan makanan mereka. Lalu usus-ususnya dapat dipakai untuk kantong-kantong air dari danau itu. Dengan demikian mereka akan tertolong. Orang-orang buangan itu menjalankan petunjuk-petunjuk gajah. Sementara itu ia sendiri mendaki gunung itu dari sisi lain dan dari puncaknya ia menjatuhkan diri ke bawah, dengan keyakinan bahwa perbuatannya yang penuh perikemanusiaan itu akan mengangkat dirinya menjadi Buddha.
Segala apa yang diberitahukan oleh gajah tadi telah ditemukan oleh orang-orang buangan itu, yaitu : danau yang jernih dan tubuh gajah yang sangat menyerupai gajah yang menolong mereka. Maka mengertilah mereka apa yang terjadi.

Mula-mula mereka hendak membakar gajah itu sebagai penghormatan terakhir. Tetapi beberapa orang di antara mereka mengemukakan, bahwa dengan cara demikian pengorbanan gajah itu tak ada gunanya sama sekali. Sungguh benar pendapat itu!
Maka mereka jalankan apa yang dinasihatkan oleh gajah itu, sehingga mereka berhasil melewati padang pasir dengan selamat.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #12 on: 30 October 2011, 01:22:24 AM »
8.Kisah Seekor Kerbau
Sebuah pelajaran tentang kesabaran terhadap yang lemah.

Pada suatu ketika Sang Bodhisattva lahir kembali sebagai seekor kerbau liar. Tabiat kerbau liar itu jauh dari ramah tamah, mukanya selalu marah dan matanya bengis. Demikian juga halnya dengan kerbau kita, penjelmaan dari Sang Bodhisattva. Hanya bedanya ialah, bahwa di dalam hati ia sebenarnya tidak seperti apa yang terlihat di luarnya. Dari luar kelihatan menakutkan dan bengis, tetapi di dalam ia lemah lembut hatinya. Watak demikian tidak dapat dikatakan watak kerbau biasa.

Memang kerbau kita itu pemurah lagi lemah lembut perasaannya. Itulah sifat-sifat luhur yang senantiasa diutamakannya. Tidak ada seekor binatang pun yang pernah disakitinya. Sebaliknya ia sendiri tidak pernah diganggu oleh binatang-binatang yang lain diam di hutan itu. Meskipun kelihatan galak dan bengis, mereka tidak takut kepadanya, sebab mereka tahu bahwa ia peramah dan halus perasaannya. Tetapi ada kalanya orang menyalah-gunakan kebaikan hati orang lain.

Dan demikianlah terjadi atas kerbau kita itu. Di dalam hutan itu juga tinggal seekor kera kecil. Pada umumnya kera suka menggoda binatang-binatang yang lain. Tetapi kera kecil ini memang terlalu nakal. Terhadap binatang-binatang yang lain ia tak berani, sebab ia tahu, bahwa akan mendapatkan balasan yang setimpal. Tetapi terhadap kerbau yang baik hati itu ia berani benar, dan caranya mengusik kadang-kadang melampaui batas. Sedikit godaan tidaklah mengapa, setiap orang dapat menerimanya. Tetapi godaan kera kecil terhadap kerbau itu memang sudah di luar batas. Ia mengerti betul kerbau itu tidak akan membalas sedikit pun.

Maka panjang hari terus-menerus kerbau itu digodanya, lebih dari itu, ia berusaha supaya kerbau itu timbul marahnya. Suatu ketika, ia sekonyong-konyong melompat ke atas punggungnya pada waktu kerbau itu sedang enak-enaknya tidur-tiduran. Ia juga melompat-lompat dari tanduk kanan ke tanduk kiri berkali-kali, sehingga kerbau itu pusing kepalanya. Suatu waktu ia duduk di kepala kerbau dan menutup matanya, justru pada saat kerbau itu di tepi sungai hendak melangkah ke dalam air, sehingga jatuh tersungkur.

Kalian dapat memahami, bahwa perbuatan-perbuatan kera itu bukan lagi usikan biasa dan godaan yang sangat menyakitkan hati itu terus berlangsung setiap hari. Namun kerbau itu tidak pernah marah dan hanya tinggal diam terhadap apa yang dilakukan kera itu atas dirinya.
Pada suatu hari kerbau itu sedang berjalan-jalan makan angin, dan kera nakal itu duduk dipunggungnya. Dengan sebilah tongkat dipukulnya kerbau itu berkali-kali, agar jalannya lebih cepat lagi. Ketika kera itu sedang memukul-mukul tongkatnya, datanglah dayang hutan. Ia sendiri sering mendapat gangguan dari kera nakal itu. Dalam hatinya ia merasa geram terhadap kera tersebut. Dan pada waktu ia melihat bagaimana kera itu mempermainkan kerbau yang baik hati, hampir-hampir ia tak dapat menguasai dirinya. Ia menghampiri kerbau dan bertanya apa sebab ia diam saja dipemainkan si kera nakal itu.

Menurut pendapatnya, sudah selayaknya kalau kerbau itu memberi pelajaran yang keras kepada penggoda kecil itu. Mengapa tidak dicincang saja dengan tanduknya? Atau dijitak saja dengan kakinya hingga mati?
Kerbau memandang dayang hutan dengan pandangan yang menunjukkan penyesalan dan menjawab, “Mengapakah kamu berkata demikian? Pertama-tama saya sedang melatih diri mengutamakan kesabaran dan sangat berterima-kasih kepada kera ini, karena ia memberi kesempatan kepada saya untuk memperkuat rasa kesabaran saya. Kedua, adalah mudah sekali untuk menyakiti atau membunuh makhluk lain apabila kita tahu, bahwa kita sendiri lebih kuat daripadanya. Benarkah atau tidak perkataan saya itu? Lagipula, lebih baik si kera ini menggoda saya daripada menggoda binatang-binatang lain yang jelas naik darah dan mungkin akan mencelakakannya. Barangkali pada suatu hari ia akan insaf dan mengerti, bahwa ia telah berbuat yang tidak benar.”
Itulah yang diharap-harapkan dengan sangat oleh kerbau itu, dan selama kera itu belum berubah sifatnya, selama itu pula ia terus menjalankan Dharma kesabarannya.

Dayang hutan menggeleng-geleng kepalanya. Ia berpendapat, bahwa pikiran kerbau itu baik juga, tetapi ia tidak dapat menyetujui seluruhnya. Segala sesuatu harus ada batasnya, demikian pikirnya. Ia tidak tahu, bahwa kerbau itu adalah Sang Bodhisattva sendiri. Sesudah memberi teguran yang keras kepada kera supaya memperbaiki kelakuannya, maka dayang hutan meneruskan perjalanannya.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #13 on: 30 October 2011, 09:14:28 PM »
9.Kisah Seekor Burung Pelatuk

Sebuah cerita tentang jiwa sosial.

Sekali peristiwa Sang Bodhisattva hidup di dunia sebagai seekor burung pelatuk. Ia bertempat tinggal di hutan dalam sebuah pohon dan hidupnya penuh kebajikan.
Yang diutamakan ialah kebajikan menolong sesama makhluk hidup. Dan ini bukanlah suatu tujuan hidup yang ringan, sebab di dalam menuaikan Dhamma baktinya, ia harus memberikan pertolongan di mana saja ia menjumpai seekor binatang yang sedang dalam kesukaran ataupun sakit, walaupun ia sendiri hanya seekor burung yang kecil. Dan seperti kita telah maklum pada cerita burung puyuh, burung pelatuk inipun tidak makan cacing atau serangga yang lain. Baginya adalah suatu larangan besar untuk menyakiti atau membunuh sesama makhluk hidup.

Pada suatu hari, ketika sedang terbang ke sana-kemari, dilihatnya seekor singa yang tampak seperti sedang menderita kesakitan yang sangat dan tidak dapat berbuat suatu apapun untuk meringankan sakitnya itu. Burung pelatuk itu tidak takut kepada binatang lain, bahkan terhadap singa  ia pun tidak gentar. Dihampirinya singa itu dan dengan penuh rasa kasihan ia bertanya, apa sebabnya singa itu kesakitan. Mungkin ia dapat memberi pertolongan kepadanya.
Tetapi singa itu dapat berbicara. Apakah sebabnya? Ketika makan, sebuah tulang tajam telah menusuk kerongkongannya dan tidak dapat dikeluarkan lagi. Bukan alang-kepalang sakitnya.

Ini adalah suatu kesempatan baik bagi burung pelatuk untuk menjalankan Dharma baktinya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakannya. Diuruhnya singa itu membuka moncongnya lebar-lebar, kemudian ia terbang untuk mencari sepotong kayu. Bilah itu diletakkannya di antara gigi atas dan gigi bawah singa, sehingga dengan demikian moncongnya tetap ternganga. Dan dengan sangat berhati-hati ia masuk ke dalam moncong singa. Tulang itu dipatuknya perlahan-lahan sehingga lama-kelamaan dapat dikeluarkan dari kerongkongan singa.

Alangkah senang hati singa itu karena terlepas dari kesakitan. Demikian juga burung pelatuk itu sangat gembira, karena dapat menolong binatang lain dari malapetaka. Singa itu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada burung pelatuk. Kemudian mereka berpisah.
Lama sesudah peristiwa itu, terjadi peristiwa burung pelatuk itu  sudah beberapa hari tidak mendapatkan makanan. Karena ia tidak makan serangga atau binatang-binatang kecil lainnya, maka sukarlah baginya untuk mendapatan makanan.

Dengan sedih dan lesu serta perut kosong ia terbang tak tentu arahnya. Ya, apa mau dikata! Kalau perut kosong, semua usaha seakan-akan sukar dan berat dijalankan. Seakan-akan hilang semangatnya untuk berbuat sesuatu. Dan ketika sedang terbang kian-kemari, tiba-tiba dilihatnya sang singa yang pernah ditolongnya ada di bawah. Dan singa itu sedang makan paha kijang yang baru saja diterkamnya dengan lahap.

Burung pelatuk itu menghampirinya. Pikirnya singa itu tidak akan lupa kepadanya dan sebagai balas budi tentu akan memberi sedikit daging kijang itu kepadanya. Tetapi apa yang terjadi? Singa itu terus saja makan, pura-pura tidak tahu dan tidak kenal kepada burung pelatuk itu. Walaupun bukan wataknya untuk meminta-minta, tetapi karena tidak kuat lagi menahan lapar, terpaksa ia berbuat demikian. Karena rakusnya, singa sedikitpun tidak ada niat untuk membagi makanan kepada yang lain, tidak pula kepada burung pelatuk yang pernah menolong dia!

Bagi burung kecil itu sedikit daging sudah cukup menahan laparnya. Tetapi dengan kasar singa itu menjawab, bahwa ia boleh pergi dari tempat itu. Dan kalau tidak juga hendak pergi, burung itu akan dimakannya pula. Semestinya burung pelatuk itu harus merasa beruntung tidak dimakan olehnya ketika itu.
Sikap singa yang tidak tahu diri itu terlalu, bukan?

Bukan main malu burung pelatuk itu. Bukan karena permintaannya ditolak, tetapi karena tabiat singa itu yang kasar dan sama sekali tidak mempunyai rasa terima kasih.
Maka dengan tidak mengeluarkan sepatah katapun ia terbang ke atas. Di langit ia berjumpa dengan dewa hutan yang mendengar semua kejadian yang telah menimpa burung pelatuk itu. Ia sesalkan burung itu tidak memberi hukuman kepada singa yang tidak tahu diri. Umpamanya saja dengan mencuri dagingnya atau mencocok matanya dengan paruhnya.

Tetapi perbuatan demikian tidak sesuai dengan wataknya. Dan berkatalah ia kepada dewa hutan, bahwa dari suatu kebajikan kepada orang lain, karena perikemanusiaan atau rasa kasihan, janganlah diharap akan mengambil keuntungan dari perbuatan itu. Kegembiraan yang dirasakannya karena dapat menolong sesama hidup sudah merupakan suatu hadiah. Perkataan burung pelatuk itu  benar juga, kan?
Dewa hutan memuji burung pelatuk akan kata-katanya yang berbudi dan membuat ia menyembah kepadanya.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Kumpulan Cerita Buddha
« Reply #14 on: 30 October 2011, 09:19:48 PM »
10. Kisah Seekor Penyu Raksasa

Sebuah cerita tentang pengorbanan yang tak mengenal batas.

Pada suatu masa yang jauh-jauh silam, Sang Bodhisattva lahir kembali sebagai seekor penyu raksasa. Tempat tinggalnya di dalam samudera. Yang diharapkan setiap hari adalah bila saatnya tiba, di mana ia akan diterima menjadi Buddha. Besar kemungkinan ia masih lama sekali menunggu, sebab umumnya jika tidak ada hal-hal yang menghalangi, penyu dapat mencapai usia yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada binatang-binatang lain.

Pada suatu hari sebuah perahu besar berlayar di samudera itu dan memuat limaratus oran pedagang di dalamnya. Di dekat tempat penyu raksasa berenang-renang, perahu itu sekonyong-konyong diserang badai topan. Topan itu sedemikian hebatnya, sehingga perahu itu tenggelam karenanya. Limaratus orang pedagang itu terapung-apung di atas samudera sambil mencengkeram papan-papan kayu atau segala sesuatu dari sisa-sisa kapal yang dapat diraihnya, supaya tidak tenggelam. Harapan akan mendapat pertolongan tidaklah besar. Sebuah perahu pun tidak tampak sama sekali di kaki langit. Makanan dan minuman tidak ada, karena dibawa tenggelam oleh perahu.

Mereka akan menemui ajalnya secara mengerikan, jika penyu raksasa tidak ada di sekitarnya dan mengetahui peristiwa yang menyedihkan itu.
Ketika topan sudah reda dan laut menjadi tenang kembali, dengan badannya yang amat besar ia menghampiri pedagang-pedagang yang sudah putus asa itu. Disuruhnya mereka naik ke atas punggungnya, sebanyak yang dapat dibawanya dalam setiap perjalanan.

Demikianlah penyu raksasa itu berenang-renang pulang-pergi mengangkut pedagang-pedagang sampai orang yang terakhir dengan selamat berada di pantai sebuah pulau.
Sudah tentu mereka semua bergembira dan berterma kasih kepada penyu raksasa itu. Ia sendiri karena pekerjaan yang luar biasa beratnya, mereka sangat letih. Masa setelah memberikan pertolongan kepada para korban bencana laut itu, ia pun jatuh tertidur di pantai.

Dan ia terus terus-menerus.
Sementara itu pedagang-pedagang yang beberapa waktu lamanya terapung-apung di laut tanpa makan dan minum, merasa sangat lapar. Mereka melihat-lihat pulau itu dengan harapan akan mendapat makanan. Tetapi malang bagi mereka, sebab pulau itu setengah tandus. Ada beberapa batang pohon kelapa dengan buah yang tidak seberapa banyaknya. Bagi limaratus perut lapar, maka buah-buah itu dalam sekejap akan habis dimakan.

Mereka berbaring-baring di pantai dengan perut yang semakin lama semakin melilit-lilit. Dan seperti ada yang menggerakkan mereka tertuju kepada penyu raksasa itu dan terus memandang kepadanya tanpa berkedip. Timbul pikiran yang tidak-tidak dalam otak mereka. Dan memang hal itu dapat dipahami. Bayangkan, andai kata kita merasa sangat lapar dan di hadapan kita tersedia makanan lezat yang dapat menhilangkan lapar kita! Dengan sendirinya timbul bermacam-macam pikiran dalam diri kita yang biasanya tidak pernah ada, bukan? Demikian juga halnya dengan pedagang-pedagang itu.

Penyu raksasa yang sedang tidur seakan-akan merasakan apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran pedagang-pedagang itu. Maka ia menjadi gelisah, lalu bangun dari tidurnya. Ia berpikir sejenak dan terbayanglah dengan jelas tujuannya untuk menjadi Buddha, yang sangat di idam-idamkannya itu.
Mengapa ia harus berpikir panjang lagi, mengingat bahwa ia mungkin harus bertahun-tahun lagi sebagai penyu? Dengan mengorbankan badannya sebagai makanan bagi pedagang-pedagang yang sedang menderita kelaparan itu, maka ia dengan sekaligus dapat mencapai tujuannya! Maka bertindaklah ia menurut jalan pikirannya itu.
Para pedagang tertolong olehnya, dan tidak lama kemudian datanglah sebuah perahu yang mengangkut mereka dari pulau itu kembali ke tanah airnya masing-masing.

Dan penyu itu menjadi Buddha.





"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

 

anything