Buku ini ditujukan kepada dua jenis pembaca. Yang pertama adalah mereka yang masih belum terbiasa dengan khotbah-khotbah Sang Buddha yang membutuhkan suatu pendahuluan sistematis. Bagi pembaca-pembaca ini, Nikāya-nikāya tampak kabur. Seluruh keempatnya, dilihat sekaligus, mungkin terlihat seperti belantara – kusut dan membingungkan, penuh dengan binatang buas yang tidak dikenali – atau seperti samudera raya – luas, hingar-bingar, dan menakutkan. Saya harap buku ini dapat berfungsi sebagai peta untuk membantu mereka melintasi jalan menembus belantara sutta-sutta atau sebagai sebuah kapal yang kokoh untuk membawa mereka menyeberangi samudera Dhamma.
Jenis pembaca ke dua yang kepada mereka buku ini ditujukan adalah mereka, yang telah terbiasa dengan sutta-sutta, yang masih tidak dapat melihat bagaimana sutta-sutta itu cocok dalam suatu rangkaian menyeluruh yang dapat dipahami. Bagi pembaca-pembaca ini, sutta-sutta terpisah mungkin dapat dipahami secara terpisah, namun teks-teks tersebut secara keseluruhan tampak seperti potongan-potongan teka-teki menyusun gambar yang berserakan di atas meja. Begitu seseorang memahami skema buku ini, maka ia akan memiliki gagasan atas arsitektur ajaran. Kemudian, denagn sedikit perenungan, maka ia akan dapat menentukan tempat di mana sutta itu berlokasi dalam gudang Dhamma, apakah termasuk dalam antologi ini atau tidak.
Antologi ini, atau antologi sutta-sutta lainnya, bukanlah pengganti Nikāya-nikāya. Harapan saya ada dua, bersesuaian dengan kedua jenis pembaca yang kepada mereka buku ini disusun: (1) bahwa para pendatang baru pada literatur Buddhis Awal menjadi lebih tertarik dan terdorong untuk terjun ke dalam Nikāya-nikāya lengkap; dan (2) bahwa para pembaca Nikāya-nikāya yang berpengalaman menyelesaikan buku ini dengan pemahaman yang lebih baik atas materi-materi yang telah mereka kuasai.
Kelompok unsur | i s i | Kondisi | Perumpamaan |
Bentuk | Empat unsur utama dan bentuk yang diturunkan darinya | Makanan | Bongkahan buih |
Perasaan | Enam kelompok perasaan: yang muncul dari kontak melalui mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiran | Kontak | Gelembung air |
Persepsi | Enam kelompok persepsi: bentuk, suara, bau-bauan, rasa kecapan, sentuhan, dan fenomena pikiran | Kontak | Fatamorgana |
Bentukan-bentukan kehendak | Enam kelompok kehendak: sehubungan dengan bentuk, suara, bau-bauan, rasa kecapan, sentuhan, dan fenomena pikiran | Kontak | Batang pohon pisang |
Kesadaran | Enam kelompok kesadaran: -mata, -telinga, -hidung, -lidah, -badan, -pikiran | Nama-dan-bentuk | Tipuan sulap |
Melepaskan ketagihan adalah sangat sulit karena ketagihan diperkuat oleh pandangan-pandangan, yang merasionalkan identifikasi kita dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan dengan demikian melengkapi ketagihan dengan perisai pelindung. Jenis pandangan yang terletak di dasar dari semua penegasan diri disebut pandangan identitas (sakkāyadiṭṭhi). Sutta-sutta sering kali menyebutkan dua puluh jenis pandangan identitas, yang diperoleh dengan menganggap diri sebagai salah satu dari empat hubungan dengan masing-masing dari lima kelompok unsur kehidupan: apakah sebagai identik dengannya, sebagai memilikinya, sebagai mengandungnya, atau sebagai terkandung di dalamnya. “Kaum duniawi yang tidak terlatih” menganut beberapa jenis pandangan identitas; “siswa mulia yang terlatih,” setelah dengan kebijaksanaan melihat sifat tanpa-diri dari kelompok-kelompok unsur kehidupan itu, tidak lagi menganggap kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai diri atau kepemilikan dari diri. Menganut pandangan-pandangan ini adalah sebab bagi kegelisahan dan kesusahan. Hal ini juga menjadi tali pengikat yang mengikat kita pada lingkaran kelahiran kembali – baca di atas, Teks I, 2(3) dan Teks I, 4(5). Semua kekotoran pada awalnya berakar dari ketidak-tahuan, yang dengan demikian terletak di dasar dari segala penderitaan dan pembudakan. ketidak-tahuan menenun jaring tiga delusi di sekitar kelompok-kelompok unsur kehidupan. Delusi-delusi ini adalah gagasan bahwa kelima kelompok unsur kehidupan adalah kekal, sumber kebahagiaan sejati, dan diri. Kebijaksanaan yang diperlukan untuk memecahkan pesona delusi ini adalah pandangan terang ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan sebagai tidak kekal (anicca), penderitaan (dukkha), dan bukan-diri (anattā). Ini disebut pengetahuan langsung pada ketiga karakteristik kehidupan (tilakkhaṇa). Beberapa sutta tampaknya menjelaskan bahwa pandangan terang ke dalam salah satu dari ketiga karakteristik adalah mencukupi untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, ketika karakteristik itu saling terjalin erat, dan demikianlah formula yang paling umum terdapat dalam Nikāya-nikāya dibangun di atas hubungan internal. Pertama dinyatakan dalam khotbah ke dua Sang Buddha di Bārāṇasi – Teks IX, 4(1)(c) – formula ini menggunakan karakteristik ketidak-kekalan untuk mengungkapkan karakteristik penderitaan, dan keduanya bersama-sama mengungkapkan karakteristik tanpa-diri. Sutta-sutta mengambil jalur tidak langsung ini menuju karakteristik tanpa-diri karena sifat tanpa-diri dari segala sesuatu begitu halus dan sering kali tidak dapat terlihat kecuali jika ditunjukkan melalui kedua karakteristik lainnya. Ketika kita mengenali bahwa hal-hal yang kita identifikasikan sebagai diri kita adalah tidak kekal dan terikat pada penderitaan, maka kita menyadari bahwa hal-hal itu tidak memiliki ciri penting dari diri otentik dan karenanya kita berhenti mengidentifikasikan dengannya. Penjelasan berbeda dari ketiga karakteristik ini dengan demikian akhirnya menyatu pada pelenyapan kemelekatan. Hal itu dilakukan dengan menunjukkan, dengan menganggap tiap-tiap kelompok unsur kehidupan, “Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.” Ini menjadikan pandangan terang ke dalam tanpa-diri sebagai puncak dan kesempurnaan perenungan pada ketiga karakteristik. Walaupun karakteristik tanpa-diri biasanya dipahami melalui kedua karakteristik lainnya, seperti pada Teks IX, 4(1)(d), namun kadang-kadang juga diungkapkan secara langung. Sebuah contoh pendekatan langsung pada tanpa-diri adalah Teks IX, 4(1)(e), khotbah tentang “bongkahan buih,” yang menggunakan lima perumpamaan yang mengesankan untuk mengungkapkan sifat kosong dari kelima kelompok unsur kehidupan. Menurut formula standar, pandangan terang ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri akan memicu kekecewaan (nibbidā), kebebasan dari nafsu (virāga), dan kebebasan (vimutti). Seseorang yang mencapai kebebasan akan memperoleh “pengetahuan dan penglihatan kebebasan,” jaminan bahwa lingkaran kelahiran kembali telah dihentikan dan tidak ada lagi yang harus dilakukan. Pola lainnya bahwa sutta-sutta sering kali mengaplikasikan pada kelima kelompok unsur kehidupan dan pada kelompok-kelompok fenomena lainnya, adalah triad kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri. Teks VI, 2(1)-(3), dari Aṅguttara Nikāya, mengaplikasikan triad ini pada dunia secara keseluruhan. Saṃyutta Nikāya mengaplikasikan skema yang sama secara sendiri-sendiri pada kelompok-kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria, dan unsur-unsur. Kenikmatan dan kegembiraan yang diberikan oleh tiap-tiap kelompok unsur kehidupan, landasan indria, dan unsur adalah kepuasan; ketidak-kekalan, terliputi oleh penderitaan, dan sifat perubahannya adalah bahayanya; dan meninggalkan keinginan dan nafsu padanya adalah jalan membebaskan diri. IX, 4(2) Enam Landasan Indria. Saḷāyatanasaṃyutta, khotbah berkelompok tentang Enam Landasan Indria (Saṃyutta Nikāya, bab 35), berisikan lebih dari dua ratus sutta pendek tentang landasan-landasan indria. Keenam landasan indria internal dan eksternal memberikan suatu perspektif pada totalitas pengalaman yang berbeda dari, namun mendukung, perspektif yang diberikan oleh kelompok-kelompok unsur kehidupan. Keenam pasang landasan adalah organ-organ indria dengan objek-objeknya masing-masing, yang mendukung munculnya jenis-jenis kesadaran yang bersesuaian. Karena menjadi perantara bagi kesadaran dan objeknya, maka landasan indria internal disebut sebagai “landasan bagi kontak” (phassāyatana), “kontak” (phassa) adalah pertemuan organ indria, objek, dan kesadaran. Enam Landasan Indria Internal dan Eksternal
Apa yang ditunjukkan oleh kelima landasan indria pertama dan objek-objeknya cukup jelas, tetapi pasangan ke enam, pikiran (mano) dan fenomena (dhammā), menyajikan suatu kesulitan. Jika kita memperlakukan kedua istilah ini serupa dengan landasan-landasan indria lainnya, maka kita akan memahami landasan pikiran sebagai penyokong bagi munculnya kesadaran-pikiran (manoviññāṇa) dan landasan fenomena sebagai bidang objektif dari kesadaran-pikiran. Mengenai interpretasi ini, “pikiran” dapat dianggap sebagai arus pasif kesadaran yang darinya kesadaran konseptual aktif muncul, dan “fenomena” sebagai objek pikiran yang murni seperti yang dipahami melalui introspeksi, khayalan, dan renungan. Akan tetapi, Abhidhamma dan komentar Pāli, menginterpretasikan kedua istilah ini dengan cara berbeda. Mereka menganggap bahwa landasan pikiran terdiri dari semua kelompok kesadaran, yaitu, termasuk di dalamnya adalah seluruh enam jenis kesadaran. Mereka juga menganggap bahwa segala entitas nyata yang tidak terdapat dalam landasan indria lainnya merupakan landasan fenomena. Dengan demikian, landasan fenomena mencakup ketiga kelompok unsur batin lainnya – perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak – serta jenis-jenis bentuk materi halus yang tidak terlibat dalam pengalaman melalui indria-indria fisik. Apakah interpretasi ini selaras dengan makna yang dimaksudkan dalam teks-teks Buddhis tertua adalah suatu pertanyaan yang masih belum terjawab. Teks IX, 4(2)(a) membuktikan bahwa bagi Buddhisme Awal, kebebasan memerlukan pengetahuan langsung dan pemahaman penuh pada landasan-landasan indria internal dan eksternal dan segala fenomena yang muncul darinya. Hal ini tampaknya membentuk suatu hubungan nyata antara Buddhisme dan ilmu pengetahuan empiris, tetapi jenis pengetahuan yang dicari melalui kedua disiplin ini adalah berbeda. Sementara para ilmuwan mencari informasi “objektif” dan impersonal, praktisi Buddhis mencari pandangan terang langsung ke dalam sifat fenomena-fenomena ini sebagai komponen pengalaman hidup. Nikāya-nikāya memberikan perbedaan menarik antara perlakuan yang diberikan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan dan landasan-landasan indria. Keduanya berfungsi sebagai tanah di mana kemelekatan berakar dan tumbuh, tetapi sementara kelompok-kelompok unsur kehidupan pada dasarnya adalah tanah bagi pandangan-pandangan tentang diri, landasan-landasan indria pada dasarnya adalah tanah bagi ketagihan. Oleh karena itu, suatu langkah penting dalam menaklukkan ketagihan adalah pengendalian indria. Para bhikkhu dan bhikkhunī khususnya, harus waspada ketika bertemu dengan objek-objek indria yang disukai maupun yang tidak disukai. Ketika ia lengah, maka pengalaman melalui indria-indria selalu menjadi pemicu bagi ketagihan: nafsu pada objek menyenangkan, penolakan pada objek yang tidak menyenangkan (dan ketagihan pada jalan membebaskan diri yang menyenangkan), dan kemelekatan tumpul pada objek-objek netral. Dalam salah satu khotbah awalNya yang dikenal sebagai “Khotbah Api” – Teks IX, 4(2)(b) – Sang Buddha menyatakan bahwa “semuanya terbakar.” “Semuanya” di sini adalah enam landasan, objek-objeknya, dan jenis-jenis kesadaran yang muncul darinya, dan kontak dan perasaan yang berhubungan. Jalan menuju kebebasan adalah dengan melihat bahwa “semuanya” ini terbakar oleh api kekotoran dan penderitaan. Saḷāyatanasaṃyutta berulang-ulang mengatakan bahwa untuk menghalau ketidak-tahuan dan menghasilkan pengetahuan sejati, maka kita harus merenungkan seluruh landasan indria dan perasaan-perasaan yang muncul melaluinya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Hal ini, menurut Teks IX, 4 (2)(c), adalah jalan langsung menuju pencapaian Nibbāna. Suatu jalan alternatif yang disarankan oleh Teks IX, 4(2)(d), adalah melihat bahwa keenam landasan ini adalah kosong – kosong dari diri atau apapun yang menjadi milik diri. Karena kesadaran muncul melalui keenam landasan ini, maka kesadaran juga hampa dari diri – Teks IX, 4(2)(e). IX, 4(3) Unsur-unsur. Unsur-unsur adalah topik dari Dhātusaṃyutta (Saṃyutta Nikāya, bab 14). Kata “unsur-unsur” (dhātu) diaplikasikan pada beberapa kelompok fenomena yang berbeda, dan demikianlah sutta-sutta dalam bab ini terdiri dari bagian-bagian terpisah dengan sedikit persamaan namun tetap membahas entitas-entitas yang disebut unsur-unsur. Kelompok yang paling penting terdiri dari delapan belas, empat, dan enam unsur. Delapan belas unsur adalah penjelasan dari dua belas landasan indria. Terdiri dari enam organ indria, enam objek indria, dan enam jenis kesadaran indria. Karena enam jenis kesadaran digali dari landasan pikiran, maka unsur pikiran yang tertinggal adalah jenis peristiwa kognisi yang lebih sederhana. Nikāya-nikāya tidak menyebutkan fungsinya secara persis. Abhidhamma mengidentifikasikannya dengan sejenis kesadaran yang mengambil peran pada tahap yang lebih mentah dalam proses kognisi daripada unsur kesadaran-pikiran yang lebih membeda-bedakan. Teks IX, 4(3)(a) berisi uraian sederhana pada delapan belas unsur. Perenungan pada unsur-unsur ini membantu menghalau gagasan bahwa suatu subjek abadi mendasari perubahan pada pengalaman. Hal ini menunjukkan bagaimana pengalaman terdiri dari jenis-jenis kesadaran berbeda, masing-masingnya terkondisi, muncul dengan bergantung pada organ indria dan objeknya masing-masing. Demikianlah untuk menegaskan sifat pengalaman yang terkondisi, tersusun, dan bervariasi menghalau ilusi kesatuan dan kepadatan yang biasanya menghalangi kognisi yang benar. Empat unsur adalah tanah, air, panas, dan angin. Unsur-unsur ini mewakili “cara berperilaku” dari materi: padat, cair, energi, dan perluasan. Keempat ini tidak terpisahkan bergabung dalam setiap unit materi, dari yang terkecil hingga yang terbesar dan yang paling kompleks. Akan tetapi, unsur-unsur bukan sekedar atribut dari dunia eksternal, melainkan juga dari jasmani diri sendiri. Demikianlah seseorang harus merenungkannya sehubungan dengan jasmani diri sendiri, seperti yang diajarkan oleh Satipaṭṭhāna Sutta (baca Teks VIII, 8 §12). Ketiga sutta yang digabungkan dalam Teks IX, 4(3)(b) menunjukkan bahwa unsur-unsur ini dapat dilihat: sebagai tidak kekal dan terkondisi; dari tiga sudut pandang kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri; dan melalui pola empat-kebenaran. Enam unsure termasuk empat unsur fisik, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Teks IX, 4(3)(c), sebuah ringkasan dari MN 140, menjelaskan secara terperinci tentang bagaimana merenungkan keenam unsur ini sehubungan dengan badan jasmani, dunia eksternal, dan pengalaman kesadaran. IX, 4(4) Kemunculan Bergantungan. Kemunculan bergantungan (paṭiccasamuppāda) begitu penting dalam ajaran Buddha sehingga Sang Buddha berkata: “Siapa yang melihat kemunculan bergantungan berarti melihat Dhamma, dan siapa yang melihat Dhamma berarti melihat kemunculan bergantungan” (MN 28; I 190-91). Tujuan utama dari ajaran kemunculan bergantungan adalah untuk mengungkapkan kondisi-kondisi yang memelihara lingkaran kelahiran kembali dan karena itu juga menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk memperoleh kebebasan dari lingkaran itu. Untuk memenangkan kebebasan adalah persoalan menguraikan pola sebab-akibat yang mendasari pembudakan kita, dan proses ini dimulai dari memahami pola sebab-akibat itu sendiri. Adalah kemunculan bergantungan yang mendefinisikan pola sebab-akibat ini. Seluruh satu bab dari Saṃyutta Nikāya, Nidānasaṃyutta (bab 12), khusus membahas tentang kemunculan bergantungan. Doktrin ini biasanya dibabarkan sebagai suatu rangkaian dua belas faktor yang saling terhubung menjadi rantai sebelas dalil; baca Teks IX, 4(4)(a). Seorang Buddha menemukan rantai kondisi ini; setelah pencerahanNya, misiNya adalah menjelaskannya kepada dunia. Teks IX, 4(4)(b) menyatakan rangkaian kondisi ini sebagai prinsip yang pasti, hukum yang stabil, sifat dari segala sesuatu. Rangkaian ini dibabarkan dalam dua cara: melalui asal-mula (disebut anuloma atau urutan maju), dan melalui lenyapnya (disebut paṭiloma atau urutan mundur). Kadang-kadang penyajiannya bergerak dari faktor pertama menuju ke akhir; kadang-kadang bergerak dari akhir dan menelusuri kembali rantai kondisi itu kembali ke faktor pertama. Sutta-sutta lain mengambil rantai ini di suatu tempat di tengah-tengah dan bergerak balik ke belakang atau maju ke depan. |
Kelompok siswa | Belenggu yang baru dilenyapkan | Jenis kelahiran kembali yang tersisa |
Pemasuk-arusp | Pandangan identitas, keragu-raguan, genggaman keliru pada aturan dan upacara | Paling banyak tujuh kali kelahiran lagi di antara manusia dan para deva |
Yang-kembali-sekali | Tidak ada, tetapi melemahkan nafsu, kebencian, dan delusi | Satu kali kelahiran lagi di alam indria |
Yang-tidak-kembali | Nafsu indria dan permusuhan | Kelahiran spontan di alam berbentuk |
Arahant | Keinginan pada kehidupan di alam berbentuk, keinginan pada kehidupan di alam tanpa bentuk, keangkuhan, kegelisahan, ketidak-tahuan | Tidak ada |
Penulisan terjemahan yang benar itu 'Arahant' atau 'Arahat' sih ? ::)Arahant
Arahant
Mengacu kepada KBBI IV kah? ::)
Kalau dari Pali (seperti kasus kata : deva) AFAIK adanya arahat, ga ada arahant :-?
terbalik, jutsru kata "Arahat" tidak ada dalam Pali
Arhat (Sanskrit: अर्हत arhat; Pali: arahant), in Buddhism, signifies a spiritual practitioner who has realized certain high stages of attainment. The implications of the term vary based on the respective schools and traditions.
http://en.wikipedia.org/wiki/Arhat_(Buddhism) (http://en.wikipedia.org/wiki/Arhat_(Buddhism))
Arahant
Arahant (adj.-- n.) [Vedic arhant, ppr. of arhati (see arahati), meaning deserving, worthy]. Before Buddhism used as honorific title of high officials like the English ʻ His Worship ʼ; at the rise of Buddhism applied popularly to all ascetics (Dial.
http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/search3advanced?dbname=pali&query=arahant&matchtype=exact&display=utf8 (http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/search3advanced?dbname=pali&query=arahant&matchtype=exact&display=utf8)
Iya di wiki koq malah pakai kata arahant yg semula gw kira itu justru bahasa inggrisnya arahat adalah arahant. :-?
Lantas bagaimana dengan kalimat yang sangat terkenal di Theravada seperti ini :
"Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa"
Kalau menurut wiki apakah jadi :
"Namo Tassa Bhagavato ArahaNto Sammasambuddhassa" ? ???
Apakah ada tercantum kata arahant ini di naskah pali yang bukan wiki?
Juga di buku paritta STI hal.78, Namokaratthaka Gatha :
"Namo arahato samma-Sambuddhassa mahesino..."