//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Akar perpecahan  (Read 101019 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Akar perpecahan
« Reply #45 on: 15 December 2009, 01:20:32 PM »
Quote
Apakah akar perpecahan ini didorong pertama kali oleh Devadatta?

Tampaknya tidak ada kaitannya, karena semua sekte menganggap Devadatta sebagai pemecah belah, tidak ada yang menganggap Devadatta itu benar.

 _/\_
The Siddha Wanderer

Maksud saya, apakah aksi Devadatta yang memecah-belah Sangha merupakan cikal-bakal perpecahan di tubuh siswa-siswa Sang Buddha kelak?

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Akar perpecahan
« Reply #46 on: 15 December 2009, 01:26:01 PM »
Quote
Maksud saya, apakah aksi Devadatta yang memecah-belah Sangha merupakan cikal-bakal perpecahan di tubuh siswa-siswa Sang Buddha kelak?

Saya rasa kok tidak juga ya.

Karena waktu itu Devadatta sengaja memecah belah dengan niat busuk.

Sedangkan sekte2 yang terpecah ini, saya kira cuman karena perbedaan pendapat.

Contohnya Arahat Purana yang nggak mau ikut Konsili I, eh ternyata diakui sebagai sesepuh aliran Mahisasaka.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Deva19

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 821
  • Reputasi: 1
Re: Akar perpecahan
« Reply #47 on: 15 December 2009, 02:01:53 PM »
setiap agama besar di duni ini, mesti terpecah menjadi "dua aliran". dan tidak dapat tidak. memang, sekte atau mazhab pada setiap agama lebih banyak jumlahnya dari dua, tetapi hanya ada dua kendaraan besar bagi tiap-tiap agama. sepertinya misalnya di dalam agama Budha terpecah menjadi Mahayana dan Theravada. ada juga aliran lainya, seperti Maitreya. tetapi aliran budhis ini tidak sebanding dengan kebesaran mazhab mahayana dan theravada. oleh karena itu, hanya ada dua kendaraan besar, yakni Mahayana dan Theravada.

dalam agama lain juga begitu. dalam kr****n misalnya, terbagi menjadi dua aliran besar, yakni ka****k dan protestan. dalam Islam ada sunni dan syiah.

tanya, kenapa bisa sama-sama mesti terbagi menjadi dua aliran besar?

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Akar perpecahan
« Reply #48 on: 15 December 2009, 02:10:58 PM »
Quote
Apakah akar perpecahan ini didorong pertama kali oleh Devadatta?

Tampaknya tidak ada kaitannya, karena semua sekte menganggap Devadatta sebagai pemecah belah, tidak ada yang menganggap Devadatta itu benar.

 _/\_
The Siddha Wanderer

Maksud saya, apakah aksi Devadatta yang memecah-belah Sangha merupakan cikal-bakal perpecahan di tubuh siswa-siswa Sang Buddha kelak?

Pertimbangkan juga tentang para bhikkhu yang berselisih , sampai Buddha meninggalkan mereka masuk ke hutan ditemani gajah Parileyyaka

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Akar perpecahan
« Reply #49 on: 15 December 2009, 03:00:21 PM »
 [at] chingik :
kasus di kosambi bukan sanghabheda, karena masing-masing pihak merasa di pihak yang benar
kasus devadatta merupakan sanghabheda, karena devadatta tahu di pihak yang salah
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Akar perpecahan
« Reply #50 on: 15 December 2009, 03:54:10 PM »
[at] chingik :
kasus di kosambi bukan sanghabheda, karena masing-masing pihak merasa di pihak yang benar
kasus devadatta merupakan sanghabheda, karena devadatta tahu di pihak yang salah

apapun juga itu sudah memberi sinyal.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Akar perpecahan
« Reply #51 on: 15 December 2009, 04:17:07 PM »
Saya melihat di luar dari niat buruk Devadatta untuk merebut pamor dari Sang Buddha, perbuatannya memang dilandasi oleh perbedaan pandangan dari Ajaran Sang Buddha.

Misalnya mengenai makanan. Bhikkhu Devadatta tidak setuju dengan Disiplin dari Sang Buddha yang mengizinkan para bhikkhu untuk memakan daging dengan 3 syarat. Menurut Devadatta, seorang bhikkhu seharusnya tidak memakan makanan dari hewani dan menjalani kehidupan bervegetarian. Bhikkhu Devadatta memiliki beberapa perbedaan pandangan dari Sang Buddha, dan ia pun 'memisahkan diri' dari Sang Buddha. Bhikkhu-bhikkhu lain yang menyetujui pandangan Devadatta pun mengikutinya. Dan ini sudah jelas merupakan cikal-bakal terpecahnya Sangha. Di mana bisa kita pahami bahwa saat itu ada 2 pandangan yang muncul ke permukaan di dalam tubuh Sangha.

Memang bukan berarti karena ulah Devadatta maka lahirlah aliran-aliran Buddhis saat ini. Saya tidak menyatakan hal demikian, jadi harap teman-teman tidak menyimpulkan persepsi negatif terhadap komentar saya.

--------------------------

[at] GandalfTheElder, chingik atau teman-teman Mahayanis yang lain...

Saya ingin bertanya kepada siapapun Anda yang bisa memberikan saya jawaban... Sebelumnya, saya tidak bermaksud menyindir atau melakukan pertanyaan kurang ajar. _/\_

Dalam Tipitaka Pali (Theravada), dikisahkan bahwa Sang Buddha dan para bhikkhu masih memakan daging asal dengan tiga syarat. Lalu Bhikkhu Devadatta memprotes dan meminta Sang Buddha mewajibkan para bhikkhu untuk bervegetarian. Sang Buddha menolak tuntutan ini dan memberi kebebasan kepada para bhikkhu untuk tetap memakan daging sesuai dengan 3 syarat, atau memakan makanan hasil olahan nabati saja.

Pertanyaan saya adalah:
- Apakah kisah ini juga ada di Tripitaka Sanskrit (Mahayana)?
- Jika ada, bisa sertakan Sutra lengkap atau link-nya?
- Jika tidak ada, bagaimana komentar Mahayanis terhadap kisah ini?

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Akar perpecahan
« Reply #52 on: 15 December 2009, 05:59:11 PM »
Saya melihat di luar dari niat buruk Devadatta untuk merebut pamor dari Sang Buddha, perbuatannya memang dilandasi oleh perbedaan pandangan dari Ajaran Sang Buddha.

Misalnya mengenai makanan. Bhikkhu Devadatta tidak setuju dengan Disiplin dari Sang Buddha yang mengizinkan para bhikkhu untuk memakan daging dengan 3 syarat. Menurut Devadatta, seorang bhikkhu seharusnya tidak memakan makanan dari hewani dan menjalani kehidupan bervegetarian. Bhikkhu Devadatta memiliki beberapa perbedaan pandangan dari Sang Buddha, dan ia pun 'memisahkan diri' dari Sang Buddha. Bhikkhu-bhikkhu lain yang menyetujui pandangan Devadatta pun mengikutinya. Dan ini sudah jelas merupakan cikal-bakal terpecahnya Sangha. Di mana bisa kita pahami bahwa saat itu ada 2 pandangan yang muncul ke permukaan di dalam tubuh Sangha.

Memang bukan berarti karena ulah Devadatta maka lahirlah aliran-aliran Buddhis saat ini. Saya tidak menyatakan hal demikian, jadi harap teman-teman tidak menyimpulkan persepsi negatif terhadap komentar saya.

--------------------------

[at] GandalfTheElder, chingik atau teman-teman Mahayanis yang lain...

Saya ingin bertanya kepada siapapun Anda yang bisa memberikan saya jawaban... Sebelumnya, saya tidak bermaksud menyindir atau melakukan pertanyaan kurang ajar. _/\_

Dalam Tipitaka Pali (Theravada), dikisahkan bahwa Sang Buddha dan para bhikkhu masih memakan daging asal dengan tiga syarat. Lalu Bhikkhu Devadatta memprotes dan meminta Sang Buddha mewajibkan para bhikkhu untuk bervegetarian. Sang Buddha menolak tuntutan ini dan memberi kebebasan kepada para bhikkhu untuk tetap memakan daging sesuai dengan 3 syarat, atau memakan makanan hasil olahan nabati saja.

Pertanyaan saya adalah:
- Apakah kisah ini juga ada di Tripitaka Sanskrit (Mahayana)?
- Jika ada, bisa sertakan Sutra lengkap atau link-nya?
- Jika tidak ada, bagaimana komentar Mahayanis terhadap kisah ini?

-Kisah ini tidak terdapat dalam Sutra Mahayana. Walaupun demikian, kisah ini tidak diabaikan oleh Mahayana.
Dengan kata lain, ajaran Buddha yang menyangkut dalam Nikaya2 itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kelanjutan menjalani prinsip2 Mahayana .
Mengenai kasus Devadatta, sebenarnya ini sudah cukup clear. Setelah Devadatta terjatuh ke alam neraka, Sariputta membawa pulang para pengikut Devadatta dan memberi wejangan dhamma hingga mereka menjadi "come back" lagi. Saya tidak begitu ingat tepatnya dalam Sutta apa, silahkan dicari, kalo salah mohon koreksi juga.
Devadatta menetapkan aturan vegetarian, lalu menghubung2kannya dengan vegetarianisme dalam Mahayana tentu adalah kesimpulan yang terlalu dipaksakan. Justru tidak ada kaitannya sama sekali. Prinsip pantang daging dalam Mahayana sudah sangat jelas kaitannya dengan persoalan ASPIRASI. Aspirasi apa? Jalan Bodhisatva.
Jalan Bodhisatva ditempuh dengan tujuan Membebaskan semua makhluk hidup. Jalan ini menekankan aspek welas asih kepada semua makhluk hidup dengan melihat semua makhluk hidup sebagai "ibu dan ayah". Atas dasar prinsip ini maka tidak heran aturan pantang daging menjadi penting kedudukannya dlm menjalani aspirasi ini. Karena daging apapun yg walaupun bukan dari hasil pembunuhan kita sendiri tidak akan tega kita makan dgn asumsi "ia" pernah menjadi ayah ibu kita di kehidupan lampau.
Bagi Theravada , menganggap tidak relevan masalah daging dgn jalan kesucian, ini wajar , karena fokus pelatihannya hanya tertuju pada pencapaian kearahatan. Dia tidak perlu merasa "salah" atau "tidak enak hati" ketika menyantap daging, karena tidak ada kaitan dengan tujuannya.

Atas dasar ini, maka Mahayana menerima konsep pantang daging sebagai ajaran yg masuk akal dan sesuai dgn aspirasi jalan bodhisatva, kemudian tidak menentang aturan 3 syarat bila itu hanya ditujukan bagi mereka yg hanya ingin mencapai kearahatan.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Akar perpecahan
« Reply #53 on: 15 December 2009, 07:06:29 PM »
Ya, memang kisah Devadatta itu memang tidak ada dalam Sutra Mahayana, tapi ada dalam Sutra-sutra Sanskrit dari sekte Buddhis yang lebih awal [mis: Sarvastivada, dll].

Namun ada ksiah yang tidak daad alm Kanon Pali. Dalam komentarnya dalam Shurangama Sutra, Master Hsuan Hua menceritakan:
"Maka Sang Buddha mengajarkan para siswa-Nya untuk memakan makanan vegetarian, dan apa yang engkau sangka Devadatta lakukan, dengan pengetahuan dan pandangannya yang menyimpang? Devadatta berpikir, 'Huh! Engkau mengajarkan pengikutmu untuk bervegetarian, bukan? Aku mengajarkan para pengikutku untuk tidak makan garam. Mereka bahkan tidak memakan garam.' Praktek ini juga eksis di Taoisme dan dianggap lebih hebat dari vegetarian murni. Sebenarnya hal itu tidak sejalan dengan Jalan Tengah. Tapi itulah yang dilakukan Devadatta.... Devadatta mengajarkan pengikutnya untuk berpuasa 100 hari, 'Engkau [Buddha] memakan makanan vegetarian? Aku bahkan tidak makan garam. Aku selalu lebih tinggi sedikit dari-Mu.' Ia terus menerus ingin berkompetisi dengan Buddha."

Bahkan Devadatta dikatakan sampai melarang minum susu segala, karena Sang Buddha dalam Sutra-sutra Mahayana masih mengizinkan minum susu. Jadi tentu motivasi Devadatta mengajukan peraturan vegetarian adalah tidak mau kalah dengan Sang Buddha, dan ketika Sang Buddha menetapkan aturan vegetarian, Devadatta tidak mau kalah lagi dengan menetapkan peraturabn tidak boleh makan garam.

Kisah Devbadatta ini juga diketahui oleh Yogi Buddhis Shabkar dari aliran Nyingma/Gelug yang sangat menganjurkan vegetarian:
“Seseorang bisa saja bertanya mengapa Gunaprabha dalam Vinaya Sutra dan mengapa hal tersebut diulang dalam komentar agung Vinaya sutra, bahwa jika para Shravaka meninggalkan daging yang murni dalam tiga cara dan yang dapat dimakan, maka mereka berkelakuan seperti Devadatta. Kita menjawab pertanyaan ini dengan menekankan bahwa Devadatta terus menerus iri hati terhadap Sang Buddha…. Ia membuat peraturan yang tampak lebih welas asih daripada peraturan yang dibuat oleh Sang Buddha. Dengan cara yang sama, apabila kita ingin dihormati dan iri terhadap yang lain, berusaha untuk tampil lebih baik daripada mereka, tentu kita bertindak seperti Devadatta. Namun adalah cukup keliru untuk membandingkan Devadatta dengan mereka yang tidak makan daging dan seterusnya disebabkan karena welas asih yang tulus, yang tidak berharap untuk menyakiti hewan secara langsung maupun tak langsung. Orang-orang seperti itu bagaikan Sang Buddha sendiri.” (Food for Bodhisattvas)

“Ia (Devadatta) berusaha mempermalukan Sang Bhagava, berkata bahwa Ia (Buddha) memakan daging, sedangkan ia (Devadatta) tidak. Faktanya, Devadatta memakan daging secara sembunyi-sembunyi, meskipun di depan yang lain ia bahkan menolak daging yang murni dalam tiga cara.” (Food for Bodhisattvas)

Jadi perbedaan antara Devadatta dengan Buddha Sakyamuni dalam menetapkan aturan vegetarian adalah MOTIVASINYA.

Sutra-sutra Mahayana seperti Mahaparinirvana Sutra, Shurangama Sutra dan Lankavatara Sutra semuanya mengakui bahwa Sang Buddha pernah memebrikan aturan 3 daging murni, namun kemudian Sang Buddha menganjurkan praktik vegetarian sebagai perkembangan dari aturan tersebut. YA Bhavaviveka, bhiksu Mahayana Madhyamika yang terkemuka, juga sangat mendukung aturan 3 daging murni.

 _/\_
The Siddha Wanderer

« Last Edit: 15 December 2009, 07:10:43 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Akar perpecahan
« Reply #54 on: 15 December 2009, 10:19:54 PM »
Ya, memang kisah Devadatta itu memang tidak ada dalam Sutra Mahayana, tapi ada dalam Sutra-sutra Sanskrit dari sekte Buddhis yang lebih awal [mis: Sarvastivada, dll].

Namun ada ksiah yang tidak daad alm Kanon Pali. Dalam komentarnya dalam Shurangama Sutra, Master Hsuan Hua menceritakan:
"Maka Sang Buddha mengajarkan para siswa-Nya untuk memakan makanan vegetarian, dan apa yang engkau sangka Devadatta lakukan, dengan pengetahuan dan pandangannya yang menyimpang? Devadatta berpikir, 'Huh! Engkau mengajarkan pengikutmu untuk bervegetarian, bukan? Aku mengajarkan para pengikutku untuk tidak makan garam. Mereka bahkan tidak memakan garam.' Praktek ini juga eksis di Taoisme dan dianggap lebih hebat dari vegetarian murni. Sebenarnya hal itu tidak sejalan dengan Jalan Tengah. Tapi itulah yang dilakukan Devadatta.... Devadatta mengajarkan pengikutnya untuk berpuasa 100 hari, 'Engkau [Buddha] memakan makanan vegetarian? Aku bahkan tidak makan garam. Aku selalu lebih tinggi sedikit dari-Mu.' Ia terus menerus ingin berkompetisi dengan Buddha."

Bahkan Devadatta dikatakan sampai melarang minum susu segala, karena Sang Buddha dalam Sutra-sutra Mahayana masih mengizinkan minum susu. Jadi tentu motivasi Devadatta mengajukan peraturan vegetarian adalah tidak mau kalah dengan Sang Buddha, dan ketika Sang Buddha menetapkan aturan vegetarian, Devadatta tidak mau kalah lagi dengan menetapkan peraturabn tidak boleh makan garam.

Kisah Devbadatta ini juga diketahui oleh Yogi Buddhis Shabkar dari aliran Nyingma/Gelug yang sangat menganjurkan vegetarian:
“Seseorang bisa saja bertanya mengapa Gunaprabha dalam Vinaya Sutra dan mengapa hal tersebut diulang dalam komentar agung Vinaya sutra, bahwa jika para Shravaka meninggalkan daging yang murni dalam tiga cara dan yang dapat dimakan, maka mereka berkelakuan seperti Devadatta. Kita menjawab pertanyaan ini dengan menekankan bahwa Devadatta terus menerus iri hati terhadap Sang Buddha…. Ia membuat peraturan yang tampak lebih welas asih daripada peraturan yang dibuat oleh Sang Buddha. Dengan cara yang sama, apabila kita ingin dihormati dan iri terhadap yang lain, berusaha untuk tampil lebih baik daripada mereka, tentu kita bertindak seperti Devadatta. Namun adalah cukup keliru untuk membandingkan Devadatta dengan mereka yang tidak makan daging dan seterusnya disebabkan karena welas asih yang tulus, yang tidak berharap untuk menyakiti hewan secara langsung maupun tak langsung. Orang-orang seperti itu bagaikan Sang Buddha sendiri.” (Food for Bodhisattvas)

“Ia (Devadatta) berusaha mempermalukan Sang Bhagava, berkata bahwa Ia (Buddha) memakan daging, sedangkan ia (Devadatta) tidak. Faktanya, Devadatta memakan daging secara sembunyi-sembunyi, meskipun di depan yang lain ia bahkan menolak daging yang murni dalam tiga cara.” (Food for Bodhisattvas)

Jadi perbedaan antara Devadatta dengan Buddha Sakyamuni dalam menetapkan aturan vegetarian adalah MOTIVASINYA.

Sutra-sutra Mahayana seperti Mahaparinirvana Sutra, Shurangama Sutra dan Lankavatara Sutra semuanya mengakui bahwa Sang Buddha pernah memebrikan aturan 3 daging murni, namun kemudian Sang Buddha menganjurkan praktik vegetarian sebagai perkembangan dari aturan tersebut. YA Bhavaviveka, bhiksu Mahayana Madhyamika yang terkemuka, juga sangat mendukung aturan 3 daging murni.

 _/\_
The Siddha Wanderer

Bisakah Anda memberikan referensi / link salah satu Sutra-sutra Sankrit dari Buddhis awal seperti Sarvastivada itu di sini?

Ya, betul. Sebagian besar Sutra di Kanon Sanskrit tidak ada di Kanon Pali. Apalagi kitab komentar Sanskritnya.

Hmm.. Karena ini masih Board Mahayana, saya ingin bertanya. Jadi jika seseorang mengambil Jalan Bodhisattva, apakah aspirasi ini sebaiknya dipraktikkan juga dalam wujud tidak mengonsumsi susu dan bawang-bawangan?

Petikan "Food for Bodhisattvas" yang Anda sertakan itu diambil dari referensi mana yah?

Iya. Saya sudah paham sejak awal bahwa ada perbedaan jauh dalam motivasi bervegetarian antara Jalan Bodhisattva dengan tuntutan Devadatta.

Jadi menurut Mahayana, apakah kisah yang tercantum di dalam Vinaya Kanon Pali ini akurat atau tidak? Jika iya, maka ada yang aneh bila Sang Buddha tidak menegur Devadatta sehubungan dengan aspirasi Bodhisatta di dalam Kanon Pali. Jika tidak, maka kisah Devadatta versi Mahayana pastilah berbeda dengan kisah Devadatta di Theravada.

Jika memang kisah Devadatta ini pernah terjadi, maka ini adalah peristiwa yang penting dalam sejarah perkembangan Buddhisme. Ada hal yang aneh apabila peristiwa penting yang mengguncang keharmonisan tubuh Sangha (seperti yang dikatakan Bro chingik) ini justru tidak tercantum dalam Tripitaka - Kanon Sanskrit. Apalagi jika memang tidak terdapat di Tripitaka, maka Tripitaka sangat sulit untuk dijadikan referensi otentik sejarah Buddhisme. Karena profil salah satu orang penting, yakni Devadatta, dalam perjalanan Buddhadhamma saja tidak tercantum. Dan saya pikir, masih banyak biografi para figur penting di zaman Sang Buddha dulu yang tidak tercantum jelas di Tripitaka. Lantas kalau memang begini, saya pikir memang ada motivasi yang berbeda antara penulis Tipitaka (Pali) dengan Tripitaka (Sanskrit)...
« Last Edit: 15 December 2009, 10:47:30 PM by upasaka »

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Akar perpecahan
« Reply #55 on: 15 December 2009, 10:20:06 PM »
-Kisah ini tidak terdapat dalam Sutra Mahayana. Walaupun demikian, kisah ini tidak diabaikan oleh Mahayana.
Dengan kata lain, ajaran Buddha yang menyangkut dalam Nikaya2 itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kelanjutan menjalani prinsip2 Mahayana .
Mengenai kasus Devadatta, sebenarnya ini sudah cukup clear. Setelah Devadatta terjatuh ke alam neraka, Sariputta membawa pulang para pengikut Devadatta dan memberi wejangan dhamma hingga mereka menjadi "come back" lagi. Saya tidak begitu ingat tepatnya dalam Sutta apa, silahkan dicari, kalo salah mohon koreksi juga.
Devadatta menetapkan aturan vegetarian, lalu menghubung2kannya dengan vegetarianisme dalam Mahayana tentu adalah kesimpulan yang terlalu dipaksakan. Justru tidak ada kaitannya sama sekali. Prinsip pantang daging dalam Mahayana sudah sangat jelas kaitannya dengan persoalan ASPIRASI. Aspirasi apa? Jalan Bodhisatva.
Jalan Bodhisatva ditempuh dengan tujuan Membebaskan semua makhluk hidup. Jalan ini menekankan aspek welas asih kepada semua makhluk hidup dengan melihat semua makhluk hidup sebagai "ibu dan ayah". Atas dasar prinsip ini maka tidak heran aturan pantang daging menjadi penting kedudukannya dlm menjalani aspirasi ini. Karena daging apapun yg walaupun bukan dari hasil pembunuhan kita sendiri tidak akan tega kita makan dgn asumsi "ia" pernah menjadi ayah ibu kita di kehidupan lampau.
Bagi Theravada , menganggap tidak relevan masalah daging dgn jalan kesucian, ini wajar , karena fokus pelatihannya hanya tertuju pada pencapaian kearahatan. Dia tidak perlu merasa "salah" atau "tidak enak hati" ketika menyantap daging, karena tidak ada kaitan dengan tujuannya.

Atas dasar ini, maka Mahayana menerima konsep pantang daging sebagai ajaran yg masuk akal dan sesuai dgn aspirasi jalan bodhisatva, kemudian tidak menentang aturan 3 syarat bila itu hanya ditujukan bagi mereka yg hanya ingin mencapai kearahatan.

For youth info, kisah Devadatta yang melontarkan tuntutan-tuntutan kepada Sang Buddha ini terdapat dalam Vinaya di Tipitaka (Pali), bukan di Sutta.

Kronologis yang benar adalah "Sariputta menyadarkan kembali hampir semua bhikkhu yang mengikuti Devadatta untuk kembali ke Sang Buddha". Tapi yang menjadi poin peninjauan saya, mungkin saja "radiasi" Devadatta menyebar ke dalam tubuh Sangha secara kasat mata. Apalagi dalam Mahaparinibbana Sutta, Bhikkhu Subbhada terlihat sebagai seorang bhikkhu yang berpotensi untuk mengakibatkan perbedaan visi-misi dan perpecahan di dalam Sangha.

Saya tidak menghubung-hubungkan tuntutan vegetarian dari Devadatta dengan aspirasi Bodhisattva di Mahayana. Harap jangan salah paham. Coba Anda cermati lagi postingan saya sebelumnya. Jika Anda berspekulasi seperti ini, maka ini menunjukkan betapa sensitifnya Anda; seolah Anda merasa didiskreditkan oleh saya. :)

Mengenai aspirasi Bodhisattva saya tidak ingin membahasnya di sini. Saya sudah tahu alasan aspirasi ini. Dan dalam konteks ini tidak ada kaitannya dengan tuntutan Devadatta.

Bagi umat Theravadin, fokus utamanya adalah mengakhiri dukkha. Karena dukkha bisa diakhiri dengan mencabut sebabnya, dan jalan untuk mencabut sebab dukkha ini dibabarkan oleh Sang Buddha, maka umat Theravadin sebagian besar mengambil jalan Savaka Buddha. Tetapi ada beberapa umat Theravadin yang mengambil jalan Sammasambodhi, misalnya Bhikkhu Narada. Dalam Tipitaka (Pali) terdapat Buddhavamsa, yakni Riwayat Agung Sang Buddha. Salah satu poin yang ingin disampaikan dalam kitab ini adalah kemuliaan seorang Sammasambodhi dalam merealisasi cita-cita menjadi Sammasambuddha. Karena itu, dalam Theravada sendiri pun terdapat pesan dan amanat untuk mengambil jalan Sammasambodhi. Tetapi tidak banyak yang mengambil jalan ini. Berbeda dengan Mahayana yang kesemuanya mengambil jalan Samyaksambodhi, dan bila ada umat Mahayanis yang mengambil jalan Savaka atau Pacceka; maka ia dianggap sebagai hina. Salah satu nilai positif lain dari Theravada; Anda bisa mengambil jalan Sammasambodhi sesuai versi Theravada yang universal. Karena itu, aspirasi Bodhisattva untuk tidak memakan daging sebenarnya hanyalah wacana yang dilontarkan dari kelompok Mahayana untuk memarginalkan Hinayana.

Tapi sudahlah, saya sedang tidak ingin mengadakan diskusi kritis mengena Mahayana...
« Last Edit: 15 December 2009, 10:48:00 PM by upasaka »

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Akar perpecahan
« Reply #56 on: 15 December 2009, 11:31:55 PM »
Quote
For youth info, kisah Devadatta yang melontarkan tuntutan-tuntutan kepada Sang Buddha ini terdapat dalam Vinaya di Tipitaka (Pali), bukan di Sutta.

Kronologis yang benar adalah "Sariputta menyadarkan kembali hampir semua bhikkhu yang mengikuti Devadatta untuk kembali ke Sang Buddha". Tapi yang menjadi poin peninjauan saya, mungkin saja "radiasi" Devadatta menyebar ke dalam tubuh Sangha secara kasat mata. Apalagi dalam Mahaparinibbana Sutta , Bhikkhu Subbhada terlihat sebagai seorang bhikkhu yang berpotensi untuk mengakibatkan perbedaan visi-misi dan perpecahan di dalam Sangha.

Saya tidak menghubung-hubungkan tuntutan vegetarian dari Devadatta dengan aspirasi Bodhisattva di Mahayana. Harap jangan salah paham. Coba Anda cermati lagi postingan saya sebelumnya. Jika Anda berspekulasi seperti ini, maka ini menunjukkan betapa sensitifnya Anda; seolah Anda merasa didiskreditkan oleh saya.

Mengenai aspirasi Bodhisattva saya tidak ingin membahasnya di sini. Saya sudah tahu alasan aspirasi ini. Dan dalam konteks ini tidak ada kaitannya dengan tuntutan Devadatta.

Bagi umat Theravadin, fokus utamanya adalah mengakhiri dukkha. Karena dukkha bisa diakhiri dengan mencabut sebabnya, dan jalan untuk mencabut sebab dukkha ini dibabarkan oleh Sang Buddha, maka umat Theravadin sebagian besar mengambil jalan Savaka Buddha. Tetapi ada beberapa umat Theravadin yang mengambil jalan Sammasambodhi, misalnya Bhikkhu Narada. Dalam Tipitaka (Pali) terdapat Buddhavamsa, yakni Riwayat Agung Sang Buddha. Salah satu poin yang ingin disampaikan dalam kitab ini adalah kemuliaan seorang Sammasambodhi dalam merealisasi cita-cita menjadi Sammasambuddha. Karena itu, dalam Theravada sendiri pun terdapat pesan dan amanat untuk mengambil jalan Sammasambodhi. Tetapi tidak banyak yang mengambil jalan ini. Berbeda dengan Mahayana yang kesemuanya mengambil jalan Samyaksambodhi, dan bila ada umat Mahayanis yang mengambil jalan Savaka atau Pacceka; maka ia dianggap sebagai hina. Salah satu nilai positif lain dari Theravada; Anda bisa mengambil jalan Sammasambodhi sesuai versi Theravada yang universal. Karena itu, aspirasi Bodhisattva untuk tidak memakan daging sebenarnya hanyalah wacana yang dilontarkan dari kelompok Mahayana untuk memarginalkan Hinayana.

Tapi sudahlah, saya sedang tidak ingin mengadakan diskusi kritis mengena Mahayana...

Tidak menhubung2kan tuntutan vege dari Devadatta dengan aspirasi Bodhisatva, lalu apa poin yg ingin anda sampaikan dgn pertanyaan itu?
Saya sama sekali tidak berpikiran ttg diskredit dari bro. hehe..
Dalam Mahayana, Mahayanis yg mengambil jalan Savaka tidak dianggap hina , silahkan lihat sendiri setiap awal Sutra Mahayana selalu memuji para siswa savaka yang telah mencapai kearahatan. Yang memberi nilai kurang pada beberapa siswa savaka adalah saat mereka tidak mau mengambil jalan bodhisatva, karena mereka menganggap tidak ada yg perlu mereka lakukan lagi toh sudah mengakhiri dukkha. Dalam hal ini, wajar saja dari perspektif keseluruhan tahapan pelatihan dharma (menurut konteks Mahayana) akan melihat orang yg menampikkan jalur yg lebih tinggi sebagai yg rendah. Sama seperti orang yang hidup brahmachariya akan melihat para perumah tangga sebagai pola hidup yg "kotor" , ini cara pandang yg alami. Sama seperti orang yg menempuh jalan ARahat akan melihat orang yg mencari pemuasan nafsu indera sebagai jalan yg tidak semulia mereka. Atau sama juga saat orang yang hidup dalam dhamma akan melihat orang yg hidup adhamma sebagai yg berada diposisi rendah.     


Tidak ada salah dgn memarginalkan hinayana apabila memang jalan hinayana itu tidak pantas ditempuh. Jangan lupa hinayana yg dimaksud bukan Theravada. Karena anda sendiri sudah tahu Theravada mengajarkan jalan bodhisatva juga dlm Buddhavamsa .

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Akar perpecahan
« Reply #57 on: 16 December 2009, 12:49:36 AM »
Tidak menhubung2kan tuntutan vege dari Devadatta dengan aspirasi Bodhisatva, lalu apa poin yg ingin anda sampaikan dgn pertanyaan itu?
Saya sama sekali tidak berpikiran ttg diskredit dari bro. hehe..
Dalam Mahayana, Mahayanis yg mengambil jalan Savaka tidak dianggap hina , silahkan lihat sendiri setiap awal Sutra Mahayana selalu memuji para siswa savaka yang telah mencapai kearahatan. Yang memberi nilai kurang pada beberapa siswa savaka adalah saat mereka tidak mau mengambil jalan bodhisatva, karena mereka menganggap tidak ada yg perlu mereka lakukan lagi toh sudah mengakhiri dukkha. Dalam hal ini, wajar saja dari perspektif keseluruhan tahapan pelatihan dharma (menurut konteks Mahayana) akan melihat orang yg menampikkan jalur yg lebih tinggi sebagai yg rendah. Sama seperti orang yang hidup brahmachariya akan melihat para perumah tangga sebagai pola hidup yg "kotor" , ini cara pandang yg alami. Sama seperti orang yg menempuh jalan ARahat akan melihat orang yg mencari pemuasan nafsu indera sebagai jalan yg tidak semulia mereka. Atau sama juga saat orang yang hidup dalam dhamma akan melihat orang yg hidup adhamma sebagai yg berada diposisi rendah.     


Tidak ada salah dgn memarginalkan hinayana apabila memang jalan hinayana itu tidak pantas ditempuh. Jangan lupa hinayana yg dimaksud bukan Theravada. Karena anda sendiri sudah tahu Theravada mengajarkan jalan bodhisatva juga dlm Buddhavamsa .


Poin yang saya tanyakan itu adalah: "Bagaimana menurut teman-teman, apakah aksi Devadatta yang memecah-belah Sangha itu membawa dampak hingga pengkristalan aliran Mahayana dan aliran Theravada?"

Jika "iya", maka apa alasannya; jika "tidak", maka apa alasannya.
Hanya sesederhana itu.

Saya jadi gak enak neh Bro chingik jadi berpikiran ke arah sana... :)

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Akar perpecahan
« Reply #58 on: 16 December 2009, 02:30:39 AM »
Tidak menhubung2kan tuntutan vege dari Devadatta dengan aspirasi Bodhisatva, lalu apa poin yg ingin anda sampaikan dgn pertanyaan itu?
Saya sama sekali tidak berpikiran ttg diskredit dari bro. hehe..
Dalam Mahayana, Mahayanis yg mengambil jalan Savaka tidak dianggap hina , silahkan lihat sendiri setiap awal Sutra Mahayana selalu memuji para siswa savaka yang telah mencapai kearahatan. Yang memberi nilai kurang pada beberapa siswa savaka adalah saat mereka tidak mau mengambil jalan bodhisatva, karena mereka menganggap tidak ada yg perlu mereka lakukan lagi toh sudah mengakhiri dukkha. Dalam hal ini, wajar saja dari perspektif keseluruhan tahapan pelatihan dharma (menurut konteks Mahayana) akan melihat orang yg menampikkan jalur yg lebih tinggi sebagai yg rendah. Sama seperti orang yang hidup brahmachariya akan melihat para perumah tangga sebagai pola hidup yg "kotor" , ini cara pandang yg alami. Sama seperti orang yg menempuh jalan ARahat akan melihat orang yg mencari pemuasan nafsu indera sebagai jalan yg tidak semulia mereka. Atau sama juga saat orang yang hidup dalam dhamma akan melihat orang yg hidup adhamma sebagai yg berada diposisi rendah.    


Tidak ada salah dgn memarginalkan hinayana apabila memang jalan hinayana itu tidak pantas ditempuh. Jangan lupa hinayana yg dimaksud bukan Theravada. Karena anda sendiri sudah tahu Theravada mengajarkan jalan bodhisatva juga dlm Buddhavamsa .


Poin yang saya tanyakan itu adalah: "Bagaimana menurut teman-teman, apakah aksi Devadatta yang memecah-belah Sangha itu membawa dampak hingga pengkristalan aliran Mahayana dan aliran Theravada?"

Jika "iya", maka apa alasannya; jika "tidak", maka apa alasannya.
Hanya sesederhana itu.

Saya jadi gak enak neh Bro chingik jadi berpikiran ke arah sana... :)

Oh tentu saja tidak. Pertama-tama harus dikaji secara cermat dulu bahwa Mahayana dan Theravada tidak dalam posisi "saling berhadapan". Bahkan kita harus mengakui bahwa justru yg saling berhadapan itu adalah perpecahan dalam tubuh sebelum Theravada sendiri menjadi beberapa sekte, dan perpecahan dalam tubuh sblm adanya Mahayana sendiri yg juga menjadi beberapa sekte. Jika melihat fenomena ini, maka kasus Devadatta menjadi tidak relevan lagi.
Saya sendiri menilai bahwa Mahayana bukanlah semata-mata dari perkembangan Mahasanghika. Mahayana muncul sbg gerakan reformis utk merekonsiliasi semua aliran sekte. Ini terlihat jelas dalam sistem pembelajaran kaum Mahayanis, semua kitab aliran dari berbagai sekte dihimpun dan dipelajari.  
Bukti nyata adalah kumpulan Tripitaka Tiongkok. Sutra dan vinaya dihimpun dari sekte Dharmaguptaka, Sarvastivada, Mahasanghika, Kasyapiya, dan Theravada.

Dalam Mahayana ada lebih dari 30 Sutra yg menyangkut pantang daging. Tokoh yg cukup menonjol mewakili pola hidup pantang daging adalah Maitreya. Menurut mahayana, Maitreya telah pernah bertekad menghindari makanan daging sejak berkalpa-kalpa lalu ketika mengumpulkan parami nya. Kemudian disebutkan Maitreya setelah menjadi Buddha akan menetapkan disiplin pantang makan daging secara langsung tanpa melalui tahapan seperti yg dilakukan Buddha Sakyamuni. Banyak Sutra2 yg menyinggung pantang daging dari berbagai sudut pandang yg menggambarkan karakteristik Mahayana, tidak terlihat seperti dibuat-buat , karena memang sangat selaras dgn aspirasi yg telah sy jelaskan sebelumnya, apalagi dikaitkan dgn kasus Devadatta, ini menjadi sangat absurd. Jika demikian, bhikkhu yg tinggal dibawah pohon apakah lalu dianggap mengikuti Devadatta juga, kan terlalu dipaksakan. 
 
 

« Last Edit: 16 December 2009, 02:35:08 AM by chingik »

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Akar perpecahan
« Reply #59 on: 16 December 2009, 07:45:33 AM »
Quote
Bisakah Anda memberikan referensi / link salah satu Sutra-sutra Sankrit dari Buddhis awal seperti Sarvastivada itu di sini?

Ya, betul. Sebagian besar Sutra di Kanon Sanskrit tidak ada di Kanon Pali. Apalagi kitab komentar Sanskritnya.

1] Sramana Gautama menggunakan keju dan susu, maka kita tidak akan menggunakannya, karena melakukannya akan menyakiti para sapi, 2] Sramana Gautama menggunakan daging-dagingan, tapi kita tidak akan memakannya, karena jika dilakukan, para makhluk hidup akan mati terbunuh, 3] Sramana Gautama menggunakan garam, tetapi kita tidak akan menggunakannya karena diproduksi dari air asin, 4] Sramana Gautama menggunakan jubah dengan rumbai terpotong, namun kita akan memakai jubah dengan rumbai panjang, karena dengan tindakannya kinerja dari sang penjahit dihancurkan 5] Sramana Gautama hidup di alam liar, tetapi kita akan tinggal di desa-desa, karena tindakannya seseorang tidak dapat berdana (Mulasarvastivada Vinaya [dul-ba] 289a-b)

The Sarvāstivāda Vinaya describes Devadatta causing schism by stating his ‘5 points’ (a monk should wear discarded robes, live on alms, eat one meal only, live outside, and not eat fish or meat)
(Sects and Sectarianism - Bhante Sujato)

Dan sebenarnya Mahayana juga menyebutkan bahwa ada usaha memecah belah dari Devadatta:

"Atau pelanggaran Devadatta yang berusaha memecah belah Sangha" (Saddharmapundarika Sutra bab Dharani)

Quote
Hmm.. Karena ini masih Board Mahayana, saya ingin bertanya. Jadi jika seseorang mengambil Jalan Bodhisattva, apakah aspirasi ini sebaiknya dipraktikkan juga dalam wujud tidak mengonsumsi susu dan bawang-bawangan?

Dalam Lankavatara Sutra dan Mahaparinirvana Sutra, susu, ghee dianggap makanan dan minuman yang masih pantas bagi jalan Bodhisattva dan diperbolehkan, bahkan dianjurkan.

Bawang-bawangan dilarang dalam semua Sutra Mahayana, namun seperti yang Ven. Chin Kung bilang kalau cuma mengonsumsi sedikit untuk masakan ya tidak apa-apa.

Quote
Petikan "Food for Bodhisattvas" yang Anda sertakan itu diambil dari referensi mana yah?

Itu adalah karya Shabkar Yogi sendiri yang sudah ada terjemahan Inggrisnya.

Quote
Iya. Saya sudah paham sejak awal bahwa ada perbedaan jauh dalam motivasi bervegetarian antara Jalan Bodhisattva dengan tuntutan Devadatta.

Ok.  :)

Quote
Jadi menurut Mahayana, apakah kisah yang tercantum di dalam Vinaya Kanon Pali ini akurat atau tidak? Jika iya, maka ada yang aneh bila Sang Buddha tidak menegur Devadatta sehubungan dengan aspirasi Bodhisatta di dalam Kanon Pali. Jika tidak, maka kisah Devadatta versi Mahayana pastilah berbeda dengan kisah Devadatta di Theravada.

Perbedaan pasti ada, tatapi tetap saja Mahayana mengakui bahwa Devadatta berusaha memecah belah Sangha dengan 5 peraturannya.

Quote
Jika memang kisah Devadatta ini pernah terjadi, maka ini adalah peristiwa yang penting dalam sejarah perkembangan Buddhisme. Ada hal yang aneh apabila peristiwa penting yang mengguncang keharmonisan tubuh Sangha (seperti yang dikatakan Bro chingik) ini justru tidak tercantum dalam Tripitaka - Kanon Sanskrit. Apalagi jika memang tidak terdapat di Tripitaka, maka Tripitaka sangat sulit untuk dijadikan referensi otentik sejarah Buddhisme. Karena profil salah satu orang penting, yakni Devadatta, dalam perjalanan Buddhadhamma saja tidak tercantum. Dan saya pikir, masih banyak biografi para figur penting di zaman Sang Buddha dulu yang tidak tercantum jelas di Tripitaka. Lantas kalau memang begini, saya pikir memang ada motivasi yang berbeda antara penulis Tipitaka (Pali) dengan Tripitaka (Sanskrit)...

Ada yang aneh dalam pemahaman anda. Apakah kisah yang ada di Vinaya harus ada di Sutta dan kisah di Sutta harus ada di Vinaya? Apakah kisah Ittivuttaka harus ada juga di kitab Udana? Apakah kisah dalam Jataka harus ada di kitab Tantra?

Demikian juga apa yang ditulis di Sutra Sanskrit Shravakayana tidak pasti selalu ada di Sutra Sanskrit Mahayana. Dan dalam kanon Mahayana sendiri, Sutra / Vinaya Sanskrit Shravakayana itu juga dimasukkan dalam Tripitaka sebagai sutra yang diakui, seperti Mulasarvastivada Vinaya yang saya sebut di atas.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

 

anything