//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Khotbah Buddha kepada Rahula  (Read 6216 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Khotbah Buddha kepada Rahula
« on: 17 May 2010, 11:57:58 PM »
Tathāgata memberikan cukup banyak khotbah kepada Rāhula, yaitu:
(1)   Sāmaṇera Pañhā
(2)   Aṁbalaṭṭhika Rāhulovāda Sutta
(3)   Abhiṇha Rāhulovāda Sutta
(4)   Rāhula Saṁyutta
(5)   Mahā Rāhulovāda Sutta
(6)   Cūḷā Rāhulovāda Sutta
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Samanera Panha
« Reply #1 on: 18 May 2010, 12:01:45 AM »
Sāmaṇera Pañhā diajarkan untuk menghindari perkataan salah (hal-hal yang tidak bermanfaat dalam mencapai Jalan dan Buahnya).

Setelah menahbiskan Rāhula sebagai seorang sāmaṇera, Tathāgata mempertimbangkan, “Anak muda cenderung untuk berbicara tanpa memperhitungkan kesopanan kata-kata dan apakah kata-katanya dapat dipercaya; oleh karena itu, Rāhula yang masih sangat muda sebaiknya diberi nasihat dan petunjuk.” Ia memanggilnya dan berkata, “Putra-Ku Rāhula, sāmaṇera harus menghindari diri dari membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan Jalan dan Buah Ariya; Putra-Ku Rāhula, engkau harus berbicara hanya hal-hal yang sesuai dengan Jalan dan Buahnya.”

Tathāgata kemudian melanjutkan memberikan khotbah ‘Sāmaṇera Pañhā’ saat Rāhula berusia tujuh tahun, mengikuti tradisi Buddha-Buddha sebelumnya. Khotbah ini disampaikan dalam bentuk tanya-jawab, berisi Dhamma sederhana yang cocok untuk para sāmaṇera, yang disajikan berurutan dengan pokok-pokok Dhamma dari satu hingga sepuluh.

PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DIJAWAB OLEH SAMANERA
(Samanera Panha) juga dikenal sebagai kumārapañhā

Satu itu apa? Semua makhluk bergantung hidup pada makanan.
Dua itu apa? Mentalitas dan materialitas.
Tiga itu apa? Tiga jenis perasaan.
Empat itu apa? Empat Kebenaran Mulia.
Lima itu apa? Lima gugus kemelekatan.
Enam itu apa? Enam landasan indria.
Tujuh itu apa? Tujuh Faktor Pencerahan.
Delapan itu apa? Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Sembilan itu apa? Sembilan kediaman makhluk.
Sepuluh itu apa? Barangsiapa yang memiliki sepuluh atribut disebut Arahat.


Penjelasan:: ShowHide
2. Mentalitas dan Materialitas (keseluruhan fenomena yang disadari oleh kesadaran).
Mentalitas: kontak, perasaan, ingatan, pertimbangan, bentukan kehendak.
Materialitas: unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur angin yang mewakili sifat dunia fisik.

3. Perasaan menyenangkan, Perasaan tidak menyenangkan, dan Perasaan netral.

4. Kebenaran Mulia tentang derita, Kebenaran Mulia tentang asal mula derita, Kebenaran Mulia tentang musnahnya derita, Kebenaran Mulia tentang jalan menuju musnahnya derita.

5. Jasmani, [Batin:] Perasaan, Ingatan, Bentukan kehendak, dan Kesadaran.

6. Landasan mata, landasan telinga, landasan hidung, landasan lidah, landasan tubuh jasmani, landasan pikiran.

7. Perhatian murni, Penyelidikan terhadap faktor batin, Semangat, Kegiuran, Ketenangan, Konsentrasi, Keseimbangan batin.

8. Pandangan benar, Pikiran benar, Ucapan benar, Perbuatan benar, Penghidupan benar, Daya upaya benar, Perhatian benar, Keteguhan batin benar.

9. Ada tujuh bidang kesadaran dan dua alam.
[Tujuh bidang kesadaran adalah:]
1.   Ada makhluk-makhluk yang berbeda dalam jasmani dan berbeda dalam persepsi, spt: manusia, beberapa dewa dan beberapa yang berada di alam sengsara. Ini adalah bidang pertama kesadaran.
2.   Ada makhluk-makhluk yang berbeda dalam jasmani dan sama dalam persepsi, spt: para dewa pengikut Brahmà, terlahir di sana [karena telah mencapai] jhàna pertama.
3.   Ada makhluk-makhluk yang sama dalam jasmani dan berbeda dalam persepsi, spt: para Dewa Abhassara.
4.   Ada makhluk-makhluk yang sama dalam jasmani dan sama dalam persepsi, spt: para Dewa Subhakinna.
5.   Ada makhluk-makhluk yang telah melampaui secara total semua persepsi materi, dengan melenyapkan persepsi reaksi indria dan dengan tanpa-perhatian terhadap persepsi yang beraneka ragam; berpikir:  “Ruang adalah tanpa batas”, mereka telah mencapai alam Ruang Tanpa Batas.
6.   Ada makhluk-makhluk yang, dengan melampaui alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas”, telah mencapai alam Kesadaran Tanpa Batas.
7.   Ada makhluk-makhluk yang, dengan melampaui alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apapun”, telah mencapai alam Kekosongan.
[Dua alam adalah:]
8.   Alam makhluk-makhluk tanpa kesadaran, dan,
9.   Alam Bukan Persepsi juga bukan Bukan-Persepsi.’

10. Pandangan benar, Pikiran benar, Ucapan benar, Perbuatan benar, Penghidupan benar, Daya upaya benar, Perhatian benar, Keteguhan batin benar, Pengetahuan benar (Samma Ñāṇa), dan Pembebasan benar (Samma Vimutti).


 _/\_
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline ciputras

  • Teman
  • **
  • Posts: 60
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
Re: Khotbah Buddha kepada Rahula
« Reply #2 on: 19 May 2010, 10:30:17 AM »
Tathāgata kemudian melanjutkan memberikan khotbah ‘Sāmaṇera Pañhā’ saat Rāhula berusia tujuh tahun, mengikuti tradisi Buddha-Buddha sebelumnya. Khotbah ini disampaikan dalam bentuk tanya-jawab, berisi Dhamma sederhana yang cocok untuk para sāmaṇera, yang disajikan berurutan dengan pokok-pokok Dhamma dari satu hingga sepuluh.

Hallo Sis Yi Fang,

Setelah membaca posting ini, saya quote bagian yang hendak saya tanyakan. Kebetulan saya membaca Khuddakapatha terjemahan Bu Lanny dan Bu Wena terbitan Wisma Sambodhi. Kemudian saya juga cari di internet apakah benar seperti yang saya baca dalam Khuddakapatha tersebut. Berikut saya copas dari AccessToInsight (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/khp/khp.1-9x.piya.html#khp-4) pada bagian notes dari Samanera Panha:

"The novice referred to here is the seven-year old Sopaka. He was questioned by the Buddha. It is not a matter for surprise that a child of such tender years can give profound answers to these questions. One has heard of infant prodigies. (See Encyclopaedia Britannica. Inc., 1955, II. p. 389. Also read The Case for Rebirth, Francis Story, Wheel 12-13, Buddhist Publication Society, Kandy, Sri Lanka.)"

Maaf, dalam bahasa Inggris. Di sana tertulis bahwa tanya jawab dengan samanera (samanera panha) yang dimaksud dengan samanera di sana adalah Sopaka seorang siswa yang masih berusia 7 tahun. Dalam tulisan Sis Yi Fang disebutkan bahwa khotbah diberikan saat Rahula berusia tujuh tahun. Yang menjadi pertanyaan, mana yang benar ya? Terima kasih sebelumnya.

 _/\_
Buddha said to his followers:
"cetanaham bhikkhave kammam vadami" - "The intention, monks, is what I maintain to be the action."
Ajahn Lee : "An evil intention blemishes virtue. A good intention helps keep it pure."

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Khotbah Buddha kepada Rahula
« Reply #3 on: 19 May 2010, 10:59:02 AM »
Tathāgata kemudian melanjutkan memberikan khotbah ‘Sāmaṇera Pañhā’ saat Rāhula berusia tujuh tahun, mengikuti tradisi Buddha-Buddha sebelumnya. Khotbah ini disampaikan dalam bentuk tanya-jawab, berisi Dhamma sederhana yang cocok untuk para sāmaṇera, yang disajikan berurutan dengan pokok-pokok Dhamma dari satu hingga sepuluh.

Hallo Sis Yi Fang,

Setelah membaca posting ini, saya quote bagian yang hendak saya tanyakan. Kebetulan saya membaca Khuddakapatha terjemahan Bu Lanny dan Bu Wena terbitan Wisma Sambodhi. Kemudian saya juga cari di internet apakah benar seperti yang saya baca dalam Khuddakapatha tersebut. Berikut saya copas dari AccessToInsight (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/khp/khp.1-9x.piya.html#khp-4) pada bagian notes dari Samanera Panha:

"The novice referred to here is the seven-year old Sopaka. He was questioned by the Buddha. It is not a matter for surprise that a child of such tender years can give profound answers to these questions. One has heard of infant prodigies. (See Encyclopaedia Britannica. Inc., 1955, II. p. 389. Also read The Case for Rebirth, Francis Story, Wheel 12-13, Buddhist Publication Society, Kandy, Sri Lanka.)"

Maaf, dalam bahasa Inggris. Di sana tertulis bahwa tanya jawab dengan samanera (samanera panha) yang dimaksud dengan samanera di sana adalah Sopaka seorang siswa yang masih berusia 7 tahun. Dalam tulisan Sis Yi Fang disebutkan bahwa khotbah diberikan saat Rahula berusia tujuh tahun. Yang menjadi pertanyaan, mana yang benar ya? Terima kasih sebelumnya.

 _/\_


Sepemahaman saya, Samanera panha atau Kumārapañhā memang pertama dibabarkan kepada Sopaka tetapi kemudian juga dibabarkan kepada Rahula.

CMIIW
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline ciputras

  • Teman
  • **
  • Posts: 60
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
Re: Khotbah Buddha kepada Rahula
« Reply #4 on: 19 May 2010, 11:24:08 AM »
[at] bro/sis Kelana,

Terima kasih. Tulisan Anda mendorong saya untuk mencari lagi di internet dengan kata kunci kumarapanha. Saya menemukan satu file pdf yang mendukung pernyataan Anda. File pdf nya bisa diunduh di sini : http://www.noblepath.info/recommended_books/buddhas_advice_to_rahula.pdf

Berikut saya copas satu alinea pada halaman 5 akhir dan awal halaman 6 dari file pdf tersebut:
"According to the commentators, in the same early period of Rahula's novitiate the Master taught and explained to him the ten "Boy's Questions" (kumarapanha) which begin with "What is One? All beings, subsist by nutriment." They are also called the "Novice's Questions" (samanera-panha) and were originally devised for the seven-year-old Arahant, Sopaka Samanera The text of these Questions can be found in the Khuddakapatha ("Minor Readings") of the Sutta-Pitaka."

Terima kasih bro/sis Kelana dan sis Yi Fang. Saya mendapat tambahan pengetahuan jadinya.

 _/\_
Buddha said to his followers:
"cetanaham bhikkhave kammam vadami" - "The intention, monks, is what I maintain to be the action."
Ajahn Lee : "An evil intention blemishes virtue. A good intention helps keep it pure."

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Khotbah Buddha kepada Rahula
« Reply #5 on: 19 May 2010, 08:18:12 PM »
[at] bro/sis Kelana,

Terima kasih. Tulisan Anda mendorong saya untuk mencari lagi di internet dengan kata kunci kumarapanha. Saya menemukan satu file pdf yang mendukung pernyataan Anda. File pdf nya bisa diunduh di sini : http://www.noblepath.info/recommended_books/buddhas_advice_to_rahula.pdf

_/\_


sama-sama  _/\_
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Khotbah Buddha kepada Rahula
« Reply #6 on: 20 May 2010, 07:23:33 PM »
akhirnya ada jg yg mempelajarinya
Samma Vayama

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Ambalatthika Rahulovada Sutta
« Reply #7 on: 22 May 2010, 05:58:47 PM »
Aṁbalaṭṭhika Rāhulovāda Sutta diajarkan agar menghindari diri dari tindakan berbohong yang disengaja.

Kemudian, Tathāgata merenungkan, “Anak muda suka berbohong, dengan berkata, ‘Aku telah melihat hal itu” (yang sebenarnya tidak mereka lihat), dan “Aku tidak melihat hal itu” (yang sebenarnya mereka lihat). “Rāhula harus dinasihati agar tidak berbohong.” Dengan menggunakan ilustrasi yang dapat dilihat dengan mata biasa, berupa: 4 contoh cangkir air, 2 contoh gajah pasukan, dan 1 contoh permukaan cermin, Tathāgata membabarkan khotbah Ambalatthika Rahulovada Sutta ketika Rāhula masih seorang sāmaṇera berusia tujuh tahun agar ia tidak berbohong dengan sengaja.

Ambalatthikarahulovada Sutta (61)
Nasihat kepada Rahula di Ambalatthika

[414]1. DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika, Yang Terberkahi sedang berdiam di Rajagaha di Hutan Bambu, Taman Tupai.

2. Pada waktu itu, Y.M. Rahula sedang berdiam di Ambalatthika. 637 Kemudian, ketika petang menjelang, Yang Terberkahi bangkit dari meditasinya dan pergi ke Y.M. Rahula di Ambalatthika. Y.M. Rahula melihat Yang Terberkahi datang dari kejauhan dan menyediakan tempat duduk serta menyiapkan air untuk membasuh kaki. Yang Terberkahi duduk di tempat yang telah disediakan dan mencuci kaki Beliau. Y.M. Rahula memberi hormat dan duduk di satu sisi.

3. Kemudian Yang Terberkahi menyisakan sedikit air di tempayan air dan bertanya kepada Y.M. Rahula: "Rahula, apakah engkau melihat sedikit air yang tersisa di tempayan air ini?" - '’Ya, Bhante." - "Bahkan jauh lebih sedikit daripada ini, Rahula, kepetapaan dari mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja."

4. Kemudian Yang Terberkahi membuang sedikit air yang tersisa itu dan bertanya kepada Y.M. Rahula: "Rahula, apakah engkau melihat sedikit air yang dibuang itu?" – “Ya, Bhante." “Demikian pula, Rahula, mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja membuang kepetapaan mereka."

5. Kemudian Yang Terberkahi menjungkirbalikkan tempayan air itu dan bertanya kepada Y.M. Rahula: "Rahula, apakah engkau melihat tempayan air yang dijungkirbalikkan ini?" - "Ya, Bhante." – “Demikian pula, Rahula, mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja telah menjungkirbalikkan kepetapaan mereka."

6. Kemudian Yang Terberkahi menegakkan tempayan air itu lagi dan bertanya kepada Y.M. Rahula: "Apakah engkau melihat tempayan air yang hampa dan kosong ini?" - "Ya, Bhante." “Demikian hampa dan kosong pula, Rahula, kepetapaan dari mereka yang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja."


7. "Andaikan saja, Rahula, ada seekor gajah jantan kerajaan dengan gading sepanjang tiang kereta kencana, dengan tubuh yang sudah dewasa, dari keturunan-tinggi, dan sudah terbiasa bertempur. Di medan pertempuran ia melaksanakan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya, dengan tubuh bagian depan dan tubuh bagian belakangnya, dengan kepala dan telinganya, dengan gading dan ekornya, [415] namun ia tetap menahan belalainya. Maka penunggangnya akan berpikir: 'Gajah jantan kerajaan dengan gading sepanjang tiang kereta kencana ini ... melaksanakan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya ... namun tetap menahan belalainya. la belum menyerahkan hidupnya.'

Tetapi ketika gajah jantan kerajaan ini ... melaksanakan tugasnya di medan pertempuran dengan kaki depan dan kaki belakangnya, dengan tubuh bagian depan dan tubuh bagian belakangnya, dengan kepala dan telinganya, dengan gading dan ekornya, serta dengan belalainya juga, maka penunggangnya akan berpikir: 'Gajah jantan kerajaan dengan gading sepanjang tiang kereta kencana ini ... melaksanakan tugasnya dengan kaki depan dan kaki belakangnya ... serta dengan belalainya juga. la telah menyerahkan hidupnya. Kini tak ada yang tidak akan dilakukan oleh gajah jantan kerajaan ini.' Demikian juga, Rahula, bila seseorang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja, maka tak ada kejahatan, Kukatakan, yang tidak akan dilakukan oleh orang ini. Oleh karenanya, Rahula, engkau harus berlatih demikian: 'Aku tidak akan mengucapkan kebohongan sekalipun hanya sebagai lelucon.'
penjelasan: ShowHide
“Oleh karena itu, Rāhula, engkau harus bertekad, ‘Aku tidak akan berbohong, bahkan sekadar bergurau atau untuk bersenang-senang’ dan berusaha untuk mematuhi tiga aturan latihan (sikkhā).”
Demikianlah Tathāgata menekankan pentingnya menjauhkan diri dari perbuatan berbohong.


8. "Bagaimana pendapatmu, Rahula? Apakah tujuan cermin?"

"Untuk tujuan refleksi, Bhante."
penjelasan: ShowHide
Tathāgata melanjutkan, “Putra-Ku Rāhula, apa yang engkau pikirkan mengenai apa yang akan Kunasihatkan kepadamu ini? (engkau boleh menjawab apa saja). Apa manfaat dari sebuah cermin?” Rāhula menjawab, “Agar orang dapat memperbaiki penampilan fisiknya ketika ia melihat noda atau cacat dalam bayangan di dalam cermin.”


"Demikian juga, Rahula, suatu tindakan melalui tubuh seharusnya dilakukan setelah refleksi berulang kali; tindakan melalui ucapan seharusnya dilakukan setelah refleksi berulang kali; tindakan melalui pikiran seharusnya dilakukan setelah refleksi berulang kali.
penjelasan: ShowHide
Dengan kata-kata pengantar ini, Tathāgata menyampaikan khotbah yang menjelaskan secara terperinci mengenai bagaimana seseorang seharusnya melakukan perbuatan secara fisik, bagaimana seseorang seharusnya berbicara, dan bagaimana seseorang seharusnya melatih pikiran dengan penuh kehati-hatian dan hanya setelah mempertimbangkan dengan hati-hati sesuai kecerdasannya.


9. "Rahula, bila engkau ingin melakukan suatu tindakan melalui tubuh, engkau seharusnya merefleksikan tindakan fisik yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang ingin kulakukan melalui tubuh ini akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan fisik ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang ingin kulakukan melalui tubuh ini akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan fisik ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' maka jelas engkau tidak boleh melakukan tindakan fisik semacam itu. [416] Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang ingin kulakukan melalui tubuh ini tidak akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan fisik ini bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,' maka engkau boleh melakukan tindakan fisik semacam itu.

10. "Juga, Rahula, sementara engkau sedang melakukan suatu tindakan melalui tubuh, engkau seharusnya merefleksikan tindakan fisik yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang sedang kulakukan melalui tubuh ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan fisik ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang sedang kulakukan melalui tubuh ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan fisik ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' maka engkau seharusnya menghentikan tindakan fisik semacam itu. Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang sedang kulakukan melalui tubuh ini tidak menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan fisik ini bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,'maka engkau boleh melanjutkan tindakan fisik semacam itu.

11. "Juga, Rahula, setelah engkau melakukan suatu tindakan melalui tubuh, engkau seharusnya merefleksikan tindakan fisik yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang telah kulakukan melalui tubuh ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan fisik itu tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: Tindakan yang telah kulakukan melalui tubuh ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan fisik itu tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' maka engkau seharusnya mengakui tindakan fisik semacam itu, mengungkapkannya, dan membukanya kepada Guru atau kepada para sahabatmu yang bijak dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya, mengungkapkannya, dan membukanya, [417] engkau harus menjalankan pengendalian diri di masa depan. 638 [Memahami tindakan salah sedemikian, mengakuinya, dan menjalankan pengendalian diri di masa depan akan menyebabkan pertumbuhan di dalam Vinaya Sang Yang Agung.Lihat MN 65.13.] Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang telah kulakukan melalui tubuh itu tidak menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan fisik itu bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,' maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam keadaan-keadaan bajik.


12. "Rahula, bila engkau ingin melakukan tindakan melalui ucapan, engkau seharusnya merefleksikan tindakan verbal yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang ingin kulakukan melalui ucapan ini akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan verbal ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang ingin kulakukan melalui ucapan ini akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan verbal ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' maka jelas engkau tidak boleh melakukan tindakan verbal semacam itu. Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang ingin kulakukan melalui ucapan ini tidak akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan verbal ini bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,' maka engkau boleh melakukan tindakan verbal semacam itu.

13. "Demikian pula, Rahula, sementara engkau sedang melakukan tindakan melalui ucapan, engkau seharusnya merefleksikan tindakan verbal yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang sedang kulakukan melalui ucapan ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan verbal ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang sedang kulakukan melalui ucapan ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan verbal ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' maka engkau seharusnya menghentikan tindakan verbal semacam itu. [418] Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang sedang kulakukan melalui ucapan ini tidak menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan verbal ini bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,' maka  engkau boleh melanjutkan tindakan verbal semacam itu.

14. 'Demikian pula, Rahula, setelah engkau melakukan tindakan melalui ucapan, engkau seharusnya merefleksikan tindakan verbal yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang telah kulakukan melalui ucapan ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan verbal itu tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: Tindakan yang telah kulakukan melalui ucapan ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan verbal itu tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' maka engkau seharusnya mengakui tindakan verbal semacam itu, mengungkapkannya, dan membukanya kepada Guru atau kepada para sahabatmu yang bijak dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya, mengungkapkannya, dan membukanya, engkau harus menjalankan pengendalian diri di masa depan. Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang telah kulakukan melalui ucapan itu tidak menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan verbal itu bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,' maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam keadaan-keadaan baijk.


15. "Rahula, bila engkau ingin melakukan tindakan melalui pikiran, engkau seharusnya merefleksikan tindakan mental yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang ingin kulakukan melalui pikiran ini akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan mental ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang ingin kulakukan melalui pikiran ini akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan mental ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' maka jelas engkau tidak boleh melakukan tindakan mental semacam itu. [419] Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang ingin kulakukan melalui pikiran ini tidak akan menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan mental ini bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,' maka engkau boleh melakukan tindakan mental semacam itu.

16. 'Demikian pula, Rahula, sementara engkau sedang melakukan tindakan melalui pikiran, engkau seharusnya merefleksikan tindakan mental yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang sedang kulakukan melalui pikiran ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan mental ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang sedang kulakukan melalui pikiran ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan mental ini tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' maka engkau seharusnya menghentikan tindakan mental semacam itu. Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang sedang kulakukan melalui pikiran ini tidak menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan mental ini bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,' maka engkau boleh melanjutkan tindakan mental semacam itu.

17. 'Demikian pula, Rahula, setelah engkau melakukan tindakan melalui pikiran, engkau seharusnya merefleksikan tindakan mental yang sama itu demikian: 'Apakah tindakan yang telah kulakukan melalui pikiran ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya? Apakah tindakan mental itu tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan?' Bila engkau merenung, jika engkau tahu: Tindakan yang telah kulakukan melalui pikiran ini menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan mental itu tak-bajik dengan konsekuensi yang menyakitkan, dengan akibat yang menyakitkan,' kalau demikian, engkau seharusnya muak, malu, dan jijik dengan tindakan mental itu. Setelah merasa muak, malu, dan jijik dengan tindakan mental itu 639 [tidak seperti pelanggaran melalui tubuh dan ucapan, pemikiran tak-bajik tidak membutuhkan pengakuan sebagai sarana untuk membebaskan diri dari celaan], engkau harus menjalankan pengendalian diri di masa depan. Tetapi bila engkau merenung, jika engkau tahu: 'Tindakan yang telah kulakukan melalui pikiran itu tidak menyebabkan malapetakaku sendiri, atau malapetaka orang lain, atau malapetaka keduanya; tindakan mental itu bajik dengan konsekuensi yang menyenangkan, dengan akibat yang menyenangkan,' maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam keadaan-keadaan baijk. [420]


18. "Rahula, petapa dan brahmana mana pun di masa lalu telah memurnikan tindakan fisik, tindakan verbal, dan tindakan mental mereka, semuanya melakukan demikian dengan berulang-kali merenung seperti itu. Petapa dan brahmana mana pun di masa depan akan memurnikan tindakan fisik, tindakan verbal, dan tindakan mental mereka, semuanya akan melakukan demikian dengan berulang-kali merenung seperti itu. Petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang ini sedang memurnikan tindakan fisik, tindakan verbal, dan tindakan mental mereka, semuanya melakukan demikian dengan berulang-kali merenung seperti itu. Oleh karenanya, Rahula, engkau harus berlatih demikian: 'Kami akan memurnikan tindakan fisik, tindakan verbal, dan tindakan mental kami dengan berulang-kali merenungkan hal-hal itu.—
penjelasan: ShowHide
Semua Buddha, Pacceka Buddha, dan Ariya Sāvaka pada masa lampau, masa depan, dan masa sekarang telah menjalani kehidupan, akan menjalani kehidupan, dan sedang menjalani kehidupan dengan cara seperti ini, mempertimbangkan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran mereka dan telah menyucikan, akan menyucikan, dan sedang dalam proses menyucikan perbuatan mereka, secara jasmani, ucapan, dan pikiran.

Tathāgata mengakhiri khotbah-Nya dengan kata-kata nasihat berikut ini, “Putra-Ku Rāhula, engkau harus ingat agar selalu berusaha untuk menyucikan perbuatan fisik, ucapan, dan pikiranmu dengan mempertimbangkan dan meninjau kembali dan mengembangkan tekad untuk mematuhi tiga aturan latihan.

Kapan dan di mana perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran tersebut muncul dan bagaimana perbuatan itu dapat disucikan dan dibebaskan? Jangan membuang-buang waktu; perbuatan jasmani dan ucapan yang dilakukan pada pagi hari harus disucikan dan dibebaskan segera setelah makan di mana ia duduk di tempat ia akan melewatkan hari itu.


Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Y.M. Rahula merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi.

 _/\_
« Last Edit: 22 May 2010, 06:06:44 PM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Abhinha Rahulovada Sutta
« Reply #8 on: 22 May 2010, 06:05:13 PM »
Dari semua khotbah ini, Abhinha Rāhulovāda Sutta diajarkan sebagai pegangan hidup yang harus dipatuhi seumur hidupnya.

Kemudian Tathāgata membabarkan Abhinha Rahulovada Sutta yang mengajarkan bagaimana melenyapkan kemelekatan terhadap empat kebutuhan, bagaimana melepaskan nafsu keinginan terhadap lima kenikmatan indria, dan manfaat bergaul dengan teman-teman yang baik dan tulus. Tathāgata membabarkan kepada Rāhula berulang-ulang setiap ada kesempatan, tidak memerhatikan waktu dan tempat.

Rahula Sutta: Nasihat untuk Rahula

Tinggalkan lima kesenangan indria yang menggiurkan dan menyenangkan pikiran, dan dengan keyakinan pergilah dari rumah, jadilah orang yang menghentikan penderitaan!

“Bergaullah dengan sahabat-sahabat yang baik dan pilih tempat tinggal terpencil, jauh, dengan sedikit kebisingan. Makanlah secukupnya. Jubah, makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal—janganlah berkeinginan pada hal-hal ini; jangan menjadi orang yang kembali ke dunia. Latihlah menahan diri sesuai dengan Disiplin, dan kendalikan kelima indria.

Latihlah kewaspadaan terhadap tubuh dan teruslah mengembangkan keadaan tanpa-nafsu (pada tubuh). Hindarilah hal-hal yang berhubungan dengan nafsu; dengan bermeditasi pada ketidakmurnian tubuh, kembangkan pikiran yang terkonsentrasi dan terkumpul.

Bermeditasilah dengan objek Tanpa-tanda [Nibbana] dan singkirkan kecenderungan kesombongan. Dengan saksama memahami dan menghancurkan kesombongan, engkau akan hidup dalam kedamaian (tertinggi).

Dengan cara ini Tathagata berulang kali mengingatkan Yang Mulia Rahula.

 _/\_
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Khotbah Buddha kepada Rahula
« Reply #9 on: 22 May 2010, 09:25:40 PM »
Sedikit mengenai latar belakang Ambalatthikarahulovada Sutta.

Sebagai anak, Rahula tidak dapat memanggil ayah atau selalu berdekatan dengan Sang Buddha. Ini mungkin merupakan kesedihan baginya karena ia tidak dapat memperlakukan ayahnya sebagai seorang ayah sehingga mendorongnya untuk melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Contohnya, suatu kali ia menunjukkan arah yang salah kepada umat yang datang ke vihara dan bertanya di mana dapat bertemu dengan Sang Buddha. Hal ini terdengar oleh Sang Buddha yang segera menuju ke kuti Rahula.

(Sbr: Siswa-siswa Utama Sang Buddha 1- samaggi-phala)
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Rahula Samyutta
« Reply #10 on: 01 August 2010, 07:51:19 PM »
Rāhula Saṁyutta diberikan agar batin Rahula dipenuhi dengan pengetahuan Pandangan Cerah (Vipassanā Ñāṇa).

Tathāgata mengajarkan Rāhula kelompok Dhamma ini untuk memerintahkannya agar membuang keinginan dan kemelekatan terhadap tiga alam kehidupan. Khotbah ini beliau babarkan sejak Sāmanera Rāhula berusia tujuh tahun hingga saat ia menerima penahbisan dan memulai vassa pertamanya.

18. Rāhulasaṃyutta:
Khotbah Berkelompok Sehubungan dengan Rāhula

I. SUB BAB PERTAMA

1 (1) Mata, dan seterusnya
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Rāhula mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:337

“Yang Mulia, baik sekali jika Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara singkat, sehingga, setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh.”

“Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—[245]“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah telinga … hidung … lidah … badan … pikiran itu adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap mata, kejijikan terhadap telinga, kejijikan terhadap hidung, kejijikan terhadap lidah, kejijikan terhadap badan, kejijikan terhadap pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan.338 Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan’. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

2 (2) Bentuk, dan seterusnya
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah bentuk-bentuk … [246] … suara-suara… bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … fenomena pikiran itu adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.” ….

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap bentuk-bentuk … kejijikan terhadap fenomena pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan …. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

3 (3) Kesadaran
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah kesadaran-mata … kesadaran-telinga … kesadaran-hidung … kesadaran-lidah … kesadaran-badan … kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang mulia.” ….

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap kesadaran-mata … kejijikan terhadap kesadaran-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan …. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

4 (4) Kontak
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah kontak-mata … kontak-telinga … kontak-hidung … kontak-lidah … kontak-badan … kontak-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang mulia.” ….

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap kontak-mata … kejijikan terhadap kontak-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan …. [247] Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

5 (5) Perasaan
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah perasaan yang timbul dari kontak-mata … perasaan yang timbul dari kontak-telinga … perasaan yang timbul dari kontak-hidung … perasaan yang timbul dari kontak-lidah … perasaan yang timbul dari kontak-badan … perasaan yang timbul dari kontak-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang mulia.” ….

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap perasaan yang timbul dari kontak-mata … kejijikan terhadap perasaan yang timbul dari kontak-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan …. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

6 (6) Persepsi
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah persepsi-bentuk-bentuk … persepsi-suara-suara … persepsi-bau-bauan … persepsi-rasa kecapan … persepsi-objek sentuhan … persepsi-fenomena pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang mulia.” ….
 
“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap persepsi-bentuk-bentuk … kejijikan terhadap persepsi-fenomena-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan…. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

7 (7) Kehendak
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah kehendak sehubungan dengan bentuk-bentuk … kehendak sehubungan dengan suara-suara … kehendak sehubungan dengan bau-bauan … kehendak sehubungan dengan rasa kecapan … kehendak sehubungan dengan objek sentuhan … kehendak sehubungan dengan fenomena pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang mulia.” ….

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap kehendak sehubungan dengan bentuk-bentuk … kejijikan terhadap kehendak sehubungan dengan fenomena-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan …. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

8( 8 ) Keinginan
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah keinginan akan bentuk-bentuk … keinginan akan suara-suara … keinginan akan bau-bauan … keinginan akan rasa kecapan … keinginan akan objek sentuhan … keinginan akan fenomena pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang mulia.” ….

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap keinginan akan bentuk-bentuk … kejijikan terhadap keinginan akan fenomena-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan …. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

9 (9) Unsur-unsur
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah unsur tanah … unsur air … unsur panas … unsur angin … unsur ruang … unsur kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”239—“Tidak kekal, Yang Mulia.” ….

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap unsur tanah … [249] … kejijikan terhadap unsur air … kejijikan terhadap unsur ruang … kejijikan terhadap unsur kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan …. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”

10 (10) Kelompok-kelompok
… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah bentuk … perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” —“Tidak kekal, Yang Mulia.” ….

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap bentuk … kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan …. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’.”


II. SUB BAB KE DUA

11 (1) – 20 (10) Mata, dan seterusnya
(Sepuluh sutta ini identik dalam segala hal dengan §§1-10, kecuali bahwa dalam sutta-sutta ini, Sang Buddha menanyai Rāhula atas inisiatif-Nya sendiri, tanpa sebelumnya dimohon untuk mengajarkan.) [250-52]

21 (11) Kecenderungan Tersembunyi
Di Sāvatthī, Yang Mulia Rāhula mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat, sehingga sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan gambaran-gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya?”340

“Bentuk apa pun, Rāhula, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’.341

“Perasaan apa pun … Persepsi apa pun … Bentukan kehendak apa pun … Kesadaran apa pun, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seseorang melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’.

“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, Rāhula, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan terhadap keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya.” [253]

22 (12) Melepaskan
Di Sāvatthī, Yang Mulia Rāhula mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat sehingga, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan gambaran-gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan sempurna?”342
 
“Bentuk apa pun, Rāhula, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—setelah melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’, seseorang terbebaskan melalui ketidakmelekatan.

“Perasaan apa pun … Persepsi apa pun … Bentukan kehendak apa pun … Kesadaran apa pun, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—setelah melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’, seseorang terbebaskan melalui ketidakmelekatan.

“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, Rāhula, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan terhadap keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan sempurna.


_/\_
« Last Edit: 01 August 2010, 08:12:27 PM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

 

anything