[Gong]
Bayi itu kelaparan dan Kinh Tam tak punya susu, jadi dia terpaksa membawa bayi itu ke desa dan mencoba untuk meminta susu. Setiap hari dia pergi ke masyarakat dan meminta susu untuk bayi itu. Ada orang yang sangat tersentuh oleh tindakannya dan ada pula mereka yang bilang, “Bagaimana mungkin dia berlatih sebagai monastik apabila ia melakukan hal demikian, tidur dengan wanita dan wanita itu menyerahkan bayi kemudian dia harus menerima tanggung jawab merawat bayi, mencoba untuk mengasuh anak itu sebagai ayah, bagaimana mungkin seseorang berlatih dharma seperti itu?” Kinh Tam sedih karena masyarakat tidak mengerti situasinya, sementara dia tetap berlatih kesabaran karena dia merasa damai dan bersuka cita hidup dalam dharma.
Jika dia ingin menyingkirkan ketidakadilan, tentu saja bukan tugas mudah, kalau mau gampang, Kinh Tam tinggal mengumumkan bahwa dirinya adalah seorang wanita, sesegera itu juga dia akan terbebas dari segala tuduhan maupun penderitaan. Mengapa dia tidak melakukannya? Karena dia sangat cinta dharma, dia ingin terus berlatih sebagai monastik, oleh karena itu dia tidak mau menyerah begitu saja. Ketika engkau sangat senang dengan sesuatu, engkau terdorong untuk mempertahankannya walaupun ketidakadilan jatuh kepadamu. Dia dicambuk, salah paham, dituduh oleh banyak orang, namun tetap bisa terus berjalan dengan penuh ketenangan, kebahagiaan dalam monastik dan berlatih dharma.
Zaman sekarang ini, banyak orang yang hidup bersama dalam sangha dan mereka berhadapan dengan banyak kesulian dan ingin meninggalkan sangha. Mereka tidak punya kesabaran besar seperti itu. Mereka tidak sanggup memikul beban ketidakadilan yang jatuh padanya, karena tekad dan kebahagiaan mereka tidak memadai. Oleh karena itu, kuncinya adalah apabila anda menghadapi banyak masalah, maka cobalah untuk menghargainya segitu banyak, apakah hatimu besar atau tidak. Apabila hatimu kecil, maka engkau tidak sanggup memikul ketidakadilan yang jatuh padamu. Pengertian dan cinta kasih dapat membantu hatimu tumbuh menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Hal ini merupakan latihan empat hati tak terukur, cinta kasih, belas kasih, suka cita, dan kesetaraan. Hanya karena hatimu bisa tumbuh sebesar kosmos, perkembangan hatimu tidak akan pernah berujung. Jika engkau seperti sungai, engkau bisa menerima banyak kotoran dan tidak akan memberi efek apa pun bagimu, engkau bisa melakukan transformasi kotoran itu dengan mudah.
Ceramah dharma sebelum ini, saya meminjam perumpamaan yang diberikan oleh Buddha, jika engkau mencelupkan kotoran pada stoples kecil yang berisi air, maka air itu terpaksa harus dibuang, tidak ada orang yang bisa minum air itu, namun apabila engkau mencelupkan sejumlah kotoran yang sama ke sebuah sungai besar, masyarakat dari kota tetap bisa minum dari sungai itu, karena sungai itu begitu sangat luas. Sungai itu tidak menderita hanya gara-gara segumpal kecil kotoran, air dan lumpur di sungai itu hanya membutuhkan satu malam untuk merubah segumpal kecil kotoran itu. Jadi, jika hatimu sebesar sungai itu, engkau akan sanggup memikul seberapa besar maupun kecil ketidakadilan dan engkau tetap bisa hidup dengan kebahagiaan, dan engkau sanggup melakukan transformasi ketidakadilan itu hanya dalam waktu satu malam. Jika engkau menderita, itu berarti hatimu terlalu kecil. Ini merupakan cermaah tentang kesabaran dalam ajaran Buddha. Engkau tidak mencoba-coba untuk memikulnya, engkau tidak membekap penderitaanmu, engkau hanya berlatih untuk membesarkan hatimu sebesar sungai, kemudian engkau tidak perlu memikul dan juga tidak perlu menderita.
Ada banyak cara untuk membesarkan hatimu, caranya yaitu dengan melihat secara mendalam untuk memperoleh pengertian. Pada saat engkau mengerti, belas kasihmu akan timbul, dan belas kasih itu akan memperkenankanmu terus berjalan, tidak menderita, tidak melihat orang lain dengan mata penuh kejengkelan dan kebencian. Inilah praktik kesabaran yang sesungguhnya, engkau tidak perlu menderita. Kesabaran dalam konteks ajaran Buddha adalah tidak mencoba untuk menelan atau membekap ketidakadilan, namun mencoba untuk memeluk seluruh ketidakadilan dengan menggunakan hati besarmu. Jadi, setiap hati engkau harus pergi ke hatimu, sentuhlah hatimu, tanyalah padanya, “Hatiku, sayangku, apakah engkau sudah sedikit tumbuh lebih besar setelah satu malam berlalu?” Kita berkunjung ke hati setiap hari untuk melihat apakah hati kita masih terus tumbuh tanpa batas, tumbuh menjadi mulia. “Hati yang tumbuh” merupakah istilah yang digunakan oleh Buddha ketika beliau mengajarkan tentang empat pikiran tak terukur.
Hati belas kasihmu menjadi semakin besar, tumbuh semakin besar setiap waktu, hati cinta kasihmu, hati suka citamu, hati kesetaraanmu. Oleh karena itu paramita diterjemahkan sebagai “titik tertinggi, batas” yang juga berarti tidak ada titik lebih tinggi atau melebihi batas ini, seperti titik paling utara atau selatan yang disebut kutub utara atau kutub selatan. Inilah titik tertinggi, inilah batasnya, namun bagaimana belas kasih, cinta kasih, suka cita, dan kesetaraan kita bisa tahu bahwa tidak ada batas, oleh karena itulah empat pikiran ini disebut empat pikiran tak terukur, karena pikiran ini akan terus berkembang dan berkembang tanpa berhenti. Mereka tumbuh membesar menjadi sebesar sungai, kemudian menjadi samudra, kemudian terus tumbuh. Semakin besar hatimu, maka kemampuan memikul dan menerima ketidakadilan tanpa mengalami penderitaan.
Beberapa hari setelah Kinh Tam menerima bayi itu, dia mencoba untuk merawat dan memberikan makan, kemudian gurunya memanggilnya, “Anakku, mengapa engkau melakukan hal demikian? Engkau tidak tidur dengan perempuan itu dan bayi ini bukanlah bayimu, mengapa engkau menerimanya? Perbuatanmu tampaknya tidak memberi reputasi baik bagi Sangha.” Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan seandainya saya sendiri adalah gurunya, saya tidak tahu harus bertindak apa terhadap dia, takut marbat jatuh. Namun Kinh Tam bersujud di hadapan gurunya dan menjawab, “Guruku, aku sudah belajar dari sutra bahwa jika seseorang membangun stupa tujuh tingkat, dan jika seseorang membangun seribu stupa, kebajikan yang tidak sepadan dengan perbuatan menyelamatkan kehidupan makhluk hidup. Oleh karena itulah saya menerima bayi ini dan mencoba untuk merawatnya.” Inilah yang dijawab oleh samanera muda itu kepada gurunya.
Samanera itu meninabobokan bayi itu, kadang-kadang ada masyarakat yang mendengar suara lonceng besar dan lantunan gatha, “Dengar-dengar, bunyi nan indah ini membawaku kembali kepada diriku yang sesungguhnya. Semoga bunyi lonceng ini menembus ke dalam kosmos…,” dan sebagainya, dan pada kesempatan lain masyarakat juga bisa mendengar, “Bayiku, tidurlah, tidurlah dengan nyenyak…” Dua hal demikian silih berganti terdengar. Saya percaya bahwa samanera itu berlatih dengan tekun, menyanyikan nina bobo sebaik melantunkan gatha, karena dua hal tersebut mengandung cita rasa dharma di dalamnya.
Ketika anak laki-laki itu tumbuh cukup besar, Kinh Tam sakit keras, dan dia tahu akan segera meninggal dunia dalam beberapa hari ini, jadi dia menulis surat untuk orang tuanya dan dia menulis alamat lengkap di surat itu, dia meminta anak laki-laki itu pergi ke desa asalnya dan memberikan surat itu kepada orang tuanya setelah ia meninggal dunia. Dia juga menulis sepucuk surat untuk gurunya, jadi ada dua pucuk surat. Setelah Kinh Tam meninggal dunia, anak laki-laki itu melakukan semua tugasnya, dia memberikan surat itu kepada gurunya dan kemudian memohon izin untuk pergi ke desa asal Kinh Tam dan memberikan surat untuk orang tuanya. Setelah membaca surat itu, gurunya sangat terkejut dan meminta dua orang biksuni untuk memeriksa, dan dua orang biksuni itu melaporkan bahwa samanera itu ternyata adalah bukanlah laki-laki, namun seorang perempuan. Semua masyarakat sangat terkejut, sang guru mengirim kabar kepada sesepuh desa, kepala desa sangat terkejut juga. Mereka mengadakan pertemuan dan mengirim delegasi ke wihara untuk melakukan verifikasi. Setelah proses verifikasi, para sesepuh desa mengumumkan fakta sesungguhnya dan kemudian meminta keluarga Mau untuk tanggung jawab.
Keluarga Mau harus membayar denda sangat mahal kepada masyarakat, membiayai seluruh proses upacara kematian di wihara. Kisah ini tercatat jelas dalam puisi bahasa Vietnam, bahkan kita juga punya dua pucuk surat lengkap itu. Kinh Tam memohon orang tuanya untuk memaafkannya, memohon maaf karena tidak memberikan kabar atas keberadaanya, hanya karena ia ingin berlatih dengan sungguh-sungguh sebagai seorang monastik, Kinh Tam mengisahkan bahwa dia tidak hanya berlatih untuk dirinya sendiri saja namun ia berlatih demi seluruh keluarga dan seluruh makhluk, dia berharap semua orang memaklumi dan memaafkannya, kemudian memohon keluarganya untuk menerima anak lelaki itu dan menjadikannya bagian dari keluarga walaupun dia anak yang diadopsi. Orang tua Kinh Tam menangis dan terus menangis, sudah sekian tahun tidak ada kabar apa pun darinya, tiba-tiba pagi itu menerima surat yang memberitakan bahwa ia telah tiada, mereka tidak bisa menahan tangisannya, mereka bergegas berangkat ke Wihara Phap Van, mereka juga memberitahu keluarga mantan suaminya, dan Sung Tin ikut berangkat. Mereka menghabiskan beberap hari untuk tiba di Wihara, mereka melihat umbul-mbul yang bertuliskan nama anaknya, upacara kematian dengan prosesi sangat panjang, seluruh warga masyarakat datang menghadiri upacara itu, mereka sangat tesentuh dan tak bisa menyembunyikan tangisannya.
Apabila engkau berlatih, berlatihlah seperti itu, cara yang sangat sempurna berlatih dengan demikian. Walaupun ketidakadilan jatuh padamu, engkau tetap punya energi untuk berlanjut di jalur itu. Engkau tidak menyalahkan orang lain atas penderitaanmu. Berlatih seperti itu merupakan latihan nyata. Ketika keluarga Kinh Tam tiba, mereka ikut dalam upacara kematian dan diterima sebagai tamu luar biasa oleh wihara dan warga desa, setelah itu seluruh warga masyarakat mengadakan upacara pelimpahan jasa kepada Kihn Tam dan berlatih giai oan. Giai oan berarti “membuka simpul ketidakadilan” dan dikisahkan pada akhir cerita itu bahwa Buddha muncul dan menyatakan bahwa Kinh Tam telah mencapai pencerahan, dan sekarang dia memanifestasikan diri sebagai Avalokiteshvara, namanya Quan Am Thi Kinh. Dia merupakan Avalokiteshvara Vietnam dan hampir semua orang Vietnam tahu kisah ini. Di wihara, bahkan banyak orang menghapal puisi itu dan menjadikan teladan sempurna untuk berlatih kesabaran.
Ada suatu waktu, kita semua merasa menjadi korban dari ketidakadilan, kita begitu menderita, bahkan ketidakadilan yang disebabkan oleh orang yang paling kita cintai, kita ingin menjernihkan ketidakadilan itu, bahkan kita ingin berteriak. Kita ingin berlatih untuk membuka simpul yang telah kita pikul sejak lama di masa lalu. Oleh sebab itu kita selalu siap berbicara dengan orang lain tentang penderitaan dan ketidakadilan yang kita pikul. Mungkin di dalam lubuk hati kita yang paling dalam, kita ingin keadilan hadir dengan berbagai cara, mungkin kita menggunakan cara militer sebagai solusi, kadang kita ingin menggunakan senapan, kadang kita menggunakan kayu pemukul, kadang kita menggunakan angkatan bersenjata. Sebagai sebuah negara, apabila engkau merasa menjadi korban dari ketidakadilan, engkau tergoda untuk menggunakan kekuatan militer sebagai solusinya, namun engkau bukanlah sebuah negara, engkau condong menggunakan cara lain untuk membalas dendam, menggunakan kayu pemukul, membayar orang lain untuk memukul, menggunakan senapan, atau engkau memanipulasi situasi, engkau menggunakan pengaruh politik untuk memperbaiki ketidakadilan yang terjadi padamu.
Namun, berdasarkan ajaran Buddha, engkau hanya bisa meluruskan ketidakadilan dalam dirimu dan menembus ketidakadilan dalam dirimu dengan cara melakukan transformasi ketidakadilan. Caranya adalah dengan berlatih empat pikiran tak terukur, maitri yaitu cinta kasih, karuna yaitu belas kasih, mudita yaitu suka cita, dan upeksha yaitu kesetaraan, dan untuk menumbuhkan empat kualitas ini, engkau perlu berlatih melihat secara mendalam, yaitu tenang (samatha) dan melihat (vipasyana). Engkau mencoba sebaik-baiknya untuk tetap tenang dan terkonsentrasikan. Engkau berupaya untuk melihat secara mendalam sifat asli penderitaan, dan tiba-tiba pengertian bisa hadir dan hatimu mulai membesar. Tiba-tiba engkau merasa ada kekuatan untuk memikul ketidakadilan, engkau bisa tetap bertahan hidup, engkau bisa hidup bersama ketidakadilan, dan engkau bisa mentransformasi ketidakadilan.
Buddha bersabda bahwa apabila engkau terpanah oleh sebuah panah, maka engkau menderita, namun apabila panah kedua ke titik yang sama, maka engkau tidak hanya menderita dua kali lipat, tapi bisa jadi tiga puluh kali lipat lebih sakit. Ketika engkau menderita dan engkau akan marah, penderitaanmu tidak hanya berlipat ganda, tapi bisa berlipat tiga puluh kali lebih besar. Engkau memperbesar penderitaanmu melalui ketidaktahuan, kemarahan, frustasi, dan kebencianmu. Mengapa engkau begitu menderita? Mengapa engkau rela menerima panah kedua? Ketika panah pertama, apabila engkau punya latihan dan pengertian, engkau tidak akan begitu menderita dan engkau bisa mencabut panah itu dengan cepat, namun ketidaktahuan, kurang latihan, kita menjadi marah, benci, putus asa menguasai kita, oleh karena itulah penderitaan sungguh tak bisa ditahan. Ajaran Buddha ini tercatat dalam Samyutta Nikaya (Samyutta Nikaya: 4: 210) tentang panah pertama dan kedua, panah kedua adalah ketidaktahuan.
Pada hari sebelumnya kita menggunakan perumpamaan seorang anak kecil yang merobek kupu-kupu, anak kecil itu tidak tahu bahwa dia sedang menyebabkan begitu banyak ketidakadilan dan penderitaan pada kupu-kupu itu. Anak kecil itu hanya ingin bermain-main, dia tidak tahu bahwa merobek kupu-kupu akan menyebabkan derita besar bagi serangga itu. Anak kecil itu berbuat demikian karena ketidaktahuannya, ketika kita memberitahu kepada anak kecil itu, “Sayangku, tahukah kamu kalau kupu-kupu kecil ini tidak bisa pulang bertemu orang tuanya? Bagaimana kalau kamu tidak bisa pulang ke rumah bertemu orang tuamu malam ini? Orang tuamu akan sangat kuatir.” Apabila engkau memberitahu anak kecil dengan cara demikian, maka lain kali mereka tidak akan merobek serangga lagi dengan kedua tangganya. Anak kecil akan bisa melindungi kehidupan. “Tuhan, maafkanlah mereka karena mereka tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan.” Manusia menyebabkan manusia lain menerita, mereka tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, mereka melakukan itu atas dasar kemarahan dan kebencian, mereka tidak punya kebahagiaan dalam dirinya, mereka terbungkus oleh ketidaktahuan, kebencian, kemarahan, oleh karena itu mereka membuat orang disekelilingnya menderita. Kita juga bisa melakukan hal demikian namun kita tidak sadar.
[Gong]
Hal demikain terjadi dari waktu ke waktu, di setiap tempat, seseorang akan menggunakan senapan untuk membunuh orang di pasar, di sekolah tinggi, tiba-tiba muncul seorang anak yang membawa senapan, kemudian membunuh tiga, empat, lima siswa tak ada alasan jelas. Anak perempuan, anak laki-laki berangkat ke sekolah seperti biasa dan pagi itu anakmu terbunuh oleh orang tidak waras itu. Ini satu bentuk ketidakadilan dan engkau akan menyimpan kebencian besar terhadap orang tidak waras itu, jika engkau melihat secara mendalam ke orang itu, sesungguhnya orang itu penuh dengan ketidawarasan, ketidaktahuan, kebencian akibat dari penyakit kejiwaan. Ketika seorang pria memegang senapan menembak orang membabi buta, tentu saja ada alasannya, orang seperti itu tentu saja bisa ditemukan di dunia ini, bagaimana mungkin mereka menjadi seperti itu? Bagaimana keadaan keluarganya, bagaimana masyarakat sekitarnya? Bagaimana pendidikannya? Apakah ada orang yang merawatnya? Tentu saja kita akan berupaya keras untuk menghentikan tindakan dia membunuh orang lain, kita terdorong untuk segera bertindak agar dia tidak bisa terus melukai orang lain, bahkan terpaksa harus mengunci dia di sel penjara, kita harus melakukannya, namun kita perlu melakukannya dengan penuh pengertian dan belas kasih. Kita tidak melakukannya dengan penuh kemarahan atau kebencian, kita melakukan itu bukan atas dasar niat menghukum orang itu, namun karena orang itu sangat menderita.
Terjemahan bebas oleh Nyanabhadra
Sumber:
Transcending Injustice
http://www.abudhistlibrary.com