Bisa diterima hanya jangan sampai beranggapan yg belajar mahayana merasa lebih tinggi dari theravada sehingga merasa diatas angin terlebih menjadi tidak mau terima jika dikoreksi ketika pandangannya ada yg miring
TAN:
Setuju, Pak. Oleh karena itu, kalau kita memberikan pendapat atau saran harus dengan semangat persahabatan. Jangan merasa bahwa pendapat kita yang paling benar dan pendapat orang lain sesat. Terkadang kita nulis di milis juga terburu-buru, jadi apa yang kita maksud A bisa jadi B. Selama kita kita menganggap rekan2 seDhamma kita sebagai sahabat yang setara, maka tidak akan ada masalah. Bagi saya, kita semua ini masih belajar, tidak ada yang tinggi atau rendah. Mau Mahayana atau Theravada bagi saya sama saja, yang penting adalah bagaimana tindak-tanduknya di tengah masyarakat. Sudahkan kita mencerminkan sikap Buddhis atau belum. Ini yang susah dan kita semua masih belajar. Saya juga masih suka emosional, walaupun menurut ajaran Buddha saya tahu itu ga benar.
Kita semua juga tahu Dhamma juga dari buku atau dengar kata orang (Bhante, Bhikshu, pandita, dll.), tapi kalau realisasi kita semua masih jauh. Tetapi meskipun hanya dari buku, kita semua harusnya merasa beruntung pernah mengenal Dhamma. Oleh karenanya, tidak bijaksana kita jadikan Dhamma untuk berdebat atau meninggikan ego kita, ini berlaku bagi kita semua, terlepas dari sekte apapun yang dianutnya.
Sekedar sharing, dulu waktu pertama kali masuk agama Buddha, saya teringat bhiksu2 yang ada di film silat, yang nampak bijaksana dalam memberikan petuah2 serta welas asih (walaupun di film silat juga ada bhikshu sesat). Saya kira agama Buddha juga dipenuhi dengan orang2 seperti itu juga. Tetapi kenyataannya lain. Saya juga menyadari bahwa saya selama ini belum mencerminkan sifat-sifat seperti itu, karena itu saya mau terus belajar; karena ajaran Buddha sebenarnya adalah ajaran praktik dan bukannya teori.
Semoga bermanfaat. Mohon maaf kalau ada kata yang salah.
Metta,
Tan