PENGALAMAN PRIBADI
.Pada saat masih mahasiswa, setelah penyakit sariawan yg berkepanjangan sembuh, ganti dengan penyakit tenggorokan yang sering meradang.
Minum es atau minum yg panas, meradang.
Makan pedas atau agak asin meradang pula.
Makan yg agak keras seperti kacang goreng , juga meradang.
Kalau sdh meradang, sukar menelan. Pergi ke berbagai dokter, semua memberi obat dan nasehat yg umum; antibiotik, vitamin C, dan disuruh makan sayur dan buah yg banyak.
Penyakit sembuh 1 minggu, kambuh lagi 2 – 3 minggu, terus seperti itu berbulan bulun sampai satu setengah tahun.
Akhirnya ke dokter THT yg paling top dikota tersebut.
Setelah periksa sana periksa sini, intip sini colok sana, dokter bilang seperti ini : “Dik, adik tidak bakal mati karena penyakit ini, kecuali kalau terjadi radang dan dibiarkan sampai infeksi berkelanjutan”.
Saya tanya : “Bisa sembuh ngga dok?”
Si Dokter menjawab : “Tidak bisa, karena tenggorokan adik ada kelainan, ada bintil bintil kecil yang kalau terganggu sedikit, pasti terluka dan menimbulkan radang”
“Jadi bagaimana dok?”
“Yah, bagaimana lagi, terima saja dik, namanya juga kelainan. Jaga saja jangan sampai radang yang terjadi menjadi makin parah”.
Masa itu, sedang getol getol nya berlatih meditasi di vihara, setelah dapat vonis dari dokter, sayapun ke vihara dengan hati gundah. Duduk duduk sambil merenung di teras.
Memang penyakitnya tidak bikin mati, tapi kalau kambuh berulang kali ya bikin kesal juga kan?
Saat itu ada Bhante pembimbing dan melihat kesempatan baik untuk berbicara dengan beliau; ya saya curhat mengenai penyakit itu .
Beliau kemudian berkata : “Cari sendiri saja penyebabnya mengapa sampai sakit seperti itu”.
“Bhante, bagaimana caranya?”.
Beliau tidak menjawab, malahan masuk ke kamarnya dan memberikan buku Visuddhi Magga, dan mengatakan : “Baca bagian Recollection of Past Life” .
Saya cari cari melalui index buku dan ketemu bagian tersebut, kemudian saya minta ijin untuk memfoto copy bagian tersebut, dan setelah difoto copy, buku Visuddhi Magga saya kembalikan kepada beliau,
dan sayapun pulang karena sudah malam.
Di kost saya baca dengan buka buka kamus, karena semua dalam bahasa Inggris.
Pagi pagi esok harinya saya ke vihara , menanyakan beberapa hal yang kurang jelas lalu mulai bermeditasi , dan seperti biasa duduk diam, memperhatikan napas, setelah tenang, mulai berlatih sesuai dengan petunjuk dari VisudhiMagga dan penjelasan beliau.
Sore juga melakukan hal yg sama, 2 hari, 3 hari …. Sampai hari ke 10 masih dengan tekun berlatih.
Entah hari ke 12 atau 13, saat sedang memperhatikan napas, saya merasa saya berada disebuah rumah yang besar dan sedang bermain piano dan saya seorang wanita Tionghoa! (saat ini saya jantan sejati loh).
Kelihatannya sedang belajar main piano, namanya juga belajar, nada yang keluar dari masih tidak karuan.
Yang dirasakan saat itu adalah gelisah menunggu suami (jadi sudah menikah ya) pulang. Dan kemudian muncullah suami, ternyata bule.
Dan setelah menyambut dia dan peluk pelukan saya kembali duduk di depan piano , sang suami duduk di sebelah saya mengajarkan untuk main piano.
Tidak berapa lama, terdengar teriakan yang isinya kurang lebih : “siapa sih yang sedang bikin ribut, bikin sakit telinga saja.”
Yang berteriak adalah ayah dari suami alias mertua lelaki yang masuk kedalam ruang tersebut dengan masih memakai seragam militer lengkap dengan pedang di pinggang.
Ucapan kasar tersebut disusul dengan kata kata yang kasar, yg intinya menyesalkan putranya menikah dengan seorang wanita yg uncivilized, main musik tidak becus , tidak tahu etika pergaulan dsb dsb.
Disusul dengan teriakan marah suami saya yang membela saya.
Mereka berdua bertengkar hebat saling melemparkan kata kata kasar, dan saya hanya menutup telinga sambil berteriak “sudah sudah, jangan bertengkar”.
Si mertua lelaki berteriak : “saya menyesal punya putera seperti kamu, lebih baik kamu mati saja”
Dan suami sayapun berteriak : “kalau begitu bunuh saya saja sekarang”
Mertua lelaki mencabut pedangnya dan berkata :”baik, kalau itu maumu” sambil mendekat ke piano. Dan suami saya mengambil sebuah pedang hiasan yang tergantung di dinding di depan piano untuk membela diri.
Melihat seperti itu saya bangkit dari tempat duduk di depan piano dan menghadang berdiri di depan suami. Sambil berteriak : “Jangan , ayah dan anak jangan saling membunuh”, sambil saya memegang erat erat pergelangan tangan suami saya yang memegang pedang”.
Mertua lelaki tertegun sejenak , lalu berkata kepada putranya : “Ceraikan dia , kirim kembali ke orang tuanya, atau kubunuh dia sekarang”, sambil mengacungkan pedang ke depan wajah saya.
Disusul dengan teriakan marah dari suami saya yang mempertahankan pendiriannya.
Dan tiba tiba, pedang itu disodokkan ke depan, menembus kerongkongan saya.
Dengan kaget dan penuh rasa marah, benci , sedih dan kecewa, serta rasa tidak percaya bahwa dia betul betul melakukannya; saya menatap wajah mertua saya yang juga terlihat kaget, kemudian perlahan lahan memudar dan saya merasa seperti jatuh berputar putar dalam kegelapan yang rasanya lamaaa sekali.
Walaupun seperti cerita film sinetron, tetapi semuanya terlihat dan dirasakan dengan jelas, rasa sakit waktu ujung pedang itu menusuk, apalagi emosi terakhir yaitu marah, benci , sedih dan kecewa.
Selesai meditasi, perasaan negatif tersebut masih terbawa.
Pengalaman ini saya ceritakan kepada Bhante, dan beliau menyarankan untuk merenungkan kemarahan , benci, sedih dan kecewa tersebut dan memperhatikannya sampai lenyap.
Berhari hari perasaan tersebut muncul berulang kali, dan saya berlatih untuk memperhatikan sampai lenyap, muncul lagi, perhatikan lagi kadang kadang malah makin menjadi kuat, baru perlahan lahan lenyap.
Mungkin ada sekitar 2 minggu , baru setelah itu betul betul tidak muncul lagi.
Setelah itu, saya jarang sekali sakit tenggorokan.
Apakah saya melihat kehidupan masa lalu, atau hanya kepintaran pikiran yang menipu, saya tidak tahu.
Kalau bertanya pada Bhante, jawabnya sambil tersenyum : “yang penting sudah tidak sakit tenggorokan lagi, lupakan saja itu”.
Tapi ya bagaimanapun , saya tidak bisa lupa, karena apa yang dialami terasa sangat intens.