4 PANDANGAN BERBELIT-BELIT
17. “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan dengan bersikap “berbelit-belit”. Seandainya suatu hal ditanyakan, mereka akan menjawab dengan berbelit-belit sehingga membingungkan. Pandangan ini diuraikan dalam empat cara. Apakah asal mula dan dasarnya maka mereka berpandangan demikian?”
Pandangan Ketigabelas
18. “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang tidak mengerti dengan baik, hal sesungguhnya yang dimaksudkan dengan “baik” atau “buruk”. Ia menyadari, “Saya tidak mengerti dengan jelas hal sesungguhnya yang dimaksudkan dengan baik atau buruk. Demikianlah, seandainya saya menyatakan bahwa “ini baik” atau “itu buruk”, maka saya akan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan, keinginan, penolakan dan ketidaksukaan. Berdasarkan pada hal tersebut, saya akan salah, dan kesalahan tersebut menyebabkan saya menyesal, dan perasaan menyesal ini menyebabkan suatu penghalang bagiku.” Demikianlah, karena rasa takut atau tidak suka pada kesalahan disebabkan menyatakan pandangan, ia tidak akan menyatakan sesuatu itu baik atau buruk. Seandainya suatu pertanyaan diajukan kepadanya, ia akan menjawab dengan berbelit-belit dan membingungkan, dengan menyatakan: saya tidak mengatakan demikian, saya tidak mengatakan yang lainnya, saya tidak mengatakan berbeda pendapat, saya tidak menolak pendapatmu, saya tidak mengatakan begini atau begitu.”
Pandangan Keempatbelas
19. “Selanjutnya para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang tidak mengerti dengan baik, hal sesungguhnya yang dimaksudkan dengan “baik” atau “buruk”. Ia menyadari, “Saya tidak mengerti dengan jelas hal sesungguhnya yang dimaksudkan dengan baik atau buruk. Demikianlah, seandainya saya menyatakan bahwa “ini baik” atau “itu buruk”, maka saya akan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan, keinginan, penolakan dan ketidaksukaan. Berdasarkan pada hal tersebut, saya akan terikat pada keadaan batin yang menyebabkan kelahiran kembali, dan ikatan itu akan menyebabkan saya menyesal, dan perasaan menyesal ini menyebabkan suatu penghalang bagiku.” Demikianlah, karena rasa takut atau tidak suka pada kesalahan disebabkan menyatakan pandangan, ia tidak akan menyatakan sesuatu itu baik atau buruk. Seandainya suatu pertanyaan diajukan kepadanya, ia akan menjawab dengan berbelit-belit dan membingungkan, dengan menyatakan: saya tidak mengatakan demikian, saya tidak mengatakan yang lainnya, saya tidak mengatakan berbeda pendapat, saya tidak menolak pendapatmu, saya tidak mengatakan begini atau begitu.”
Pandangan Kelimabelas
20. “Selanjutnya para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang tidak mengerti dengan baik, hal sesungguhnya yang dimaksudkan dengan “baik” atau “buruk”. Ia menyadari: saya tidak mengerti dengan jelas hal sesungguhnya yang dimaksudkan dengan baik atau buruk. Tetapi, ada pertapa dan brahmana yang pandai, cerdik, pengalaman dalam berdebat, pintar mencari kesalahan, pandai mengelak, yang mampu mematahkan pandangan orang lain dengan kebijaksanaan mereka. Maka, seandainya saya menyatakan ini baik atau itu buruk, mereka datang padaku, meminta pendapatku, dan menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Karena mereka bersikap begitu padaku, saya tidak sanggup memberikan jawaban. Dan, hal ini akan menyebabkan saya menyesal, dan rasa penyesalan ini akan menjadi suatu penghalang bagiku.”
Pandangan Keenambelas
21. “Selanjutnya para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang bodoh dan dungu. Dan karena kebodohan dan kedunguannya, maka seandainya ada pertanyaan yang diajukan kepadanya, ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan, dengan menyatakan, bahwa seandainya ada pertanyaan kepadaku:
• Apakah ada dunia lain? Jikalau saya pikir ada, saya akan menjawab begitu. Tetapi, saya tidak mengatakan demikian. Saya tidak berpandangan begini atau begitu. Saya pun tidak berpandangan “bukan kedua-duanya”. Saya tidak membantahnya. Saya tidak mengatakan ada atau tidak ada dunia lain. Demikianlah, ia bersikap berbelit-belit. Begitu pula sikap dan jawabannya kalau ditanyakan masalah-masalah:
• Tidak ada dunia lain.
• Ada atau tidak ada dunia lain.
• Bukan ada dan bukan tidak ada dunia lain.
• Ada makhluk yang terlahir secara spontan [langsung], tanpa melalui rahim ibu (opapatika).
• Tidak ada makhluk opapatika.
• Ada atau tidak ada makhluk opapatika.
• Bukan ada dan bukan tidak ada makhluk opapatika.
• Ada buah sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
• Tidak ada buah sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
• Ada atau tidak ada buah sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
• Bukan ada dan bukan tidak ada buah sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
• Setelah meninggal, Tathagata tetap ada.
• Setelah meninggal, Tathagata tidak ada.
• Setelah meninggal, Tathagata ada atau tidak ada.
• Setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada.”
-----------------------
23. Mereka semua menerima perasaan-perasaan tersebut melalui kontak yang berlangsung terus menerus dengan (saraf) penerima (dari indera-indera). Berdasarkan pada perasaan-perasaan (vedana) muncul keinginan (tanha), karena adanya keinginan muncul kemelekatan (upadana), karena adanya kemelekatan muncul proses menjadi (bhava), karena adanya proses menjadi muncul kelahiran (jati), karena adanya kelahiran terjadi kematian (marana), kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesusahan dan putus asa (soka parideva dukkha domanassa upayasa). Tatkala seorang bhikkhu mengerti hal itu sebagaimana hakekatnya, asal mula dan akhirnya, kenikmatan, bahaya dan cara membebaskan diri dari pemuasan enam inderanya, maka ia dapat mengetahui segala yang termulia dan tertinggi dari semuanya itu.
24. “Para bhikkhu, siapa pun, apakah ia pertapa dan brahmana yang ajaran atau paham mereka berkenaan dengan keadaan masa lampau atau berkenaan dengan keadaan masa yang akan datang, atau pun berpaham kedua-duanya, berspekulasi mengenai keadaan yang lampau dan yang akan datang, yang dengan bermacam-macam dalil menerangkan tentang keadaan yang lampau dan yang akan datang, mereka semua telah terjerat di dalam jala 62 pandangan ini. Dengan berbagai keadaan mereka jatuh dan berada di dalamnya, dan dengan berbagai cara mereka berusaha melepaskan diri, tetapi sia-sia belaka karena mereka terjerat di dalamnya. Bagaikan seorang penjala ikan yang pandai akan menjala di sebuah kolam kecil dengan sebuah jala yang baik, berpikir: ikan apa pun yang berada dalam kolam ini, walaupun berusaha membebaskan diri, tetap semuanya akan terperangkap di dalam jala ini.”
25. “Para bhikkhu, bagi Dia yang di luar jala, Ia yang telah mencapai kesempurnaan, Tathagata, yang sedang berada di hadapan kamu, karena segala belenggu pengikat penyebab kelahiran kembali telah diputuskannya. Selama kehidupan jasmaninya masih ada, maka selama itu para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi tatkala kehidupan jasmaninya terputus di akhir masa kehidupannya, maka para dewa dan manusia tidak dapat lagi melihatnya. Bagaikan sebatang pohon mangga yang ditebang, maka semua buah yang ada di pohon mengikutinya. Demikian pula, walaupun tubuh jasmani dari Dia yang telah mencapai kesempurnaan, Tathagata, masih berada di depan kamu, namun demikian semua belenggu penyebab kelahiran kembali telah diputuskannya. Selama kehidupan jasmaninya masih ada, maka selama itu para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi tatkala kehidupan jasmaninya terputus di akhir masa kehidupannya, maka para dewa dan manusia tidak dapat lagi melihatnya.”
semoga kita semua tidak berada dalam jala-jala ini....dan mencapai nibbana. "akhir dari derita"
salam metta.