Setelah pemakaman Chin-Mang, donatur biaranya mengatur perjalanan Wu-Ming ke biara Han-hsin dimana aku tinggal sebagai kepala biara. Seorang biksu menemukan Wu-Ming di gerbang biara dan melihat sebuah surat dengan namaku ditempelkan ke jubahnya, dan mengantarkannya ke tempatku.
Sesuai kebiasaan, ketika pertama kali memperkenalkan diri pada kepala biara, seorang biksu yang baru datang akan bersujud tiga kali dan meminta dengan hormat supaya diterima sebagai murid. Sehingga aku terkejut ketika Wu-ming berjalan masuk ruangan, mengambil sebuah mentimun dari guci di bawah tangannya, memasukkannya utuh ke mulutnya, dan dengan senang mengunyah, menampilkan seringai bodoh tanpa gigi yang suatu hari akan menjadi legenda. Dengan santai melihat sekeliling ruangan, dia berkata, “Makan siangnya apa?”
Setelah membaca surat Chin-Mang tua yang terkasih, aku memanggil biksu kepala dan memintanya mengantar murid baruku tempat para biksu. Setelah mereka pergi aku memikirkan kata-kata Chin-mang. Biara Han-hsin memang tempat berlatih paling disiplin: musim dingin sangat dingin menusuk dan di musim panas mentari bersinar terik. Para biksu tidur tidak lebih dari tiga jam sehari dan makan satu kali makanan sederhana setiap hari. Sisanya dihabiskan untuk bekerja keras di biara dan berlatih di aula meditasi. Tetapi sayang, Chin-mang telah mendengar kabar yang benar, diantara semua muridku tidak ada yang aku rasa dapat menjadi penampung untuk menerima transmisi Dharma yang tak dapat ditransmisikan (untransmittable transmitted Dharma). Aku mulai merasa putus asa bahwa suatu hari, tanpa adanya penerus, akan gagal untuk memenuhi kewajibanku meneruskan silsilah Dharma guruku.
Para biksu tidak dapat disalahkan atas dasar kepuasan atau kemalasan. Ketulusan aspirasi mereka dan usaha disiplin mereka patut dikagumi, dan banyak yang telah mencapai kebijaksanaan yang hebat. Namun mereka terlalu terpaku pada kemampuan mereka menjalankan disiplin keras dan bangga akan kebijakan mereka. Mereka bersaing satu sama lain untuk kedudukan yang terhormat dan berkuasa, dan bersaing antar mereka untuk pengakuan. Iri hati, persaingan, dan ambisi sepertinya bergantung seperti awan hitam di atas biara Han-hsin, menghisap bahkan yang paling bijaksana dan paling tulus kedalamnya. Memegang surat Chin-Mang, aku berharap dan berdoa semoga Wu-ming ini, “Bodhisattva tak sengaja” ini dapt menjadi ragi yang dibutuhkan oleh resepku.
Menyenangkan hatiku, Wu-ming menjalani hidup di Han-hsin seperti bebek masuk ke air. Dengan permintaanku, dia diberi tugas di dapur mengasinkan sayuran. Hal ini dikerjakannya tanpa lelah, dan dengan senangnya ia mengumpulkan dan mencampur bahan-bahan, mengangkat tong berat, dan membawa air, dan tentunya mencontohkan kerja kerasnya. Ia senang!
Ketika para biksu berkumpul di aula meditasi, mereka selalu mendapatkan Wu-ming duduk dalam kediaman total, sepertinya berada dalam samadhi yang dalam. Tidak ada yang menyangka bahwa sebenarnya hal yang ‘dalam’ tentang meditasi Wu-ming adalah bahwa ia menemukan bahwa postur meditasi, kaki dilipat dengan posisi lotus, punggung tegak, sangat kondusif terhadap tidurnya berjam-jam yang sangat dia suka.
Hari demi hari, ketika para biksu berjuang untuk memenuhi kewajiban fisik dan spiritual kehidupan biara, Wu-ming, dengan senyum dan siulan, melalui semuanya tanpa usaha. Walaupun, jika kebenaran diungkapkan, latihan Zen Wu-ming adalah tanpa nilai apapun, secara penampilan dia dinilai oleh semua biksu telah mencapai pencapaian hebat dan disiplin sempurna. Tentunya, aku bisa saja menghilangkan salah sangka ini dengan mudah, tetapi aku merasakan bahwa sihir unik Wu-ming telah mulai berpengaruh dan aku tidak akan membuang cara aneh ini.