//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw  (Read 16405 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« on: 15 September 2011, 05:44:42 PM »
SAKKA PANHA SUTTA
Mahasi Sayadaw

(Alih Inggris – Indonesia: Chandasili Nunuk Y. Kusmiana,
Editor: Samuel B. Harsojo, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Medio Juli 2003)

KATA PENGANTAR

Buku ini berisi terjemahan ceramah Mahasi Sayadaw tentang Sakka Panha Sutta. Sayadaw memberikan ceramah tentang Sakka Panha Sutta pada bulan desember 1977 dalam kunjungan tahunan para umat untuk mendengarkan pembabaran dhamma dari beliau. Permintaan ceramah diajukan oleh U Pwint Kaung. Ia adalah ketua organisasi pengembangan Buddha sasana.

Ketua organisasi itu mengharapkan Sayadaw memberikan suatu ceramah yang bersifat umum dan universal. Dengan alasan inilah Sayadaw memilih serangkaian tema ceramah yang diambil dari Sakka Panha Sutta.

Sutta ini bercerita kepada kita tentang percakapan Sang Buddha Gotama dengan raja dewa Sakka. Sakka bertanya asal muasal timbulnya konflik, rasa frustrasi dan penderitaan yang dialami semua mahluk. Sayadaw membahas panjang lebar tentang sutta ini. Dalam sutta ini terdapat kata-kata Sang Buddha tentang hal yang bisa membuat dunia damai sejahtera serta beberapa pesan penting di dalamnya.

Ceramah Sayadaw bersifat informatif serta mampu memberi pencerahan. Banyak dari pandangan beliau yang sangat penting untuk menumbuhkan pemahaman dalam praktek dhamma sehari-hari.

Disamping itu Sayadaw mengingatkan tentang hal lain yakni pengantar suatu sutta tidaklah sepenting inti ajaran itu sendiri. Hal ini beliau katakan sehubungan dengan kontroversi yang timbul dibelakang hari tentang Abhidhamma Pitaka. Dimana kitab terakhir ini tidak diakui oleh sekelompok umat Buddha karena ketiadaan pengantar di dalamnya. Padahal intisari Abhidhamma yang dibabarkan langsung oleh Sang Buddha melalui Sariputta Thera sangat penting.

Beliau juga membahas praktek hidup sehari-hari dari sekelompok umat yang telah menyimpang dari ajaran Sang Buddha. Seperti diketahui, saat ini ada sekelompok pemuka agama yang sering berpidato dengan penuh semangat dan berapi-api. Ada juga para umat yang memohon pertolongan dari kekuatan supra seperti kepada tuhan dan lain-lain. Malah ada lagi praktek penyembelihan massal sejumlah hewan pada suatu festival keagamaan di vihara. Penyembelihan hewan-hewan itu dimaksudkan sebagai tumbal. Sudah pasti perilaku semacam ini salah besar dan menyalahi aturan. Bandingkan dengan perilaku benar seperti praktek dhamma untuk memperoleh pandangan terang.

Pada bagian lain Sayadaw membabarkan intisari dari Sakka Panha Sutta sebagai sesuatu yang luar biasa. Beliau berceramah setelah banyak melakukan pengamatan yang rasional dari Tipitaka dan kitab-kitab komentar. Penjelasan beliau tentang bentuk pikiran yang menyedihkan dan bersifat depresif serta bagaimana menyikapinya bisa dijadikan inspirasi dari sementara yogi yang berkeyakinan rendah. Dimana keyakinan yang rendah ini muncul karena adanya hambatan pada praktek spiritual mereka. Penjelasan-penjelasan Sayadaw akan membantu para yogi untuk meneruskan latihannya kala menemukan hambatan ketika tengah berlatih vipassana.

Sesuatu yang penting disebutkan di sini, nilai mendasar yang dibahas di sini tidak sebatas hanya untuk umat Buddha saja tapi berhubungan erat dengan kehidupan manusia secara umum. Terlihat pula sutta materi dhamma yang sangat menyentuh masalah yang terjadi pada manusia dan mahkluk hidup lainnya dalam lingkaran kehidupan. Terakhir, bagi siapapun yang tengah melakukan praktek dhamma semoga bisa mengakhiri penderitaan.

Bhikkhu Indika (Nyaunggan)
Mahasi Dhammakathika
16, Sasanayeiktha, Rangoon
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #1 on: 15 September 2011, 05:44:58 PM »
Diskusi tentang
SAKKA PANHA SUTTA

Sebelum membahas lebih jauh tentang Sakka Panha Sutta alangkah baiknya mengulas kata “Sakka Panha” sendiri. Dalam literatur-literatur Buddhisme, Sakka adalah nama yang diberikan pada raja para dewa. Sementara kata Panha berarti pertanyaan. Bila digabung Sakka-Panha artinya pertanyaan Sakka. Sakka Panha berisi tanya jawab tentang kesejahteraan mahluk hidup dalam lingkaran kehidupan. Tanya jawab ini berlangsung antara Sakka sebagai penanya dan Sang Buddha yang memberi tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan raja para dewa itu.

Pertanyaan Sakka kepada Sang Buddha diawali sebagai berikut, “Yang Mulia, dalam lingkaran kehidupan terdapat mahkluk-mahkluk seperti para dewa, umat manusia, para asura, naga, gandhabba dan masih banyak mahkluk lainnya. Para mahkluk ini ingin bebas dari perselisihan, pertentangan, konflik bersenjata, kebencian dan ketidakbahagiaan”.

Sakka melanjutkan pertanyaannya, “Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka tak bisa membebaskan diri dari hal-hal buruk semacam itu. Rantai belenggu (samyojana) macam apakah yang membuat para mahkluk tak bisa membebaskan diri dari hal-hal buruk demikian ini?”

Sakka tahu betul mengapa ia perlu mengajukan pertanyaan semacam ini. Mengingat apa yang selalu dialami dan dilihatnya di alam surga Tavatimsa dan Catumaharajika (dua wilayah kekuasaan Sakka). Kehidupan para dewa di dua alam surga ini sangat dikenal oleh Sakka. Bagaimana terbukti meski hidup dipenuhi kesenangan indrawi para dewa ini tak terbebas dari konflik dan perselisihan.

Sebagai misal para dewa di alam-alam asura adalah musuh bebuyutan dewa-dewa Tavatimsa. Mereka, para Asura, sering melakukan pertempuran dan penyerangan yang tak kenal henti kepada para dewa Tavatimsa seperti termuat dalam Dhajagga Sutta dan sutta lainnya. Diceritakan dalam berbagai sutta awalnya para Asura hidup di alam surga Tavatimsa.

Ada cerita tentang hal ini. Suatu kali beberapa dewa di alam surga Tavatimsa mulai bertingkah laku buruk seperti bermabuk-mabukan. Melihat tingkah laku tak perpuji ini Sakka memerintahkan para dewa ini untuk keluar dari wilayah Surga Tavatimsa. Segelintir dewa berkelakuan buruk ini kemudian bermukim di kaki gunung Meru. Beberapa dewa yang turun derajat ini kemudian dikenal dengan sebutan mahkluk-mahkluk Asura.

Tertulis juga dalam sutta-sutta itu gambaran tentang mahkluk-mahkluk lainnya. Seperti para naga, gandhabba juga yakka. Naga adalah sejenis ular raksasa yang mampu bekerja dengan kekuatan batin. Para gandhabba adalah para dewa dari alam Catumaharajika yang bertugas menari, bermain musik, membaca puisi dan melakukan aktifitas-aktifitas kesenian yang umum berlangsung di dunia para dewa. Ada juga satu mahluk setengah dewa setengah hewan yang disebut yakka. Yakka berpenampilan layaknya monster.

Sejatinya dalam benak para mahkluk baik para dewa, manusia dan mahkluk hidup lainnya muncul keinginan untuk berada dan menikmati suatu kehidupan yang penuh kedamaian. Mereka tak berharap menjadi musuh, seteru atau pecundang. Pendek kata ada keinginan yang sangat mendalam dari para mahkluk ini untuk tak menjadi musuh dari mahkluk hidup lain. Tidak juga mereka berharap untuk menjadi mahkluk yang suka menyakiti mahluk hidup lain, berlaku kasar, kejam, atau mengerahkan kekuatan jahat atas dorongan materi dan lainnya.

Singkatnya, semua mahkluk hidup menghendaki rasa aman, damai, terbebas dari rasa takut dan merasa berbahagia dalam jangka waktu lama. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Para mahluk ini selalu berada dalam “bahaya”, seperti larut dalam kesedihan berkepanjangan dan didera penderitaan. Apakah hal-hal yang menjadi sebab adanya situasi ini?

Saat ini kami mendengar suara-suara ramai di berbagai belahan dunia, hiruk pikuk masyarakat luas tentang keinginan untuk membentuk suatu dunia yang damai dan adanya kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dunia kita akhirnya akan menjadi suatu dunia yang berbahagia jika kita bisa merealisir impian-impian ini. Tapi, faktanya, impian-impian untuk mengangkat harkat hidup manusia itu masih jauh dari impian semua orang. Bila keadaannya selalu demikian muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan sulitnya keluar dari rasa frustrasi kita?

Menjawab pertanyaan Sakka, Sang Buddha menyebutkan dua kata, “Issa” dan “Macchariya” sebagai dua belenggu yang menjadi sebab utama ketidakbahagiaan semua mahkluk. Issa adalah perasaan cemburu atau iri hati. Perasaan iri hati inilah yang menjadi sebab munculnya kehendak-kehendak jahat kepada seseorang atau suatu mahkluk yang “berseberangan” dengan kita. Sedangkan macchariya adalah pikiran-pikiran picik, pikiran-pikiran buruk yang membuat kita enggan melihat pihak lain “lebih” dibanding kita. Bila dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat materi macchariya berarti sifat kikir. Dua belenggu ini, issa dan macchariya, membuat kita merasa frustrasi dan mendatangkan kesedihan, bahaya, pertentangan, permusuhan, dan perkelahian.

Siapapun dia yang selalu dipenuhi perasaan iri hidupnya tidak bahagia meski ia selalu berkata ingin hidup damai dan bahagia. Kita umumnya suka iri kepada orang yang usahanya maju, kaya, punya kedudukan tinggi di pemerintahan atau punya banyak pengikut.

Ketidakbahagiaan dari orang yang selalu iri atas keberhasilan orang lain timbul karena hatinya dipenuhi oleh kehendak-kehendak buruk demikian. Rasa irinya melihat kesuksesan pihak lain “membakar” dirinya dari dalam. Banyak orang hidup menderita karena dipenuhi perasaan iri. Tak kurang dan tak lebih yang ingin dikatakan adalah, objek rasa irinya (pihak lain yang diirikan) benar-benar telah menjadi musuhnya. Begitu pula sebaliknya. Tak diragukan lagi rasa iri ini akan menjadi subjek bagi mereka yang mampu menarik penderitaan sepanjang hidup bahkan di sepanjang siklus samsara.

Sementara macchariya mendatangkan konflik batin meski ada keinginan kuat dari dalam diri untuk mengabaikannya. Bagi si kikir muncul keinginan untuk mempertahankan apapun miliknya erat-erat. Muncul pula keinginan untuk menyakiti siapa pun yang menggunakan atau mendapatkan barang-barang kepunyaannya. Banyak contoh dalam hal ini; misalnya kasus perceraian di antara pasangan yang telah menikah dikarenakan perebutan harta benda. Atau, adanya sementara pegawai yang merasa tak berbahagia karena kebijakan yang telah ditetapkannya bertentangan dengan pihak lain. Macchariya menumbuhkan perasaan bermusuhan, kecemasan, ketakutan bahkan hidup seolah-olah selalu dalam bahaya.

Merangkum apa yang dibabarkan Sang Buddha di atas, baik issa maupun macchariya termasuk dalam bentuk perasaan. Yang perlu direnungkan lebih jauh adalah apa yang menyebabkan timbulnya perasaan iri hati dan kekikiran ini? Akar dari dua bentuk perasaan iri dan kikir adalah rasa suka dan tidak suka.

Meski demikian Sang Buddha memberi obat untuk menyingkirkan dua bentuk perasaan negatif di atas. Obat yang dimaksud adalah “melihat”, menyadari semua fenomena yang muncul dari keenam panca indera sebagaimana adanya. Kemudian pada tahap awal lepaskan, uraikan, bentuk-bentuk pikiran yang buruk itu serta perbanyak munculnya bentuk-bentuk pikiran yang baik.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #2 on: 15 September 2011, 05:45:18 PM »
Pengantar pada Sakka Panha Sutta

Sebelum membahas lebih dalam tentang Sakka Panha Sutta perlu kiranya diceritakan dimana, mengapa, kepada siapa, oleh siapa dan bagaimana pembabaran sutta ini dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keaslian dari sutta ini (apakah benar telah dibabarkan oleh Sang Buddha?) serta menghindari keragu-raguan yang mungkin muncul di belakang hari. Tanpa pengantar seperti ini asal muasal sutta terbuka untuk dipertanyakan di kemudian hari seperti dalam kasus Abdidhamma Pitaka yang tak memiliki pengantar sama sekali.

Marilah melihat kasus Abdihamma Pitaka terlebih dahulu sebagai perbandingan yang patut direnungkan. Abdidhamma Pitaka dibabarkan Sang Buddha di surga Tavatimsa. Pada waktu itu Sang Buddha memutuskan menjalani tiga bulan musim hujan (masa vassa) di tempat ini. Sementara di siang hari Sang Buddha pergi ke hutan di kaki gunung Himalaya untuk beristirahat. Pada saat dimana Sang Buddha membabarkan dhamma di alam surga beliau mengirimkan cahaya (nimita) berupa bentuk diri beliau di hadapan Sariputta Thera. Kepada Thera murid utama ini Sang Buddha kemudian memberikan ringkasan Abdihamma Pitaka. Setelah itu Sariputta Thera meneruskan pembabaran dhamma ini kepada 500 bhikkhu. Tak heran bila dibelakang hari Abdidhamma Pittaka dikatakan bukan ajaran langsung Sang Budddha melainkan buah pikir Sariputta Thera.

Tapi dalam kitab komentar (Visudhi magga) dikatakan bahwa ajaran (Abhidhamma Pitaka) yang beliau (Sariputta Thera) babarkan ini berasal dari Sang Buddha, maka tidak perlu disangsikan lagi bahwa Abhidamma Pitaka adalah benar-benar ajaran Sang Buddha. Sejujurnya memang Abdihamma Pitaka tak punya kalimat pembuka atau kalimat pengantar seperti, “Evam me Suttam… (demikianlah yang pernah kudengar…)”.

Sedemikian tegasnya kitab komentar menulis tentang keaslian Abdidhamma Pitaka sebagai ajaran asli Sang Buddha sehingga tak perlu muncul keragu-raguan di benak kita. Meski umumnya sebagian besar dari ajaran yang termuat di dalam kitab kanon (yang terkumpul pada saat konsili sangha pertama) memiliki pengantar. “Pengantar” ini berdasar pada suatu percakapan. Umumnya berupa pertanyaan dan jawaban di antara para thera pada suatu kesempatan. Meski demikian terdapat perkecualian pada beberapa sutta yang tidak memiliki pengantar termasuk Abdihamma Pitaka.

Kembali pada Sakka Panha Sutta, pengantar sutta ini terbilang luar biasa. Pengantar sutta ini “menunjuk langsung” kepada intisari ajaran Sang Buddha. Pada konsili sangha pertama Mahakassapa Thera bertanya kepada Ananda Thera mengapa dan kepada siapa sutta ini dibabarkan. Setelah itu dilanjutkan dengan jawaban-jawaban yang mengikuti pertanyaan tersebut.

Kemudian muncul latar belakang mengapa Sakka Panha sutta ini ada. Demikian awalnya, suatu kali Sang Buddha tinggal di sebuah gua di bagian timur kota Rajagaha dari negeri Magadha. Pada waktu itulah Sakka berkeinginan mengunjungi Sang Buddha. Bukan pertama kali ini Sakka mengunjungi guru para dewa dan manusia ini. Sakka pernah mengunjungi beliau pada saat Sang Buddha baru mencapai kebuddhaannya juga ada kesempatan berikutnya di Vihara Jetavana di kota Savatti.

Diceritakan pada waktu itu Sakka belum matang secara spiritual sehingga Sang Buddha tak memberi pertanyaan kepada raja para dewa ini. Sekarang Sakka memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha diiringi para pengikutnya. Sakka punya niat khusus mengapa ia ingin mengunjungi Sang Buddha. Tentu saja alasan utamanya adalah Sakka ingin mendengarkan pembabaran dhamma dari Sang Buddha. Sebab sebagaimana diketahuinya banyak orang berhasil meraih tingkat-tingkat kesucian pada saat pembabaran dhamma oleh Sang Buddha. Meski demikian Sakka memiliki alasan yang sangat pribadi pada kunjungannya kali ini.

Akhir-akhir ini muncul di dalam dirinya pemikiran bahwa masa hidup Sakka sebagai raja para dewa akan berakhir. Tanda-tanda akan berakhirnya kehidupannya di alam dewa mulai muncul. Ia menjadi sangat cemas. Pemikiran ini membangkitkan hasrat yang sangat kuat dalam diri Sakka untuk mengunjungi Sang Buddha. Untuk mencari cara bagaimana menyelamatkan hidupnya.

Ketika seorang dewa akan memasuki alam kematian muncul lima tanda yang menunjukkan hal itu; 1) Bunga di kepalanya mulai layu; 2) pakaiannya yang biasanya gemerlapan mulai kusut dan terlihat kotor; 3) Biasanya seorang dewa tidak pernah berkeringat tapi keringat ini akan muncul di ketiaknya menjelang kematian; 4) timbul kerutan di wajah dewa ini. Perlu diketahui wajah dewa umumnya adalah berseri-seri dan terlihat selalu nampak muda; 5) muncul rasa capai dan keletihan jasmani pada minggu terakhir menjelang kematian.

Sakka berpikir kematiannya sudah dekat begitu ke-5 tanda-tanda itu muncul pada dirinya. Ia sangat tertekan mengalami hal ini. Untuk menyingkirkan depresinya tak ada yang lebih baik baginya kecuali mendengarkan dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha. Setelah pemikian ini muncul dalam sekejap Sakka dan para pengikutkan muncul di tempat Sang Buddha berada.

Dalam kitab komentar (Visudhi Magga) dijelaskan hanya dibutuhkan satu kali rentangan atau tekukan tangan saja bagi Sakka dan para pengikutnya untuk melakukan perjalanan dari alam dewa Tavatimsa ke negeri Magadha. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mahatika Thera tentang fenomena muncul dan lenyapnya segala sesuatu pada saat itu juga. Dimana para yogi yang memiliki kemampuan batin “melihat” atau “menyadari” muncul dan lenyap objek batin dan jasmani (nama dan rupa) secara cepat menurut metode satipatthana menjadi sadar akan hal itu.

Jadi Sakka dan para pengikutnya lenyap dari alam dewa dan muncul di negeri Magadha melewati suatu kurun waktu sepadan dengan proses muncul dan lenyapnya fenomena batin-jasmani. Hal ini benar-benar berlangsung satu saat, satu detik lamanya. Keadaan demikian bisa terjadi karena adanya kammajiddha. Kammajiddha adalah suatu kemampuan muncul dan lenyap di suatu waktu tertentu. Hal ini umum dimiliki oleh para dewa. Kecepatan muncul-lenyap ini melebihi kecepatan roket atau pesawat ulang-alik modern.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #3 on: 15 September 2011, 05:45:34 PM »
Sebelum benar-benar bersua dengan Sang Buddha terlebih dahulu Sakka ingin medapatkan semacam izin dari beliau. Karenanya Sakka mengutus dewa Pancasikka untuk mencari tahu apakah Sang Buddha berkenan bertemu dengan Sakka. Dalam hal ini muncul kata “pasadeyyasi” yang secara literer berarti membuat seseorang senang dan tersanjung. Menurut kitab komentar kata ini berarti; memberi kepuasan pada seseorang sebelum mendapatkan jawababnya. Kata yang bermakna ekspresi dalam bahasa Pali ini sering digunakan oleh orang-orang India kuno untuk berbicara dengan penuh tata krama.

Guna lebih menjelaskan makna kata pasadeyyasi ini baiklah kami kutip perumpamaan percakapan Kancil dan Gajah. Kancil berkata demikian, “Tuanku bisakah kiranya membuat kedua mata paduka terang?”.

Dengan kata lain hal di atas bisa berarti, “Mungkinkah menolongku untuk mengerjakan beberapa hal?”.

Dalam memenuhi permintaan rajanya dewa Pancasikka pergi ke tempat Sang Buddha berdiam dan berdiri dengan sikap hormat pada jarak tertentu di hadapan guru agung ini. Pancasikka memainkan harpanya sambil menyanyikan lagu puji-pujian tentang Buddha, Dhamma, Sangha dan para Arahat. Tentu saja penghormatan semacam ini tak diperlukan sama sekali oleh Sang Buddha. Beliau tak memetik keuntungan apapun dengan jenis puji-pujian semacam ini. Tak juga berguna praktek pembacaan paritta di masyarakat Burma modern dimana naskah-naskah suci itu dibacakan dengan nada-nada tertentu. Juga tak ada gunanya bagi seorang Buddha berbagai festival Pagoda (Vihara) dalam skala besar yang umumnya berlangsung di zaman modern ini. Juga semakin tak bermanfaat melakukan pembunuhan hewan-hewan untuk diolah menjadi makanan lezat yang umum terjadi saat festival pagoda berlangsung. Sejujurnya praktek-praktek semacam ini bertentangan dengan ajaran Sang Buddha.

Beberapa lagu yang dinyanyikan dewa Pancasikka sangat membangkitkan hawa nafsu. Ini bisa dipahami. Karena saat itu Pancasikka tengah jatuh cinta dengan seorang dewi kahyangan dimana pihak terakhir ini telah menolak cintanya. Tak heran bila salah satu syair lagunya berisi kecantikan dan keindahan Sang dewi serta rasa frustasi yang dialaminya karena patah hati. Rasa frustasi yang tersirat dari lagu-lagu Pancasikka menunjukkan kehidupan para dewa tak selalu seindah kelihatannya.

Meski demikian sebagian besar lagu-lagu pujian Pancasikka berisi hal-hal terpuji tentang seorang Buddha, Dhamma, Sangha dan para Arahat. Dimana para Ariya ini memiliki konsentrasi yang terpusat pada jhana-jhana dan selalu sadar.

Jhana berarti kemampuan mengawasi sebuah obyek yang tengah dilihat seseorang. Jhana juga bisa berarti konsentrasi. Ia juga bisa diartikan sebagai sifat alamiah dari batin dan jasmani dengan berbagai karakteristiknya (menjadi subyek dari ketidakkekalan, penderitaan dan ketanpa-intian). Diceritakan semasa Sang Buddha masih menjadi Bodhisatva beliau sering melakukan meditasi pernapasan sampai mencapai jhana-jhana tingkat tinggi. Pencapaian jhana-jhana ini terpusat pada satu jenis objek saja yang umumnya berlangsung lama. Melalui kekuatan jhana di awal malam parinibbana Boddhisatva Siddhatta menjadi awas dan “tahu” bentuk-bentuk kehidupannya di masa lalu. Kekuatan ini dinamakan Pubbenivasanana.

Diceritakan pula dalam Tipitaka saat tengah malam menjelang kebuddhaan itu Sang Boddhisatva memperoleh kekuatan dibba cakku. Kekuatan ini adalah kekuatan supra natural berisi kemampuan melihat muncul dan lenyapnya segala jenis mahkluk dalam lingkaran kehidupan. Pada sisa malam Boddhisatva melakukan perenungan yang berisi kebijaksanaan berupa ketergantungan segala sesuatu. Waktu ini beliau memperoleh pengetahuan batin tentang muncul dan lenyapnya fenomena batin dan jasmani saat beliau tengah melihat, mendengar, membau dan lain-lain.

Kesadaran yang bersifat penuh dan tetap serta kemampuan melihat kondisi alamiah setiap mahkluk ini adalah tanda dari kematangan batin. Tapi, tanda-tanda ini tak dikenali oleh dewa Pancasikka. Yang diketahui dewa ini Sang Buddha adalah mahluk yang telah terbebas dari kematian (Amata). Kata amata berasal dari bahasa sansekerta yang berarti tanpakematian atau sesuatu yang merujuk pada nibbana.

Kembali ke syair lagu-lagu dewa Pancasikka. Sebagian lagu Pancasikka selain berisi puji-pujian kepada para ariya juga bermaksud menyenandungkan cinta pada salah satu dewi. Dewi itu hanya mengizinkan Pancasikka berdekatan dengannya selama satu hari saja. Ini sebuah tanda bahwa dewi ini tak menginginkan dirinya. Merasa cintanya ditolak Sang dewa mencurahkan frustrasinya dalam lagu-lagunya. Disini terlihat bagaimana kehidupan dewa tak ada bedanya dengan manusia biasa yang ketika dipenuhi oleh hasrat indrawi tak bisa lagi berpikir rasional.

Suatu kali di Burma ada seorang bhikkhu muda. Ia murid Sayadaw terkenal. Ia memutuskan meninggalkan Sangha untuk menikah dengan gadis pujaan hatinya. Murid Sayadaw lainnya mencela pasangan itu. Tapi Sang guru, Sayadaw tersebut hanya bereaksi demikian, “Tidak seharusnya kalian menyalahkan mereka”.

“Mereka terperangkap dalam kondisi ini karena belenggu kerinduan. Jadi yang harus kalian salahkan adalah kerinduannya,” lanjut Sayadaw tersebut. Betapa realistisnya ajaran ini.

Kembali ke kunjungan Sakka. Ketika Pancasikka tengah menyanyikan lagu-lagunya Sang Buddha memancarkan pikiran penuh cinta kasih mengharapkan kebahagiaan Sakka secara batin dan jasmani. Hal semacam ini adalah wajar karena bagaimana pun setiap mahkluk merindukan kebahagiaan. Inilah cara Sang Buddha memberkati orang-orang yang memberi hormat kepada beliau.

Tak ada kata-kata berisi doa dari raja dewa Sakka yang disampaikan melalui Pancasikka. Tapi melalui kata-kata bahasa Pali Abhivadeti abhivandati vandati, kita mengerti Sakka mengekspresikan diri untuk bisa memperoleh kebahagiaan. Dengan kata lain ia, Sakka, berharap Sang Buddha akan berkata, “Semoga engkau berbahagia”.

Sang Buddha memberkati para umat dengan cara itu. Cara ini mendatangkan ide bagi para bhikkhu untuk bersikap demikian pula kepada umat yang datang memberikan persembahan dan penghormatan di zaman modern ini.

Perlu diketahui umat datang ke vihara dan mengunjungi bhikkhu dengan menyimpan banyak harapan. Tapi pengharapannya terkadang terdengar aneh dan tak masuk akal. Bahkan ada beberapa dari mereka menunjukkan ekspresi emosional kepada bhikkhu yang tengah bertugas saat itu. Sebenarnya hal-hal semacam itu tak perlu dilakukan. Memberikan penghormatan kepada Buddha Rhupang, melaksanakan ajaran atau beranjali kepada para bhikkhu sebagai representasi sangha sebenarnya sudah cukup.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #4 on: 15 September 2011, 05:45:51 PM »
Hanya yang terjadi kadang lebih dari itu. Beberapa umat datang untuk memohon sesuatu di vihara, seperti meminta doa atau berkah kepada para bhikkhu. Yang melakukan hal ini tak terbatas umat perempuan saja. Umat laki-laki pun banyak melakukan hal tersebut.

Saat memberi penghormatan kepada Sang Buddha, Sakka tak mengharapkan keuntungan yang bersifat duniawi. Ia hanya berharap memperoleh keuntungan seperti tersirat dalam kata-kata Pali; Abhivadanasilissa nicam… dan seterusnya. Ini mengartikan suatu harapan dari umat awam agar dikaruniai umur panjang dan hidup berbahagia. Selayaknya dengan cara demikian para bhikkhu memberkati umat awam.

Sudah lama Sakka ingin mengunjungi dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Tapi banyak hal membuatnya baru bisa mengunjungi Beliau saat ini. Tugas Sakka diantaranya menyelesaikan permasalahan di antara para dewa.

Dalam kunjungannya kali ini Sakka bercerita tentang keadaan di alam dewa yang mengalami banyak perkembangan baru. Sakka menuturkan bagaimana saat kemunculan Sang Buddha populasi para dewa meningkat tajam. Sakka sendiri telah membuktikan hal itu.

Hal di atas cukup logis. Lebih dari 100 juta orang tinggal di lembah sungai Gangga bagian tengah pada zaman Sang Buddha hidup. Wilayah ini adalah wilayah asal penyebaran agama Buddha. Dari jumlah itu 80 juta diantaranya adalah pengikut Sang Buddha. Kecuali para Arahat dan Anagami sebagian besar umat Buddha ini telah mencapai alam dewa saat ini. Itulah perkiraan jumlah populasi para dewa.

Perlu diketahui Sakka hadir saat pertama kali Sang Buddha membabarkan Dhammacakkapavatana Sutta. Sakka melihat setelah itu banyak umat berlindung kepada Buddha, rajin berdana, juga mempraktekkan sila. Akibat perbuatan baik ini setelah meninggal dunia mereka terlahir di alam dewa.

Berlindung kepada Buddha berarti berlindung juga kepada Dhamma dan Sangha. Berlindung kepada ketiganya berarti secara otomatis telah melakukan perbuatan-perbuatan terpuji. Dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha menghindarkan kita terlahir di alam-alam tingkat rendah seperti di alam neraka, peta maupun alam binatang.

Banyak perbuatan baik yang nampaknya sederhana seperti memberi dana makanan kepada para bhikkhu yang telah mencapai tingkat kesucian tertentu membawa akibat tumbuhnya karma baik yang besar. Berkah karma baik itu jauh lebih besar dibanding karma baik memberi makan orang biasa secara gratis selama bertahun-tahun.

Kemudian Sakka bercerita tentang seorang dewa bernama Gopaka. Dalam hidup sebelumnya Gopaka adalah putri raja di kota Savatti bernama Gopika. Gopika adalah umat awam yang sangat berbakti kepada Sang Buddha. Ia rajin menjalankan lima sila serta tekun menjalankan kehidupannya sebagaimana layaknya umat perempuan. Pada saat itu ia tertekad terlahir kembali sebagai laki-laki. Setelah meninggal Ia terlahir sebagai putra Sakka dan dipanggil dengan nama Gopaka.

Suatu kali Gopaka melihat tiga gandhabba datang untuk menghibur Sakka. Pada saat Gopaka melihat ke-3 gandhabba itu ia tahu betul siapakah sebenarnya mahluk-mahluk itu sebelumnya. Ketiga gandhabba itu adalah penghuni baru di alam dewa seperti halnya dirinya. Sebelumnya ketiganya adalah para bhikkhu yang sering diberi dana makanan oleh umat perempuan Gopika di alam dunia dulu. Melihat kenyataan itu Gopaka bertanya dalam hati apakah sebabnya ketiga bhikkhu yang dulu ia sokong hidupnya terlahir kembali sebagai dewa tingkat rendah?

Kenyataan ini bertolakbelakang dengan tekad suci yang diikrarkan oleh ketiga bhikkhu itu dulu. Sementara lihatlah dirinya yang hanya seorang umat awam biasa bisa terlahir lagi sebagai putra Sakka. Tentu saja tidak secara kebetulan Gopika bisa terlahir sebagai Gopaka si putra Sakka. Hal ini bisa terjadi akibat keyakinan dan moralitasnya.

Setelah berhadap-hadapan baik Gopaka dan ke-3 gandhabba menyadari siapa diri mereka dulu. Ketiga gandabba itu sadar betul keterikatannya kepada kehidupan para gandhabba lah yang menyebabkan mereka lahir kembali di lingkungan dewa tingkat rendah ini.

Setelah itu dua di antara ke-3 gandhabba mulai mempraktekkan meditasi di tempat itu juga. Akibat karma lampaunya sebagai bhikkhu yang luar biasa ke-2 gandhabba bisa melepaskan keterikatan kepada kehidupan dewa tingkat rendah itu. Tak lama mereka mampu meraih tingkat kesucian Anagami pada saat itu juga. Disebutkan waktu yang mereka butuhkan untuk mencapai tingkat kesucian anagami itu hanya satu detik.

Dewa satunya lagi, bagaimana pun juga, tak mampu menyingkirkan keterikatannya. Sehingga dewa terakhir ini tetap terbelenggu di alam dewa tingkat rendah ini. Perlu kami ingatkan bagaimana orang-orang umumnya ingin terlahir kembali di tempat yang pernah diakrabinya.

Demikian juga yang terjadi dengan Raja Bimbisara. Ia adalah pengikut setia Sang Buddha. Setelah meninggal dunia Raja Bimbisara terlahir kembali sebagai anak buah dari seorang dewa di alam Catumaharajika. Ia tak mampu meraih kedudukan di alam dewa yang lebih tinggi karena keterikatannya pada hidup sebelumnya. Kehidupan-kehidupan mendatang muncul sedemikian rupa sebagai akibat dari keinginan atas keterikatan pada kehidupan sebelumnya.

Kembali ke cerita kedua gandhabba itu. Ke-2 dewa tingkat rendah itu setelah melakukan meditasi mampu meraih jhana-jhana dan mencapai tingkat anagami. Akibat baik ini disebabkan oleh praktek hidup mereka sebelumnya sebagai seorang bhikkhu.

Kehidupan alam dewa dipenuhi kenikmatan inderawi. Bagi siapapun yang telah meraih tingkat kesucian anagami tak bisa tinggal di sini. Jadi dalam sekejap kedua gandhabba ini meninggal dunia dan menuju ke alam Brahma. Bagi Sakka transformasi kedua dewa ke alam Brahma yang ia saksikan sendiri sungguh membuatnya takjub. Ketika ia mendengar penjelasan anaknya, Sakka berharap bisa berbagi pengalaman spiritual dengannya.

Selebihnya tanda-tanda kematian yang ia alami membangkitkan hasrat Sakka untuk mendengarkan Dhamma. Sakka merenung demikian, bila ia berkesempatan mendengarkan dhamma mungkin ia akan memperoleh masa depan yang lebih baik. Meski belum tentu saat itu ia memperoleh pandangan terang. Sakka merenung ulang, “mendengarkan dhamma adalah yang terbaik yang bisa kulakukan menjelang kematian”.

Merenungkan kembali kisah kedua dewa itu seharusnya kita tidak berkecil hati apabila mengalami hambatan pada saat latihan meditasi. Karena tekad yang sungguh-sungguh dalam mempraktekkan dhamma akan membuat kita terlahir di alam dewa. Bila kita ingat kembali pada hal-hal yang telah kita praktekkan di alam manusia kita bisa melanjutkannya di tempat yang baru ini. Salah satu sutta di dalam Anggutara Nikaya tertulis tubuh dewa begitu murni serta tembus pandang. Bagi dewa-dewa yang pernah melakukan praktek dhamma dalam kehidupan sebelumnya dhamma menjadi lebih jelas di sini.

Memang membutuhkan waktu untuk mengingat kembali. Tapi proses pengingatan kembali itu terjadi secara cepat mengikuti kemampuan batin dewa bersangkutan. Meski tak bisa dipungkiri beberapa dewa barangkali telah melupakan dhamma karena pesona kehidupan alam dewa yang serba gemarlap dan penuh kemewahan.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #5 on: 15 September 2011, 05:46:09 PM »
Sebagai dewa mereka tak memiliki duka jasmani sebagaimana layaknya manusia. Ketiadaan duka jasmani ini menyebabkan batin mereka lebih awas dibanding kita manusia. Sekali para dewa menaruh perhatian pada dhamma melalui perenungan atau mendengar pembabaran dhamma, mereka bisa langsung mengerti dan memperoleh pandangan terang dalam waktu singkat. Jika, umpamanya, seorang yogi yang tekun berlatih meditasi tak berhasil meraih kemampuan batin dalam kehidupan saat ini, setelah meninggal dunia mereka akan memperolehnya di sana.

Pertanyaan Sakka

Sebelum mengajukan pertanyaan Sakka memperlihatkan sikap-sikap tertentu guna mendapatkan izin dari Sang Buddha. Sikap-sikap khusus sebagai tanda seseorang akan melakukan “ini” atau “itu” adalah sesuatu yang biasa dalam kelas masyarakat tinggi (bangsawan) baik di zaman Sang Buddha maupun saat ini. Setelah “upacara” ini barulah Sakka mengajukan pertanyaan.

“Yang Mulia, semua mahluk hidup berharap terbebas dari kehendak-kehendak jahat seperti kemarahan atau kebencian. Mereka tak menginginkan munculnya pertengkaran. Mereka juga tak ingin melakukan hal-hal buruk lainnya. Yang mereka harapkan adalah adanya rasa aman, damai, bahagia dan kebebasan. Kenyataannya, mereka tak bisa terbebas dari mara bahaya dan penderitaan. Apa yang menyebabkan hal ini?”, tanya Sakka pada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab demikian, “O raja para dewa, semua mahluk hidup mengharapkan rasa aman, damai, bahagia dan kebebasan. Kenyataannya mereka tak bisa terbebas dari konflik, mara bahaya, kebencian dan penderitaan. Kondisi-kondisi yang tak membahagiakan mahluk hidup ini disebabkan adanya dua belenggu yakni rasa iri hati, issa, dan kekikiran, macchariya“.
ISSA atau Iri Hati

Yang perlu dijelaskan disini mengenai karakteristik iri hati adalah munculnya keenganan melihat kekayaan dan kemajuan orang lain. Iri hati bersifat merusak ke dalam diri karena akan memunculkan perasaan dengki dan nafsu-nafsu jahat. Perasaan iri, issa, melahirkan penderitaan di sini dan saat ini. Bila belengggu issa tak diputuskan ia akan terbawa sampai ke kehidupan mendatang.

Perasaan iri juga mendatangkan akibat buruk bagi objek yang diirikan. Minimal dunia yang dipenuhi dengan banyaknya orang bersifat iri akan membuat tempat ini menjadi tempat yang tak nyaman untuk ditinggali.

Orang yang iri merasa benci melihat kemajuan dan kebahagiaan pihak lain. Jadi karakteristik iri hati adalah munculnya perasaan tidak suka melihat kesejahteraan orang lain. Ia tak suka melihat orang lain lebih maju, dipromosikan pada kedudukan lebih tinggi di kantornya, tampan atau cantik serta lebih sukses. Otomatis orang yang dipenuhi perasaan iri lebih dulu menderita dibanding objeknya.

Perasaan iri memicu munculnya tindakan jahat atau buruk. Bagi seseorang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan akan mencari segala cara untuk menjatuhkan orang yang ia irikan. Dengan melakukan cara-cara ini orang yang ia irikan ada kemungkinan akan melakukan tindakan balasan pada suatu saat. Meski orang yang ia irikan tak melakukan tindakan balasan si iri hati tetap menuai penderitaan dalam kehidupan kini dan mendatang.

Sifat iri membuat orang semakin menderita. Membuat orang semakin terbakar. Bukankah perasaan ini justru menyuburkan tumbuhnya karma buruk? Dalam Culakammavibhanga Sutta tertulis orang yang sering memupuk perasaan iri akan terlahir dengan tubuh lemah dan hanya memiliki sedikit pelayan.

Lihatlah dunia kita saat ini. Ada laki-laki atau perempuan yang tak ingin mendengar apapun tentang kekayaan, kecerdasan, keberuntungan atau kesejahteraan orang lain. Mereka juga tak ingin mendengar tentang kesehatan seseorang atau ketrampilan dan kesuksesannya dalam pergaulan.

Orang-orang ini akan mengatakan apapun atau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan orang yang mereka irikan. Satu contoh yang umum saat ini bagaimana propaganda dalam kehidupan modern dimotivasi oleh perasaan iri. Padahal perasaan ini hanya mengantarkan seseorang ke neraka dan tinggal di sana untuk waktu lama. Bahkan setelah keluar dari sana dan terlahir lagi sebagai manusia mereka akan terlahir dengan kedudukan rendah, sedikit pelayan, kurang dikenal dan memiliki kesehatan yang buruk.

Di sisi lain orang yang bergembira dengan keberuntungan pihak lain berarti memiliki kehendak atau niat baik dalam dirinya. Orang semacam ini turut berbahagia mendengar keberuntungan atau kemajuan pihak lain. Sebisa mungkin ia akan membantu orang lain untuk hidup bahagia dan sejahtera.

Dengan cara-cara yang baik semacam ini bila ia meninggal kelak akan terlahir kembali di alam dewa dan menikmati hidup bahagia di sana. Sementara bila terlahir kembali sebagai manusia ia akan memiliki pengaruh, banyak pengikut dan kesehatan yang baik.

Barangsiapa menghendaki kemajuan dalam kehidupan ini dan kehidupan mendatang harus menyingkirkan sifat iri hati. Di sisi lain ia harus mengembangkan perasaan mudita (perasa simpati atau berbahagia atas keberuntungan pihak lain).
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #6 on: 15 September 2011, 05:46:25 PM »
MACCHARIYA atau Kekikiran

Macchariya adalah perasaan pelit atau kikir. Orang yang memiliki sifat ini cenderung ingin menyimpan rapat-rapat hartanya untuk dirinya sendiri. Perasaan pelit atau kikir berhubungan dengan ketidakinginan pihak lain memiliki atau berhubungan dengan objek-objek dimana ia terikat. Inilah karakteristik sifat kepemilikan yang ekstrim.

Ada enam jenis keterikatan atas harta benda yakni; 1. pada tempat tinggal, 2. teman-teman atau sahabat dekat, 3. barang berwujud seperti perabot rumah tangga dan lain-lain, 4. makanan dan minuman, 5. pelajaran serta 6. puji-pujian.

Jenis kikir yang pertama, keterikatan pada tempat tinggal, umum terjadi di lingkungan hidup beberapa bhikkhu. Mereka tak ingin melihat bhikkhu lain tinggal di lingkungan viharanya. Apalagi kalau bhikkhu terakhir ini memiliki sila atau moral yang baik. Ketakutan ini berhubungan dengan perasaan cemas bila para umat bhikkhu yang kikir itu berdana kepada bhikkhu lain. Bhikkhu semacam ini akan mengalami banyak penderitaan setelah kematiannya karena keterikatannya kepada kehendakjahatnya.

Secara umum pelit atau kikir terbagi menjadi beberapa jenis. Yang pertama adalah Vanna Macchariya. Vanna Macchariya adalah hasrat pribadi untuk memiliki kualitas khusus seperti kecantikan fisik yang sangat spesial. Orang semacam ini akan iri kepada orang lain yang memiliki kecantikan sejenis. Bila perasaan buruk ini diteruskan akan mengakibatkannya terlahir kembali dengan wajah buruk rupa sebagai akibat berbuahnya karma buruk jenis ini.

Perasaan pelit kedua disebut Dhamma Macchariya. Dhamma Macchariya adalah perasaan pelit untuk berbagi pengetahuan. Misalnya ada seseorang yang ingin belajar sesuatu darinya, ia hanya akan berbagi sangat sedikit pengetahuan. Bila memupuk macchariya jenis ini akan mengakibatkan terlahir kembali sebagai orang pandir atau bodoh.

Perasaan pelit atau kikir ketiga disebut Avasa macchariya. Avasa macchariya umum terjadi di lingkungan para bhikkhu. Hal ini berhubungan dengan apa-apa yang dimiliki oleh sangha (komunitas para bhikkhu). Ia, bhikkhu itu, merasa vihara yang ditinggalinya selama ini sebagai vihara pribadinya.

Umat awam ada juga yang terjangkit perasaan pelit jenis ini. Misalnya seorang petinggi suatu organisasi yang menganggap bangunan umum kerohanian seperti pura, pusat meditasi dan lain-lain sebagai milik pribadinya.

Perasaan pelit jenis keempat disebut Kula macchariya. Kula macchariya juga umum terjadi di lingkungan para bhikkhu. Sebagai contoh ada sementara bhikkhu yang tak ingin umatnya dekat dengan bhikkhu lain. Contoh lain, beberapa bhikkhu melarang umatnya mengunjungi bhikkhu lain atau melarang umatnya mendengarkan ceramah-ceramahnya. Sementara di lingkungan umat awam macchariya ini pun ada. Misalnya, pemimpin organisasi politik yang menginginkan loyalitas atau kesetiaan pengikutnya.

Perasaan pelit kelima disebut Lobba macchariya. Lobba macchariya pun banyak terjadi di lingkungan para bhikkhu. Misalnya, keinginan untuk memonopoli dana-dana umat. Bhikkhu ini hanya ingin umatnya berdana untuk dirinya, untuk viharanya dan tidak untuk pihak lain. Ada cerita tentang Losakatissa Thera yang menarik untuk ditulis di sini. Cerita ini menggambarkan bagaimana macchariya jenis ke-5 ini bekerja dan membuahkan karma buruk yang luar biasa.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #7 on: 15 September 2011, 05:46:39 PM »
Cerita tentang Losakatissa Thera

Pada masa hidup Buddha Kassapa ada seorang bhikkhu yang tinggal di suatu desa. Untuk memenuhi kebutuhannya bhikkhu ini bergantung pada pemberian umat awam di desa itu. Suatu kali seorang bhikkhu berkunjung ke desa ini. Bhikkhu tamu ini tinggal dan bermalam bersama bhikkhu terdahulu di satu-satunya vihara di desa ini.

Sejak awal kedatangan bhikkhu tamu kecemasan mulai melanda pikiran si bhikkhu desa. Ia takut bila umatnya lebih menyayangi dan mencintai bhikkhu tamu. Sejak itu pula ia mencari cara bagaimana mengusir si bhikkhu tamu.

Suatu kali ada seorang umat mengundang kedua bhikkhu untuk menerima dana makan di rumahnya. Undangan itu tak disampaikan bhikkhu desa kepada bhikkhu tamu. Jadilah bhikkhu desa memenuhi undangan makan sendirian.

Mengetahui si bhikkhu tamu tak turut hadir di rumahnya umat awam yang berbakti ini menitipkan dana makan kepada bhikkhu desa untuk disampaikan kepada beliau. Tapi, alih-alih menyampaikan dana makanan tersebut bhikkhu desa justru membuangnya dalam perjalanan pulang.

Waktu berlalu. Setelah cukup lama bhikkhu desa meninggal dunia. Akibat perbuatan buruknya di atas bhikkhu desa terlahir di alam neraka. Di tempat ini ia menderita dalam bilangan kalpa lamanya. Setelah itu ia terlahir kembali di alam binatang. Sebagai hewan, mantan bhikkhu desa sering menderita kelaparan dalam jangka waktu sangat panjang.

Dalam tumimbal-lahirnya yang terakhir ia lahir kembali di sebuah desa nelayan di negeri Kosala, India. Karena perbuatan buruknya di masa lalu kelahirannya dianggap mendatangkan kesialan bagi orang tua dan penduduk nelayan. Dimana sejak bayi ini lahir pendapatan mereka turun dratis.

Tentu saja kepala kampung nelayan ingin mengetahui siapa gerangan yang membuat desa ini tertimpa sial. Setelah menyelidiki secara seksama ia mendapatkan fakta si bayi yang baru dilahirkan oleh seorang perempuan pengemislah yang mendatangkan kesialan. Akhirnya bayi dan ibunya dikucilkan oleh penduduk desa.

Bahkan, saking putus-asanya ibunya sendiri meninggalkannya di rumah bila ia pergi untuk mengemis. Ibunya terpaksa melakukan hal ini karena pengalaman-pengalaman buruk sebelumnya yang dialaminya bersama si bayi. Bila ibu miskin ini pergi meminta-minta dan membawa serta bayinya ia tak memperoleh apapun. Tapi, bila pergi sendiri ia masih memperoleh sedikit yang cukup untuk makan satu hari itu.

Suatu kali Sariputta Thera melihat anak yang tengah kelaparan ini tak jauh dari vihara. Karena belas kasihnya sang Thera membawa anak ini ke vihara. Setelah cukup umur ia ditahbiskan sebagai bhikkhu. Sebagai bhikkhu ia selalu tidak beruntung. Sering kali ia tak memperoleh, bahkan sejumput makanan, dalam suatu pesta besar sekali pun. Bila pun suatu kali memperoleh makanan, dari suatu pindapatta misalnya, ia hanya memperoleh sangat sedikit. Bahkan diceritakan makanan-makanan yang diperolehnya hanya cukup untuk menyambung hidupnya satu hari itu. Karena ketidakberuntungannya bhikkhu ini diberi nama Losakatissa.

Akibat karma buruknya membuang makanan dulu terus dialami bhikkhu Tissa meski ia telah berhasil meraih kearahatan. Singkat kata, menjelang parinibbana, Yang Mulia Sariputta Thera mengajak bhikkhu Tissa ke kota Savatti untuk berpindapatta. Hari itu adalah hari terakhirnya di dunia. Hari itu ia akan menuntaskan tumimbal lahirnya. Ia tak akan terlahir lagi sebagai mahkluk apapun.

Saat Yang Mulia Sariputta Thera dan bhikkhu Tissa berpindapatta tak ada satu orang pun yang berdana makanan kepada beliau berdua. Akhirnya Sariputta Thera meminta bhikkhu Tissa menunggu di suatu tempat. Bhikkhu Tissa kemudian duduk di suatu tempat peristirahatan sederhana yang disediakan oleh penduduk Savatti untuk kebutuhan para bhikkhu. Kemudian Sariputta Thera berpindapatta sendirian memasuki kota Savatti.

Setelah Sariputta Thera berpindapatta sendirian barulah ada beberapa umat yang berdana makanan untuk beliau. Kemudian beliau meminta tolong seorang umat awam untuk menyampaikan dana makanan yang telah diperolehnya kepada bhikkhu Tissa. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanannya sesaat lagi. Namun apa mau dikata, dalam perjalanan menuju tempat bhikkhu Tissa beristirahat dana makanan yang seharusnya diberikan kepada beliau dimakan sendiri oleh umat awam itu sampai habis.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #8 on: 15 September 2011, 05:46:58 PM »
Sekembalinya dari berpindapatta Yang Mulia Sariputta Th mengetahui apa yang terjadi. Akhirnya beliau memberi makanan terakhir yang diperolehnya itu kepada bhikkhu Tissa dengan memegangi mangkuk, patta, sambil menungguinya makan. Dengan cara ini Losakatissa memakan makanan terakhirnya, yang ternyata sangat sedikit itu. Pada sore itu juga bhikkhu Losakatissa mencapai nibbana.

Cerita ini memberi gambaran kepada kita betapa menakutkannya akibat karma buruk dari macchariya. Berbagai jenis macchariya umum berjangkit di lingkungan umat awam. Sebagai contoh adanya praktek monopoli dalam dagang adalah bentuk lobba macchariya. Atau contoh lain dimana seseorang tak ingin orang lain secantik atau setampan dirinya. Ini adalah bentuk belenggu vanna macchariya. Juga umum terjadi sementara orang yang tak ingin berbagi pengetahuan apapun dengan orang lain. Kikir terakhir ini adalah contoh dhamma macchariya.

Seseorang yang diliputi perasaan kikir ingin menjauhkan siapa pun dari hal-hal dimana ia terikat. Muncul perasaan, hanya ia sajalah yang berhak menggunakan benda-benda itu. Hanya ia sajalah yang berhak berteman dengan si A atau si B. Lihatlah akhir-akhir ini, terutama di kota-kota besar, kaum pria dan wanita mengancam pasangannya karena dilihatnya pihak terakhir ini memiliki hubungan dengat dengan lawan jenis lain. Bahkan, ada pasangan yang begitu marahnya melihat istri atau suaminya melakukan percakapan besahabat dengan orang lain yang berbeda jenis kelaminnya.

Singkat kata, macchariya memunculkan perasaan posesif, hasrat untuk mengenggam erat segala sesuatu. Ia berusaha menutup segala peluang siapapun berhubungan dengan hal-hal berharga miliknya.

Apa yang dikatakan Sang Buddha tentang sebab-sebab ketidakbahagiaan para mahluk, yang bersumber pada iri hati dan kikir ini, sangat relevan bagi Sakka. Dari pengalamannya sebagai dewa ia mengakui kebenaran jawaban-jawaban Sang Buddha atas pertanyaannya.

Perlu diketahui, meski Sakka adalah raja para dewa waktu itu, ia pun dibelenggu oleh perasaan-perasaan negatif. Mendekati hari-hari terakhirnya ia diliputi perasaan tak bahagia memikirkan kemungkinan istrinya akan jatuh ke tangan pihak lain (penggantinya). Atau muncul pikiran akankah penggantinya kelak lebih baik dari dirinya?

Cinta dan Benci

Setelah puas dengan jawaban Sang Buddha di atas Sakka mengajukan pertanyaan lain, “Yang mulia, apa yang menjadi sebab munculnya issa, iri hati, dan macchariya, kekikiran?”

Sakka melanjutkan pertanyaannya, “Adakah jalan untuk menyingkirkan issa dan macchariya?”

Sang Buddha menjawab demikian, “O raja para dewa, issa dan macchariya muncul disebabkan oleh perasaan cinta dan benci. Jika tak ada landasan berupa cinta dan benci tak akan muncul perasaan iri hati dan kikir”.

Dalam ajaran Sang Buddha, cara untuk menyingkirkan penderitaan adalah menghilangkan penyebabnya. Cara ini seperti yang dilakukan oleh seorang dokter. Sebelum melakukan pengobatan umumnya seorang dokter akan mencari tahu dulu sebab-sebab penyakit pasiennya. Setelah sebab-sebabnya diketahui barulah dokter bersangkutan memberi resep yang tepat untuk penyakit itu. Seperti ini pula lah jawaban Sang Buddha. Bahwa cinta dan bencilah yang menjadi sebab penderitaan mahluk hidup.

Objek kecintaan tak berbatas. Ia bisa berupa benda hidup atau benda mati yang bisa membawa kesenangan bagi kita seperti perempuan, laki-laki, bentuk-bentuk, suara, dan lain-lain. Sementara objek kebencian adalah apa-apa saja yang mendatangkan ketidasenangan bagi kita. Misalnya, perasaan iri timbul bila seseorang yang tidak kita sukai lebih kaya dan berhasil dari kita.

Jika orang yang melebihi kita adalah orang yang kita sayangi akan muncul perasaan suka cita. Orang tua tak akan cemburu kepada anak laki-lakinya yang lebih terkenal dari mereka. Di sisi lain keterkenalan dan keunggulan anak mereka akan memunculkan perasaan bangga.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #9 on: 15 September 2011, 05:47:49 PM »
Nafsu Keinginan sebagai sebab Cinta dan Benci

Sang Buddha melanjutkan lagi penjelasannya, bahwa sebab-sebab cinta dan benci adalah nafsu keinginan. Yang dimaksud Sang Buddha tentang nafsu keinginan disini adalah suatu hasrat untuk meraih kenikmatan dari apa-apa yang dirindukannya.

Nafsu keinginan terbagi lima:

1. Hasrat yang tak terpuaskan untuk memenuhi objek-objek inderawi. Nafsu keinginan jenis ini mendorong seseorang untuk terus-menerus mengejar keinginannya bahkan pada kehidupan-kehidupan selanjutnya.
2. Kehausan yang sangat untuk mendapatkan dan menambah objek-objek inderawi. Ketika hasrat seseorang sudah terpenuhi kemudian muncul keinginan yang baru. Dalam hal ini tak ada nafsu keinginan yang pernah berakhir. Bahkan para jutawan ingin lebih kaya dan memiliki makin banyak uang. Tak perduli berapa banyak harta benda yang telah dimiliki ia menginginkan lebih.
3. Kehausan untuk menikmati berbagai objek inderawi baik berupa barang-barang material maupun non material. Orang-orang suka menikmati berbagai jenis pertunjukkan, musik, opera, dan lain-lain. Mereka tak pernah puas untuk terus menikmatinya meski telah pernah melakukannya banyak kali.
4. Kehausan untuk terus menyimpan emas, perak, berlian atau untuk menimbun uang dalam berbagai bentuk. Penimbunan ini dimaksudkan untuk digunakan dalam keperluan mendadak di masa depan.
5. Nafsu keinginan dari sementara orang untuk memberi uang dan benda-benda berharga lainnya kepada para pengikutnya, pegawainya, dan lain-lain.

Nafsu keinginan menumbuhkan cinta dan benci. Berbagai mahluk hidup atau benda-benda yang mampu memenuhi keinginannya menimbulkan perasaan cinta. Sementara objek benda maupun orang yang menghalangi keinginannya menumbuhkan perasaan benci.

Kemudian Sakka bertanya kepada Sang Buddha tentang asal nafsu keinginan. Sang Buddha menjawab adanya nafsu keinginan disebabkan oleh vitakka. Dalam Visuddhi Magga tertulis Vitakka artinya berpikir dan memutuskan.

Ada dua karakteristik vitakka. Jenis pertama berdasar pada nafsu keinginan. Sementara jenis yang lain berasal dari kepercayaan. Dengan kata lain kamu berpikir dan memutuskan ketika kamu menghiraukan, mengacuhkan, sebuah objek inderawi sebagai sesuatu yang menyenangkan, menggairahkan serta mempesona. Atau ketika kamu menaruh perhatian pada objek hidup seperti seseorang atau mahkluk muncul kecenderungan untuk memikirkan, memutuskan atau memberi pendapat.

Ketika lengah, sedang tidak awas, saat melihat, mendengar, membau, menyentuh, dan lain-lain akan muncul pikiran yang dilanjutkan dengan keputusan. Aktifitas mental ini menimbulkan kerinduan dan keterikatan.

Kemudian Sakka bertanya kepada Sang Buddha tentang sebab munculnya vitakka. Sang Buddha menjawab bahwa vitakka bersandar pada suatu persepsi atau prasangka. Persepsi berarti memperluas atau memperpanjang sesuatu atau melebih-lebihkan sesuatu.

Ada tiga jenis prasangka; tanha (bersifat kerinduan), bersifat sombong (mana) dan ditthi (kepercayaan). Seseorang yang tidak awas umumnya jatuh kepada belenggu tanha, mana dan ditthi. Dalam banyak sutta ketiganya dikenal sebagai anak-anak mara. Ketiga belenggu itu mampu memcengkeram seseorang untuk mempertebal “aku”-nya. Ini diibaratkan seperti sebuah negatif foto mungil yang bisa dicetak menjadi foto berukuran besar, lebih tebal, dan lain-lain. Dengan keterlibatan ketiga anak mara itu suatu kesan bisa “dipertebal”, “diperluas” atau “diperdalam”.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #10 on: 15 September 2011, 05:48:05 PM »
Menaklukkan Tanha, Mana dan Ditthi

Saat melihat seseorang tak hanya menangkap sesuatu yang bersifat kasat mata saja. Setelah merekam wujud benda secara fisik masih ada proses selanjutnya yakni munculnya persepsi, prasangka, yang akan membawa pada permainan tanha (kerinduan), mana (kesombongan) dan ditthi (kepercayaan).

Tanha membuat objek itu seolah-olah tampak menyenangkan, berharga, sehingga perlu dimiliki atau sebaliknya. Setelah itu mana dan ditthi mengambil perannya masing-masing. Kedua anak mara terakhir ini akan menumbuhkan kesombongan kemudian mempertebal konsep tentang adanya “aku”, misalnya benda itu punyaku, milikku.

Saat kita mengulang perbuatan tersebut, melihat atau mendengar umpamanya, ini akan menjadi awal dari proses munculnya pikiran. Setelah itu pikiran akan berproses lagi yakni memutuskan apakah kita suka atau tidak suka pada objek yang tengah kita lihat. Kemudian proses-proses selanjutnya mengambil peranan. Dimana pada gilirannya nafsu keinginan pun muncul.

Adanya nafsu keinginan memunculkan proses cinta dan benci. Cinta dan benci pada gilirannya mendatangkan perasaan iri hati dan kikir. Perasaan iri dan kikir yang menumpuk membuat seseorang menjadi frustrasi dan sangat menderita.

Setelah membabarkan sebab awal dari penderitaan segala mahluk Sang Buddha menberikan petunjuk bagaimana caranya keluar dari jeratan tanha, mana dan ditthi. Sebelumnya Sang Buddha menjelaskan bahwa perasaan terbagi dua; yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Sang Buddha menjelaskan lagi hal-hal yang harus kita lakukan sehubungan dengan perasaan. Bahwa ada perasaan menyenangkan dan tak menyenangkan yang harus kita perhatikan. Serta perasaan menyenangkan dan tak menyenangkan yang harus diabaikan (singkirkan).

Selain kedua bentuk perasaan itu ada lagi perasaan netral, upekkha. Perasaan netral sering hadir dalam hidup seseorang. Perasaan ini muncul saat kita tidak merasa senang maupun susah. Perasaan upekkha sendiri terbagi dua; upekkha yang harus kita perhatikan atau pelihara dan upekkha yang harus kita singkirkan.

Berbagai bentuk perasaan di atas (perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan maupun netral) yang harus kita pelihara adalah bentuk-bentuk perasaan yang bersumber dari pikiran baik akibat buah kesadaran. Sementara perasaan-perasaan yang muncul tetapi bersumber dari pikiran-pikiran buruk saat kita lengah harus disingkirkan. Kitab komentar menggambarkan ajaran di atas sebagai vipassana atau meditasi pandangan terang.

Dalam Tipitaka Pali ajaran Sang Buddha di atas bisa digambarkan sebagai berikut:
“Sakka, saya mengajarkan adanya dua jenis perasaan menyenangkan, vedana; perasaan menyenangkan yang harus dipelihara dan perasaan menyenangkan yang harus disingkirkan”.

“Jika engkau tahu bahwa suatu perasaan menyenangkan menolong membantu tumbuhnya kesadaran serta menuju ke arah perkembangan batin yang lebih baik, dimana perasaan ini juga mampu menghambat munculnya bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik, engkau seharusnya memelihara perasaan ini. Jika, engkau tahu perasaan menyenangkan yang muncul menghambat munculnya proses kematangan batin dan menghambat munculnya bentuk-bentuk pikiran yang baik, sebaiknya perasaan-perasaan ini kamu singkirkan”.

Perasaan menyenangkan terdiri dari dua jenis: yang pertama muncul akibat suatu perenungan (refleksi yang muncul setelah melakukan praktek meditasi). Kedua, perasaan menyenangkan yang tak ada hubungannya dengan sebab-sebab perenungan (dipengaruhi oleh vitakka dan vicara). Dari kedua perasaan menyenangkan ini, perasaan menyenangkan yang tak dipengaruhi oleh vitakka dan vicara adalah yang terbaik.

[*Oleh Nyanatiloka Thera dalam Buddhist Dictionary, Vitakka dan vicara diterjemahkan sebagai: konsep berpikir dan loncatan-loncatan pikiran.]
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #11 on: 15 September 2011, 05:48:24 PM »
Perasaan Menyenangkan dan Pikiran tak Bermanfaat

Perasaan menyenangkan menjadi pemicu munculnya bentuk pikiran tak bermanfaat (bentuk-bentuk pikiran buruk) bila berasal dari objek-objek panca indera. Sebagian besar orang berusaha memuaskan kebutuhan indranya seperti makanan, minuman yang enak juga seks. Jika mereka memperoleh apa yang diinginkan muncul perasaan puas.

Tapi kesenangan semacam ini memicu munculnya lebih banyak nafsu keinginan. Nafsu keinginan ini menumbuhkan hasrat untuk memenuhinya. Tak heran bila sebagian besar orang menganggap jika nafsu-nafsu indrawi terpenuhi maka kebahagiaan telah diperoleh.

Sebaliknya, jika nafsu keinginannya tak terpenuhi muncul perasaan frustrasi. Jadi betapa berbahayanya membawa bentuk-bentuk pikiran yang tak bermanfaat semacam itu. Apalagi dengan permainan tanha, mara dan ditthi, semakin beragam dan besarlah nafsu keinginan jadinya.

Dalam Salayatanavibbhanga Sutta – Majjhima Nikaya tertulis adanya bentuk-bentuk perasaan menyenangkan yang harus kita singkirkan. Sutta ini membahas pula secara lengkap objek-objek indrawi yang ada di dalam diri manusia.

Terdapat 6 obyek indra. Ini berhubungan dengan organ-organ indrawinya masing-masing. Bila obyek-obyek indra berhubungan dengan organ-organ indra terjadilah kontak. Kontak ini menumbuhkan perasaan senang dan tidak senang. Kesenangan yang muncul akibat kontak dengan objek indra semacam ini lah yang harus dihindari.

Jalan untuk menghindari munculnya perasaan senang dan susah akibat objek-objek indra adalah menjadi sadar. Sadar saat melihat, mendengar, mengecap, menyentuh, dan lain-lain. Jika muncul pikiran-pikiran yang bersifat pemuasan indra para yogi harus mencatat kemudian mengenyahkannya. Meskipun begitu kami menyadari tak mungkin seorang yogi pemula mampu mencatat seluruh proses pikiran yang muncul.

Jadi mulailah dengan obyek-obyek jasmani karena obyek ini kasat mata. Sadari adanya unsur-unsur di dalam jasmani ketika itu muncul. Karena tubuh seseorang sebenarnya terbentuk dari unsur tanah, air, panas dan angin (pathavi, apo, tejo, vayo).

Dalam Satipatthana Sutta Sang Buddha berkata demikian, “Gacchanto va gacchamiti pajanati… seorang yogi tahu saat ia sedang berjalan”.

Kata-kata Sang Buddha di atas menunjukkan bahwa kesadaran yang jernih mampu melihat adanya unsur padat (tanah) dan gerak (unsur vayo, angin) pada saat seorang yogi sedang bermeditasi jalan. Pada saat sedang berjalan seorang yogi juga harus mencatat adanya unsur-unsur lain yang saat itu muncul seperti kekakuan (tanah), pergerakan (angin), kelembutan (air) di kaki dan tubuh. Ia juga harus mencatat munculnya perasaan dingin, hangat dan ringan (dipengaruhi oleh unsur panas) juga adanya berat dan ringan (yang dipengaruhi unsur apo). Elemen apo (air) tak bisa dilihat. Ia hanya bisa diketahui melalui kontak dengan elemen atau unsur lain yang tergabung di dalamnya.

Para yogi di pusat meditasi kami mengawali latihan meditasi vipassana dengan “melihat” pergerakan sekat diafragma yang umum dikenal dengan nama naik dan turunnya perut. Hal ini persis sama dengan yang digambarkan dalam satipatthana sutta. Ketika seorang yogi tekun mempraktekkan vipassana ia mampu menyadari ketidakkekalan dan leburnya unsur-unsur jasmani.

Para yogi akhirnya tahu bahwa jasmani (rupa) yang sedang dilihatnya saat ini adalah subjek dari ketidakkekalan (anicca) dan penderitaan (dukkha). Pengetahuan batin, pandangan terang, ini menumbuhkan perasaan gembira. Jenis suka-cita semacam ini digambarkan sebagai jenis perasaan yang akan mengantarkan pada kebebasan.

Hal di atas tertulis dalam satipatthana sutta. Kitab komentar menambahkan; akan muncul perasaan gembira ketika seorang yogi menyadari adanya ketidakkekalan, penderitaan, dan lain-lain. Pengetahuan batin ini muncul akibat dari utuhnya kesadaran melihat obyek-obyek meditasi. Jenis suka cita (kegiuran) semacam ini tentu bermanfaat.

Dalam kitab komentar tertulis adanya empat jenis suka cita; 1. suka cita yang muncul akibat penolakan kondisi duniawi pada umumnya, 2. kegembiraan yang muncul karena merenungkan sifat-sifat Sang Buddha, 3. kegembiraan akibat pikiran yang terserap ke dalam tingkat-tingkat konsentrasi (jhana-jhana), 4. Kegembiraan yang muncul akibat praktek meditasi vipassana.

Kegembiraan bermanfaat muncul melalui berbagai sebab seperti sudah dijelaskan di atas. Akan muncul perasaan gembira ketika seseorang melakukan penolakan atas kecenderungan duniawi pada umumnya. Seseorang bisa sangat bahagia ketika ditahbiskan sebagai bhikkhu, ketika mempraktekkan sila atau vinaya atau ketika pikirannya terserap dalam tingkat-tingkat konsentrasi, dan lain-lain.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #12 on: 15 September 2011, 05:48:34 PM »
Salah satu jenis penolakan, nekkhama, yang berhubungan dengan hidup para suci adalah menolak perkawinan. Sebagaimana disebutkan menikah berarti mensahkan hubungan seks. Padahal dalam praktek vipassana dibutuhkan suatu sila (brahmacariya sila: selibat) dimana seorang yogi diharuskan tidak melakukan hubungan seks. Sehingga dalam kitab Itivuttaka ditulis yang termasuk nekkhama adalah: pentahbisan bhikkhu, Jhana ke satu, vipassana dan nibbana.

Kegembiraan atau suka cita semacam ini bermanfaat. Karena hal-hal ini berakar pada meminimalkan daya pikat indrawi. Sebagai misal perasaan bahagia yang muncul ketika mendengar suatu pembabaran dhamma atau pergi ke suatu pusat meditasi adalah bermanfaat. Karena perasaan-perasaan ini mampu mengikis kekotoran batin.

Sementara kegirangan (baca: piti/kegiuran) akibat praktek vipassana muncul ketika kita sepenuhnya sadar. Disebutkan kegiuran praktek vipassana tertinggi muncul ketika seorang yogi mampu meraih udayabhaya nana (pengetahuan batin ke empat). Saat itu seorang yogi mampu melihat muncul dan lenyapnya segala fenomena jasmani dan batin dengan jelas.

Sementara itu kegirangan (kebahagiaan) yang muncul ketika kita merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah sesuatu yang penting pula. Dalam kitab komentar tertulis, kegembiraan yang muncul karena merenungkan kemuliaan Buddha, Dhamma dan Sangha bisa memunculkan pengetahuan batin. Pengetahuan batin ini bisa membantu mengantarkan kita kepada pencapaian “jalan” dan “buah” (magga dan phala).

Bahkan, demikian kitab komentar, ada seorang yogi yang mampu meraih kearahatan ketika ia tengah merenungkan dan “melihat” meleburnya piti yang muncul di dalam dirinya. Piti adalah kata lain dari kegiuran. Munculnya kegiuran bisa membuka peluang bagi seorang yogi untuk melakukan perenungan berikutnya. Kegiuran semacam ini tentu bermanfaat karena berakar pada jhana.

Terdapat jenis kegiuran akibat memperoleh vitakka dan vicara. Kegiuran vitakka dan vicara sendiri terbagi dua. Pertama, munculkan rasa sukka (kebahagiaan) karena telah memperoleh konsentrasi (upacara samadhi/ tetangga jhana). Kedua, kegiuran yang muncul akibat memperoleh jhana pertama.

Yang lebih tinggi adalah jenis kegembiraan yang tak ada hubungannya dengan vitakka dan vicara. Ia bisa diperoleh pada jhana kedua. Jhana kedua ditandai dengan sukha (kegembiraan yang amat dalam), kegiuran (tanpa vitakka dan vicara) serta mampu berkonsentrasi pada satu objek (ekagata). Sementara jhana ketiga ditandai oleh kegiuran dan ekagata.

Menurut kitab komentar, ketika bertanya kepada Sang Buddha bagaimana menyingkirkan tanha, mana dan ditthi sebenarnya Sakka sedang bertanya tentang praktek vipasana. Sekali lagi kami jelaskan dewa memiliki wujud fisik yang berbeda dengan manusia. Dewa hampir-hampir tak memiliki kendala fisik seperti rasa lelah, lapar dan lain-lain. Sehingga Sang Buddha memberi jawaban agar Sakka memperhatikan perasaannya.

Praktek Vipassana

Pekerjaan rumah dari seorang yogi waktu berlatih vipassana adalah mencatat semua fenomena batin dan jasmani yang muncul dari enam objek indra. Sehingga seorang yogi mampu melihat kondisi batin dan jasmani apa adanya. Kondisi batin dan jasmani memiliki tiga karakter yakni, ketidakkekalan, penderitaan dan ketanpaintian.

Tentu saja awalnya seorang yogi belum mampu mencatat setiap proses yang muncul. Sehingga ia harus mulai dari sesuatu yang jelas (kasad mata) yakni rupa (jasmaninya). Ia harus mencatat “berjalan” pada saat sedang berjalan, dan lain-lain.

Ia harus mencatat setiap perilaku jasmani. Sehingga ia menjadi awas dengan adanya empat unsur yang membentuk tubuhnya. Ia sadar pada saat unsur vayo sedang timbul juga munculnya unsur-unsur lain. Kami kutip lagi apa yang tertulis dalam Satipatthana Sutta, “gacchanto va gacchamiti pajanati… seorang yogi tahu ia sedang berjalan pada saat tengah berjalan”.

Bila seorang yogi ingin menjaga kesadarannya secara berkesinambungan kami menasehatinya untuk memperhatikan naik dan turunnya perut (faktanya terjadi naik dan turun perut karena diagrafma, sekat rongga dada, mengalami kembung dan kempis). semakin lama ia berlatih kesadarannya semakin berkembang.

Setelah itu barulah ia sadar adanya elemen vayo (angin) ketika tengah “melihat” naik dan turunnya perut. Kemudian muncul pengetahuan batin bahwa naik dan turunnya perut ternyata sangat bervariasi. Ia pun menyadari saat mengangkat kaki (pada saat meditasi jalan) dan menurunkannya. Ia juga mampu melihat adanya kesadaran yang bisa mengamati hal-hal itu. Kemampuan membedakan adanya nama dan rupa (batin dan jasmani) ini dinamakan namarupa pariccheda nana.

Semakin lama seorang yogi berlatih semakin berkembang kesadarannya. Konsentrasinya juga semakin terpusat. Karenanya ia tahu ketika tengah menekuk tangan muncul kecenderungan, keinginan, untuk menekukkan tangan sebelum tangan itu benar-benar ditekuk. Ia melihat sesuatu karena adanya organ penglihatan dan sebuah objek untuk dilihat. Ia mengetahui karena adanya organ pikiran serta kesadaran dan objek untuk diketahui. Demikian juga sebaliknya, ia tak mengetahui karena ia sedang tidak sadar pada saat itu.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #13 on: 15 September 2011, 05:48:50 PM »
Ia bisa tergila-gila dengan suatu objek, suatu benda, karena ketidaktahuannya. Bahwa ia benar-benar ingin memenuhi hasratnya karena keterikatannya. Kemudian ia sadar setelah itu akan ada proses selanjutnya. Dimana akibat yang baik dan buruk mengikuti segala tindakannya, dan lain-lain. Pengetahuan batin semacam ini, yakni mengetahui bekerjanya hukum sebab dan akibat dinamakan paccayaparigghaya nana.

Setelah mampu mencapai nana di atas ia bisa meraih tingkat pengetahuan batin sammasana nana. Pada saat ini seseorang mampu menyadari adanya anicca, dukka dan anatta. Pengetahuan batin ini muncul ketika ia melihat segala sesuatu hanya muncul dan lenyap.

Bila seorang yogi meneruskan latihannya ia akan tahu segala sesuatu akan muncul dan lenyap dengan sangat cepat. Pada tahap ini pengamatannya begitu tajam sehingga tak ada satu pun proses yang luput dari “penglihatannya”. Ada sementara yogi yang memiliki pengalaman melihat munculnya sinar-sinar dalam keadaan ini. Munculnya sinar-sinar ini seringkali membuatnya sangat gembira sehingga muncullah piti.

Bila muncul perasaan susah maupun senang ingatlah bahwa ini adalah bentuk perasaan yang bermanfaat. Karena ia muncul bersamaan dengan pengetahuan batin yang luar biasa yakni udayabhaya nana. Pada tahap ini ia mampu melihat fenomena muncul dan lenyapnya batin-jasmani.

Dikatakan, bentuk kegembiraan yang muncul pada tahap udayabhaya nana jauh lebih tinggi di banding kegembiraan-kegembiraan sebelumnya. Karena berakar pada praktek vipassana tahapan mental ini perlu kita terima sebagai perasaan sukha yang bermanfaat. Dhammapada menulis tentang rati (bentuk kegirangan yang luar biasa) yang muncul pada saat seorang yogi tengah mempraktekkan dhamma. Dhamma yang dimaksud disini adalah kemampuan seseorang “melihat” muncul dan lenyapnya proses jasmani dan batin.

Ia menyadari adanya kegembiraan dan kegiuran yang muncul pada tahap ini sebagai suatu tahap berkembangnya kesadaran. Proses ini dinamakan amata (sesuatu yang tak mengenal kematian). Amata merujuk pada nibbana. Dimana mungkin bagi seorang yogi untuk meraih nibbana jika ia terus mempraktekkan dhamma dengan tekun dan penuh kewaspadaan. Kesimpulannya, kegembiraan muncul pada seorang yogi yang pada tahap ini memiliki keyakinan akan mampu meraih nibbana.

Ada juga kata lain disini yakni Pamujja dan Piti untuk menyebutkan kegembiraan dan kegiuran yang muncul pada tahap-tahap ini. Pamujja dalam bahasa Pali artinya kegembiraan dan kegirangan yang muncul dengan mulai tercapainya pengetahuan batin samma sana nana (pengetahuan batin ketiga). Sementara piti artinya kegembiraan yang luar biasa yang berhubungan dengan perolehan kemampuan batin ke empat dalam vipassana (udayabhaya nana). Piti muncul pada saat seseorang mampu melihat muncul dan lenyapnya fenomena batin dan jasmani dengan sangat cepat.

Perasaaan-perasaan Duka Cita

Dalam Satipatthana sutta tertulis adanya dua jenis perasaan yang tak menyenangkan (bersikap dukacita). Pertama perasaan tak menyenangkan yang akan membawa tumbuhnya karma buruk baik dilakukan melalui pikiran, perkataan maupun perbuatan. Kedua, perasaan tak menyenangkan yang akan membawa tumbuhnya karma baik. Perasaan tak menyenangkan yang pertama harus kita singkirkan. Sementara perasaan tak menyenangkan yang terakhir harus kita pelihara. Perasaan terakhir ini harus dijaga keberlangsungannya karena berdasar pada jhana, praktek para ariya dan buahnya (magga dan phala).

Dalam Salhayatanavibbhanga Sutta tertulis tentang hal itu. Bahwa ada jenis duka cita (perasaan tak menyenangkan) yang patut kita terima dan perasaan duka cita yang harus kita singkirkan. Biasanya akan muncul perasaan sedih disaat seseorang mengalami kegagalan. Sulit bagi seseorang menerima dengan tabah bila kegagalan menghampirinya. Misalnya, ia akan merasa sedih bila tak mampu memiliki benda-benda indrawi yang sangat diinginkannya.

Demikian pula kita menjadi tak bahagia bila berhadapan dengan objek-objek tak menyenangkan atau ketika tengah menghadapi bahaya. Kita pun akan merasa cemas bila menghadapi kemungkinan munculnya bahaya di masa akan datang. Demikian pula akan muncul kesedihan bila mengingat kegagalan di masa lalu, dan lain-lain. Jenis-jenis perasaan demikian membuat kita menjadi murung dan serba salah. Hal ini akan memunculkan kesakitan di dalam diri juga akan menumbuhkan bentuk-bentuk pikiran tak bermanfaat.

Bentuk-bentuk perasaan dukacita semacam itu merupakan halangan untuk melakukan hal baik di masa depan. Seseorang yang tengah diliputi perasaan dukacita tak mungkin melakukan hal-hal baik apalagi menghormati dan menghargai Buddha, Dhamma dan Sangha.

Bila pun si orang yang tengah berduka ini melakukan penghormatan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha pikirannya tidak dapat dikonsentrasikan. Ia pun menjadi kurang bersemangat. Dalam banyak Sutta tertulis dibutuhkan konsentrasi yang baik ketika tengah melakukan perenungan akan sifat-sifat mulia Sang Buddha.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #14 on: 15 September 2011, 05:49:07 PM »
Tanpa pikiran yang terkonsentrasi akan muncul bentuk-bentuk perasaan yang tak bermanfaat. Sehingga kita harus berusaha keras menyingkirkan perasaan-perasaan itu. Meski demikian ada juga orang yang suka berselubung dukka. Mungkin saja mereka tak suka bila kita mengingatkannya untuk tak terlalu larut dalam kesedihan karena telah kehilangan orang yang dikasihinya, misalnya. Di sisi lain mereka mungkin akan berterimakasih karena kamu telah mengatakan sesuatu yang membenarkan duka-laranya.

Dalam kasus ini harus tertanam di dalam benak kita tentang ajaran Sang Buddha. Bahwa, apapun yang terjadi tergantung dari apa yang telah dilakukan seseorang. Sehingga kita harus memikul suka dan duka dengan tenang sebagai buah dari karma kita. Obat yang baik menghadapi keadaan kritis demikian adalah berlatih meditasi samatha (ketenangan) atau meditasi vipassana (pandangan terang).

Jika kesedihan, dukacita atau depresi muncul saat kita tengah berlatih meditasi vipassana catat perasaan itu sebagai bentuk perasaan sedih. Setelah itu singkirkan perasaan itu. Itu saja. Bila kita mampu mencatat perasaan depresi itu dan “membuangnya” perasaan itu tak akan lekat secara kuat lagi. Atau bisa jadi perasaan itu sudah tersingkirkan selamanya.

Sang Buddha telah menjelaskan metode Satipatthana sebagai satu-satunya jalan untuk mengatasi kesedihan dan mengakhiri semua penderitaan. Hal ini berlaku sepanjang kita terus mempertahankan kesadaran dan taat pada petunjuk satipatthana.

Banyak hal dalam hidup yang bisa membuat seseorang tidak bahagia. Kegagalan, kerugian, kehilangan harta benda atau kehilangan orang yang kita kasihi membuat seseorang merasa tak bahagia. Bagaimana pun kegagalan mendatangkan tekanan. Tapi, kita harus menyingkirkan bentuk-bentuk perasaan ini melalui kesadaran. Metode yang kami tawarkan adalah mengawasi secara konstan naik dan turunnya perut, mencatat sentuhan-sentuhan saat meditasi duduk, dan lain-lain.

Bagi Sakka praktek menumbuhkan kesadaran semacam ini ternyata penting. Terlebih menjelang kematiannya yang semakin dekat. Secara pasti setelah kematiannya tiba ia akan kehilangan kenikmatan surgawi. Ia sangat tertekan memikirkan hal ini. Jadi, bagi Sakka pembabaran dhamma yang disampaikan Sang Buddha sangat masuk akal.

Kembali ke bentuk-bentuk perasaan. Kami (Mahasi Sayadaw) akan menjelaskan jenis-jenis perasaan tak menyenangkan. Bahasan ini kami ambil dari teks Pali dalam Salhayatanavibhanga Sutta.

“Setelah melakukan pengamatan dan menyadari ketidakkekalan serta lenyapnya objek jasmani seorang yogi memperoleh pengalaman batin tentang hakekat alami jasmani sebagaimana adanya. Jasmani adalah subjek dari ketidakkekalan, penuh penderitaan dan tidak ada inti yang kekal di dalamnya”, kata Sang Buddha.

“Sehingga muncul pada dirinya hasrat untuk mengikuti jejak para arya, meraih kebebasan yang tak ada bandingnya. Ia melihat kesehariannya dan ke masa depan ketika ia akan berada di wilayah yang sama dengan para arya, orang-orang yang telah menang, yang telah memperoleh kebebasan”.

Keinginan untuk meraih kebebasan menyebabkan munculnya rasa sakit dan kesedihan. Perasaan sedih ini dinamakan nekkhamasita domanasa, artinya, hasrat untuk melakukan penolakan.

Bagi seseorang yang sibuk mengamati fenomena batin dan jasmani saat kemunculannya melalui enam pintu indra menyadari adanya ketidakekalan, dan lain-lain. Dengan pandangan terang terhadap dhamma mereka akan terus berlatih meditasi dengan harapan bisa meraih kebebasan akhir. Kekecewaan akan muncul jika harapannya tak terkabul. Inilah yang dinamakan penderitaan mental. Ini muncul karena keinginan atau hasratnya menolak kegagalan yang dialaminya.

Ada penjelasan tentang hal ini. Para yogi yang tak memiliki pengalaman dalam meditasi ketenangan, jhana atau samadhi, tak mudah melihat kemunculan jasmani dan batin melalui enam pintu indra. Memang tak mudah bagi pemula untuk mengikuti prosesnya secara langsung. Sehingga sebaiknya yogi ini mulai dengan mengamati elemen vayo di perut (istilah umum) seperti yang kami ajarkan di pusat meditasi kami.

Ketika sadar adanya proses naik dan turunnya perut, ia harus mencatat pula setiap pikiran (kecenderungan, hasrat, dan lain-lain), obyek-obyek indrawi (melihat, mendengar, dan lain-lain) yang muncul. Ketika konsentrasi melemah obyek jasmani dan batin tak terlihat jelas.

Saat konsentrasi berkembang pikiran menjadi tenang, murni dan bebas dari halangan. Pada saat ini setiap bentuk pikiran yang muncul bisa dicatat dan disingkirkan. Ini dinamakan tingkat kemajuan batin citta visudhi (pikiran yang termurnikan).

Saat ini ia tahu perbedaan antara apa yang tergolong ke dalam jasmani dan apa saja yang termasuk kelompok batin. Kemampuan batin membedakan jasmani dan batin ini dinamakan nama rupa pariccheda nana. Hal ini akan membawa pada pemurnian cara pandang yang dinamakan ditthi visudhi. Setelah itu ia akan memperoleh pandangan terang berupa kemampuan melihat sebab dan akibat (dalam istilah Pali: pacchaya pariggaha nana). Setelah itu lah ia terbebas dari keragu-raguan (dalam istilah Pali: kankhavitarana visudhi).

Setelah tahap itu para yogi menyadari semua fenomena adalah subjek dari ketidakkekalan, penderitaan dan tak ada inti yang kekal di dalamnya. Kemampuan melihat ketiga karakteristik duniawi ini dinamakan samasana nana. Kemudian mereka akan masuk ke keadaan dimana segala sesuatunya mengalami proses muncul dan lenyap. Kemampuan batin melihat segala sesuatu muncul dan lenyap ini dinamakan udaya bhaya nana.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan