Bukankah ini justru semangat dalam artikel ini: jangan pusing dengan segala ketidakotentikan dalam sutta tapi langsung perhatikan petunjuknya yang bermanfaat bagi praktik:
"Read lots of suttas looking for practices the Buddha repeatedly says you should do - and then go do them. Don't worry too much about the stories, contradictions, mythology, etc. Remember the Buddha was only concerned about showing the way to end dukkha - find his instructions concerning this and follow them."
Saya berpandangan sederhana, yaitu melihat secara objektif: palsu adalah palsu, asli adalah asli. Palsu bisa bermanfaat, bisa tidak. Asli pun bisa bermanfaat, bisa juga tidak. Lord of The Ring juga fiktif, kisahnya khayalan. Tapi apakah tidak ada nilai-nilai dhamma sama sekali? Kalau ada, kenapa tidak sekalian dimasukkan dalam kanon? Kalau orang tanya tentang kewarasan yang memasukannya ke kanon, tinggal bilang "Don't worry too much about the stories, contradictions, mythology, etc."
Sekarang sutta/sutra sendiri banyak kontradiksi, belum lagi penafsirannya. Katanya yang penting 'end of suffering', lalu 'end of suffering' yang mana? Pegang yang satu dibilang egois, pegang yang lain dibilang eternalis, yang lain lagi dibilang nihilis, dst. Apa harus 'praktek' semua? Punya cukup waktu dan kemampuan untuk mencoba semua? Nah, menurut saya, menyelidiki keaslian sutta/sutra juga adalah salah satu cara mengeliminasi ajaran yang tidak bermanfaat.
Kalau orang mencari ketidak-otentikan untuk menyerang satu kepercayaan, atau karena satu-dua kekeliruan, lalu menganggap semuanya tidak bermanfaat, maka menurut saya memang pola pikir orang tersebut saja yang ngaco, namun bukan berarti penyelidikan itu pasti tidak bermanfaat.
[at] bro kainyn, coba di-klarifikasi dulu...
Walaupun diklarifikasi, saya ragu ia mengerti maksud saya.