//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - xenocross

Pages: 1 ... 5 6 7 8 9 10 11 [12] 13 14 15 16 17 18 19 ... 79
166
Buddhisme Awal / Re: Abhidhamma/Abhidharma Pada Masa Buddhisme Awal
« on: 20 January 2014, 03:46:24 PM »
Tidak ada catatan konsili I dan catatan konsili II.... yang ada catatan dari konsili ke-4 tentang kisah-kisah di konsili ke-1, konsili ke-2 dan konsili ke-3...

Jadi kalau TIDAK MENERIMA SEMUA hasil KONSILI ke-IV, dengan dasar apa bisa menyatakan kitab yang ini ajaran Buddha, kitab yang itu ajaran Buddha....

Siapa bilang gak ada
Catatan sekte lain semua mengakui konsili I dan II, dan mengaku diturunkan darisitu.
Justru sejarah konsili III dan IV dari Theravada (Mahavihara) itu klaim sepihak yg tidak ada penguatnya di luar sejarah mereka sendiri.

Kalau saudara Dilbert bilang tidak ada, berarti baru hanya baca Dipavamsa dan Mahavamsa atau buku sejarah yang hanya mengacu kesitu. Temuan baru dan terjemahan baru menguak catatan sejarah sekte lain.

Quote
In striking contrast to the uniform accounts of the Second Council, there are records of several possible "Third Councils". These different versions function to authorize the founding of one particular school or other.
...
According to the Theravāda commentaries and chronicles, the Third Buddhist Council was convened by the Mauryan king Ashoka at Pātaliputra (today's Patna), under the leadership of the monk Moggaliputta Tissa. Its objective was to purify the Buddhist movement, particularly from opportunistic factions which had been attracted by the royal patronage. The king asked the suspect monks what the Buddha taught, and they claimed he taught views such as eternalism, etc., which are condemned in the canonical Brahmajala Sutta. He asked the virtuous monks, and they replied that the Buddha was a "Teacher of Analysis" (Vibhajjavādin), an answer that was confirmed by Moggaliputta Tissa. The Council proceeded to recite the scriptures once more, adding to the canon Moggaliputta Tissa's own book, the Kathavatthu, a discussion of various dissenting Buddhist views now contained in the Theravāda Abhidhamma Pitaka.

The Mahāsanghika, for their part, remember things differently: they allege, in the Sāriputraparipriccha that there was an attempt to unduly expand the old Vinaya. The Mahasanghikas' own vinaya gives essentially the same account of the Second Council as the others, i.e. they were on the same side.

Atas dasar apa pernyataan satu sekte dianggap absolut benar dibandingkan sekte lain? Sama-sama gak ada bukti penguatnya kok. Tapi kenyataannya Buddhisme di Tibet dan China mencatat konsili ke-3 itu di Kashmir, dan konsili ke-1 dan ke-2 sama dengan Theravada (Mahavihara).

167
Buddhisme Awal / Re: Abhidhamma/Abhidharma Pada Masa Buddhisme Awal
« on: 19 January 2014, 11:28:10 PM »
Pertama-tama, perlu diketahui bahwa masih banyak kerancuan mengenai apa yang disebut-sebut "Konsili III" sebab Asoka sendiri tidak menyebutkannya sebagai "konsili". Latar belakang "konsili III" diadakan adalah karena sejak Asoka menjadi buddhis, ia memberi dana yang banyak kepada sangha, dan seringkali berlebihan. Maka banyak orang yang melihat tergiur jadi bhikkhu, tidak berniat menjalani kehidupan suci, hanya mau menumpang dapat dana. Bahkan tidak pakai ditahbiskan, umat awam langsung pakai jubah kuning, cukur botak, terima dana. Di antara orang-orang yang berpura-pura jadi bhikkhu ini, juga mengajarkan ajaran lain (karena memang mereka tidak tahu apa ajaran Buddha). Karena itu, sangha (yang betulan) menolak untuk membaca patimokkha bersama. Hal ini yang disebut "perpecahan", bukan perpecahan sekte. 

Sekte lain malah mencatat konsili ke-3 bukan masa Asoka, tapi masa Raja Kanishka di Kashmir. Di buku Sejarah Buddhisme India karya Taranatha, penulis Tibet, tidak dicatat bahwa Asoka mengadakan konsili. Ada satu bab khusus tentang keajaiban dan dana-dana Asoka dst, mendirikan 80.000 stupa dalam semalam. Tapi tidak ada konsili.

Menurut Buddhisme Tibet, konsili hanya sampai ke-3, dan itu bukan masa Asoka tapi setelahnya, di Kashmir.

168
Buddhisme Awal / Re: Perbandingan Teks Berbagai Sumber
« on: 19 January 2014, 05:20:27 PM »
Emang Suttanta dan Vinaya ditulis sejak kapan ?

These] scrolls and scroll fragments are a stunning find: an entirely new strand of Buddhist literature.

[Scholars traditionally thought] that if they traced the various branches of the tree of Buddhist textual history back far enough, they would arrive at the single ancestral root . . .

As scholars scrutinized the Gandhari texts, however, they saw that history didn’t work that way at all . . . It was a mistake to assume that the foundation of Buddhist textual tradition was singular, that if you followed the genealogical branches back far enough into the past they would eventually converge. Traced back in time, the genealogical branches diverged and intertwined in such complex relationships that [the model] broke down completely . . .

It is now clear that none of the existing Buddhist collections of early Indian scriptures—not the Pali, Sanskrit, Chinese, nor even the Gandhari—‘can be privileged as the most authentic or original words of the Buddha.”

These scrolls are incontrovertible proof that as early as the first century B.C.E., there was another significant living Buddhist tradition in a separate region of India and in an entirely different language from the tradition preserved in Pali.

http://www.douban.com/group/topic/22375578/

169
Buddhisme Awal / Re: Aneka Mitos Pengukuhan Sekte-sekte Buddhisme
« on: 18 January 2014, 11:30:22 PM »
Itu cuma ada di Mahavamsa, teks aliran Theravada yg sifatnya sektarian.

Catatan tentang periode sewaktu Raja Asoka memerintah (ringkasan)

Di pulau Singhala hiduplah raja Asana-Singha-kosa. Seorang Saudagar mempersembahkan arca Buddha dari kayu kepadanya. Ia bertanya "apa ini?" Sang Saudagar menceritakan keagungan sang guru, para arahat hingga Arya Krsna. Raja ingin bertemu dengan Arya Krsna dan mengirim utusan. Arya Krsna datang dengan 500 pengikut dengan terbang ke angkasa ke perbatasan Singhala, dimana raja menyambut mereka. Arya Krsna mengajar selama tiga bulan di pulau itu, memenuhi tempat itu dengan biara2 dan banyak Sanggha. Dan menuntun banyak orang mencapai empat tingkat penyempurnaan

Walaupun pulau tersebut sudah pernah diberkahi oleh kaki Sang Guru, namun setelah Sang Guru memasuki Nirvana, Dharma di tempat itu akhirnya pudar. Tetapi Arya Krsna kembali menyebarluaskannya

dari buku Sejarah Buddhisme di India, karya Taranatha
Buku yang ditulis tahun 1608 di Tibet ini isinya mencatat banyak legenda yang menumbuhkan saddha terutama aliran Mahayana, walaupun secara sejarah masih banyak yang harus dikaji. Tetapi isinya banyak mencatat hal-hal menarik yang terselubung dalam mitos. Misalnya, mitos kaki Buddha di Sri Lanka ternyata juga diketahui oleh Buddhisme aliran lain dan dicatat dalam legenda mereka.

Catatan tambahan para ahli sejarah sebagai lampiran juga cukup tebal dan lumayan informatif

170
Buddhisme Awal / Re: Perbandingan Teks Berbagai Sumber
« on: 18 January 2014, 05:33:13 PM »
Emang Suttanta dan Vinaya ditulis sejak kapan ?

Such partisan manipulation of sacred scriptures has only one good consequence: no-one can reasonably insist that the Tipitaka must have remained unchanged for all time.

The Mahā Satipaṭṭhāna Sutta is the only significant discourse in the Dīgha Nikāya that is not found in the Dharmaguptaka Dīrgha Āgama. This is no mere oversight, for it is also absent from the Sarvāstivāda Dīrgha. I would therefore consider the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta as a leading contender for the title of the latest discourse in the four Nikāyas, a lost waif straying over from the early abhidhamma. It is worth noting that this is the only discourse in all the existing collections to be duplicated in both the Majjhima and the Dīgha, further evidence of its anomalous character. It is obviously just the Satipaṭṭhāna Sutta padded out with further material, and again, the increase is not small.

The Satipaṭṭhāna Sutta treats the four noble truths by merely stating them. In the Suttas this kind of formulation often indicates, not vipassanā, but the realization of stream entry; thus it could have been originally intended to express the results of the practice of the previous sections. But the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta gathers much material from elsewhere in the Suttas, ending up with the longest of all expositions of the truths, virtually doubling the length of the Satipaṭṭhāna Sutta, and clearly presenting the four noble truths section as an extended course in vipassanā.

The new material is mainly identical with the Saccavibhaṅga Sutta.398 The Mahā Satipaṭṭhāna Sutta adds a lengthy analysis of the second and third noble truths to the Saccavibhaṅga Sutta material. This is structured around the following series of dhammas, spelled out for each of the sense media: external sense media, internal sense media, cognition, contact, feeling, perception, volition, craving, initial application, sustained application. The Saṁyutta Nikāya includes a similar list, although it has the elements and the aggregates for the final two members of the list, rather than initial & sustained application. Several of the Saṁyuttas containing this series are missing from the Sarvāstivāda Saṁyukta.399 Nevertheless, a similar list, again omitting the final two members, is found in the Sarvāstivāda Satyavibhaṅga Sūtra. The only place where the Mahā Satipaṭṭhāna list occurs verbatim in the four Nikāyas is in the ‘repetition series’ appended to the Aṅguttara sevens.400 Such sections are late, and in the present case the whole passage is ignored by the commentary.

This list is an expanded form of the psychological analysis of the cognitive process first enunciated in the third discourse, the Ādittapariyāya Sutta, and repeated countless times subsequently. Eventually, this series would evolve into the cittavīthi, the final, definitive exposition of psychological processes worked out in great detail by the later ābhidhammikas. Thus the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta stands as an important bridge to the Abhidhamma. We have already discussed the fact that almost all this four noble truths material is found in the Abhidhamma Vibhaṅga exposition of the truths.

Needless to say, most of the new material in the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta is vipassanā oriented, continuing the trend we have consistently observed in the development of the satipaṭṭhāna texts within the Pali canon. Nevertheless, the exposition of the truths, and therefore the Sutta as a whole, ends with the four jhānas as right samādhi, restating the basic function of satipaṭṭhāna to lead to jhāna in the eightfold path.

The significance of the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta can best be understood in light of the structure of the Dīgha Nikāya as a whole. The most authentic and often repeated teaching in the Dīgha sets out the very heart of Dhamma practice. In the discussion of the GIST we saw that, leaving aside the Brahmajāla Sutta, the Dīgha Nikāya starts off with a series of twelve discourses expounding the gradual training in detail, including the four jhānas. This would be pounded into the heads of the Dīgha students over and again as the way of training. In fact the GIST says that this section was the original core around which the Dīgha was formed. Thus the whole of the Dīgha may well have started out as a jhāna-manual.

There is little vipassanā material in the Dīgha. A striking example of this is the rarity of the five aggregates. Leaving aside the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta, meditation on the aggregates is mentioned only in the legendary context of the Mahāpadāna Sutta. Elsewhere the aggregates receive but a bare enunciation in the proto-abhidhamma compilations such as the Saṅgīti and Dasuttara Suttas.

The compilers of the Theravāda Dīgha Nikāya wished to include more vipassanā material to balance the strong samādhi emphasis. Now, there are three texts treating mindfulness practice in detail in the Majjhima: the Satipaṭṭhāna Sutta, the Ānāpānasati Sutta, and the Kāyagatāsati Sutta. The latter two clearly emphasize samādhi, so in choosing which of the three to ‘promote’ to the Dīgha the compilers chose the most vipassanā oriented text and padded it out with further vipassanā material to redress the imbalance of the Dīgha Nikāya as a whole. And in context, this was most reasonable. But when the discourse is divorced from its context and treated as a blueprint for a meditation technique different from, even superior to, the mainstream samādhi practice, a shift of emphasis becomes a radical distortion of meaning.

We can pin down a little more precisely the date of the formation of the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta. We have already noted that it is absent from both the Sarvāstivāda and Dharmaguptaka Dīrghas. These schools split after the time of Aśoka. The Sri Lankan mission arrived in the Aśokan period, and the Theravāda were based on the island from that time.401 Given their doctrinal and textual closeness, the Theravāda and the Dharmaguptaka are really just the Northern and Southern, or Gandhāri and Sinhalese, branches of the same school.

This raises the possibility that the final editing of the Pali Nikāyas was carried out on Sri Lankan soil. This case was put by Oliver Abeynayake in his article ‘Sri Lanka’s Contribution to the Development of the Pali Canon.’402 To summarize a few of his points, much of the Vinaya Parivāra was composed in Sri Lanka. In addition, the restructuring of the Vinaya Piṭaka, from the early form of the Bhikkhu Vibhaṅga and Bhikkhunī Vibhaṅga which is attested in all schools including the Theravāda Vinaya Culavagga itself, to the current division along the lines of the ‘Pārājika Pali’ and ‘Pācittiya Pali’ is unique to Sri Lanka, and may plausibly be regarded as a Sinhalese development. Several sections of the Khuddaka Nikāya, including the Khuddakapāṭha, are Sri Lankan. In the four major Nikāyas, Yakkaduwe Sri Pragnarama, the late principal of the Vidyalankara Pirivena in Sri Lanka, has identified, in the Theravāda Majjhima, eight sentences of the Mūlapariyāya Sutta and four verses of the Sammādiṭṭhi Sutta that are in Sinhalese Prakrit, not Pali. The Theravāda commentaries themselves assert that some of the material in the Dīgha was added by the Sinhalese elders, namely the closing verses of the Mahā Parinibbāna Sutta, starting with ‘There were eight measures of the relics…’. This is plausible, since the verses are in a late metre; also they include, not merely worship of relics, but specifically the teeth relics, which is one of the most distinctive features of Sinhalese Buddhism. Moreover, the line preceding them is a catch-phrase in Pali (evam’etaṁ bhūtapubbaṁ, ‘that is how it was’) that refers to far-off events in the legendary past, like the English ‘Once upon a time…’. The commentary even admits that this phrase was inserted in the Third Council, at the time of Aśoka.

However, despite this strong evidence, some of the verses are included in the Sanskrit version. This contains the verse ‘There were eight measures of the relics…’ and that on the teeth relics. It is most unlikely that a Sinhalese composition found its way into a Sanskrit text in the north of India, so perhaps these verses were added in India after all. But the later verses, starting with ‘By their power this fruitful earth…’, are absent from the Sanskrit, and may well have been added in Sri Lanka.

This last point may indirectly bear on the date of the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta. The closing verses of the Mahā Parinibbāna Sutta are predominately late metres such as vaṁsattha. One of the few other places in the canon that contains vaṁsattha and other similarly late, elaborate verse styles is the Lakkhaṇa Sutta.403 This hagiographical text is found in the Sarvāstivādin Majjhima and in the Theravāda, but not the Dharmaguptaka or Sarvāstivāda, Dīgha. It therefore must have been transferred from the Majjhima to the Dīgha after the Dharmaguptaka schism, at around the same time as the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta was created. This shift was prompted by the large-scale expansion of the text. The Sarvāstivāda Madhyama version merely speaks of the two careers open to a Great Man, and lists the 32 marks. The Theravāda Dīgha version adds detailed prose explanations and verse elaborations of the workings of kamma and its fruits regarding the 32 marks.404 The commentary says the verses were added by Venerable Ānanda. Although this cannot be accepted as literally true, it implies the commentators were aware that the verses were added later and by a different hand. They should be ascribed to monks following Ānanda’s devotional tradition. These verses are similar in style to the closing verses of the Mahā Parinibbāna Sutta, which the commentary says were added in Sri Lanka. Given this, as well as the verses’ evident lateness and omission from the Sarvāstivāda, it is likely that they were also added in Sri Lanka. The verses were probably added to the Lakkhaṇa Sutta around the same time as the extra four noble truths material was added to the Satipaṭṭhāna Sutta, and so we suggest that the resulting Mahā Satipaṭṭhāna Sutta was composed in Sri Lanka.

We may then ask when these additions may have occurred. There is no direct evidence, but we can seek a convenient peg on which to hang them. After the introduction of Buddhist texts in the time of Aśoka, the first literary activity of major importance in Sri Lanka is during the reign of Vaṭṭagāminī. At that time, due to war with the Tamils, the lineage of oral transmission of the Tipitaka was nearly broken. The Sangha made the momentous decision to write down the Tipitaka, asserting that study and preservation of the texts was more important than practice of their contents (a decision that has set the agenda for the Theravāda until the present day). According to recent scholarly opinion this was around 20 BCE. I suggest that this was when the Mahā Satipaṭṭhāna Sutta was created.

There is an unfortunate side-effect of this kind of textual analysis. It’s not hard to deconstruct ancient, heavily edited texts like the Buddhist scriptures. There are plenty of fault-lines, anomalies, and obscurities if one wishes to look. But what are we to do​—​demolish the palace and leave a pile of rubble? This too is not authentic to the texts, for, despite everything, the Nikāyas/Āgamas offer us a vast body of teachings springing from a remarkably uniform vision, a clarity and harmony of perspective that is unparalleled in any comparably large and ancient body of writings. To give the impression that the situation is hopelessly confused and problematic is to deny this extraordinary fact. While it is naïve and untenable to pretend there are no problems, throwing our hands up in the air in despair shows an excess of what the Satipaṭṭhāna Sutta calls ‘spiritual depression’ (nirāmisa domanassa). I think the lines of unity and consistency in satipaṭṭhāna are far more significant and powerful than the fractures. But in this book so far, the threads of connection and continuity are buried in the pages of analysis. The question is, how to make this unity vivid?

14.4 Theravāda Satipaṭṭhāna Sutta
http://santifm.org/santipada/wp-content/uploads/2012/08/A_History_of_Mindfulness_Bhikkhu_Sujato.html

171
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 18 January 2014, 03:43:42 PM »
The first supreme meaning or object to learn is citta. Before we come to citta, we want to emphasize and especially explain the Abhidhamma approach – as opposed to the Suttanta or Vinaya approach – is explaining the Dhammas in the sense of truth, as true object of perception, or true object of mind. Dhammas are that which have sabhava, or salakkhana, a very intriguing and complex word. It is, in a way, the understanding of what is sabhava, the self-nature. It is the root of all interpretation of the sabhava. Understanding sabhava is the root of all the different approaches we have in Buddhism as to the understanding of Dhamma and the way to liberation.

In the Hinayana school, or lesser vehicle school, as it is considered to be by the Mahayana scholars, the vehicle is the Arahant as opposed to the Mahayana where the vehicle is the Buddha. The criticism of the Mahayana – and in a way the whole structure of Mahayana – is based on the criticism of this concept of sabhava. But many Mahayana scholars criticize but have never studied Theravada, and thus, have a very serious misunderstanding of the Theravada Abhidhamma. They consider all the so-called Hinayana schools the same as Vaibhasika. The Mahayana scholars consider the idea of sabhava, the self-nature of entities, the same no matter whether it is from the Theravada or Sarvastivada school. In fact, there are some very important differences in the interpretation of how the sabhava is understood in the Theravada and in the Sarvastivada, or Vaibhasika, traditions. We will not go into detail on that.

What remains important to point out is that the paramatthas are the 4 supreme meanings or objects – Nibbana, citta, cetasika, and rupa. This, of course, is problematic, because there can be only one supreme meaning or object. It is very difficult to have many supremes. The relationship between the supreme of Nibbana and the supremes of citta, cetasika and rupa is not explained. Supreme object or meaning is understood in an ontological and epistemological sense, but what exactly the relation between the 4 different supremes and how we can have 4 different supremes is not mentioned.

What is understood is that when we understand these 4 supreme meanings and the 4 supreme objects, we can attain liberation. Some very important scholars have pointed out that the Abhidhamma approach, in a way, is a pluralistic approach. The Abhidhamma is linked to the Samkya philosophy, which is a similar approach. In Samkya, by understanding 25 tatvas (realities) we understand everything. In Abhidhamma, by understanding the 4 supreme objects or meanings we also understand everything.

We speak of two Nibbanas, one with the 5 aggregates of existence still remaining and one without the 5 aggregates of existence. But, Nibbana is only one. But, as we will see, the one citta (state of consciousness) becomes 89 or 121 cittas. This is the clarity of the Theravada Abhidhamma approach. Detailed analysis of the citta is based on very detailed analysis of the mind processes, of the cittavithis. This division of one citta into many cittas is not problematic, because a citta has only 1 characteristic differentiating the object, vijanati, so all these 81 or 121 cittas, states of consciousness, have only one characteristic of differentiating the object. But, when we come to the cetasikas (mental factors) we have 52 Dhammas, each with a different characteristic. A particularity of Theravada Abhidhamma, as opposed to the Sarvastivada Abhidhamma, is that all these Dhammas are not only discussed from the point of view of their own lakkhana (characeristic), but must also be understood from the view of rasa.

Rasa is a word very difficult to translated into English. This book translates it as function, but it means much more than just function. Literally, rasa means taste. And those who study Indian culture know the different types of music, medicine and experiences are classified into different rasas, different tastes. The function actually means the taste of the object, how one actually experiences it. This part of the analysis is also there in the Sarvastivada and Vaibhasika tradition. Even in the Yogacara tradition they discuss the Dhammas in the sense of lakkhana and rasa, characteristic and function, respectively.

What is particular about the Theravada approach is that this is not considered to be sufficient. There also has to be (proximate cause). Sorry, first I should say paccupatthana (manifestation), or how these Dhammas actually appear, how they establish themselves in our perception. Then, all of these Dhammas are everything that exists in the world, and everything only exists in interdependent origination. So, these salakkhanas, self-characteristics, according to the Theravada tradition, also only arise in interdependent origination, as opposed to the Sarvastivada tradition. The book is very emphatic on that fact. There are Theravadans who would agree salakkhanas are empty of interdependent nature, yet nevertheless, they have a lasting characteristic. Whether today, in the future, or in the past, the characteristic of earth remains hardness.

An intelligent man knows we can only experience hardness when we know softness, and without knowing hardness we cannot know softness. Similarly, heat being the self-characteristic of fire, every intelligent mans knows that we can only know heat when we know coolness. I know this book to be cool because my hand is warm. If I don’t know the hand being warm, I cannot know the coolness of this book. So, obviously, these salakkhanas (self-characteristics), the sabhava (self-natures) of these Dhammas are not meant as something existing independently in the three times, but only as it is understood in the Vaibhasika tradition, and as it is criticized by the Mahayana scholars. The Theravada tradition never committed itself to such an idea. So, as the Vissudhi Magga clearly explains, interdependent origination, their interdependent nature, is emptiness. In the ultimate sense, these Dhammas, even in the Theravada tradition, are considered empty, yet nevertheless have a real characteristic or self-nature, which is lasting.

To the students of Mahayana, the structure of these self-existing Dhammas, or self-existing characteristics, was smashed completely over hundreds of years and many endless disputes about which Dhamma has real characteristic and which does not, which is just a Dhamma of convenience and which really exists. This was a subject matter of endless discussion in the history of Dhamma. Each school of Buddhism had its own version of what was the real existing Dhamma and what was only a Dhamma of convenience.

Nagarjuna criticized and logically demolished the possibility of sabhava, self-existing nature. Logically, in the Buddhist sense, it is not tenable. In Mahayana Buddhism, there appeared disciples of Nagarjuna, like Chandrakirti and the Prasandrikas, who claimed that Dhammas have no nature whatsoever, that the nature of Dhammas is the nature of others, and whatever exists exists in the virtue of existence of others. So, this is the meaning of emptiness.

Some scholars, as you know, liked sabhava for convenience, merely for the sake of argument. Then, from the Yogacara school comes a very different interpretation: outer things have no nature at all, but that which has real nature is the mind and its mental factors. All that we understand in this world is just a manifestation of this mind.

Now, in the Theravada tradition we come to a middle position. The Theravada Abhidhamma is based on the analysis of these sabhava, real or existing or self natures, but these self-natures are definitely existing only in interdependence and cannot arise without the existence of other entities. So, this is an approach which is followed in our analysis, and with this understanding we come to the first supreme object or meaning in the world, citta.

http://www.phathue.com/buddhism/dharma-talks/abhidhamma-with-dhammadipa/

172
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 18 January 2014, 01:46:50 PM »
Ketika dikatakan "sunyata adalah bentuk", pernyataan ini tidak seharusnya dipahami secara harfiah. Maksudnya adalah, berkat adanya kesunyataan, maka ada bentuk. Pada dasarnya, hanya ada dua cara eksistensi -- apakah benda tersebut sepenuhnya berdiri sendiri dengan inheren (tidak berkaitan dengan yang lainnya) atau dia bergantung kepada benda lain, dengan kata lain dia sunya atau keberadaannya tidak inheren.

Tentu saja penjelasan yang kedua adalah pandangan yang benar. Karena alasan inilah, yaitu misalnya bentuk tidak memiliki keberadaan yang sejati-lah, sehingga dia eksis/ada. Jika dia sepenuhnya berdiri sendiri, maka dia tidak dapat dihasilkan dari sebab dan kondisi. Oleh karena itu, dengan alasan demikianlah, maka bentuk tidak memiliki keberadaan yang sejati karena dia dapat dan memang bergantung pada misalnya, sebab yang menghasilkannya.

Oleh karena itu, karena ketiadaan kebebasan ini maka sesungguhnya dia muncul dengan cara bergantung pada hal lain; yakni bergantung pada fenomena yang lain. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan "semua fenomena adalah perwujudan dari kesunyataan." Pernyataan ini juga jangan dimaknai secara harfiah. Apa yang sebenarnya dimaksud disini adalah: dikarenakan mereka sunya akan keberadaan yang inheren (svabhava/ atta) maka mereka bisa muncul, dihasilkan atau dapat eksis

Tak ada benda apapun yang dapat sepenuhnya muncul tanpa bergantung pada sesuatu yang lain. Karena semua fenomena tidak memiliki eksistensi yang mutlak, maka mereka dapat eksis -- mereka eksis dalam cara yang tidak mutlak, berkaitan dengan ketergantungan akan hal lain. Jey Tsongkhapa, dalam ulasannya terhadap Prajnamula, mengatakan bahwa hanya ada dua kemungkinan cara eksistensi --  apakah dia eksis sendiri sepenuhnya atau eksis berkaitan dengan fenomena yang lain. Namun beliau menyatakan bahwa tidak ada satu benda tunggal apapun di dunia ini yang bisa muncul dengan sendirinya. Sesungguhnya, segala sesuatu muncul bergantung kepada fenomena yang lain. Pada dasarnya segala fenomena dikatakan muncul karena dia ditanggapi oleh persepsi. Lagipula, agar sesuatu bisa eksis, dia juga harus bergantung kepada penamaannya. Karena itu, segala sesuatu muncul bergantung kepada persepsi yang menanggapinya dan juga berdasarkan penamaannya.

Ada sebuah cerita yang berhubungan dengan topik ini yang mungkin bisa sedikit membantu. Suatu hari saya diundang untuk memberikan kuliah pada Institut Budaya Dunia India di Bangalore, India Selatan. Kebanyakan orang yang menghadiri kuliah tersebut adalah penganut Hindu yang berasal dari berbagai aliran. Saya sedang membicarakan mengenai ketanpa-akuan dari segala fenomena. Kemudian, saat sesi tanya jawab, seorang lelaki tua berdiri dan mengatakan "Tidaklah mungkin bahwa semua fenomena tanpa diri (aku/atta). Misalnya Ishvara, Sang pencipta dunia, memiliki diri (aku) dan tidak bergantung pada yang lain"

Saya mengatakan, "Bagaimana dengan kenyataan bahwa dia tidak memiliki diri yang sejati karena dia bergantung pada fenomena yang lain seperti persepsi Anda terhadapnya dan nama "Ishvara" yang Anda berikan padanya?" Beliau menggelengkan kepalanya, dan terus memegang pendapatnya. Namun saya lanjut mengatakan,
"Jika dia tidak bergantung kepada persepsi yang Anda padanya dan nama yang Anda berikan padanya, maka bagaimana orang lain pertama sekali mengetahui bahwa dia ada?"
Setelah pernyataan ini, ada beberapa menit semua terdiam dan kemudian dia menganggukkan kepalanya. Saya terkejut dengan kenyataan bahwa dia tiba-tiba mendapatkan pemahaman baru.


Transkrip ceramah Yang Mulia Dagpo Rinpoche tentang topik "Prajna Paramita Hrdaya Sutra", 16-19 November 2007, Kuala Lumpur

173
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 18 January 2014, 09:20:26 AM »
Milinda Panha beberapa kali menyebut kata "sabhava" tetapi waktu itu belum masuk ke doktrin svabhava yang umum ditemui di abhidharma kemudian. Saya kurang tahu, tapi mungkin itu menandakan cikal bakal berkembangnya doktrin svabhava

doktrin svabhava dalam buddhisme misalnya dianut oleh Sarvastivada yang mengatakan: Semua dharma di tiga masa sesungguhnya  ada
Quote
The Sarvāstivāda (Sanskrit: सर्वास्तिवाद sarvāstivāda; traditional Chinese: 說一切有部; pinyin: Shuō Yīqièyǒu Bù) were an early school of Buddhism that held to 'the existence of all dharmas in the past, present and future, the 'three times'. Vasubandhu's Abhidharmakośa-bhāṣya states:

    25c-d. He who affirms the existence of the dharmas of the three time periods [past, present and future] is held to be a Sarvastivadin

di theravada, ada di karya komentar vissudhi magga yang sering menyebut sabhava
Quote
QUOTE
"While a dhamma is a truly existent thing (sabhavasiddha), a pannatti is a thing merely conceptualized (parikappasiddha). The former is an existent verifiable by its own distinctive intrinsic characteristic... The latter, being a product of the mind's synthetic function, exists only by virtue of thought."


To which could be added that the significance of this distinction lies in the question of what may and may not be the object of insight development. As the Visuddhi-Magga explains at the beginning of the section dealing with Understanding (panna) (Ch XIV):

QUOTE
'What are is characteristic, function etc? Understanding has the characteristic of penetrating the individual essences [sabhava] of states [dhammas]. Its function is to abolish the darkness of delusion, which conceals the individual essences of states.' XIV, 7
http://www.abhidhamma.org/forums/index.php?showtopic=140

Dan biarpun dikatakan "sungguh ada", konsep svabhava buddhis masih mengatakan anatta dan anicca. Berbeda dengan non-buddhis yang mengatakan atta = svabhava.
Semakin dibaca semakin pusing.

Bro Dilbert, adalah baik untuk belajar filosofi Nagarjuna ini. Di masa lalu ada sekian banyak aliran Buddhis dan aliran agama lain, mereka saling berdebat. Tahu kan debat antar agama di india zaman dulu itu seperti semacam kompetisi.

Begitu Nagarjuna datang dengan filosofi madhyamika ini, filosofi ini mendominasi diskusi di India Utara selama minimal 400 tahun. Di Tibet, dikatakan filosofi ini adalah puncak semua filosofi.

Trus masalah praktikal nya, pikiran kita secara halus selalu melihat diri dan benda lain "ada" secara intrinsik, berdiri sendiri, mempunyai "atta"
Dan ini terjadi dalam 4 cara utama yang disebut nagarjuna
- dilahirkan oleh dirinya sendiri (svabhava A disebabkan svabhava A)
- disebabkan oleh svabhava benda lain (svabhava A menyebabkan svabhava B)
- oleh diri sendiri dan benda lain (campuran yg pertama dan kedua)
- terjadi tanpa sebab ( dari tiada tiba2 ada svabhava A)

Jadi memahami ini secara intelektual adalah suatu langkah merealisasi anatta

174
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 17 January 2014, 12:24:45 AM »
emang-nya "Theravada" pada saat itu sudah tidak berdasarkan pada anattalakkhana sutta ?

At this point some general introductory remarks concerning Nāgār juna’s goals and strategies might not be amiss. In MMK Nāgārjuna is addressing an audience of fellow Buddhists. (In the other work generally accepted as by Nāgārjuna, the
Vigrahavyāvartanī , his interlocutors also include members of the non-Buddhist Nyāya school.) Of particular importance is the fact that his audience holds views that are based on the fundamental presuppositions behind the Abhidharma enterprise. Abhidharma is that part of the Buddhist philosophical tradition that aims at filling out the metaphysical details behind the Buddha’s core teachings of nonself, impermanence, and suffering. A number of different Abhidharma schools arose out of significant controversies concerning these details. They held in common, however, a core set of presuppositions, which may be roughly sketched as follows:

1.There are two ways in which a statement may be true, conventionally and ultimately.
a. To say of a statement that it is conventionally true is to say that action based on its acceptance reliably leads to successful practice. Our commonsense convictions concerning ourselves and the world are for the most part conventionally true, since they reflect conventions that have been found to be useful in everyday practice.

b. To say of a statement that it is ultimately true is to say that it corresponds to the nature of reality and neither asserts nor presupposes the existence of any mere conceptual fiction. A conceptual fiction is something that is thought to exist only because of facts about us concept-users and the concepts that we happen to employ. For instance, a chariot is a conceptual fiction. When a set of parts is assembled in the right way, we only believe there is a chariot in addition to the parts because of facts about our interests and our cognitive limitations: We have an interest in assemblages that facilitate transportation, and we would have trouble listing all the parts and all their connections. The ultimate truth is absolutely objective; it reflects the way the world is independently of what happens to be useful for us. No statement
about a chariot could be ultimately true (or ultimately false).

2. Only dharmas are ultimately real.
a. To say of something that it is ultimately real is to say that it is the sort of thing about which ultimately true (or false) statements may be made. An ultimately real entity is unlike a mere conceptual fiction in that it may be said to exist independently of facts about us.

b. The ultimately real dharmas are simple or impartite. They are not products of the mind’s tendency to aggregate for purposes of conceptual economy. They are what remain when all products of such activity have been analytically resolved into their basic constituents. They may include such things as indivisible material particles, spatio-temporally discrete occurrences of color and shape, pain sensations, particular occurrences of basic desires such as hunger and thirst, and individual moments of consciousness. (Different Abhidharma schools give somewhat different accounts of what dharmas there are.)

c. All the facts about our commonsense world of people, towns, forests, chariots, and the like can be explained entirely in terms of facts about the dharmas and their relations with one another.
The conventional truth can be explained entirely in terms of the ultimate truth.

3. Dharmas originate in dependence on causes and conditions.
While not all Abhidharma schools hold that all dharmas are subject to dependent origination ( pratītyasamutpāda), all agree that most dharmas are. And since anything subject to origination is also subject to cessation, most (or all) dharmas are also impermanent.

4. Dharmas have intrinsic nature (svabhāva).
a. An intrinsic nature is a property that is intrinsic to its bearer—that is, the fact that the property characterizes that entity is independent of facts about anything else.

b. Only dharmas have intrinsic nature. The size and shape of a chariot are not intrinsic natures of the chariot, since the chariot’s having its size and shape depends on the size, shape, and arrangement of its parts. The size and shape of the chariot are instead extrinsic natures (parabhāva) since they are not the “its own” of the chariot but are rather borrowed.

c. Dharmas have only intrinsic natures. A characteristic that a thing can have only by virtue of its relation to another thing (such as the characteristic of being taller than Mont Blanc) is not intrinsic to the thing that has it. To suppose that the thing nonetheless has that characteristic is to allow mental construction to play a role in our conception of that which is real. For it requires us to suppose that a thing can have a complex nature: an intrinsic nature—what it itself is like apart from everything else—plus those properties it gets by virtue of its relations to other things.
To the extent that this nature is complex, it is conceptually constructed by the mind’s aggregative tendencies.

d. A given dharma has only one intrinsic nature. Since dharmas are what remain at the end of analysis, and analysis dissolves the aggregating that is contributed by mental construction, a given dharma can have only one intrinsic nature.

5. Suffering is overcome by coming to realize the ultimate truth about ourselves and the world.
a. Suffering results from the false belief that there is an enduring “I,” the subject of experience and agent of actions, for which events in a life can have meaning.

b. This false belief results from failure to see that the person is a mere conceptual fiction, something lacking intrinsic nature. What is ultimately real is just a causal series of dharmas. Suffering is overcome by coming to see reality in a genuinely objective way, a way that does not project any conceptual fictions onto the world.

Nāgārjuna does not deny that this is what dharmas would be like.
Instead he rejects the further implication that there actually are dharmas. His position is that if there were ultimately real things, they would be dharmas, things with intrinsic nature; but there cannot be such things. Not only are the person and other partite things devoid of intrinsic nature and so mere conceptual fictions, the same holds for dharmas as well. This is what it means to say that all things are empty.
Given the nature of this claim, there can be no single argument that could establish it. Such a “master argument” would have to be based on claims about the ultimate natures of things, and given what would be required to establish that such claims are ultimately true, this would involve commitment to intrinsic natures of some sort or other. Nāgārjuna’s strategy is instead to examine a variety of claims made by those who take there to be ultimately real entities and seek to show of each such claim that it cannot be true. Indeed the commentators introduce each chapter as addressing the objection of an opponent to the conclusion of the preceding chapter. The expectation is that once opponents have seen sufficiently many of their central theses refuted, they will acknowledge that further attempts at finding the ultimate truth are likely to prove fruitless.

http://www.wisdompubs.org/sites/default/files/preview/Nagarjuna%27s-Middle-Way-Book-Preview-R.pdf

175
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 16 January 2014, 11:55:18 PM »
Thanks bangettt bro. 
Buku ini cuma sampai chapter 19 aja yah bro atau ada jilid ke duanya???

judulnya kan bab-bab esensial, jadi mungkin memang gak semua diterjemahin.

Middle-way disini mengacu pada konteks debat filosofis waktu itu, dimana ada banyak teori termasuk teori non-buddhis.
Dan semuanya dihancurkan oleh Nagarjuna dengan doktrin "Sunyata"

176
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 16 January 2014, 01:44:09 AM »
gak punya. Kalau mau download scribbd titip aja ke aku link nya, ntar aku usahakan dapetin.

nih yg candrakirti aku masukin mediaapi
http://www.mediafire.com/view/nf2fr7xbm4bq26r/95463567-Candrakirti-1979-Lucid-Exposition-of-the-Middle-Way-Essential-Prasannapada-Tr-Mervyn-Sprung.pdf

177
Mahayana / Re: Tinjauan tentang makan daging dalam Mahayana
« on: 12 January 2014, 10:04:39 AM »
Basis Apa yang Kita Pilih?

Ketentuan Buddha tentang makan daging tidak bertentangan. Umat yang masih belum dapat meninggalkan konsumsi daging oleh sebab kesehatan atau pergaulan sosial dapat mengikuti aturan tiga daging murni. Bila praktisi berikrar ingin memasuki gerbang Mahayana dan mengembangkan Bodhicitta, maka perlahan-lahan harus meninggalkan kebiasaan makan daging, bahkan tiga jenis daging murni. Setiap ketentuan yang ditetapkan Buddha harus dipahami sebagai anjuran untuk berbagai macam kondisi yang berbeda, sehingga tidak ada yang bertentangan dalam hal ini.

Dengan demikian, kita semestinya harus memahami terlebih dahulu basis mana yang dipilih oleh seorang praktisi. Jika berjalan pada cita-cita ke-Arahat-an, maka masalah santapan daging tidak begitu bermasalah sejauh dia tetap berpegang pada tiga syarat daging murni yang telah ditentukan. Jika berjalan pada cita-cita Bodhisattva maka dia tentu harus berpegang teguh pada ikrar yang telah dicanangkan, jika tidak maka sama saja membohongi dirinya sendiri.

Dalam hal ini, untuk menarik benang merahnya, maka kita semestinya dapat menerima kedua-duanya, bahwa Buddha tidak melarang makan daging pada satu kesempatan, namun sekaligus melarang santapan daging pada kesempatan lain tergantung pada basis apa yang dipilih oleh seorang praktisi. Hal ini sama seperti Buddha tidak melarang siswa perumah tangga untuk berhubungan seks yang benar, namun bagi siswa bhikkhu, seks adalah perbuatan yang terlarang sama sekali, semua ini tergantung pada kecenderungan dan tingkatan batin masing masing makhluk hidup.

Itulah sebabnya Buddha dijuluki sebagai raja tabib. Jika kita mengalami masalah A maka yang diberikan adalah resep A. Jika pokok permasalahannya adalah B maka resep yang diberikan adalah B. Tidak ada jalan terunggul, sejauh dapat menyembuhkan maka itulah pilihan yang dianggap terunggul oleh sang praktisi bersangkutan.

Terlepas dari basis mana yang dipilih, terlepas dari motivasi apa yang dianut, setahap demi setahap pola hidup sehat vegetarian (tidak makan daging) telah berkembang luas ke seluruh penjuru dunia. Para praktisi Jalan Bodhisattva tidak sendirian, dan tentu saja, sebagai praktisi Jalan Bodhisattva harus menyambut baik adanya Hari Vegetarian Se-Dunia yang ditetapkan pada tanggal 1 Oktober setiap tahunnya.

===================================END OF ARTICLE============================

tambahan Xenocross:

1. Sila Bodhisattva yang diturunkan hingga saat ini mempunyai dua versi. Versi pertama adalah yang memakai basis Brahmajala Sutra, dan silsilahnya menyebar ke China. Sehingga di Buddhisme Mahayana China, anggota Sangha biasanya vegetarian karena mereka mengambil Sila Bodhisattva versi ini.

Versi kedua adalah silsilah tradisi guru-guru India yang berasal dari kompilasi Guru Shantideva. Beliau mengumpulkan sila-sila dari Akashagarbha Sutra, Upayakausalyasutra, Ratnakuta, Simhapariprrcha, Candrapradipa Sutra, dan sutra lainnya. Versi ini tidak melarang makan daging.


2. Kutipan Brahmajala Sutra, bagian 48 sila sekunder:

   
Quote
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak dengan sengaja memakan daging. Ia seharusnya tidak makan daging dari makhluk hidup apapun. Pemakan daging kehilangan benih Mahakaruna, memotong benih Sifat Kebuddhaan (Tathagata Garbha), serta menyebabkan (binatang dan para dewa) menghindarinya. Mereka yang melakukannya melakukan tak terbilang pelanggaran. Karena itu, seorang Bodhisattva seharusnya tidak makan daging makhluk hidup apapun. Bila sebaliknya, ia dengan sengaja memakan daging, ia melakukan pelanggaran yang tambahan.


3. Terdapat beberapa orang atau aliran atau kelompok yang percaya bahwa dengan vegetarian bisa menjadi suci. Pandangan tersebut berlawanan dengan apa yang dikatakan Buddha

   
Quote
Mengambil kehidupan, memukul, melukai, mengikat, mencuri, berbohong, menipu, pengetahuan yang tak berharga, berselingkuh; inilah bau busuk. Bukan makan daging.

    Di dunia ini, para individu yang tidak terkendali dalam kesenangan indera, yang serakah terhadap yang manis-manis, yang berhubungan dengan tindakan-tindakan yang tidak murni, yang memiliki pandangan nihilisme, yang jahat, yang sulit diikuti; inilah bau busuk

    Di dunia ini, mereka yang kasar, sombong, memfitnah, berkhianat, tidak ramah, sangat egois, pelit, dan tidak memberi apapun kepada siapa pun, inilah bau busuk …

    Kemarahan, kesombongan, kekeraskepalaan, permusuhan, penipuan, kedengkian, suka membual, egoisme yang berlebihan, bergaul dengan yang tidak bermoral; inilah bau busuk …

    Mereka yang memiliki moral yang buruk, menolak membayar utang, suka memfitnah, tidak jujur dalam usaha mereka, suka berpura-pura, mereka yang di dunia ini menjadi orang yang teramat keji dan melakukan hal-hal salah seperti itu; inilah bau busuk …

    Mereka yang di dunia ini tidak terkendali terhadap makhluk hidup, yang cenderung melukai setelah mengambil harta milik mereka, yang tidak bermoral, kejam, kasar, tidak memiliki rasa hormat; inilah bau busuk …

    Mereka yang menyerang makhluk hidup karena keserakahan atau rasa permusuhan dan selalu cenderung jahat, akan menuju ke kegelapan setelah kematian dan jatuh terpuruk ke dalam alam-alam yang menyedihkan; inilah bau busuk …

    Menjauhkan diri dari ikan dan daging, bugil, mencukur kepala, berambut gembel, melumuri diri dengan abu, memakai kulit rusa yang kasar, menjaga api kurban; tak satu pun dari berbagai penebusan dosa di dunia yang dilakukan untuk tujuan yang tidak sehat –termasuk jampi-jampi, persembahan keagamaan, pemberian korban maupun puasa musiman– akan menyucikan seseorang yang belum mengatasi keragu-raguannya.


    AMAGANDHA SUTTA

4. Beberapa orang menjadi vegetarian karena alasan kesehatan, ini adalah tujuan duniawi.

Tujuan spiritual Vegetarian adalah mengembangkan bodhicitta, dan para bhiksu menjadi vegetarian karena mengambil sila bodhisattva. Beberapa yang lain menjadi vegetarian karena mengembangkan welas asih dan metta.

Tanpa welas asih, tanpa bodhicitta, dan tanpa mengambil sila bodhisattva, jika seseorang menjadi vegetarian tidak dengan salah satu dari alasan tersebut, maka vegetarian hanya menjadi diet/ pola makan biasa. Tidak dengan makanan seseorang menjadi suci.

Pandangan bahwa seseorang dapat mencapai kesucian hanya dengan tidak makan daging bisa dikategorikan sebagai kepercayaan terhadap ritual yang tak bermanfaat (silabataparamasa)

178
Mahayana / Tinjauan tentang makan daging dalam Mahayana
« on: 12 January 2014, 10:03:24 AM »
Tinjauan tentang makan daging dalam Mahayana
Menyambut Hari Vegetarian Se-Dunia
oleh: Chingik dan Hendrick
Majalah Sinar Dharma 24


Pertentangan Tradisi Buddhisme?

Polemik seputar masalah vegetarian dalam tubuh agama Buddha telah berlangsung lama, hingga sekarang pun masih terus menjadi sebuah perdebatan yang hangat. Jika diperhatikan, terlihat jelas bahwa perbedaan pendapat ini berhubungan dengan masalah sektarian/tradisi. Argumentasi apapun yang dikemukakan oleh masing-masing tradisi tidak terlepas dari pijakan pada sumber literatur yang diyakini mewakili ajaran asli Buddha. Kesemuanya sama-sama meyakini sumber kitab suci masingmasing, sehingga berbagai teori maupun alasan yang dipaparkan selalu berjalan di dalam sistem logika yang diboncengkan pada sistem ajaran masing-masing tradisi. Demikianlah sehingga timbul persepsi bahwa ajaran Buddha sehubungan dengan permasalahan makan daging dalam Sutta-Sutta Theravada dan Sutra-Sutra Mahayana adalah bertentangan. Bahkan umat awam dengan sangat mudahnya mencap bahwa bhikkhu Theravada boleh makan daging, sedangkan bhiksu Mahayana harus vegetarian. Padahal jika mau merujuk pada rangkaian visi ajaran masing-masing tradisi, maka kita akan dapat menemukan sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya apa yang dikemukakan oleh dua garis tradisi besar Buddhisme, Theravada dan Mahayana, adalah tidak bertentangan.

Kita harus tahu, jika berbicara tentang ajaran Buddha dari sudut pandang tradisi Theravada, maka fokus utama dari tradisi ini terletak pada usaha untuk meraih tingkat kesucian Arahat. Seorang praktisi yang menjalankan pelatihan diri dalam sistem tradisi ini akan berusaha meraih apa yang dicita-citakan dengan berpegang pada tiga kerangka dasar pelatihan yakni Sila, Samadhi dan Panna. Tradisi Theravada meyakini bahwa dari serangkaian sistem tiga pelatihan ini, kesucian batin yang tercapai tidak memiliki kaitan dengan apa yang dimakan, baik berupa daging maupun sayur-sayuran. Hal ini dipertegas oleh Buddha saat mewejangkan Dhamma kepada seorang tabib bernama Jivaka.

Namun pada kesempatan lain, Buddha menginstruksikan kepada para siswa bahwa meskipun tidak ada larangan, namun ada ketentuan yang berlaku dalam hal memakan daging. Artinya adalah bahwa dalam hal ini Buddha menerapkan satu aturan dasar tata tertib. Di sini terlihat jelas bahwa memang tidak ada larangan secara eksplisit, namun tidak berartiboleh makan daging secara bebas. Buddha hanya mengizinkan para bhikkhu memakan tiga daging murni (tri-koti-suddha-mamsa), yakni

   
  • pertama, daging dari hewan yang tidak dilihat ketika dibunuh;
        kedua, daging dari hewan yang tidak kita dengar ketika dibunuh;
        dan ketiga, daging dari hewan yang tidak secara khusus dibunuh untuk disajikan kepada kita.

Bhiksu Yijing dalam perjalanannya mencatat bahwa para bhiksu di India menerima dana makanan berupa tiga daging murni.


Buddha Tidak Melarang Makan Daging?

Berbicara tentang tiga daging murni, baik Theravada maupun Mahayana memiliki pandangan serupa. Arya Bhavaviveka (500-578 M), pendiri Svatantrika Madhyamika, salah satu aliran Mahayana, pernah menulis dalam karya beliau Madhyamakahrdaya-karika bahwa tidak ada larangan bagi seseorang untuk memakan daging, namun dengan syarat harus memenuhi aturan tiga daging murni. Bhavaviveka juga mengatakan: “Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk.” Di sini dikatakan kita boleh mengonsumsi daging atas dasar alasan kesehatan, bukan mengejar kenikmatan daging.

Pun maksud dari “pemulih kelaparan” di sini bukan sekedar lapar terus makan daging, tetapi merujuk pada kondisi bila terjadi bencana kelaparan maka daging diperlukan untuk memulihkan kondisi mereka yang tertimpa bencana kelaparan tersebut.

Master Hsuan Hua, sesepuh Chan aliran Weiyang yang sangat menganjurkan vegetarian, juga berkata, “Jika kalian tidak melihat binatang tersebut dibunuh, tidak mendengar jeritannya ketika meninggal dan jika binatang tersebut tidak dibunuh sebagai makanan khusus untukmu, maka dalam kasus seperti itu, jika tubuhmu lemah, maka engkau dapat memakan daging tersebut.” (Tanya Jawab di Oregon). Jadi ketika tubuh lemah dan sakit, makan daging dibolehkan, asal daging tersebut tetap termasuk dalam tiga jenis daging murni.

Di Tibet, udaranya sangat dingin dan daerahnya sulit ditanami sayur mayur, sehingga tidak heran kalau para bhiksu di sana tidak vegetarian. Walaupun makan daging, tapi ini dengan tujuan untuk melangsungkan hidup di bawah kondisi yang mengharuskan mereka melakukan hal itu.

Lalu, atas dasar apa Buddha menetapkan ketentuan tiga daging murni? Ini bisa kita simak dalam Sutra Mahayana Mahaparinirvana.

   
Quote
Kasyapa berkata lagi: “Mengapa Anda awalnya mengizinkan para bhiksu untuk memakan tiga daging murni?”[Buddha:]”O Kasyapa! Tiga jenis daging suci ini diberikan [diberlakukan] mengikuti kebutuhan pada saat [keadaan] itu.”

Dari sini bisa diketahui, ternyata Buddha menetapkan ketentuan tiga daging murni berdasarkan sudut pandang tertentu atas kondisi tertentu.

Selain ketentuan tiga daging murni, Buddha juga menetapkan ketentuan makan lima daging murni dan pantangan makan sepuluh jenis daging. Yang dimaksud dengan lima daging murni adalah selain tiga daging murni yang tersebut di atas, masih ditambahkan lagi dua jenis daging murni lain, yakni daging hewan yang telah mati dengan sendirinya dan daging dari hewan yang menjadi sisa makanan burung bangkai. Ini adalah ketentuan yang sesuai bagi para siswa yang karena faktor lingkungan yang menyebabkan tidak mendapatkan atau sulit menerima persembahan makanan dari umat. Faktor lingkungan ini merujuk pada siswa yang sedang melakukan perjalanan pembabaran Dhamma yang jauh dari lokasi hunian manusia, melakukan pelatihan diri menyendiri di hutan atau gunung terpencil, dan semacamnya.

Tentang sepuluh jenis daging yang dilarang bagi para siswa, dalam kitab Theravada Pali Mahavagga, Vinaya Pitaka, tercatat sebagai berikut: manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul.

Sedang dalam Dharmaguptaka Vinaya (Vinaya Empat Bagian) melarang memakan daging gajah, kuda, naga, anjing, singa, harimau, macan tutul, manusia dan dua spesies beruang. Mahasanghika Vinaya memberikan daftar: daging manusia, naga, gajah, kuda, anjing, burung, elang, babi hutan, kera dan gajah.

Sepuluh jenis daging tersebut adalah yang secara absolut dilarang untuk dikonsumsi dalam agama Buddha. Meskipun mungkin dalam situasi tertentu termasuk dalam kondisi tiga jenis daging murni, namun tetap tidak boleh untuk dikonsumsi.

Alasan melarang memakan sepuluh jenis daging ini secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samantapasadika). Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya, pun jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan. Lagi, menurut Mahasanghika Vinaya, dikatakan bahwa anjing, burung dan elang akan menyerang para bhikkhu yang memakan daging mereka.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sangatlah tidak adil jika mengatakan ajaran Buddha tidak melarang memakan daging tanpa memberi penjelasan tambahan bahwa sebenarnya ada jenis daging tertentu yang terlarang sama sekali untuk dimakan.

Namun, jika kita renungkan secara mendalam, meski tidak sepenuhnya tidak boleh makan daging, tapi apakah ketentuan tiga daging murni ini mudah diterapkan? Bagi seorang praktisi yang berpijak pada pemahaman konvensional, ini akan dianggap sebagai ketentuan yang sangat sepele. Lantas bagaimanakah karakteristik dari pemahaman konvensional itu – pemahaman dari orang yang hanya menjalankan suatu instruksi secara apa adanya tanpa pertimbangan kebijaksanaan?

Dengan demikian orang tersebut akan dapat mudah menyantap daging tanpa mempertimbangkan asal usulnya. Sejauh dia tidak mendengar, melihat dan mengetahui bahwa makhluk tersebut berasal dari rangkaian proses suatu tragedi (pembunuhan yang disertai rasa takut dan jeritan kesakitan), maka dia boleh menyantapnya.

Dari pemahaman ini, kita tiba pada satu pertanyaan yang cukup menggelitik. Bila para anggota Sangha memperoleh daging murni dari hasil pindapata, maka bagaimana dengan umat awam? Dari manakah mereka bisa memperoleh daging murni? Dalam Sutra Angulimaliya disebutkan:

 
Quote
   “Sekarang, kalian dapat menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] yang telah datang pada kalian, setelah berpindah-pindah secara tak langsung, namun kalian seharusnya tidak menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] dari titik asal mulanya. Kalian dapat menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] yang datang pada kalian secara tidak langsung tanpa tersentuh oleh pembunuhan.”

Untuk memahami makna ucapan ini dapat kita simak kisah Jenderal Siha Senapati. Jenderal Siha Senapati menyuruh pelayannya untuk membeli daging hewan mati di pasar, lalu mempersembahkannya pada Buddha yang kemudian menerima dan memakannya. Para Nigantha yang tidak senang mulai menyebarkan gosip bahwa Jenderal Siha khusus membunuh hewan gemuk besar lalu Buddha menerima dan memakan daging hewan itu. Jenderal Siha menanggapinya dengan berkata:

 
Quote
  “… Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) berniat meremehkan Buddha… Dhamma… Sangha, tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.”

    (Anguttara Nikaya 8.12)

Inilah perbedaan antara membeli daging mati di pasar dan menyuruh orang untuk membunuh. Daging yang telah mati di pasar termasuk tiga jenis daging murni. Namun apakah hanya kalangan Theravada saja yang mempunyai ajaran serupa tentang membeli daging di pasar? Di kalangan Mahayana, Patriark Chan (Zen) aliran Linji dan Caodong masa kini, yaitu Ven. Sheng Yen (Dharma Drum Mountain) pernah berkata: “Tetapi jika untuk keluarga dan alasan sosial menjadi seorang vegetarian sangat sulit, maka orang boleh memakan daging. Namun seseorang tidak boleh membunuh atau menyuruh orang lain untuk membunuh. Membeli daging yang sebelumnya telah dibunuh untuk dibawa ke rumah itu diizinkan.” (Orthodox Chinese Buddhism oleh Ven. Sheng Yen)

Lalu mengutip dari Thrangu Rinpoche: “Sang Buddha berkata bahwa daging dapat dimakan apabila bebas dari tiga cara (yang tidak pantas)...Ya. Engkau (dapat) membeli ikan mati di (pasar) pelabuhan, ketika ikan tersebut telah mati, apakah engkau membelinya atau mereka memberikannya padamu adalah sama saja. Memakan daging (yang sebelumnya memang telah mati) dan sila tidak membunuh adalah sepenuhnya berbeda karena kita membelinya dari orang lain. Kita memiliki kehendak untuk makan daging, tetapi kita tidak ada niat membunuh, dan karena tidak adanya empat faktor pelanggaran, maka tidak ada pelanggaran sila(ke-1)”(Treasury of Oral Instructions)

Khenpo Karthar Rinpoche juga mengatakan: “Pada dasarnya, daging dibagi menjadi tiga kategori. Satu kategori secara jelas dilarang, satu kategori dengan jelas diizinkan dan kategori lain cukup banyak diizinkan. Kategori yang secara jelas dilarang adalah apa yang dinamakan sebagai ‘daging dedikasi’ yaitu daging yang dibunuh untuk kebutuhanmu, dengan kata lain, seperti memesan hewan hidup atau seekor ikan hidup. Itu tidak diizinkan oleh Buddha. Kategori yang secara jelas diizinkan adalah daging dari seekor hewan yang meninggal secara alamiah, yang tidak dibunuh untuk didapatkan dagingnya. Tidak ada kesalahan dalam memakan daging seperti itu. Kategori yang cukup banyak diterima selama ini adalah daging yang dibeli di pasar, yang berarti kalian tahu bahwa kalian tidak melihat, kalian tidak mendengar, dan kalian tidak memiliki alasan untuk menduga bahwa daging itu dibunuh untukmu.” (Karma Chagme Mountain Dharma)

Apakah benar daging di pasar tergolong tiga daging murni? Dalam pandangan yang lebih ekstrem, bisa dikatakan pada saat melihat sajian daging di atas meja, pikiran kita sudah tahu apa yang telah terjadi. Meskipun mata fisik tidak melihat, namun proses visual pembunuhan yang mengerikan itu tidak bisa menutupi mata batin kita. Meskipun telinga fisik tidak mendengar, namun telinga batin kita dapat merasakan suara itu.

Terlepas dari masalah ini, sebenarnya praktisi tradisi Theravada tetap dapat saja menjalankan pelatihan tanpa mengalami masalah tentang makanan apa yang disantap (namun tetap harus memenuhi 3 syarat), dengan kata lain, dalam tradisi Theravada, kesucian akan dapat diraih walaupun tidak harus vegetarian. Mengapa? Karena apa yang dicita-citakan itu (mencapai tingkat kesucian Arahat), tidak memiliki korelasi langsung dengan makhluk-makhluk lain, artinya adalah bahwa suci atau tidaknya seseorang tergantung pada usaha sendiri, tidak ada kaitan langsung dengan makhluk lain, sejauh ia tidak terlibat langsung dalam tindakan pemuasan nafsu rendah yang merugikan makhluk lain.


Apa Motivasi Sebenarnya dari Vegetarian?

Namun bila dikatakan pandangan Theravada dan Mahayana dalam permasalahan daging murni adalah tidak bertentangan, tetapi mengapa para bhiksu tradisi Mahayana harus vegetarian? Ini tentu ada kaitan yang sangat erat antara ikrar ke-Bodhisattvaan dalam tradisi Mahayana dan korelasinya dengan makhluk-makhluk lain.

Tradisi Mahayana menjalankan pelatihan Dharma dengan berfondasi pada cita-cita welas asih menyelamatkan semua makhluk hidup. Oleh sebab itu, walaupun makhluk-makhluk lain sudah mati menjadi seonggok daging tak bernyawa, namun praktisi yang menjalankan ikrar Bodhisattva tetap tidak tega menyantapnya. Karena praktisi ini telah berikrar untuk menyelamatkan semua makhluk hidup, maka wajar saja jika dia tidak dapat menyantap daging makhluk yang telah mati. Ini sesuai dengan basis yang telah dipilihnya yakni Jalan Bodhisattva.

Jadi di dalam tradisi Mahayana, seseorang dikatakan tidak suci lagi jika menyantap daging, pernyataan ini harus dimaknai bahwa karena jika menyantapnya maka dia telah melanggar hati nuraninya, dan wajar saja jika orang yang melanggar hati nurani sendiri identik dengan orang yang telah menodai batinnya sendiri, jadi wajarlah dikatakan tidak suci lagi. Beberapa acuan yang dipakai oleh tradisi Mahayana dalam soal vegetarian ini antara lain adalah Sutra Angulimaliya, Sutra Lankavatara, Sutra Mahaparinirvana dan Sila Bodhisattva Sutra Brahmajala. Mari kita simak beberapa kutipan Sutra- Sutra tersebut.

   
Quote
“Apakah benar bahwa para Buddha tidak makan daging disebabkan oleh sifat ke-Buddha-an (Tathagata-garbha)?” Buddha berkata: “Memang tepatnya seperti itu, Manjushri. Dalam berbagai kehidupan selama perjalanan masuk dan keluar samsara yang tanpa awal dan tanpa akhir, tidak ada satupun makhluk yang tidak pernah menjadi ibu kita, yang tidak pernah menjadi saudara perempuan kita. Bahkan anjing-anjing pun pernah menjadi ayah kita sebelumnya. Dunia di mana para makhluk hidup adalah seperti permainan. Maka, oleh karena daging kita dan daging yang lain adalah daging yang sama, para Buddha tidak mengonsumsi daging.” (Sutra Angulimaliya)

 
Quote
“Jika Mahamati, daging tidak dimakan oleh siapapun untuk alasan apapun, maka tidak ada penghancur kehidupan.” (Sutra Lankavatara)

Dari dua kutipan di atas dapat diketahui bahwa pantang makan daging dilakukan demi pengembangan Bodhicitta yang diterapkan dalam bentuk: ke atas mencapai Jalan Ke-Buddha-an; ke bawah menyelamatkan makhluk hidup. Sedang makhluk hidup yang terdekat dengan kita adalah orang tua. Jadi apakah kita tega memakan daging makhluk yang pernah menjadi orang tua kita sendiri, meski hubungan kekeluargaan itu terjalin dalam kehidupan yang lampau?

Terlepas dari hubungan kekeluargaan, rasa welas asih seorang Bodhisattva meliputi semua makhluk dan menembus tiga kehidupan: lampau, sekarang dan akan datang. Inilah perwujudan Empat Ikrar Agung Bodhisattva yang sebenarnya juga merupakan aksi welas asih yang nyata atas kebenaran mutlak Empat Kesunyataan Mulia yang dibabarkan Buddha dalam pemutaran roda Dharma pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Bodhi.

1. Berikrar menyelamatkan makhluk hidup yang tak terbatas (Dukkha - Kesunyataan Mulia Pertama)

2. Berikrar memutus kekotoran batin yang tak ada habisnya (Sebab Dukkha - Kesunyataan Mulia Kedua)

3. Berikrar mempelajari pintu Dharma yang tak terhingga (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha -Kesunyataan Mulia Keempat)

4. Berikrar mencapai Jalan ke-Buddha-an yang tertinggi (Lenyapnya Dukkha - Kesunyataan Mulia Ketiga)

Inilah ikrar welas asih yang menjadi motivasi berpantang makan daging. Hubungan antara pantang makan daging dan welas asih ini dapat kita simak dalam ucapan berikut:

Quote
    “O Hyang Bhagava! Mengapa Tathagata tidak mengizinkan kami makan daging?” “O pria yang berbudi! Seseorang yang makan daging mematikan benih welas asih agung.” (Sutra Mahaparinirvana)

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah kita jangan mengartikan secara harfiah bahwa mereka yang tidak vegetarian adalah tidak welas asih, melainkan vegetarian adalah satu bentuk pengembangan dari welas asih, yang merupakan satu metode pelatihan diri membina hati welas asih dalam bentuk visualisasi penghayatan penderitaan hewan yang mengalami proses pembunuhan untuk diambil dagingnya bagi manusia.

Meski telah memahami motivasi di balik semangat pantang daging dari tradisi Mahayana, namun itu belum menjawab pertanyaan mengapa para bhiksu tradisi Mahayana harus vegetarian. Sama seperti dengan tradisi Theravada, Vinaya yang diterapkan oleh para bhiksu/bhiksuni Mahayana juga tidak mengandung pernyataan pantang makan daging, jadi apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya perbedaan pola makan kedua tradisi ini? Di sinilah letak pentingnya Sila Bodhisattva Sutra Brahmajala.

Ternyata para bhiksu/bhiksuni Mahayana selain menerapkan Vinaya, mereka juga menerima dan menerapkan Sila Bodhisattva yang tercantum dalam Sutra Brahmajala (Mahayana) yang secara tertulis menyatakan pantang makan daging.

179
Mahayana / Re: Filosofi Middle Way Nagarjuna
« on: 11 January 2014, 12:40:48 AM »
Candrakirti 1979 - Lucid Exposition of the Middle Way ; Essential Prasannapada Tr Mervyn Sprung

Long out of print, not yet superseded, Sprung's careful and erudite translation, a culmination of his career, focuses on philosophical clarity. Translated from the Sanskrit (not the Tibetan translation), this is an essential work on Buddhist insight, different from the more common Candrakirti 'Entering the Path' of Tibetan path literature and commentary.

http://www.scribd.com/doc/95463567/Candrakirti-1979-Lucid-Exposition-of-the-Middle-Way-Essential-Prasannapada-Tr-Mervyn-Sprung

180
Altar itu gak usah bagus-bagus, tinggal pake meja kecil aja. Pasang gambar Sitatapatra, bisa diprint. Mau hitam putih juga gpp.
Kalau sudah ada altar Buddha, letakkan gambar/ patung Buddha di tempat yang lebih tinggi, lalu di depan Buddha di tempat yang lebih rendah pasang gambar Sitatapatra.

Malah kalau darurat pakai laptop menampilkan gambar juga boleh, atau tablet atau hp.

Sebelumnya baca paritta dulu, atau kalau mahayana baca sutra seperti biasa.
Tapi sebelum bagian penutup (ettavata, dsb) sisipkan puja untuk Sitatapatra.

dupa boleh ada boleh ga ada, kalau mau disatukan ya ga apa apa. Yang penting itu persembahan air. Dan baca mantranya yang banyak. Sambil baca mantra terus bayangkan sosok Sitatapatra dan minta bantuan untuk menghalau gangguan

gambar Sitatapatra bisa disandarkan begitu saja, bisa juga ditempel ke dinding.
Intinya fleksibel aja. Kan bukan maksud mau jelek tapi karena terbatas tempat dan modal

pengalaman saya dan keluarga, setelah sekian lama pakai altar seadanya, nanti lama-lama bisa ada modal dan kesempatan bikin altar yg makin lama makin bagus.

Pages: 1 ... 5 6 7 8 9 10 11 [12] 13 14 15 16 17 18 19 ... 79