Memperkuat asumsi ini, simak juga kesaksian Ajahn Sumedho yang sebelumnya sudah pernah kuposkan dalam topik lain:
"Banyak bhikkhu hutan di Timur-laut Thailand menggunakan
kata 'Buddho' sebagai objek meditasi mereka. Mereka menggunakannya sebagai sejenis koan. Pertama-tama, mereka membikin tenang pikiran dengan mengikuti keluar masuknya napas seiring suku kata BUD DHO, dan kemudian mulai melakukan kontemplasi, 'Apakah Buddho -Dia yang mengetahui- itu?' 'Apa artinya mengetahui?'
Ketika saya berkeliling di daerah timur-laut Thailand dan singgah di tudong, saya mengunjungi vihara tempat Ajahn Fun dan tinggal beberapa lama di sana.
[...]
Beliau mengajarkan untuk
tidak hanya mengulang-ulang kata 'Buddho', tapi merenungkan dan mengamatinya, membawa pikiran menembus dan benar-benar melihat ke dalam 'Buddho', 'Dia yang mengetahui' -mengamati muncul dan lenyapnya, tinggi dan rendahnya, sebegitu hingga seluruh perhatian kita tumplek padanya.
Dengan melakukan hal itu
'Buddho' menjadi sesuatu yang bergema dalam pikiran. Kita mesti mengamati, menonton, dan memeriksanya sebelum ia muncul dan setelah ia muncul, lalu mendengarkan gema suara itu dan yang ada di baliknya -hingga akhirnya kita hanya
mendengar keheningan."
Sumber: Ajah Sumedho, "Hidup Saat Ini." Pustaka Karaniya, 1991
Dalam hal ini Ajahn Sumedho menyinggung tentang Ajahn Fun. Beliau jelas-jelas mengatakan bahwa "Buddho" adalah objek meditasi yang mandiri. Caranya adalah dengan terus mengulang-ulang kata tersebut sambil merenungkan arti kata tersebut. Kemudian kata-kata "Bddho" akan menggema dalam pikiran dan akhirnya seseorang hanya mendengar keheningan. Jadi "Buddho" juga adalah metode untuk memasuki keheningna, dari keheningan seseorang akan memasuki Jhana.
Kedua fakta ini: kata-kata Ajahn Thate dan kesaksian Ajahn Sumedho tentang Ajahn Fun, menggambarkan dengan jelas bahwa pada praktik melafalkan "Buddho" di antara bhikkhu2 hutan di Timur Laut Thailand adalah metode yang mandiri di luar anapanasati dan vipassana klasik.
Justru hanya kemudian pada perkembangannya, beredar suatu pandangan di antara kalangan Theravadin seolah-olah metode "Buddho" hanyalah pendukung bagi anapanasati. Saya melihat di sini ada usaha untuk membuang tradisi Theravada tradisional yang umumnya berkembang di antara para bhikkhu Thailand jadul (jaman dulu dan menggantinya dengan paham yang lebih reformis dan modern dengan keyakinan akan pemurnian ajaran Buddha yang lebih bersifat "fundamentalis kitab suci." Paham reformis ini yang kemudian berusaha untuk mengidentifikasikan Theravada adalah ajaran yang seratus persen sesuai dengan rasionalitas modern sambil melakukan pembersihan terhadap Theravadin tradisional yang lebih toleran terhadap metode2 yang beragam. Menurut saya. corak ini yang banyak menjadi populer di kalangan Theravadin Indonesia (dan beberapa bhikkhu Thailand dan Barat) yang menafsirkan bahwa metode "Buddho" hanyalah pendukung bagi metode-metode yang secara absah tercantum dalam kitab suci (seperti anapanasati). ==> Ini cuma asumsi saya loh, untuk pastinya butuh bukti-bukti tambahan melalui kajian yang lebih sistematis
Bagaimana menurut anda?