Buddha Agung, ketika apa yang secara jelas akan terlahir kembali,
apakah 2 alam ini—satta-loka (alam makhluk-makhluk berperasaan) dan sankhàra-loka (alam benda-benda berkondisi)—terlahir kembali?
Dalam hal apakah semua makhluk—manusia, dewa, dan brahmà—berhubungan erat dengan Tanhà-ditthi (Kemelekatan dan pandangan salah) dengan berpikir ‘aku’ dan ‘milikku.’
Mengapa disebut satta-loka dan sankhàra-loka?
Ketika muncul dengan jelas pada semua makhluk—manusia, dewa, dan brahmà—apakah mereka menjadi bersedih?
Dewa Hemavata, ketika 6 ajjattikàyatana (bagian-bagian indra) dan 6 bàhiràyatana (objek luar) secara jelas terlahir kembali,
kedua alam—satta-loka dan sankhàra-loka terlahir kembali.
(Dalam hal kenyataan mutlak, Paramattha Dhamma,
Satta-loka berarti kelompok-kelompok makhluk seperti manusia, dewa, dan brahmà yang merupakan gabungan dari 12 àyatana dasar,
yaitu: 6 internal—mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran—dan 6 eksternal—bentuk-bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan, ide-ide pikiran.
Tanpa kehadiran 12 àyatana ini,
tidak akan ada yang disebut makhluk seperti manusia, dewa, dan brahmà.
Secara Paramattha Dhamma,
sankhàra-loka berarti benda-benda seperti ladang, tanah, emas, perak, padi, dan lain-lain. Yang hanya terdiri dari 6 àyatana eksternal. Tanpa 6 ini tidak ada yang disebut sankhàra-loka dari benda-benda mati.
Oleh karena itu, Buddha menjawab, …
“ketika 6 internal dan 6 eksternal àyatana terlahir kembali,
dua alam—alam makhluk-makhluk berperasaan dan alam benda-benda berkondisi yang mati—terlahir kembali’).
Dewa Hemavata, sehubungan dengan 6 àyatana internal dan 6 àyatana eksternal ini,
semua makhluk—manusia, dewa, dan brahmà--berhubungan erat dengan kemelekatan dan pandangan salah dengan adanya gagasan “aku” dan “milikku.”
(Semua makhluk—manusia, dewa, dan brahmà—yang berteman dekat dengan kemelekatan dan pandangan salah menganggap “aku,” “orang lain,” “laki-laki,” “perempuan,” “ladang,” “tanah,” dll sebagai “aku”dan “milikku” yang merupakan gabungan dari 6 àyatana internal dan 6 àyatana eksternal dalam pengertian Paramattha Dhamma.
Hal ini benar adanya.
Menganggap mata adalah “aku” dan “milikku,” karena berteman dengan kemelekatan dan pandangan salah;
menganggap telinga adalah “aku” dan “milikku,” karena berteman dengan kemelekatan dan pandangan salah;
demikian pula halnya dengan hidung, lidah, tubuh, pikiran, dan juga sehubungan dengan bentuk-bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan seperti keras dan lembut, panas dan dingin, dll, dan gagasan-gagasan dalam pikiran….)
Dewa Hemavata, ketika 6 àyatana internal dan 6 àyatana eksternal muncul dengan jelas (atau, sehubungan dengan 12 àyatana ini)
semua makhluk—manusia, dewa, dan brahmà—menjadi menderita.
(Menurut âdittapariyàya Sutta, khotbah api,
12 landasan terbakar oleh 11 macam api ràga, dosa, moha, dll.
Dari sudut pandang Paramattha Dhamma,
Satta-loka―makhluk-makhluk hidup, manusia, dewa, dan brahmà—hanya merupakan 12 àyatana, 6 internal dan 6 eksternal.
àyatana ini terus-menerus terbakar oleh 11 api.
Karena adanya àyatana, maka ada kebakaran;
karena ada kebakaran, maka ada penderitaan.
Jika tidak ada àyatana, maka tidak ada kebakaran;
jika tidak ada kebakaran, maka tidak ada penderitaan….)
~RAPB 1, pp. 726-728~