Memang sebenarnya pada saat seseorang sudah masuk pada praktek Dhamma, segala label terkikis habis, pikiran2lah menyebabkan delusi. Tetapi label dalam bentuk teori diperlukan tatkala kalyanimita yg sesungguhnya sangat sulit ditemukan dan juga untuk menjadi pedoman tentang arah sebuah jalan bagi mereka yg baru memulai dalam praktek.
Saya ada pertanyaan lagi untuk Pak Hudoyo, sepanjang yg saya pahami tentang tahapan paling terakhir sebelum mencapai Nibbana atau penghentian terakhir atau momen terakhir yg harus dipatahkan adalah atta itu sendiri yg akhirnya menembus anatta. Benarkah demikian?
Jawaban saya sebaiknya saya gabung dengan jawaban untuk Rekan Ryu, ya, karena substansinya hampir sama.
Bukannya rakit dibutuhkan untuk mencapai pantai sebrang? Kalo rakitnya salah ato bocor ya gak akan sampe yah.
'Atta' itu apa? ...
'atta' itu bukan
sesuatu yang tersembunyi di dalam lubuk batin kita, yang
baru terbongkar nanti pada
"akhir perjalanan" menuju
'nirwana'. ...
'Atta' adalah
segala sesuatu yang ada dalam batin kita sekarang: pikiran, perasaan, keinginan, ketidaksenangan, harapan, kekecewaan, kepercayaan, iman, ajaran agama, pengetahuan, pengalaman, ... semua itu adalah
'atta'.
Jadi,
'atta' itu
harus disadari SEKARANG, bukan
NANTI. ... Dan yang menarik ialah,
setiap kali 'atta' itu disadari--dalam wujud apa pun--ia pasti
LENYAP seketika itu juga ... sekalipun sesaat lagi
bisa muncul kembali dalam bentuk lain atau bentuk yang semula.
*****
Sekarang tentang
"rakit",
"jalan",
"metode" atau apa pun istilahnya. ... Itu semua adalah sifat-sifat dari suatu
AGAMA, termasuk
Agama Buddha. Tiap agama mempunyai
"tujuan",
"goal"; dan untuk
mencapai goal itu, di
masa depan tentunya, ditawarkan sebuah "
rakit",
"jalan",
"syariat",
"metode", apa pun namanya. Jadi inilah
kebiasaan berpikir manusia dalam meproses masalah spiritual di dalam agama, tidak ubahnya
seperti ia memproses setiap masalah duniawi yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selalu ada:
(1) tujuan:
(2) cara/metode, dan
(3) waktu untuk mencapainya (di
masa depan).
Mohon dipahami ini dulu baik-baik, sebelum kita membahas bagaimana halnya dalam
MEDITASI.
Pengalaman kesadaran dalam MEDITASI sangat berbeda dengan hasil pemikiran/renungan dalam AGAMA. Terutama tentang
WAKTU. Apabila Anda
sadar/eling, sehingga
pikiran berhenti, maka
kesadaran tentang WAKTU pun berhenti: tidak ada lagi
masa lampau dan
masa depan dalam kesadaran kita:yang ada adalah
saat kini yang
terus-menerus mengalir, tapi tidak ada kesadaran
"mengalir dari mana" atau
"mengalir ke mana". Dalam keadaan itu, segala
konsep-konsep &
pemikiran-pemikiran yang
berhubungan dengan waktu pun
berhenti: tidak ada lagi
tujuan "mencapai pantai seberang",
tujuan "lenyapnya aku" dsb dsb. Karena tidak ada lagi
"tujuan",
"pantai seberang" dsb, maka
tidak relevan lagi bicara atau
mikir-mikir tentang
"rakit", tentang
"jalan" dsb.
Yang ada tinggallah
saat kini dengan
apa yang ada, yakni
batin ini, yang
terus berubah,
timbul tenggelam, kadang-kadang hening, kadang-kadang ribut.
Keheningan dan
berhentinya pikiran/aku yang cepat atau lambat datang, akan
datang ketika tidak diharapkan, seperti
pencuri di waktu malam, ketika
si aku yang mengharap-harap tidak ada lagi.
Begitulah ajaran Jalan Suci Berfaktor Delapan, Empat Kebenaran Suci dsb
tidak relevan lagi dalam kesadaran vipassana, ketika orang
mulai duduk diam mengamati pikirannya sendiri. Ketika orang mulai duduk diam, itulah
LANGKAH PERTAMA, yang sekaligus adalah
LANGKAH TERAKHIR.
Saya tidak tahu, apakah Anda memahami ini atau tidak. Kalau tidak, saya sarankan,
ikutilah retret vipassana; Anda akan melihat secara langsung semuanya yang dibicarakan di sini.
Salam,
Hudoyo