tapi sesuatu yg tidak berhak kita lakukan bukan berarti tidak boleh dilakukan, bukan? bahkan ada kasus dimana sesuatu HARUS kita lakukan walaupun kita tidak berhak melakukannya, misalnya "saya harus membunuh", saya tidak berhak membunuh, tapi saya tetap harus membunuh, karena itu adalah kewajiban saya.
Seharusnya dihindari. Kalau saya bertanya kepada bhante kemarin ini, lebih baik dibunuh dari pada membunuh. Saya mengerti jawabannya tapi kalau untuk diri sendiri, saya tidak tahu juga jika dalam keadaan kepepet. Tapi mungkin juga saya biarkan dibunuh, tapi saya berpikir bagaimana caranya menjaga kesadaran saat itu? Karena menurut yang diajarkan, kesadaran terakhir manusia saat meninggal itu salah satu menentukan akan terlahir kemana.
ini adalah cara ideal menurut ajaran Buddhis, tapi cara ini tidak applicable untuk seorang prajurit (atau algojo), profesi demikian memang tidak dianjurkan untuk seorang Buddhis, tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa profesi itu tidak ada. Dan saya memberikan contoh kasus ekstrim untuk menyampaikan suatu makna.
berikut ini cuplikan kisah seorang algojo pada masa Sang Buddha
---------------------------------------------------------------------
Tambadathika bekerja sebagai seorang algojo kerajaan selama 55 tahun sebelum pensiun. Suatu pagi ia pergi ke sungai untuk mandi. Sesampainya di sana ia melihat Yang Mulia Sariputta sedang duduk bermeditasi. Tambadathika berpikir, "Seumur hidupku, aku telah begitu sibuk mengeksekusi para pencuri dan pembunuh. aku tidak pernah berkesempatan bertemu dengan seorang bhikkhu." Ketika Tambadathika melihat Yang Mulia Sariputta bangun dari meditasinya, Tambadathika mendatanginya dan dengan hormat mengundangnya untuk makan di rumahnya. Yang Mulia Sariputta menerima.
Setelah makan, Yang Mulia Sariputta membabarkan Dhamma kepada Tambadathila, namun orang tua itu kesulitan mengarahkan perhatiannya. Pikiran gelisahnya mengembara pada semua orang yang telah ia bunuh sepanjang karirnya. Yang Mulia Sariputta mengetahui kesulitan orang tua ini dan bertanya,
"Tambadathika, apakah engkau membunuh para penjahat itu karena keinginan sendiri atau karena tugas?"
"Adalah tugasku mengeksekusi para kriminal itu. saya tidak pernah berkeinginan untuk membunuh mereka."
"Maka, teman, jangan cemaskan masa lalu, engkau tidak bertanggun jawab atas kematian mereka."
Tambadathika menjadi lega, pikirannya tenang, dan ia mampu mengarahkan perhatiannya pada kata-kata Yang Mulia Sariputta. ketika khotbah itu berakhir, orang tua itu menjadi sangat gembira. ketika berjalan pulang dan menghargai kehidupan dengan cara yang baru, seekor sapi dengan tanduknya menerang Tambadathika di perutnya dan ia mati pada saat itu juga.
Malamnya di Vihara Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha mengenai apa yang terjadi dengan Tambadathika, Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, walaupun Tambadathika telah melakukan pembunuhan sepanjang hidupnya, namun ia terlahir kembali di alam surga Tusita. Kelahiran kembali yang baik ini adalah akibat dari memahami Dhamma yang dibabarkan oleh Sariputta."
"Tetapi, Yang Mulia, bagaimana mungkin seorang yang seperti itu bisa memperoleh imbalan yang begitu besar hanya dengan satu kali mendengarkan Dhamma?" seorang bhikkhu bertanya
"Lamanya latihan tidak penting," Sang Buddha berkata. "Karena bahkan satu momen pemahaman bisa bermanfaat besar." Beliau melanjutkan dalam syair
Mendengarkan satu kata bermakna
yang membantu seseorang mendapatkan kedamaian
adalah lebih baik daripada seribu kata
yang tanpa makna.