Permisi ikutan nimbrung diskusi jhana, boleh ya….
Menarik sekali mengikuti pembahasan jhana. Saya masih pemula dalam meditasi, saya sering bertanya dalam hati bagaimana cara mencapai jhana yang mudah, yang tidak njlimet. Bila saya mengikuti pembahasan jhana kok berat sekali ya? sedang bagi saya yang rada O’on ini merasa seperti tidak sanggup mencapai jhana. Kemarin saya menemukan di buku Visuddhimagga, bahwa rasa bahagia mampu mengantar kita ke jhana, bahkan mampu terbang ke udara. Dari kisah tsb ada 2 orang yang diceritakan. Seorang anggota Sangha dan seorang Laywoman. Mungkin kalau anggota sangha bisa dibilang lebih mudah mengkonsentrasikan pikiran mengingat beliau2 bukan hal baru dalam hal meditasi, namun disini ada laywoman yang jelas2 sedang mengandung (notabene tidak menjalani hidup selibat) juga melihat usianya masih muda, kemungkinan tertarik dunia meditasi belum seberapa, namun diapun berhasil mencapai jhana dengan mudah. Sehingga di benak saya muncul pemikiran, bahwa teori2 yang njlimet itu, bila kita tidak mengerti (saking njlimetnya), tidak ada salahnya pengalaman ini bisa dicoba, mengingat ada laywoman yang sedang dalam kondisi hamilpun mampu melakukan.
Visuddhimagga, page 141-142.[First Jhana]
95. uplifting happiness can be powerful enough to levitate the body and make it spring up into the air. For this was what happened to the elder Maha-Tissa, resident at Punnavallika. He went to the shrine terrace on the evening of the full-moon day. Seeing the moonlight, he faced in the direction of the great shrine [at Anuradhapura], thingking ‘At this very hour assemblies are worshipping at the Great Shrine!’ By means of objects formerly seen [there] he aroused uplifting happiness with the Enlightened One as object, and he rose into the air like a painted ball bounced off a plastered floor and alighted on the terrace of the Great Shrine.
96. and this was what happened to the daughter of a clan in the village of vattakalaka near the Girikandaka Monastery when she sprang up into the air owing to strong uplifting happiness with the Enlightened One as object. As her parents were about to go to the monastery in the evening, it seems, in order to hear Dhamma, they told her :’My dear, you are expecting a child; you cannot go out an unsuitable time. We shall hear the Dhamma and gain merit for you’. So they went out. And though she wanted to go too, she could not well object to what they said. She stepped out of the house onto the balcony and stood looking at the Akasacetiya Shrine at Girikandaka lit by the moon. She saw the offering of lamps at the shrine, and the four communities as they circumambulated it to the right after making their offerings of flowers and perfumes; and she heard the sound of massed recital by the community of bhikkhus. Then she thought :’how lucky they are to be able to go to the monastery and wander round such a shrine terrace and listen to such sweet preaching of Dhamma!’. Seeing the shrine as a mound of pearls and arousing uplifting happiness, she sprang up into the air, and before her parents arrived she came down from the air into the shrine terrace, where she paid homage and stood listening to the Dhamma.
97. when the parents arrived, they asked her, ‘what road did you come by?’, she said, ‘I came through the air, not by the road’, and when they told her, ‘My dear, those whose cankers are destroyed come through the air. But how did you come?’, she replied :’As I was standing looking at the shrine in the moonlight a strong sense of happiness arose in me with the Enlightened One as its object. Then I knew no more whether I was standing or sitting , but only that I was springing up into the air with the sign that I had grasped, and I came to rest on this shrine terrace’.
So uplifting happiness can be powerful enough to levitate the body, make it spring up into the air.
Karena member DC beragam, disini saya berusaha menerjemahkan kedalam bhs.Indonesia maaf jika terjemahan jauh dari sempurna, karena keterbatasan saya (mohon dikoreksi donk terjemahan saya, thanks)
95. Mengangkat kebahagiaan bisa merupakan kekuatan yg cukup utk mengapungkan tubuh dan terbang diudara. Hal ini terjadi pada YM. Bhikkhu Maha Tissa, tinggal di Punnavallika. Di suatu sore hari bulan purnama beliau ke pelataran stupa, ketika sedang memandang sinar bulan purnama, beliau menghadap kearah Maha Stupa di Anuradhapura, beliau berpikir ‘saat ini sekarang para Majelis (perkumpulan para Bhikkhu) sedang melakukan penghormatan di Maha Stupa’. Dengan masih memikirkan hal tsb dengan obyek Sang Buddha yg sebelumnya beliau telah bertemu, kebahagiaan muncul, dan membuat beliau menjulang ke udara seperti bola yang terpental dari lantai dan mendarat di pelataran Maha Stupa.
96. hal ini pula terjadi pada anak perempuan suatu suku dari desa Vattakalaka dekat Vihara Girikandaka ketika dia menjulang ke udara dampak dari mengangkat perasaan bahagia dengan obyek Sang Buddha. Disuatu sore hari mertuanya pergi ke Vihara untuk mendengarkan dhamma desana, mereka berkata kepadanya: ‘Menantuku, kamu sedang hamil, kamu tidak dapat bepergian untuk waktu yang tidak mendukung. Kami akan mendengar dhamma desana dan melakukan kebajikan untuk mu.’ Kemudian mereka berangkat. Walaupun dia ingin pergi juga, tetapi tidak dapat diwujudkan karena mertuanya telah mengatakan. Dia naik ke balkon rumah dan berdiri sambil memandang Stupa Akasacetiya di Girikandaka dibantu sinar bulan purnama. Dia melihat lilin persembahan di Stupa, dan 4 orang Bhikkhu yg pradaksina dengan bahu menghadap kanan setelah mereka melakukan persembahan bunga-bunga dan pewangian (dupa wangi); dan dia mendengar alunan paritta yg dibaca oleh para Bhikkhu. Kemudian dia berpikir :’betapa beruntungnya mereka dapat pergi ke Vihara, pradaksina dipelataran Stupa dan mendengar indahnya dhamma desana!’ Sambil memandang Stupa seperti gumpalan mutiara telah membangkitkan kebahagiaan, dia menjulang ke udara dan sebelum mertuanya tiba dia telah turun dari udara ke pelataran Stupa, ditempat dimana dia melakukan penghormatan dan mendengarkan dhamma desana.
97. ketika mertuanya tiba, mereka bertanya kepadanya, ‘kamu datang lewat jalan mana?’, dia menjawab,’saya datang dari udara, tidak lewat jalan’, kemudian mertuanya berkata kepadanya,’menantuku, hanya mereka yg telah bebas dari kekotoran bathin (Arahat) saja yg mampu terbang. Bagaimana hal ini terjadi padamu?’, dia menjawab,’suatu kekuatan yg muncul dari rasa bahagia yang timbul saat mengingat Sang Buddha ketika saya sedang berdiri memandangi Stupa dalam sinar bulan. Kemudian saya ketahui telah tidak berdiri atau duduk tetapi menjulang ke udara dengan perasaan kebahagiaan yg masih menyelimuti saya datang ke pelataran Stupa ini’.
Jadi mengangkat kebahagiaan dapat menjadi kekuatan yg cukup untuk mengapungkan tubuh, membuat tubuh menjulang ke udara.
Sehingga yg menarik saya adalah hal ini, bahwa siapapun dia, mampu menembus jhana, bahkan yg secara tidak sengaja, karena wanita ini tidak sedang duduk meditasi, tidak sedang melatih diri, tidak sedang mengkondisikan diri utk menembus jhana itupun mampu melakukan.
Pertanyaan saya,
1. Apakah ini disebabkan timbunan kebajikan beliau2, sehingga dg amat mudahnya menembus jhana?
2. Apakah beliau2 ini sebenarnya dulu dikelahiran lampau telah mencapai jhana?
3. Bagi pemula hal ini seperti hembusan angin segar, bahwa kita semua mampu menembus jhana, tapi apakah memang benar demikian ?
Terima kasih bagi yg bersedia menanggapi saya. Seblm n sesdhnya saya ucapkan anumodana.
May all beings be happy
Mettacittena,