Tinjauan tentang makan daging dalam Mahayana
Menyambut Hari Vegetarian Se-Dunia
oleh: Chingik dan Hendrick
Majalah Sinar Dharma 24Pertentangan Tradisi Buddhisme?Polemik seputar masalah vegetarian dalam tubuh agama Buddha telah berlangsung lama, hingga sekarang pun masih terus menjadi sebuah perdebatan yang hangat. Jika diperhatikan, terlihat jelas bahwa perbedaan pendapat ini berhubungan dengan masalah sektarian/tradisi. Argumentasi apapun yang dikemukakan oleh masing-masing tradisi tidak terlepas dari pijakan pada sumber literatur yang diyakini mewakili ajaran asli Buddha. Kesemuanya sama-sama meyakini sumber kitab suci masingmasing, sehingga berbagai teori maupun alasan yang dipaparkan selalu berjalan di dalam sistem logika yang diboncengkan pada sistem ajaran masing-masing tradisi. Demikianlah sehingga timbul persepsi bahwa ajaran Buddha sehubungan dengan permasalahan makan daging dalam Sutta-Sutta Theravada dan Sutra-Sutra Mahayana adalah bertentangan. Bahkan umat awam dengan sangat mudahnya mencap bahwa bhikkhu Theravada boleh makan daging, sedangkan bhiksu Mahayana harus vegetarian. Padahal jika mau merujuk pada rangkaian visi ajaran masing-masing tradisi, maka kita akan dapat menemukan sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya apa yang dikemukakan oleh dua garis tradisi besar Buddhisme, Theravada dan Mahayana, adalah tidak bertentangan.
Kita harus tahu, jika berbicara tentang ajaran Buddha dari sudut pandang tradisi Theravada, maka fokus utama dari tradisi ini terletak pada usaha untuk meraih tingkat kesucian Arahat. Seorang praktisi yang menjalankan pelatihan diri dalam sistem tradisi ini akan berusaha meraih apa yang dicita-citakan dengan berpegang pada tiga kerangka dasar pelatihan yakni Sila, Samadhi dan Panna. Tradisi Theravada meyakini bahwa dari serangkaian sistem tiga pelatihan ini, kesucian batin yang tercapai tidak memiliki kaitan dengan apa yang dimakan, baik berupa daging maupun sayur-sayuran. Hal ini dipertegas oleh Buddha saat mewejangkan Dhamma kepada seorang tabib bernama Jivaka.
Namun pada kesempatan lain, Buddha menginstruksikan kepada para siswa bahwa meskipun tidak ada larangan, namun ada ketentuan yang berlaku dalam hal memakan daging. Artinya adalah bahwa dalam hal ini Buddha menerapkan satu aturan dasar tata tertib. Di sini terlihat jelas bahwa memang tidak ada larangan secara eksplisit, namun tidak berartiboleh makan daging secara bebas. Buddha hanya mengizinkan para bhikkhu memakan tiga daging murni (tri-koti-suddha-mamsa), yakni
- pertama, daging dari hewan yang tidak dilihat ketika dibunuh;
kedua, daging dari hewan yang tidak kita dengar ketika dibunuh;
dan ketiga, daging dari hewan yang tidak secara khusus dibunuh untuk disajikan kepada kita.
Bhiksu Yijing dalam perjalanannya mencatat bahwa para bhiksu di India menerima dana makanan berupa tiga daging murni.
Buddha Tidak Melarang Makan Daging?Berbicara tentang tiga daging murni, baik Theravada maupun Mahayana memiliki pandangan serupa. Arya Bhavaviveka (500-578 M), pendiri Svatantrika Madhyamika, salah satu aliran Mahayana, pernah menulis dalam karya beliau Madhyamakahrdaya-karika bahwa tidak ada larangan bagi seseorang untuk memakan daging, namun dengan syarat harus memenuhi aturan tiga daging murni. Bhavaviveka juga mengatakan:
“Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk.” Di sini dikatakan kita boleh mengonsumsi daging atas dasar alasan kesehatan, bukan mengejar kenikmatan daging.Pun maksud dari “pemulih kelaparan” di sini bukan sekedar lapar terus makan daging, tetapi merujuk pada kondisi bila terjadi bencana kelaparan maka daging diperlukan untuk memulihkan kondisi mereka yang tertimpa bencana kelaparan tersebut.
Master Hsuan Hua, sesepuh Chan aliran Weiyang yang sangat menganjurkan vegetarian, juga berkata,
“Jika kalian tidak melihat binatang tersebut dibunuh, tidak mendengar jeritannya ketika meninggal dan jika binatang tersebut tidak dibunuh sebagai makanan khusus untukmu, maka dalam kasus seperti itu, jika tubuhmu lemah, maka engkau dapat memakan daging tersebut.” (Tanya Jawab di Oregon). Jadi ketika tubuh lemah dan sakit, makan daging dibolehkan, asal daging tersebut tetap termasuk dalam tiga jenis daging murni.
Di Tibet, udaranya sangat dingin dan daerahnya sulit ditanami sayur mayur, sehingga tidak heran kalau para bhiksu di sana tidak vegetarian. Walaupun makan daging, tapi ini dengan tujuan untuk melangsungkan hidup di bawah kondisi yang mengharuskan mereka melakukan hal itu.
Lalu, atas dasar apa Buddha menetapkan ketentuan tiga daging murni? Ini bisa kita simak dalam
Sutra Mahayana Mahaparinirvana. Kasyapa berkata lagi: “Mengapa Anda awalnya mengizinkan para bhiksu untuk memakan tiga daging murni?”[Buddha:]”O Kasyapa! Tiga jenis daging suci ini diberikan [diberlakukan] mengikuti kebutuhan pada saat [keadaan] itu.”
Dari sini bisa diketahui, ternyata Buddha menetapkan ketentuan tiga daging murni berdasarkan sudut pandang tertentu atas kondisi tertentu.
Selain ketentuan tiga daging murni, Buddha juga menetapkan ketentuan makan lima daging murni dan pantangan makan sepuluh jenis daging. Yang dimaksud dengan lima daging murni adalah selain tiga daging murni yang tersebut di atas, masih ditambahkan lagi dua jenis daging murni lain, yakni daging hewan yang telah mati dengan sendirinya dan daging dari hewan yang menjadi sisa makanan burung bangkai. Ini adalah ketentuan yang sesuai bagi para siswa yang karena faktor lingkungan yang menyebabkan tidak mendapatkan atau sulit menerima persembahan makanan dari umat. Faktor lingkungan ini merujuk pada siswa yang sedang melakukan perjalanan pembabaran Dhamma yang jauh dari lokasi hunian manusia, melakukan pelatihan diri menyendiri di hutan atau gunung terpencil, dan semacamnya.
Tentang sepuluh jenis daging yang dilarang bagi para siswa, dalam kitab Theravada Pali Mahavagga, Vinaya Pitaka, tercatat sebagai berikut: manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul.
Sedang dalam Dharmaguptaka Vinaya (Vinaya Empat Bagian) melarang memakan daging gajah, kuda, naga, anjing, singa, harimau, macan tutul, manusia dan dua spesies beruang. Mahasanghika Vinaya memberikan daftar: daging manusia, naga, gajah, kuda, anjing, burung, elang, babi hutan, kera dan gajah.
Sepuluh jenis daging tersebut adalah yang secara absolut dilarang untuk dikonsumsi dalam agama Buddha. Meskipun mungkin dalam situasi tertentu termasuk dalam kondisi tiga jenis daging murni, namun tetap tidak boleh untuk dikonsumsi.
Alasan melarang memakan sepuluh jenis daging ini secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samantapasadika). Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya, pun jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan. Lagi, menurut Mahasanghika Vinaya, dikatakan bahwa anjing, burung dan elang akan menyerang para bhikkhu yang memakan daging mereka.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sangatlah tidak adil jika mengatakan ajaran Buddha tidak melarang memakan daging tanpa memberi penjelasan tambahan bahwa sebenarnya ada jenis daging tertentu yang terlarang sama sekali untuk dimakan.
Namun, jika kita renungkan secara mendalam, meski tidak sepenuhnya tidak boleh makan daging, tapi apakah ketentuan tiga daging murni ini mudah diterapkan? Bagi seorang praktisi yang berpijak pada pemahaman konvensional, ini akan dianggap sebagai ketentuan yang sangat sepele. Lantas bagaimanakah karakteristik dari pemahaman konvensional itu – pemahaman dari orang yang hanya menjalankan suatu instruksi secara apa adanya tanpa pertimbangan kebijaksanaan?
Dengan demikian orang tersebut akan dapat mudah menyantap daging tanpa mempertimbangkan asal usulnya. Sejauh dia tidak mendengar, melihat dan mengetahui bahwa makhluk tersebut berasal dari rangkaian proses suatu tragedi (pembunuhan yang disertai rasa takut dan jeritan kesakitan), maka dia boleh menyantapnya.
Dari pemahaman ini, kita tiba pada satu pertanyaan yang cukup menggelitik. Bila para anggota Sangha memperoleh daging murni dari hasil pindapata, maka bagaimana dengan umat awam? Dari manakah mereka bisa memperoleh daging murni? Dalam Sutra Angulimaliya disebutkan:
“Sekarang, kalian dapat menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] yang telah datang pada kalian, setelah berpindah-pindah secara tak langsung, namun kalian seharusnya tidak menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] dari titik asal mulanya. Kalian dapat menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] yang datang pada kalian secara tidak langsung tanpa tersentuh oleh pembunuhan.”
Untuk memahami makna ucapan ini dapat kita simak kisah Jenderal Siha Senapati. Jenderal Siha Senapati menyuruh pelayannya untuk membeli daging hewan mati di pasar, lalu mempersembahkannya pada Buddha yang kemudian menerima dan memakannya. Para Nigantha yang tidak senang mulai menyebarkan gosip bahwa Jenderal Siha khusus membunuh hewan gemuk besar lalu Buddha menerima dan memakan daging hewan itu. Jenderal Siha menanggapinya dengan berkata:
“… Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) berniat meremehkan Buddha… Dhamma… Sangha, tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.”
(Anguttara Nikaya 8.12)
Inilah perbedaan antara membeli daging mati di pasar dan menyuruh orang untuk membunuh. Daging yang telah mati di pasar termasuk tiga jenis daging murni. Namun apakah hanya kalangan Theravada saja yang mempunyai ajaran serupa tentang membeli daging di pasar? Di kalangan Mahayana, Patriark Chan (Zen) aliran Linji dan Caodong masa kini, yaitu Ven. Sheng Yen (Dharma Drum Mountain) pernah berkata:
“Tetapi jika untuk keluarga dan alasan sosial menjadi seorang vegetarian sangat sulit, maka orang boleh memakan daging. Namun seseorang tidak boleh membunuh atau menyuruh orang lain untuk membunuh. Membeli daging yang sebelumnya telah dibunuh untuk dibawa ke rumah itu diizinkan.” (Orthodox Chinese Buddhism oleh Ven. Sheng Yen)
Lalu mengutip dari Thrangu Rinpoche:
“Sang Buddha berkata bahwa daging dapat dimakan apabila bebas dari tiga cara (yang tidak pantas)...Ya. Engkau (dapat) membeli ikan mati di (pasar) pelabuhan, ketika ikan tersebut telah mati, apakah engkau membelinya atau mereka memberikannya padamu adalah sama saja. Memakan daging (yang sebelumnya memang telah mati) dan sila tidak membunuh adalah sepenuhnya berbeda karena kita membelinya dari orang lain. Kita memiliki kehendak untuk makan daging, tetapi kita tidak ada niat membunuh, dan karena tidak adanya empat faktor pelanggaran, maka tidak ada pelanggaran sila(ke-1)”(Treasury of Oral Instructions)
Khenpo Karthar Rinpoche juga mengatakan:
“Pada dasarnya, daging dibagi menjadi tiga kategori. Satu kategori secara jelas dilarang, satu kategori dengan jelas diizinkan dan kategori lain cukup banyak diizinkan. Kategori yang secara jelas dilarang adalah apa yang dinamakan sebagai ‘daging dedikasi’ yaitu daging yang dibunuh untuk kebutuhanmu, dengan kata lain, seperti memesan hewan hidup atau seekor ikan hidup. Itu tidak diizinkan oleh Buddha. Kategori yang secara jelas diizinkan adalah daging dari seekor hewan yang meninggal secara alamiah, yang tidak dibunuh untuk didapatkan dagingnya. Tidak ada kesalahan dalam memakan daging seperti itu. Kategori yang cukup banyak diterima selama ini adalah daging yang dibeli di pasar, yang berarti kalian tahu bahwa kalian tidak melihat, kalian tidak mendengar, dan kalian tidak memiliki alasan untuk menduga bahwa daging itu dibunuh untukmu.” (Karma Chagme Mountain Dharma)
Apakah benar daging di pasar tergolong tiga daging murni? Dalam pandangan yang lebih ekstrem, bisa dikatakan pada saat melihat sajian daging di atas meja, pikiran kita sudah tahu apa yang telah terjadi. Meskipun mata fisik tidak melihat, namun proses visual pembunuhan yang mengerikan itu tidak bisa menutupi mata batin kita. Meskipun telinga fisik tidak mendengar, namun telinga batin kita dapat merasakan suara itu.
Terlepas dari masalah ini, sebenarnya praktisi tradisi Theravada tetap dapat saja menjalankan pelatihan tanpa mengalami masalah tentang makanan apa yang disantap (namun tetap harus memenuhi 3 syarat), dengan kata lain, dalam tradisi Theravada, kesucian akan dapat diraih walaupun tidak harus vegetarian. Mengapa? Karena apa yang dicita-citakan itu (mencapai tingkat kesucian Arahat), tidak memiliki korelasi langsung dengan makhluk-makhluk lain, artinya adalah bahwa suci atau tidaknya seseorang tergantung pada usaha sendiri, tidak ada kaitan langsung dengan makhluk lain, sejauh ia tidak terlibat langsung dalam tindakan pemuasan nafsu rendah yang merugikan makhluk lain.
Apa Motivasi Sebenarnya dari Vegetarian?Namun bila dikatakan pandangan Theravada dan Mahayana dalam permasalahan daging murni adalah tidak bertentangan, tetapi mengapa para bhiksu tradisi Mahayana harus vegetarian? Ini tentu ada kaitan yang sangat erat antara ikrar ke-Bodhisattvaan dalam tradisi Mahayana dan korelasinya dengan makhluk-makhluk lain.
Tradisi Mahayana menjalankan pelatihan Dharma dengan berfondasi pada cita-cita welas asih menyelamatkan semua makhluk hidup. Oleh sebab itu, walaupun makhluk-makhluk lain sudah mati menjadi seonggok daging tak bernyawa, namun praktisi yang menjalankan ikrar Bodhisattva tetap tidak tega menyantapnya. Karena praktisi ini telah berikrar untuk menyelamatkan semua makhluk hidup, maka wajar saja jika dia tidak dapat menyantap daging makhluk yang telah mati. Ini sesuai dengan basis yang telah dipilihnya yakni Jalan Bodhisattva.
Jadi di dalam tradisi Mahayana, seseorang dikatakan tidak suci lagi jika menyantap daging, pernyataan ini harus dimaknai bahwa karena jika menyantapnya maka dia telah melanggar hati nuraninya, dan wajar saja jika orang yang melanggar hati nurani sendiri identik dengan orang yang telah menodai batinnya sendiri, jadi wajarlah dikatakan tidak suci lagi. Beberapa acuan yang dipakai oleh tradisi Mahayana dalam soal vegetarian ini antara lain adalah Sutra Angulimaliya, Sutra Lankavatara, Sutra Mahaparinirvana dan Sila Bodhisattva Sutra Brahmajala. Mari kita simak beberapa kutipan Sutra- Sutra tersebut.
“Apakah benar bahwa para Buddha tidak makan daging disebabkan oleh sifat ke-Buddha-an (Tathagata-garbha)?” Buddha berkata: “Memang tepatnya seperti itu, Manjushri. Dalam berbagai kehidupan selama perjalanan masuk dan keluar samsara yang tanpa awal dan tanpa akhir, tidak ada satupun makhluk yang tidak pernah menjadi ibu kita, yang tidak pernah menjadi saudara perempuan kita. Bahkan anjing-anjing pun pernah menjadi ayah kita sebelumnya. Dunia di mana para makhluk hidup adalah seperti permainan. Maka, oleh karena daging kita dan daging yang lain adalah daging yang sama, para Buddha tidak mengonsumsi daging.” (Sutra Angulimaliya)
“Jika Mahamati, daging tidak dimakan oleh siapapun untuk alasan apapun, maka tidak ada penghancur kehidupan.” (Sutra Lankavatara)
Dari dua kutipan di atas dapat diketahui bahwa pantang makan daging dilakukan demi pengembangan Bodhicitta yang diterapkan dalam bentuk: ke atas mencapai Jalan Ke-Buddha-an; ke bawah menyelamatkan makhluk hidup. Sedang makhluk hidup yang terdekat dengan kita adalah orang tua. Jadi apakah kita tega memakan daging makhluk yang pernah menjadi orang tua kita sendiri, meski hubungan kekeluargaan itu terjalin dalam kehidupan yang lampau?
Terlepas dari hubungan kekeluargaan, rasa welas asih seorang Bodhisattva meliputi semua makhluk dan menembus tiga kehidupan: lampau, sekarang dan akan datang. Inilah perwujudan Empat Ikrar Agung Bodhisattva yang sebenarnya juga merupakan aksi welas asih yang nyata atas kebenaran mutlak Empat Kesunyataan Mulia yang dibabarkan Buddha dalam pemutaran roda Dharma pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Bodhi.
1. Berikrar menyelamatkan makhluk hidup yang tak terbatas (Dukkha - Kesunyataan Mulia Pertama)
2. Berikrar memutus kekotoran batin yang tak ada habisnya (Sebab Dukkha - Kesunyataan Mulia Kedua)
3. Berikrar mempelajari pintu Dharma yang tak terhingga (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha -Kesunyataan Mulia Keempat)
4. Berikrar mencapai Jalan ke-Buddha-an yang tertinggi (Lenyapnya Dukkha - Kesunyataan Mulia Ketiga)
Inilah ikrar welas asih yang menjadi motivasi berpantang makan daging. Hubungan antara pantang makan daging dan welas asih ini dapat kita simak dalam ucapan berikut:
“O Hyang Bhagava! Mengapa Tathagata tidak mengizinkan kami makan daging?” “O pria yang berbudi! Seseorang yang makan daging mematikan benih welas asih agung.” (Sutra Mahaparinirvana)
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah kita jangan mengartikan secara harfiah bahwa mereka yang tidak vegetarian adalah tidak welas asih, melainkan vegetarian adalah satu bentuk pengembangan dari welas asih, yang merupakan satu metode pelatihan diri membina hati welas asih dalam bentuk visualisasi penghayatan penderitaan hewan yang mengalami proses pembunuhan untuk diambil dagingnya bagi manusia.
Meski telah memahami motivasi di balik semangat pantang daging dari tradisi Mahayana, namun itu belum menjawab pertanyaan mengapa para bhiksu tradisi Mahayana harus vegetarian. Sama seperti dengan tradisi Theravada, Vinaya yang diterapkan oleh para bhiksu/bhiksuni Mahayana juga tidak mengandung pernyataan pantang makan daging, jadi apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya perbedaan pola makan kedua tradisi ini? Di sinilah letak pentingnya
Sila Bodhisattva Sutra Brahmajala.Ternyata para bhiksu/bhiksuni Mahayana selain menerapkan Vinaya, mereka juga menerima dan menerapkan Sila Bodhisattva yang tercantum dalam Sutra Brahmajala (Mahayana) yang secara tertulis menyatakan pantang makan daging.