10.4 Para Jain
Kita beralih pada benang kedua dari meditasi pra-Buddhis. Penggambaran klasik di sini adalah kisah praktek keras Bodhisatta. Usaha kerasnya adalah paling mengerikan: “menghancurkan pikiran dengan pikiran”, melakukan “jhāna tanpa napas” sampai ia merasa seakan-akan kepalanya tertusuk-tusuk dengan sebilah pedang atau dihancurkan dengan seutas tali pengikat dari kulit. Tetapi ia tidak dapat membuat kemajuan apa pun. Mengapa?
“Semangatku terbangkitkan dan tak terputus, perhatianku berdiri [mantap] dan tidak bingung, tetapi tubuhku menderita dan tidak tenang karena aku lelah oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan tidak menyenangkan demikian seraya muncul dalam diriku tidak menyerang pikiranku dan berdiam.”[59]
Kisah Mūlasarvāstivāda yang tersedia dalam bahasa Sanskrit menegaskan bahwa Bodhisatta berlatih perhatian selama masa perjuangannya.[60] Di sini “perhatian” jelas digunakan dalam pengertian “kesadaran saat ini” alih-alih “ingatan”. Ini ditegaskan dalam bacaan berikut:
“Demikianlah kecermatanku, Sāriputta, sehingga aku selalu penuh perhatian dalam melangkah maju dan mundur. Aku penuh dengan belas kasih bahkan bagi [para makhluk dalam] setetes air, dengan berpikir: ‘Semoga aku tidak menyakiti makhluk-makhluk kecil dalam celah-celah tanah’.”[61]
Sang Buddha menjelaskan mengapa ia berjuang dengan penyiksaan-diri yang demikian teguh.
“Pangeran, sebelum pencerahanku, ketika aku masih seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, aku juga berpikir demikian: ‘Kebahagiaan bukanlah diperoleh melalui kebahagiaan; kebahagiaan akan diperoleh melalui kesakitan’.”[62]
Ini adalah pandangan salah, yang merupakan salah satu dari ajaran utama dari para Jain.[63] Setelah menyiksa dirinya sendiri mendekati kematian karena pandangan itu, ia merenungkan demikian:
“Apa pun yang dialami para pertapa atau brahmana, pada masa lampau... masa depan... dan masa sekarang perasaan menyakitkan, tersiksa, menusuk dikarenakan pengerahan usaha, inilah yang amat sangat [menyakitkan], tidak ada yang melampaui ini. Tetapi dengan praktek keras yang menyiksa ini aku tidak mencapai perbedaan yang benar-benar mulia atas pengetahuan dan penglihatan melampaui pendirian manusia mana pun. Adakah jalan lain menuju pencerahan?”
“Aku berpikir: ‘Aku ingat bahwa ketika ayahku orang Śakya sedang bekerja, sedangkan aku sedang duduk dalam naungan yang sejuk dari sebatang pohon jambu, benar-benar terasing dari kenikmatan indera, terasing dari kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat, aku memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan awal dan kelangsungan pikiran, dan kegiuran & kebahagiaan yang lahir dari pengasingan. Apakah itu jalan lain menuju pencerahan?’ Kemudian, mengikuti ingatan itu muncul kesadaran: ‘Itu sesungguhnya jalan menuju pencerahan’.”
“Aku berpikir: ‘Mengapa aku takut pada kegembiraan itu yang tidak ada hubungannya dengan kenikmatan indera dan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat?’ Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kegembiraan itu, karena ia tidak ada hubungannya dengan kenikmatan indera dan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat’.”[64]
Di sini perasaan yang lembut, relaks, masuk akal berdiri dengan sangat berbeda dengan kekuatan laksana baja dari usahanya yang sebelumnya. Ia kemudian memutuskan bahwa ia tidak dapat mencapai jhāna selagi sangat kurus dan oleh sebab itu harus mengambil beberapa makanan; kita telah melihat bahwa ketergantungan pikiran terhadap makanan, dan karenanya akibat-akibat yang mengganggu dari berpuasa pada keadaan pikiran seseorang, adalah suatu gagasan Upaniṣad.[65] Walaupun Bodhisatta tidak pernah mengidentifikasi dirinya pada masa ini mengikuti guru mana pun, praktek dan pandangannya identik dengan para Jain. Dan ketika kelompok lima pertapa meninggalkannya mereka pergi berdiam di “Taman Rishi” di Benares, di mana bahkan saat ini terdapat sebuah kuil Jain.
Gagasan-gagasan yang demikian tidak eksklusif bagi para Jain; mereka umum dalam tradisi yogi India, dan seringkali bertemu dengan kitab Brahmanis awal juga, seperti yang ditunjukkan syair-syair Mahā Kaccāna di atas. Kenyataannya para Jain adalah para pembaharu, sehingga mereka menolak bentuk-bentuk pertapaan yang dapat menyakiti makhluk hidup, dan juga mereka menekankan pada sikap mental yang tepat. “Profesor penyiksaan diri” yang lebih awal, lebih primitif telah mempercayai kemanjuran penyiksaan fisik itu sendiri, tidak bergantung pada pengembangan mental apa pun. Juga, tujuan mereka secara khas adalah kekuatan batin, sedangkan para Jain bertujuan pada pembebasan jiwa. Demikianlah praktek keras Bodhisatta lebih dekat dengan para Jain daripada kelompok lain yang kita ketahui; para Jain sendiri mempertahankan suatu tradisi bahwa Sang Buddha menghabiskan waktu sebagai seorang pertapa Jain.
Implikasi dari episode ini adalah bahwa sistem Jain menekankan usaha dan perhatian, tetapi tidak sampai Bodhisatta mengembangkan ketenangan dan kebahagiaan samādhi ia dapat melihat kebenaran. Di tempat lain dalam Sutta-Sutta, Mahāvīra (pemimpin dan pembaharu dari para Jain, yang dikenal dalam Pali sebagai Nigaṇṭha Nātaputta) digambarkan menegaskan ketidakmungkinan menghentikan awal dan kelangsungan pikiran.[66] Demikianlah ia tidak menerima lebih tinggi daripada jhāna pertama pada paling banyak. Bagi saya, ajaran-ajaran dan praktek Jain memiliki suatu kekasaran yang tidak sesuai dengan pencapaian samādhi. Sumber-sumber Jain tidak banyak membantu. Sūtra-sūtra Jain awal menekankan praktek-praktek, gaya hidup, dan prinsip-prinsip dasar etis, dan tidak menyebutkan meditasi dalam bentuk yang dapat dikenali. Sedikit belakangan kita menemukan sebagai berikut:
“Setelah mempertahankan kehidupannya, meskipun sisa dari kehidupannya memiliki masa yang pendek, ia menghentikan aktivitas-aktivitas dan memasuki jhāna kering,[67] di mana hanya aktivitas halus yang tersisa dan di mana ia tidak jauh kembali. Ia pertama-tama menghentikan aktivitas pikiran, kemudian ucapan dan tubuh, lalu ia menghentikan napas...”[68]
Dalam konteks Buddhis bacaan ini menyatakan jhāna keempat; tetapi kita tidak memiliki jaminan bahwa istilah yang digunakan dalam pengertian yang sama. Konteksnya berbeda; di sini kita tidak hanya memiliki seorang meditator, tetapi seseorang yang mencapai puncak suatu jalan spiritual dengan berpuasa sampai mati. Teks-teks belakangan menunjuk pada gagasan-gagasan yang familiar seperti samādhi, keterpusatan, pengetahuan yang membedakan, perenungan terhadap ketidakkekalan (
anicca), perubahan (
vipariṇāma), dan keburukan (
asubha).[69] Dayal mengatakan bahwa Jain memberikan nilai penting yang besar pada perenungan perkuburan.[70] Tampaknya terdapat penunjukan pada perhatian sebagai bagian dari jalan Jain, tetapi saya tidak mengetahui pada masa apakah mereka termasuk. Aliran-aliran yang belakangan mengembangkan suatu daftar tentang dua belas “kontemplasi”. Istilah yang digunakan di sini,
anuprekṣā, secara arti kata identik dengan
anupassanā yang adalah juga terkenal dalam praktek Buddhis dari
satipaṭṭhāna. Daftar itu adalah sebagai berikut.
1) Ketidakkekalan
2) Tanpa-perlindungan
3) Mengalir (dalam kelahiran kembali,
saṁsāra)
4) Keterpencilan (
ekatvā)
5) Perbedaan (antara jiwa dan tubuh)
6) Ketidakmurnian (dari tubuh)
7) Arus (dari kekotoran,
āsava)
Pengekangan (dari kamma)
9) Menghilangkan (kamma)
10) Dunia (sebagai penderitaan)
11) Sulitnya mencapai pencerahan
12) Diuraikannya Dhamma dengan baik
Beberapa dari ini mirip dengan perenungan Buddhis (1, 2, 3, 4, 6, 10, 11, 12), sedangkan beberapa secara khusus bersifat Jain dalam sifatnya (5, 7, 8, 9). Mereka muncul untuk melibatkan perenungan atau pemikiran terhadap suatu tema alih-alih meditasi kesadaran; sehingga kebanyakan darinya lebih dekat pada vipassanā daripada samatha. Sumber-sumber Jain juga mengatakan beberapa jenis “jhāna”.
1) Jhāna jeli yang menekan
2) Jhāna yang menyeramkan
3) Dhamma jhāna (kontemplasi terhadap kitab-kitab; melenyapkan penderitaan diri sendiri dan orang lain; karma dan akibatnya; samsara dan jiwa yang murni)
4) Jhāna murni
Hanya yang terakhir ini yang berhubungan dengan jhāna-jhāna Buddhis, walaupun beberapa dari makna lainnya, seperti “jeli”, dihubungkan dengan jhāna atau istilah-istilah yang berkaitan dalam bacaan non-teknis. Menurut Prasad, “jhāna murni” ada empat jenis:
[Bermacam-macam, dengan awal dan kelangsungan pikiran]: Penyerapan dalam meditasi terhadap Diri, yang secara tidak sadar memungkinkan atribut-atributnya yang berbeda untuk menggantikan satu sama lain.
[Menyatu, dengan awal tetapi tanpa kelangsungan pikiran]: Penyerapan dalam satu aspek dari Diri, dengan mengubah aspek tertentu yang dikonsentrasikan.
Getaran yang sangat halus dalam Jiwa, bahkan ketika ia secara dalam terserap dalam dirinya sendiri, dalam seorang Kevali [yang sempurna].
Penyerapan total dari Diri dalam dirinya sendiri, mantap dan tidak terganggu menetap tanpa pergerakan atau getaran apa pun.[71]
Ini jelas menggambarkan keadaan-keadaan konsentrasi yang dalam. Apakah mereka sama dengan jhāna-jhāna Buddhis adalah tidak mungkin dikatakan. Walaupun apa yang dapat kita katakan dengan beberapa kepastian adalah bahwa meditasi, dalam pengertian Buddhis dari kontemplasi yang bersifat perenungan, tidak pernah memainkan peran yang utama dalam Jainisme seperti dalam Buddhisme. Praktek-praktek pertapaan bersifat utama, dan penekanan Jain pada sifat fisik dari karma merendahkan nilai penting dari pengembangan mental murni. Lebih lanjut, budaya kontemplatif mana pun yang mungkin muncul telah semakin menyusut pada masa pertengahan, sehingga penyebutan keadaan meditasi dalam teks-teks kuno menjadi suatu masalah kepentingan skolastik semata.
10.5 Kesimpulan
Satipaṭṭhāna digambarkan dalam teks-teks awal sebagai suatu praktek Buddhis yang tersendiri. Walaupun kita telah secara panjang lebar menggali unsur-unsur yang sama dengan sistem non-Buddhis, dalam akhirnya yang final ini ditekankan kembali begitu banyak yang baru, dalam ungkapan dan maknanya, rincian dari empat satipaṭṭhāna – tidak ada dari ini dapat ditemukan secara langsung dalam teks-teks pra-Buddhis. Bahkan teks-teks pasca-Buddhis, sementara menunjukkan pengaruh Buddhis dalam istilah meditasi, tidak mengadopsi Satipaṭṭhāna seperti yang mereka lakukan dengan jhāna atau kediaman luhur.
Para Buddhis awal luar biasa bermurah hati dalam penilaian mereka terhadap pencapaian spiritual orang luar. Mereka sangat gembira untuk menghubungkan pada mereka unsur-unsur utama yang demikian dari sistem meditasi Buddhis seperti perhatian, jhāna, kemampuan spiritual, faktor-faktor pencerahan, kediaman luhur, dan pencapaian tanpa bentuk. Dalam anyaman yang kompleks ini, kita dapat melihat benang dari samatha dan vipassanā. Walaupun tidak mungkin untuk menguraikan benang-benang ini, adalah mungkin untuk melihat perbedaan penekanan dalam pendekatan meditatif dari aliran-aliran yang berbeda yang berhubungan dengan posisi filosofis mereka.
Tradisi Upaniṣad mendukung suatu panteisme non-dual. Brahman adalah realitas tertinggi, yang menciptakan dunia, yang mendasari ilusi keberagaman, dan selalu ada dalam semua keberadaan. Dengan demikian keberadaan adalah baik secara tak terpisahkan; kita telah ikut serta dalam inti tertinggi, dan praktek spiritual kita memperkuat kita untuk merealisasi identitas ini sepenuhnya. Tradisi ini menekankan praktek meditasi yang membawa pada identifikasi yang penuh kegembiraan dengan Yang Satu; seperti yang disimpulkan tradisi yang belakangan: “pikiran, makhluk, kebahagiaan.”
Para Jain, pada pihak lain, memiliki suatu pandangan yang alamiah dan non-teistik terhadap keberadaan. Dunia bukanlah suatu ilusi; ia benar-benar ada “di luar sana”, dan realitas tertinggi bukanlah suatu non-dual yang bersifat pan-teistik “landasan keberadaan”, tetapi merupakan tak terhitung sel atomik yang tidak dapat dibagi lagi atau “jiwa”. Teori Jain yang belakangan mengembangkan pendekatan pluralistik ini ke dalam pola yang sangat kompleks untuk mengelompokkan berbagai fenomena dasar, suatu proyek Aristotelian seperti yang disukai oleh aliran-aliran Abhidhamma dari Buddhisme. Pencerahan terdiri atas, bukan dalam identifikasi yang mistis terhadap diri dengan alam semesta, tetapi dalam penguraian terhadap jiwa individual dari akibat-akibat kamma. Oleh sebab itu mereka menekankan, sebagai bagian dari strategi secara menyeluruh mereka dengan menghentikan secara paksa semua aktivitas, kontemplasi terhadap ketidakkekalan dari dunia, dan kemampuan untuk secara penuh perhatian menahan perasaan menyakitkan agar bebas dari pengaruh-pengaruh yang mengotori.
Tradisi Brahmanis bersandar pada sisi samatha, sedangkan tradisi Jain bersandar pada sisi vipassanā, masing-masing membentuk penyajian dan penekanannya sesuai dengan kegemaran metafisiknya. Bukti dari non-Buddhis itu sendiri, sejauh ia berjalan, cenderung menegaskan bahwa gambar yang dilukiskan oleh Sutta-Sutta awal tentang tradisi non-Buddhis umumnya akurat. Dengan tidak adanya bukti sebaliknya, kita dapat menyimpulkan bahwa tradisi-tradisi Buddhis yang paling awal menerima bahwa tradisi kontemplatif Brahmanis dan Jain memasukkan praktek perhatian.
Catatan Kaki:[1] CU 6.8.5–6.
[2] AN 5.193, SN 46.55.
[3] Rv 5.81.1
[4] BU 4.3.7.
[5] Aitareya Brahmaṇa 5.5.27.
[6] Crangle, pg. 71.
[7] Crangle, pg. 74.
[8] BU 1.5.14.
[9] Crangle, pg. 198.
[10] DN 13.10. DA 26 yang asalnya sama menyebutkan tiga jalan: 自在欲道.自作道.梵天道(T1, № 1, p. 105, b13). Tidak jelas bagi saya bagaimana ini dapat dicocokkan dengan Pali.
[11] Lihat ‘A Pali Reference to Brahmaṇa-Caraṇas’, yang dimasukkan dalam Wijesekera.
[12] BAU 6.4.9.
[13] BAU 1.5.17.
[14] BAU 3.7.23.
[15] BAU 4.4.23.
[16] CU 6.8.2.
[17] SU 1.14.
[18] SU 2.8. Cp. Sn 1034f.
[19] SU 2.9.
[20] SU 2.11.
[21] Misalnya MN 36.17ff.
[22] Misalnya BAU 5.12.
[23] CU 1.19.
[24] Maitrī 1.3, 3.4.
[25] Taittirīya Upaniṣad 3.2–6.
[26] MN 26/MA 204.
[27] Sanghabhedavastu dari Vinaya Mūlasarvāstivāda menghilangkan penyebutan pelafalan melalui bibir.
[28] SN 35.103.
[29] Kadangkala dikatakan bahwa para guru ini termasuk aliran Sāṁkhya, tetapi pernyataan ini berdasarkan Buddhacarita oleh Aśvaghoṣa yang sangat belakangan, dan anakronistik.
[30] Versi Sarvāstivādin (MA 204) menyebutkan hanya keyakinan, semangat, dan kebijaksanaan di sini, tetapi memasukkan perhatian hanya di bawahnya. Sanghabhedavastu (Gnoli pg. 97) dan Lalitavistara (239.2) menyebutkan semua kelima kemampuan spiritual.
[31] Misalnya SN 48.9.
[32] AN 4.123.
[33] AN 4.125.
[34] Bandingkan syair-syair berikut. Muṇḍaka Upaniṣad 3.2.8: Yathā nadyas syandamānās samudre/Astam gacchanti nāmarūpe vihāya (Seperti halnya sungai-sungai mengalir ke dalam samudera/Pergi menuju akhir mereka, setelah meletakkan nama dan bentuk); Tathā vidvān nāmarūpād vimuktaḥ/Parāt-param puruṣam upaiti divyam (Demikian juga [orang bijaksana] yang telah mencapai realisasi, bebas dari nama dan bentuk/Melampaui yang terlampaui yang ia masuki, yang bersifat kedewaan). Sutta Nipāta 1080: Acci yathā vātavegena khittaṁ/Atthaṁ paleti na upeti saṅkhaṁ (Seperti halnya sebuah nyala api yang tertiup angin kuat/Pergi menuju akhir, dan tidak dapat diperhitungkan); Evaṁ muni nāmakāyā vimutto/Atthaṁ paleti na upeti saṅkhaṁ (Demikian orang bijaksana, bebas dari kelompok nama [yaitu faktor-faktor mental]/Pergi menuju akhir, dan tidak dapat diperhitungkan).
[35] BU 3.9.26
[36] Sn 1026.
[37] Sn 1009.
[38] Sn 1107.
[39] Sn 1070, Sn 1113ff. Alam kekosongan digambarkan dalam SN 1070 sebagai suatu “sandaran” (ārammaṇa) untuk menyeberang. Ini dapat dibandingkan dengan bacaan Mahābhārata yang dikutipkan di atas yang menggambarkan pikiran yang tidak berkondisi sebagai “tanpa sandaran”. Jhāna Saṁyutta juga mengatakan tentang mengembangkan “kemampuan dalam sandaran”.
[40] SN 46.52, SN 46.53.
[41] SN 46.54.
[42] Misalnya MN 83/MA 67/EA 1/EA 50.4/T № 152.87/T № 211 Makhādeva; DN 19 Mahāgovinda juga memiliki kediaman luhur, tetapi tidak DA 3, T № 8, pp. 207c–210b, dan Mv 3.197–224.
[43] SN Sagāthāvagga syair 269, AN (4)449–51. Ungkapan ini agak menyesatkan diterjemahkan oleh Bhikkhu Bodhi dalam CDB sebagai “menemukan jhāna”. Mungkin bentuk akusatif di sini dapat dibaca sebagai bentuk instrumental (“tercerahkan dengan cara jhāna”).
[44] SN 35.132.
[45] MBh 12.188.9.
[46] MBh 12.188.15. Bronkhorst (2000) pg. 71 mencatat bahwa di sini, serta dalam Yoga Sūtra dan beberapa karya Buddhis, vitakka dan vicāra “tampaknya dilihat sebagai kemampuan khusus dalam jhāna pertama, bukan semata-mata pemikiran yang tersisa dari kesadaran biasa.”
[47] MBh 12.188.22.
[48] YS 3.12.
[49] YS 1.17. Kata “bentuk”, rūpa, tidak muncul dalam semua teks.
[50] DN 1/DA 19.
[51] YS 1.18.
[52] YS 1.20.
[53] Bronkhorst (2000), pp. 72ff.
[54] SN 14.11.
[55] YS 2.3–6.
[56] Maitrī 6.18.
[57] YS 3.1.
[58] Crangle pp. 117–119 membahas kesamaan antara sati Buddhis dan dhāraṇa yoga, dan peranannya sebagai landasan bagi jhāna.
[59] MN 36.20, dst.
[60] Gnoli, pg. 103.
[61] MN 12.47.
[62] MN 85.10/DA2 21/T № 1421.10.
[63] MN 14.20.
[64] MN 36.30–2, MN 85, MN 100.
[65] CU 6.7.
[66] SN 41.8.
[67] Sukkajjhāna. Bandingkan dengan gagasan komentar tentang sukkavipassanā.
[68] Uttarajjhāyana 29.72/1174.
[69]Misalnya Ṭhānaṅga Sutta. Lihat Bronkhorst (2000), pg. 38ff.
[70] Dayal, pg. 95.
[71] Prasad, pp. 167–168.