Begini fran, sebaiknya tidak menggunakan kata diskrimnasi karena Sang Buddha sebagai guru agung yang telah melihat tentunya bisa memutuskan mengetahui mengapa seseorang boleh ditahbiskan atau tidak.
Ada alasan sesorang tidak boleh ditahbiskan karena sakit kulit, ternyata pada jaman dulu ada segelintir orang yang masuk Sangha dengan tujuan mendapatkan pengobatan gratis, bukan karena ingin melatih diri terbebas dari dukkha.
Selain itu, ada juga peraturan yang ditetapkan demi orang banyak tidak melakukan karma buruk menghina Sangha.
Makhluk hidup jika meninggal ada pikiran terakhirnya, jika pikiran terakhirnya punya 3 akar, yaitu alobha, adosa, dan amoha biasanya akan terlahir di alam manusia.
Makhluk hidup jika pikiran terakhirnya punya 2 akar, yaitu alobha dan adosa, biasanya terlahir di alam rendah. Menurut abhidhamma, jika ada manusia terlahir dengan tanda-tanda kecacatan mental atau fisik, biasanya menunjukkan makhluk yang pikiran terakhirnya punya 2 akar. Manusia jenis ini tidak bisa mencapai pencerahan dalam kehidupannya tersebut. Jadi dalam hal ini buta dari lahir mungkin bisa diterima sebagai pertanda tidak bisa ditahbiskan. Tetapi jika telah ditahbiskan menjadi buta, hal itu lain soalnya.
Menurut Mahavagga, bagian dari Vinaya Pitaka, orang-orang dengan kecacatan tertentu, misalnya sebelah tangannya tidak ada, atau sebelah matanya buta jika ditahbiskan tidak melanggar Vinaya. Tetapi harus diingat, untuk ditahbiskan biasanya tergantung yang menahbiskan juga. Tidak semua Bhikkhu mau menahbiskan seseorang, karena mereka melihat semangat, niat, dan hal-hal lain juga. Misalnya seorang Bhikkhu melihat seseorang ingin ditahbiskan karena tidak mau hidup susah, adalah hak Bhikkhu tersebut untuk menolak menjadi upajjaya yang bersangkutan.