Dari buku RAPB jilid 3 hal 2690
Dengan membungkukkan badannya ia memberi hormat kepada Buddha, dan dirinya tenggelam dalam kemegahan aura Buddha, ia mendekati Bhagavà, bersujud dengan lima titik sentuhan ke tanah, menyembah dan mengusap kaki Bhagavà dengan penuh hormat, menciumnya dengan bersemangat. Ia berkata:
“Yang Mulia, sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku. Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”
Buddha berkata, “Bàhiya, sekarang bukan waktunya membabarkan khotbah. Kami sedang mengumpulkan dàna makanan di kota.”
(“Apakah Buddha mempunyai waktu yang tidak tepat untuk menyejahterakan makhluk-makhluk hidup?” Jawabannya: ‘Waktu yang tidak tepat’ di sini merujuk bukan pada Buddha tetapi kepada si penerima pesan Buddha. Adalah di luar batas kemampuan orang biasa (bahkan bagi seorang Arahanta) untuk dapat mengetahui matangnya indria seseorang sehingga mampu menerima pesan Buddha. Indria Bàhiya belum cukup matang untuk menerimanya. Tetapi adalah sia-sia untuk menjelaskan kepadanya, karena ia tidak akan memahaminya: itulah sebabnya Buddha hanya memberikan alasan, “Kami sedang mengumpulkan dàna makanan” untuk tidak membabarkan khotbah dan tidak menyebutkan tentang indria yang belum matang. Intinya adalah walaupun Buddha telah siap untuk membabarkan khotbah kepada orang yang mampu memahaminya, Buddha tahu kapan orang itu siap dan kapan orang itu belum siap. Beliau tidak akan membabarkan khotbah hingga indria si pendengar cukup matang karena hanya dengan cara itu khotbah itu akan dapat memberikan Pencerahan kepada si pendengar.)
Ketika Buddha mengatakan hal itu, Bàhiya Dàrucãriya berkata untuk kedua kalinya, “Yang Mulia, tidak mungkin aku mengetahui apakah Bhagavà akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupan-Nya, atau aku akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupanku. Karena itu sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku. Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”
Dan untuk kedua kalinya Buddha berkata, “Bàhiya, sekarang bukan waktunya membabarkan khotbah. Kami sedang mengumpulkan dàna makanan di kota.” (Jawaban ini diberikan karena indria Bàhiya masih belum matang.)
(Kekhawatiran Bàhiya akan keselamatannya adalah karena telah ditakdirkan bahwa kehidupannya saat itu adalah kehidupannya yang terakhir dan jasa masa lampaunya mendesaknya untuk mengkhawatirkan keselamatannya. Alasannya adalah bahwa seseorang yang ditakdirkan untuk menjalani kehidupan terakhirnya dalam saÿsàra tidak mungkin meninggal dunia sebelum menjadi seorang Arahanta. Buddha ingin membabarkan khotbah kepada Bàhiya dan terpaksa menolak untuk kedua kalinya karena alasan: Buddha mengetahui bahwa Bàhiya diliputi oleh kegembiraan dan kepuasan karena melihat Tathàgata di mana hal ini tidak mendukung pencapaian Pandangan Cerah; batinnya harus ditenangkan hingga pada tahap seimbang. Di samping itu, perjalanan yang dilakukan oleh Bàhiya sejauh seratus dua puluh yojanà dalam satu malam pasti membuatnya lelah secara fisik. Ia memerlukan istirahat sebelum mampu mendengarkan khotbah itu dengan baik.)
Untuk ketiga kalinya Bàhiya Dàrucãriya mengajukan permohonan kepada Buddha. Dan Buddha mengetahui:
(1) bahwa batin Bàhiya telah tenang hingga pada tahap seimbang;
(2) bahwa ia telah beristirahat dan telah mengatasi keletihannya;
(3) bahwa indrianya sudah cukup matang; dan
(4) bahaya kehidupannya sudah sangat dekat, memutuskan bahwa waktunya telah tiba untuk membabarkan khotbah.
Demikianlah, Buddha membabarkan khotbah secara singkat sebagai berikut:
“(1) Demikianlah, Bàhiya, engkau harus melatih dirimu: dalam melihat objek-objek terlihat (semua objek terlihat), menyadari bahwa melihat adalah hanya melihat; dalam mendengarkan suara, menyadari bahwa mendengar adalah hanya mendengar; demikian pula dalam mencium bau-bauan, mengecap dan menyentuh objek-objek sentuhan, menyadari bahwa mencium, mengecap, menyentuh adalah hanya mencium, mengecap dan menyentuh; dan dalam menyadari objek-objek pikiran, yaitu pikiran dan gagasan, menyadari bahwa itu hanyalah menyadari.”
“(2) Bàhiya, jika engkau mampu tetap menyadari dalam melihat, mendengar, mengalami, dan mengenali (empat kelompok) objek-indria, engkau akan menjadi seorang yang tidak berhubungan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang dialami, atau objek pikiran yang dikenali. Dengan kata lain, engkau akan menjadi seorang yang tidak serakah, tidak membenci, dan tidak bodoh.”
“(3) Bàhiya, terhadap objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang dialami, objek-objek pikiran yang dikenali, engkau tidak boleh berhubungan dengannya melalui keserakahan, kebencian atau kebodohan, yaitu, jika engkau ingin menjadi seorang yang tidak memliki keserakahan, kebencian dan kebodohan, maka, Bàhiya, engkau harus menjadi seorang yang tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan dengan objek yang dilihat, didengar, dialami atau dikenali. Engkau tidak boleh menganggap ‘Ini milikku’ (karena keserakahan), tidak memiliki konsep ‘aku’ (karena keangkuhan), tidak mempertahankan gagasan atau konsep ‘diriku’ (karena pandangan salah).”
“(4) Bàhiya, jika engkau sungguh ingin menjadi seorang yang tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan dengan objek yang dilihat, suara yang didengar, objek-objek nyata yang dialami, objek-pikiran yang dikenali, maka Bàhiya, (dengan tidak adanya keserakahan, keangkuhan dan pandangan salah dalam dirimu) engkau tidak akan terlahir kembali di alam manusia, juga tidak akan terlahir kembali di empat alam lainnya (yaitu, alam dewa, Niraya, binatang, dan hantu kelaparan atau peta). Selain kehidupan yang sekarang (di alam manusia) dan empat alam kelahiran kembali lainnya, tidak ada alam lainnya bagimu Tidak-munculnya batin-dan-jasmani baru adalah akhir dari kotoran yang merupakan dukkha dan akhir dari kelahiran kembali yang merupakan dukkha.”
Demikianlah Buddha membabarkan Dhamma yang memuncak pada Pelenyapan tertinggi atau Nibbàna di mana tidak ada lagi unsur-unsur kehidupan (khandha) tersisa.
(Bàhiya Dàrucãriya adalah seseorang yang lebih tepat diberikan penjelasan singkat (saÿkhittaruci-puggala). Karena itu Buddha menjelaskan enam objek indria tanpa menyebutkan seluruh enam itu secara terperinci, tetapi menggabungkan bau, rasa dan objek sentuhan sebagai ‘objek-objek nyata.’ Demikianlah objek-objek indria itu dikelompokkan dalam empat kelompok: apa yang dilihat (diññha), apa yang didengar (suta), apa yang dialami (mutta), dan apa yang disadari (vinnàta).
....
Mendengar bahwa (Yang Mulia) Bàhiya Dàrucãriya meninggal dunia sebagai seorang Arahanta, para bhikkhu penasaran. Mereka bertanya kepada Buddha, “Kapankah Bàhiya Dàrucãriya mencapai Kearahattaan, Yang Mulia?” “Pada saat ia mendengarkan khotbah-Ku,” Buddha menjawab. “Kapankah Bhagavà membabarkan khotbah kepadanya?” “Hari ini, saat menerima dàna makanan.” “Tetapi, Yang Mulia, khotbah tersebut pasti sangat penting. Bagaimana mungkin khotbah singkat itu dapat mencerahkannya?”
“Para bhikkhu, bagaimana mungkin kalian menilai akibat dari khotbah-Ku yang panjang atau pendek? Seribu bait syair yang tidak bermanfaat tidak sebanding dengan satu bait syair yang memberikan manfaat kepada pendengarnya.” Dan pada kesempatan itu Buddha mengucapkan syair berikut:
”Sahassamapi ce gàthà, anatthapadasa¤hità; ekam gàthtà padam seyyo, yam sutvà upasammati.” “(Para bhikkhu) daripada seribu bait syair yang tidak mendukung pengetahuan lebih baik satu baris syair (seperti ‘perhatian adalah jalan menuju keabadian’) yang dengan mendengarnya, si pendengar menjadi tenteram.”
Pada kemudian hari, ketika Buddha berada di tengah-tengah suatu pertemuan, Beliau menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànam bhikkhu-nam khippàbhinnanam yadidam Bàhiyo Dàrucãriyo,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku yang mencapai Pengetahuan Jalan dalam waktu singkat, Bàhiya Dàrucãriya (yang telah meninggal dunia) adalah yang terbaik.”