ga juga andry, mgkn krn kebetulan yg lbh sering dibaca/didengar dr sutta adlh si A melakukan karma buruk terhadap si B (anggota monastik) yg sudah mencapai ariya sehingga di khdpn berikutnya berbuah si A mendapat buah karma buruk, sehingga kadang bertemu bhikkhu/sayalay yg senior, kita bisa begitu segan atau "berhati-hati", sampai takut salah sedikit pun.. tp selain dari itu terhadap teman atau org2 di sekitar kita kan biasa aja, ataupun sama hewan, tdk akan sampai begitu berhati2, "oh saya udah berpikir buruk tentang dia, ini tdk boleh.. karma buruk loh ini" kayaknya jarang deh bisa teringat begitu.
makanya ini bisa utk meluruskan bahwa hukum karma itu sebetulnya bukan hanya "lebih menonjol" pada ariya puggala, hanya krn lbh sering ditemui dlm sutta, tapi sebetulnya hukum karma itu sama, berlaku terhadap setiap makhluk, bhkan yg teremeh sekalipun seperti semut. Semuanya sama, ada sebab akan ada akibat.
Perlukah berhati-hati terhadap ariya-puggala?
Sikap waspada dgn setiap tindakan kita melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan sebaiknya setiap saat dan di mana aja, bukan hanya pd saat kita berpikir ada seorg ariya jd sikap kita harus lbh dikendalikan, tar ga ada beliau, merdeka lagi, kembali tak terkendali. Bobot karma memang ada, tapi intinya bukan lantaran "ariya" hukum karma jadi lebih berlaku.