Jadi ketika besi panas menyentuh tangan, mana mungkin orang yang terbebaskan masih ada pikiran diskriminasi bahwa ini menyakitkan , ini mengenakkan atau ini netral.
Menurut teori, Sang Buddha & para arahat tetap mengalami rasa enak, rasa sakit & rasa netral, karena itu adalah kamma-vipaka-nya.
Ingat saja pelajaran
Paticca-samuppada di sekolah minggu:
(A) avijja, sankhara = KAMMA
(B) vinnana, nama-rupa, salayatana, phassa, vedana = VIPAKA
(C) tanha, upadana, bhava = KAMMA
(D) jati, jara-marana = VIPAKA
Seorang Buddha/arahat masih memiliki mata rantai (B) + (D) selama masih hidup dan punya tubuh, tapi tidak lagi memiliki (A) + (C). Jadi, seorang Buddha/arahat masih memiliki VEDANA (rasa enak, rasa tidak enak, rasa netral).
Jadi pertanyaan intinya adalah di manakah pikiran/batin Arahat ditempatkan ketika besi panas menyentuh tangannya?
Lihat
Mulapariyaya-sutta, Majjhima-nikaya, 1.
Di dalam sutta itu, Sang Buddha mengajarkan bagaimana munculnya pikiran seorang
puthujjana, yang prosesnya berlangsung melalui
6 langkah yang terjadi secepat kilat, sebagai
tanggapan (response) terhadap suatu
rangsangan (stimulus) yang masuk dari
luar melalui
pancaindra, atau muncul di
dalam batin (
indra "keenam" menurut psikologi Buddhis) sebagai
ingatan (
memory):
(1) muncul
persepsi murni (belum ada pikiran, belum ada identifikasi, belum ada pembedaan);
(2) muncul
konsepsi (pikiran mulai bergerak, ada pelabelan, pengenalan, pembedaan);
(3) muncul
aku/atta (tapi masih belum terpisah dari obyek);
(4) muncul
dualitas subyek vs obyek (aku memisahkan diri dari obyek);
(5) aku
ber-relasi dengan obyek;
(6) muncul
emosi (sukacita, sedih, marah dsb).
Jadi, yang disebut
PIKIRAN adalah proses mulai nomor (2) s/d (6). Proses nomor (1) masih belum disebut PIKIRAN, melainkan
PERSEPSI MURNI (pure perception).Dalam sutta itu pula Sang Buddha berkata bahwa dalam diri seorang
Buddha/arahat, proses pikiran itu
terhenti sampai pada nomor (1); nomor (2) s/d (6) tidak muncul. Justru dalam batin seorang Buddha/arahat
tidak pernah lagi muncul
PIKIRAN sebagaimana kita kenal sebagai puthujjana.
Timbul pertanyaan: kalau langkah nomor (2) s/d (6) tidak muncul, bagaimana mungkin seorang Buddha/arahat bicara dan menggunakan kata-kata? Bagaimana seorang Buddha/arahat
BERPIKIR?
Ini termasuk masalah
acinteyya (hal yang tidak seharusnya dipikir-pikir). Apakah hal yang 'acinteyya' itu?
1. hakikat seorang yang bebas
2. asal mula alam semesta
3. hakikat jhana
4. seluk-beluk karma & buahnya.
Sang Buddha bilang, kalau orang mikir-mikir tentang salah satu dari keempat hal itu, dia bisa gila.
Namun, mungkin ada informasi tentang bagaimana seorang yang tidak punya aku/pikiran lagi bisa berkata-kata, bicara, malah menulis buku. Ini tercantum dalam buku seorang ibu rumah tangga
Katholik yang pada usia 40-50 tahun mengalami
runtuhnya aku/dirinya dengan sempurna untuk selamanya. Kebetulan ia seorang
master di bidang
psikologi, sehingga penuturannya sangat menarik. Tentu saja membaca uraian itu tidak sama dengan mengalaminya sendiri. Ibu itu bernama
Bernadette Roberts, dan bukunya berjudul
"The Experience of No-Self". Sudah saya terjemahkan ke bahasa Indonesia (150 halaman).
*****
Kembali kepada pertanyaan Rekan Chingik di atas, baik seorang arahat maupun seorang puthujjana, kalau tangannya tersentuh besi panas,
dua-duanya akan secara refleks menarik tangannya. Proses ini adalah
proses jasmani,
tanpa melewati citta/pikiran; dalam bahasa kedokteran disebut proses
refleks, jalan sarafnya tidak melalui
otak besar (tempat pikiran).
Baru SESUDAH menarik tangannya, sedetik kemudian, dalam batin si
puthujjana, muncul berbagai
PIKIRAN sesuai keenam langkah yang diuraikan oleh Sang Buddha di atas. Sebaliknya, dalam batin seorang
arahat, setelah ia secara refleks menarik tangannya,
tidak muncul PIKIRAN apa pun, sesuai dengan Mulapariyaya-sutta (bukan "pikirannya ditempatkan di mana").
Dalam Mahaparinibbana-sutta, Sang Buddha pernah "mengeluh": "Aku letih, Ananda, aku ingin berbaring." - Secara analogis, tentu Sang Buddha pernah pula berkata: "Aku haus, Ananda, aku ingin minum." - Di sini, "ingin"-nya Sang Buddha itu tentu sangat berbeda dengan "ingin" yang sering kita rasakan sebagai
puthujjana. "Ingin"-nya Sang Buddha lebih merupakan
kebutuhan jasmani, daripada
keinginan mental (batin), tanha. Seorang Buddha pun kalau haus tentu "ingin" (butuh, perlu) minum dan pergi mencari air minum.
Salam,
hudoyo