Seorang buta membutuhkan penuntun jalan yang di sebelah kanan dan kirinya adalah jurang curam, kebetulan ada seorang yang dapat melihat berniat membantunya. Kepada orang buta tersebut, orang itu berusaha mengarahkan agar ia tetap lurus pada jalan sehingga tidak terjatuh ke jurang. Ia memberikan perintah dari kata-kata kepada orang buta tersebut, "lurus-lurus saja" atau "Ke kanan, kanan sedikit..." ketika si buta mulai melenceng ke kiri. Dan saat orang buta itu berjalan terlalu ke kanan hingga hampir jatuh ke jurang, si penuntun berkata, "Ke kiri." Orang buta itu mencoba mematuhi instruksinya, mengarahkan langkah kakinya ke kiri. Tapi ketika ia mulai keluar jalur lurus lagi, si penuntun berkata "Kanan!kanan!". Demikianlah terus hal demikian berulang-ulang ia lakukan dengan tujuan agar menjaga si buta tetap lurus pada jalannya.
Si orang buta yang tidak bisa melihat jalan akhirnya menjadi kesal dan merasa dipermainkan oleh orang tersebut, "Bagaimana ini, kok tidak konsisten. Tadi bilang ke kiri, sekarang ke kanan. Saya menurutinya ke kanan, sekarang ia menyuruh saya ke kiri! Apa-apaan ini!!!!"
Nah, doktrin dalam Buddhisme itu seperti tuntunan dari orang yang ingin membantu si buta tersebut agar berjalan tetap lurus. Terdengar bisa tidak konsisten, jika tidak dipahami maksudnya. Orang yang mengandalkan pikiran logis semata, mudah terjebak untuk mengeluh: "Kok tidak konsisten sih!" seperti yang dilakukan oleh si buta.
Kisah yang anda kutip di atas tidak revelan untuk menggambarkan ketidak-konsistenan ajaran.
Sepenangkapan ane, jalan lurus yang digambarkan dalam kisah itu adalah kekonsistenan ajaran, yaitu lurus tidak belak-belok.
Jadi yang tidak konsisten bukanlah ajarannya tetapi orang buta yang menjalaninya.
Kecuali kisah tersebut mengisahkan seseorang yang sedang berjalan lurus, tapi tetap diteriakin gurunya untuk ke kiri dan ke kanan. Maka kisah ini lebih cocok menggambarkan ketidakkonsistenan ajaran, bahwa jalan lurus bukanlah jalan yg benar, tapi musti zig-zag ke kiri dan ke kanan.
IMO, jalan lurus yang digambarkan pada kisah di atas adalah "Jalan Tengah" (jalan mulia beruas 8 ), sementara tepi kiri dan kanan masing2 menggambarkan kemelekatan akan kesenangan dan penderitaan.
Sebagai contoh adalah seorang siswa yang diinstruksikan gurunya untuk melatih konsentrasi, tetapi setelah berhasil mencapai konsentrasi siswa tersebut melekat dengan kebahagiaan kedamaian ketenangan. Ini bagaikan seorang yang berjalan miring ke kanan, ke arah kemelekatan kebahagiaan kesenangan. Oleh karena itulah sang guru akan meneriakkan instruksi untuk berjalan ke arah kiri, yaitu keluar dari ketenangan konsentrasi. Hal ini bisa jadi membingungkan si siswa karena sebelumnya sang guru mengajarkan untuk berusaha mencapai konsentrasi, setelah tercapai kok disuruh keluar? Hal ini terlihat seperti suatu ketidakkonsistenan oleh karena itulah disebut masih rabun matanya.
Jadi bukan ajaranlah yang tidak konsisten tetapi yang menjalaninyalah yg tidak konsisten. Sang guru menjaga siswanya yg masih rabun agar tetap lurus.