Andai Ajahn
Brahmavamso (60)
tidak menjadi bhikku,
barangkali dia sudah
jadi pelawak atau
aktor. Ceramahnya
ringan, segar, dan
jenaka. Lelucon-
leluconnya
mengandung pesan
moral tak bersekat,
tidak menggurui, tidak
menghakimi dan
langsung kena di hati.
Kisah-kisah yang
disampaikan Ajahn
Brahm, begitu
sapaannya, merupakan
antitesis dari seluruh
standar yang dibangun
di atas gagasan umum
tentang”kesuksesan”
dan ”keberhasilan”.
Melalui cerita, ia
mengajak orang
memasuki esensi
hidup; wilayah lebih
dalam dari”kulit luar”
kehidupan yang
memesona, sekaligus
mengikat, melekat.
”Kalau saya tahu akan
menjadi bhikku, saya
tak perlu belajar
sekeras itu di
universitas
hahahaha...” ujar
Ajahn Brahm,
membuka ceramah
Minggu (27/3) petang
bertema”Let Go Ego”
di Jakarta, yang
dihadiri lebih 5.000
orang.
”Begitu menjadi
bhikku, saya harus
melepas semuanya,
termasuk melepas
banyak pacar…
hehehe..... Begitu
melepas semua, saya
merasa sangat
bahagia…” ujarnya.
Melepas,
menanggalkan,
meninggalkan adalah
esensi Dharma yang
sangat ia pahami
setelah sembilan tahun
menjadi petapa di
hutan Thailand.”Jika
Anda benar paham
fisika kuantum, Anda
harus mampu
membuat pelayan bar
paham,” begitu kata
pakar fisika kuantum,
Werner K Heisenberg.
”Bercerita adalah cara
yang indah untuk
menyampaikan pesan,”
ujar Ajahn Brahm,
ketika ditemui di
Jakarta, Senin (28/3)
pagi, di ujung akhir 15
acara di berbagai kota
selama 10 hari di
Indonesia.
”Suatu cerita akan
menghubungkan
pengalaman orang
yang satu dengan yang
lain karena kita berada
di dalam jaring
kehidupan.”
Cerita keledai
Ajahn Brahm dikenal
sebagai”Ajahn Nike”
karena selalu
mengatakan just do it
(lakukan saja)—
promosi dagang sepatu
merek Nike—untuk
mendorong agar orang
tidak mengeluh dan
menggerutu.”Semua
pengalaman adalah
pupuk bagi hidup,”
katanya.
”Suatu ketika ada
seekor keledai yang
menjelajah hutan
dengan riang, sampai
tak sadar ia terperosok
ke dalam sumur tua.
Untung sumur itu
kering dan tak terlalu
dalam. Tetapi, keledai
tak bisa memanjat,
jadi ia berteriak, minta
tolong, E..o.. eeoo
eeooo..”
Suara itu memancing
seorang petani
mendekat. Petani itu
benci keledai, tetapi ia
juga tahu, sumur itu
sumber bahaya. Maka,
dengan sekopnya, ia
mengisi tanah ke
dalam sumur untuk
mengubur si keledai
hidup-hidup, sekaligus
menutup sumur.
Menyadari yang
terjadi, si keledai
menjerit. Ia sedih dan
takut.
Setelah beberapa saat,
keledai itu mendapat
apa yang dalam
pandangan Buddha
disebut”pandangan
cerah”. Ia merangkul
kekinian, dan... just do
it. Tak ada suara lagi,
sampai petani itu
berpikir,”Terkubur
sudah keledai bego
itu.”
Padahal, setiap sekop
tanah yang menimpa
punggungnya, si
keledai menggoyang
luruh tanah itu, lalu
menginjak-injaknya
hingga padat di bawah.
Maka ia naik satu inci
lebih tinggi. Begitu
seterusnya. Petani yang
sibuk menyekop tanah
tak menyadari
sepasang telinga mulai
muncul di mulut
sumur. Ketika pijakan
sudah cukup tinggi.
Keledai itu melompat
keluar dari sumur dan
melarikan diri.
”Saya ceritakan kisah
ini pada Presiden Sri
Lanka. Saya bilang, jika
menghadapi kritik,
berlakulah seperti
keledai, goyang,
luruhkan, dan Anda
seinci lebih tinggi.
Anda hanya perlu
merangkul kekinian,”
ujar Ajahn Brahm,
”Itulah let go ego....”
Maksudnya?
”Jangan biarkan orang
lain merenggut
kebahagiaanmu
dengan membuatmu
marah, kecewa, sedih,”
ia menjelaskan makna
melepas ego, yang
dalam hidup sehari-
hari dipahami sebagai
”menerima dengan
keikhlasan yang tulus”.
Cinta dan welas asih
Namun, tindakan
melepas ego tak
semudah
mengucapkannya.
Orang bertahan hidup
dengan ego, kemudian
sulit
mengendalikannya.
Ketika nafsu keinginan
yang tak ada batasnya
menguasai pikiran,
orang tak tahu batas
cukup dan tak bisa
mensyukuri karunia
hidup.
”Sandaran
kebahagiaan bukan
hal-hal yang bersifat
material,’kulit luar’
itu,” ujar Ajahn Brahm.
Menurut dia, segala
bentuk kekerasan di
dunia disebabkan oleh
ego, oleh rasa takut
dikalahkan.”Terlalu
banyak kompetisi, dan
sangat sedikit kerja
sama,” tuturnya.
Pendidikan bisa
memutus rantai itu,
kata Ajahn Brahm.
Sejak dini, anak dilatih
menyeimbangkan kerja
sama sosial dengan
prestasi pribadi.
Dimulai dengan 70
persen prestasi pribadi
dan 30 persen nilai
rata-rata kelas, sampai
benar-benar seimbang.
Itu akan mendorong
anak bekerja sama
untuk menutup
kekurangan teman.
”Kementerian Dalam
Negeri Inggris dari
kabinet lalu memberi
promosi bagi kerja
sama, bukan prestasi
pribadi. Penghargaan
pada proses, bukan
hasil akhir, pada
ketulusan, kejujuran.
Alangkah damainya
kalau kita bisa
menanggalkan gagasan
menjadi yang
terhebat,” kata Ajahn
Brahm.
Gagasan itu melawan
dalil umum tentang
kemenangan sebagai
hasil kompetisi
sehingga acap dicapai
dengan kecurangan. Di
bidang politik,
misalnya, terlihat
sangat jelas, meski atas
nama demokrasi.
Padahal, cara itu
berlawanan dengan
arti ’kandidat’, yang
berasal dari kata Latin
candidatus, artinya
putih.
”Pada zaman Romawi,
kandidat posisi politik
menggunakan jubah
putih dalam kampanye
pemilihan umum.
Warna putih
melambangkan bersih
dari dosa, kemurnian,
ketulusan,” jelasnya.
Menurut Anda, apa
persoalan terbesar di
dunia saat ini?
Kompetisi membuat
orang kehilangan cinta
dan welas asih. Situasi
seperti ini
membahayakan
kehidupan karena
menghancurkan
kemanusiaan. Mari
memahami bahwa
bumi ini adalah rumah
kita bersama. Kita
saling terkait,
terhubung, dan saling
bergantung. Kita ini
satu. Mari bekerja
sama dengan tulus
untuk menyelamatkan
kemanusiaan dan bumi
kita bersama.
Merangkul
Sosok Ajahn yang
kocak, jenaka di atas
panggung berbeda
dengan sosoknya
ketika ia ditemui
secara khusus.
Senyumnya lepas,
namun ia lebih serius.
Sorot matanya tajam
dan terasa mampu
membaca gerak
pikiran lawan
bicaranya.
Ia menyebut secara
khusus nama Nelson
Mandela, Mahatma
Gandhi, dan
Abdurrahman Wahid
sebagai tokoh yang
merangkul dan
menolak kekerasan.
Beberapa kali Ajahn
Brahm juga diundang
ke acara lintas agama.
Pernah, undangan
disampaikan lewat
telepon, dan ia
diminta mengeja
namanya. Ia
mengejanya,”B untuk
Buddhis, R untuk Roma
ka****k, A untuk
Anglikan, H untuk
Hindu, M untuk
Muslim....”
Menurut Ajahn Brahm,
meditasi dan
memaafkan
merupakan sumbangan
Buddhisme pada dunia.
Pada semua jenis
mistisisme dari
berbagai tradisi
spiritual, meditasi
merupakan jalan
menuju pikiran yang
murni dan kokoh. Di
puncak keheningan
akan dipahami apa
yang disebut”diri”,
”Tuhan”, ”dunia”,
”alam semesta”, dan
segalanya.
Kisah favorit Ajahn
Brahm adalah Winnie
the Pooh, beruang
lembut yang tak
pernah belajar di
sekolah. Ia adalah
beruang dengan otak
kecil yang
membuatnya sangat
bijak. Ia tidak berpikir,
tetapi melihat dan
mengetahui sehingga
ia begitu mudah
dicintai.
Anda ingin menjadi
siapa dalam cerita itu?
Winnie the Pooh
hehehe…
Yang membuat Anda
sedih atau menyesal?
Penyesalan dan
kesedihan tak punya
arti khusus buat saya
karena saya telah
melepas masa lalu.
(Dalam salah satu
ceramahnya, ia
bercerita saat ayah
yang sangat ia cintai
meninggal. Ketika
keluar dari
krematorium di tengah
gerimis tipis, ia tahu
tak akan bisa
bersamanya lagi.
Namun, ia tidak
menangis. Suara
hatinya mengatakan,
”Ayah saya sungguh
hebat. Hidupnya
merupakan inspirasi
luar biasa. Betapa
untungnya saya telah
menjadi putranya.
Waktu itu saya
menggenggam tangan
ibu saya menuju
perjalanan panjang
masa depan. Saya
merasa bahagia,
seperti baru saja usai
menonton konser
terhebat. Saya tak
akan pernah
melupakannya. Terima
kasih, Ayah...”)
Tentu saja ada banyak
kesedihan jika Anda
melihat tsunami di
Jepang, menyaksikan
orang berkelahi,
berperang. Daripada
sedih, saya melakukan
sesuatu. Itu sebabnya
saya banyak
melakukan perjalanan
dan berbagi.
Yang membuat Anda
bahagia?
Yang paling penting
adalah kebahagiaan
saya sendiri dan
kebahagiaan orang
lain. Namun, setelah
bertahun-tahun hidup
sebagai petapa, saya
tak mampu lagi
membedakan antara
kebahagiaan orang lain
dan kebahagiaan saya.
Itu sebabnya saya
bepergian dan
melayani sebanyak
mungkin, memberi
ceramah,
menceritakan kisah-
kisah kocak, membuat
orang tertawa.
Anda bisa marah?
Hhmmm... Anda harus
berusaha keras untuk
membuat saya marah
hahahaha....