SUTTA 140
1264) Menurut MA, Pukkusāti adalah raja Takkasilā dan bersahabat dengan Raja Bimbisāra dari Magadha melalui para pedagang yang melakukan perjalanan di antara kedua negeri untuk berdagang. Dalam suatu pertukaran hadiah, Bimbisāra mengirimkan sebuah panel emas kepada Pukkusāti di mana ia menuliskan penjelasan Tiga Permata dan berbagai aspek Dhamma. Ketika Pukkusāti membaca tulisan itu, ia menjadi gembira dan memutuskan untuk meninggalkan keduniawian. Tanpa melalui penahbisan resmi, ia mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan istana. Ia pergi ke Rājagaha dengan maksud untuk menemui Sang Buddha, yang saat itu berada di Sāvatthī, kira-kira 300 mil jauhnya. Sang Buddha melihat Pukkusāti melalui mata batinnya, dan mengetahui kemampuannya untuk mencapai jalan dan buah, Beliau melakukan perjalanan sendirian dengan berjalan kaki menuju Rājagaha untuk menemuinya. Agar tidak dikenali, melalui kekuatan kehendak-Nya Sang Buddha menyembunyikan ciri-ciri fisiknya seperti tanda-tanda Manusia Luar Biasa, dan ia tampil seperti umumnya seorang bhikkhu pengembara. Beliau tiba di gubuk pengrajin tembikar tidak lama setelah Pukkusāti, yang telah tiba terlebih dulu, bermaksud untuk pergi ke Sāvatthī pada keesokan harinya untuk menemui Sang Buddha.
1265) Pukkusāti yang tidak menyadari bahwa pendatang baru itu adalah Sang Buddha, menyapa Beliau dengan panggilan akrab “āvuso”.
1266) MA: Sang Buddha mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini sekadar untuk memulai suatu percakapan, karena Beliau telah mengetahui bahwa Pukkusāti telah meninggalkan keduniawian karena Beliau.
1267) MA: Karena Pukkusāti telah memurnikan praktik awal sang jalan dan mampu mencapai jhāna ke empat melalui perhatian pada pernapasan, Sang Buddha langsung memulai dengan suatu khotbah tentang meditasi pandangan terang, membabarkan kekosongan tertinggi yaitu landasan bagi Kearahatan.
1268) MA: Di sini Sang Buddha membabarkan keberadaan yang bukan sesungguhnya melalui keberadaan yang sesungguhnya; karena unsur-unsur adalah keberadaan yang sesungguhnya, tetapi manusia adalah keberadaan yang bukan sesungguhnya. Maksudnya adalah[ ]: “Bahwa apa yang engkau lihat sebagai seorang manusia adalah terdiri dari enam unsur. Sesungguhnya tidak ada manusia di sini. ‘Manusia’ hanyalah sekadar konsep.”
1269) Seperti pada 137.8.
1270) Paññadhiṭṭhāna, saccādhiṭṭhāna, cāgadhiṭṭhāna, upasamādhiṭṭhāna. Ñm, dalam Ms, awalnya menerjemahkan adhiṭṭhāna sebagai “tekad”, dan kemudian menggantinya menjadi “modus pengungkapan”, yang keduanya tampaknya tidak sesuai untuk konteks ini. MA mengemas kata ini dengan patiṭṭhā, yang jelas berarti landasan, dan menjelaskan makna dari pernyataan itu sebagai berikut: “Manusia ini yang terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis pendekatan pikiran—ketika ia berpaling dari ini dan mencapai Kearahatan, pencapaian tertinggi, ia melakukannya dengan berlandaskan pada keempat landasan ini.” Keempat landasan ini akan dijelaskan secara terpisah pada bagian selanjutnya, §§12-29.
1271) MA: Sejak awal seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan yang muncul dari konsentrasi dan pandangan terang untuk menembus kebijaksanaan buah Kearahatan. Ia harus mempertahankan ucapan jujur untuk mencapai Nibbāna, kebenaran tertinggi. Ia harus melatih pelepasan kekotoran untuk melepaskan segala kekotoran melalui jalan Kearahatan. Sejak awal ia harus berlatih dalam penenangan kekotoran untuk menenangkan segala kekotoran melalui jalan Kearahatan. Demikianlah kebijaksanaan, dan seterusnya yang muncul dari ketenangan dan pandangan terang dijelaskan sebagai landasan awal untuk mencapai landasan kebijaksanaan, dan seterusnya (ciri khas Kearahatan).
1272) MA: Tidak-melalaikan kebijaksanaan dijelaskan melalui meditasi pada unsur-unsur. Analisis unsur-unsur di sini identik dengan yang terdapat pada MN 28.6, 11, 16,21, dan MN 62.8-12.
1273) MA: Ini adalah unsur ke enam, yang “tersisa”[ ]dalam itu masih harus dijelaskan oleh Sang Buddha dan harus ditembus oleh Pukkusāti. Di sini dijelaskan sebagai kesadaran yang menyempurnakan pekerjaan perenungan pandangan terang pada unsur-unsur. Di bawah judul kesadaran, perenungan perasaan juga diperkenalkan.
1274) Paragraf ini menunjukkan kondisionalitas perasaan dan ketidakkekalannya melalui lenyapnya kondisinya.
1275) MA mengidentifikasi ini sebagai keseimbangan jhāna ke empat. Menurut MA, Pukkusāti telah mencapai jhāna ke empat dan memiliki kemelekatan kuat pada jhāna itu. Sang Buddha pertama-tama memuji keseimbangan ini untuk menginspirasi keyakinan Pukkusāti, kemudian setahap demi setahap Beliau menuntunnya menuju jhāna-jhāna tanpa materi dan pencapaian jalan dan buah.
1276) Maknanya adalah: Jika ia mencapai landasan ruang tanpa batas dan meninggal dunia selagi masih melekatinya, maka ia akan terlahir kembali di alam ruang tanpa batas dan akan hidup di sana selama umur kehidupan maksimum 20.000 kappa yang ditentukan di alam itu. Di tiga alam tanpa materi yang lebih tinggi, umur kehidupannya berturut-turut adalah 40.000 kappa, 60.000 kappa, dan 84.000 kappa.
1277) MA: ini dikatakan untuk menunjukkan bahaya dalam jhāna-jhāna tanpa materi. Dengan satu frasa, “ini adalah terkondisi”, Beliau menunjukkan: “Bahkan walaupun umur kehidupan di sana adalah 20.000 kappa, namun itu adalah terkondisi, dirancang, dibangun. Dengan demikian maka tidak kekal, tidak stabil, tidak bertahan lama, sementara. Tunduk pada kemusnahan, kehancuran, dan kelenyapan; ini melibatkan kelahiran, penuaan, dan kematian, yang berlandaskan penderitaan. Ini bukanlah suatu naungan, suatu tempat aman, suatu perlindungan. Setelah meninggal dunia dari sana sebagai kaum duniawi, seseorang masih dapat terlahir kembali di empat alam sengsara.
1278) So n’eva abhisankharoti nābhisañcetayati bhavāya vā vibhavāya. Kedua kata kerja ini menyiratkan gagasan kehendak sebagai kekuatan pembangun yang membangun kelangsungan kehidupan terkondisi. Lenyapnya kehendak akan penjelmaan atau tanpa-penjelmaan menunjukkan padamnya keinginan akan kehidupan abadi dan pemusnahan, yang memuncak pada pencapaian Kearahatan.
1279) MA mengatakan bahwa pada titik ini Pukkusāti menembus tiga jalan dan buah, menjadi yang-tidak-kembali. Ia menyadari bahwa gurunya adalah Sang Buddha sendiri, tetapi ia tidak dapat mengungkapkan hal ini karena Sang Buddha masih melanjutkan khotbah-Nya.
1280) Paragraf ini menunjukkan kediaman Arahant dalam unsur Nibbāna dengan sisa (dari faktor-faktor kehidupan yang terkondisi, sa-upādisesa nibbānadhātu). Walaupun ia tetap mengalami perasaan, namun ia bebas dari nafsu terhadap perasaan menyenangkan, dari penolakan terhadap perasaan menyakitkan, dan dari kebodohan terhadap perasaan netral.
1281) Yaitu, ia terus mengalami perasaan hanya selama jasmaninya dengan indria kehidupannya berlangsung, tetapi tidak melampaui itu.
1282) Ini merujuk pada pencapaian unsur-Nibbāna tanpa sisa (anupādisesa nibbānadhātu)—lenyapnya segala kehidupan terkondisi melalui kematiannya.
1283) Ini menutup penjelasan atas landasan pertama, yang dimulai pada §13. MA mengatakan bahwa pengetahuan hancurnya segala penderitaan adalah kebijaksanaan yang berhubungan dengan buah Kearahatan.
1284) MA menyebutkan empat jenis perolehan (upadhi) di sini: baca n.674.
1285) “Arus pasang penganggapan” (maññussavā), seperti yang ditunjukkan dalam paragraf berikut ini, adalah pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang berasal-mula dari ketiga akar penganggapan—keinginan, keangkuhan, dan pandangan. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, baca n.6. Sang “bijaksana damai” (muni santo) adalah Arahant.
1286) Apa yang tidak ada padanya adalah keinginan akan penjelmaan, yang menuntun mereka yang belum melenyapkannya kembali kepada kelahiran kembali setelah kematian.
1287) MA mengatakan bahwa ia terlahir kembali di Alam Murni yang disebut Avihā dan mencapai Kearahatan segera setelah ia terlahir kembali di sana. MA mengutip sebuah syair dari Saṁyutta Nikāya (SN 1:50/i.35) menyebutkan Pukkusāti sebagai satu dari ketujuh bhikkhu yang terlahir kembali di Avihā dan mencapai pembebasan dengan melampaui belenggu-belenggu surgawi.
SUTTA 141
1288) Ini merujuk pada khotbah pertama Sang Buddha, yang dibabarkan kepada lima bhikkhu di Taman Rusa di Isipatana.
1289) MA: YM. Sāriputta melatih mereka hingga ia mengetahui bahwa mereka telah mencapai buah memasuki-arus, kemudian ia membiarkan mereka mengembangkan jalan-jalan yang lebih tinggi dengan usaha mereka sendiri dan ia melatih kelompok murid yang baru. Tetapi YM. Moggallāna melanjutkan melatih murid-muridnya hingga mereka mencapai Kearahatan.
1290) Definisi kelahiran, penuaan, dan kematian juga terdapat pada MN 9.22, 26. Keseluruhan analisis terperinci dari Empat Kebenaran Mulia ini juga termasuk dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, dengan penjelasan yang bahkan lebih lengkap pada bagian kebenaran ke dua dan ke tiga. Baca DN 22.18-21/ii.305-13.
SUTTA 142
1291) Mahāpajāpatī Gotamī adalah adik perempuan Ratu Mahāmāyā, ibu Sang Buddha, dan juga istri Raja Suddhodana. Setelah kematian Mahāmāyā, ia menjadi ibu tiri Sang Buddha. Sutta ini terjadi pada masa awal pengajaran Sang Buddha, pada salah satu perjalanan-Nya mengunjungi kota asal-Nya. Setelah kematian Raja Suddhodana, Mahāpajāpatī memohon kepada Sang Buddha agar memperbolehkan perempuan bergabung dalam Sangha, dan penerimaannya menandai awal dari Sangha bhikkhunī, kisah ini terdapat pada Vin Cv Kh 10/ii.253-56 (baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.104-7).
Suatu penempatan kejadian pada waktu yang salah ini dicetuskan oleh YM. Ajahn Sucitto dari Vihara Cittaviveka kepada saya. Sutta ini menggambarkan Mahāpajāpatī Gotamī sebagai seorang umat Buddhis yang berbakti dan merujuk pada Sangha Bhikkhunī seolah-olah Sangha Bhikkhunī sudah ada pada masa itu, namun kisah kanonis tentang berdirinya Sangha Bhikkhunī menunjukkan bahwa Mahāpajāpatī adalah bhikkhunī pertama dalam sejarah. Dengan demikian, Sangha Bhikkhunī pasti belum ada pada saat sutta ini dibabarkan jika Mahāpajāpatī masih menjadi seorang umat awam perempuan. Kita dapat memecahkan persoalan perbedaan ini (yang terabaikan oleh komentator) dengan menganggap bahwa khotbah asli telah belakangan dimodifikasi setelah berdirinya Sangha Bhikkhunī agar sesuai dengan skema persembahan kepada Sangha.