//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)  (Read 29413 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #75 on: 24 February 2011, 01:37:26 PM »
144  Channovāda Sutta
Nasihat kepada Channa


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Cunda, Yang Mulia Channa sedang menetap di Gunung Puncak Nasar.

3. Pada saat itu, Yang Mulia Channa jatuh sakit, menderita, dan sakit parah. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, mendatangi Yang Mulia Mahā Cunda, dan berkata kepadanya: “Teman Cunda, marilah kita mendatangi Yang Mulia Channa dan menanyakan tentang penyakitnya.”“Baik, Teman,” Yang Mulia Mahā Cunda menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Cunda mendatangi Yang Mulia Channa dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika [264] ramah tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Channa:
“Aku harap engkau lebih baik, Teman Channa, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

5. “Teman Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; … (seperti Sutta 143, §4) … bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Aku akan menggunakan pisau, [ ]Teman Sāriputta; aku tidak memiliki keinginan untuk hidup.”

6. “Mohon Yang Mulia Channa tidak menggunakan pisau. Mohon Yang Mulia Channa tetap hidup. Kami ingin Yang Mulia Channa tetap hidup. Jika ia tidak memiliki [ ]makanan yang sesuai, maka aku akan pergi mencarikan makanan yang sesuai untuknya. Jika ia tidak memiliki obat yang sesuai, aku akan pergi mencarikan obat yang sesuai untuknya. Jika ia tidak memiliki pelayan yang baik, aku akan melayaninya. Mohon Yang Mulia Channa tidak menggunakan pisau. Mohon Yang Mulia Channa tetap hidup.”

7. “Teman Sāriputta, bukan karena aku tidak memiliki makanan yang sesuai; aku memiliki makanan yang sesuai. Bukan karena aku tidak memiliki obat-obatan yang sesuai; aku memiliki obat-obatan yang sesuai. Bukan karena aku tidak memiliki pelayan yang baik; aku memiliki pelayan yang baik. Terlebih lagi, Teman, sejak lama Sang Guru telah dilayani olehku dengan cara yang baik, bukan dengan cara yang tidak baik; karena adalah selayaknya seorang siswa melayani Sang Guru dengan cara yang baik, bukan dengan cara yang tidak baik. Ingatlah ini, Teman Sāriputta: Bhikkhu Channa akan menggunakan pisau dengan tanpa noda.”

“Kami akan bertanya kepada Yang Mulia Channa mengenai hal tertentu, jika ia sudi menjawab pertanyaan kami.”

“Tanyalah, Teman Sāriputta. Ketika mendengarnya, aku akan mengetahui.”

“Teman Channa, apakah engkau menganggap mata, kesadaran-mata, dan bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, [265] ini diriku’? Apakah engkau menganggap telinga … hidung … lidah … badan … pikiran, kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”

“Teman Sāriputta, aku menganggap mata, kesadaran-mata, bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Aku menganggap telinga … hidung … lidah … badan … pikiran, kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’”
 
10. “Teman Channa, apakah yang telah engkau lihat dan ketahui secara langsung dalam mata, dalam kesadaran-mata, dan dalam bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata, yang engkau anggap sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’? Apakah yang telah engkau lihat dan ketahui secara langsung dalam telinga … dalam hidung … dalam lidah … dalam badan … dalam pikiran, dalam kesadaran-pikiran, dan dalam hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran, yang engkau anggap sebagai: Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’?”

“Teman Sāriputta, melalui melihat dan mengetahui secara langsung lenyapnya di dalam mata, di dalam kesadaran-mata, dan di dalam bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata, maka aku menganggapnya sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’[?] Karena aku telah melihat dan mengetahui secara langsung lenyapnya di dalam telinga … di dalam hidung … di dalam lidah … di dalam badan … di dalam pikiran, di dalam kesadaran-pikiran, dan di dalam hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran, [266] maka aku menganggapnya sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’”

11. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Cunda berkata kepada Yang Mulia Channa: [ ]“Oleh karena itu, Teman Channa, ajaran Sang Bhagavā ini harus terus-menerus diperhatikan: ‘Ada keraguan bagi seseorang yang tergantung, tidak ada keraguan bagi seseorang yang tidak tergantung. Ketika tidak ada keraguan, maka ada ketenangan; ketika ada ketenangan, maka tidak ada anggapan; ketika tidak ada anggapan, maka tidak ada datang dan pergi; ketika tidak ada datang dan pergi, maka tidak ada meninggal dunia dan terlahir kembali; ketika tidak ada meninggal dunia dan terlahir kembali, maka tidak ada di sini juga tidak ada di sana juga tidak ada di antara keduanya. Inilah akhir penderitaan.’”

12. Kemudian, ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Cunda telah memberikan nasihat kepada Yang Mulia Channa, mereka bangkit dari duduk dan pergi. Kemudian, tidak lama setelah mereka pergi, Yang Mulia Channa menggunakan pisau.

13. Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Yang Mulia Channa telah menggunakan pisau. Ke manakah alam tujuannya, di manakah ia dilahirkan kembali?”

“Sāriputta, bukankah Bhikkhu Channa menyatakan ketanpanodaannya kepadamu?”

“Yang Mulia, ada Desa Vajji bernama Pubbavijjhana. Di sana Yang Mulia Channa memiliki keluarga yang bersahabat, keluarga yang akrab, keluarga yang dapat didekati [sebagai penyokongnya].”

“Yang Mulia Channa memang memiliki keluarga yang bersahabat, keluarga yang akrab, keluarga yang dapat didekati [sebagai penyokongnya]; tetapi Aku tidak mengatakan sehubungan dengan hal ini bahwa ia menjadi tercela. Sāriputta, ketika seseorang melepaskan tubuh ini dan mengambil tubuh lainnya, maka Aku katakan bahwa ia tercela. Ini tidak terjadi dalam kasus Bhikkhu Channa. Bhikkhu Channa menggunakan pisau dengan tanpa noda. Demikianlah, Sāriputta, engkau harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Sāriputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

ko, no.8 & 9 blm ditaruh.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #76 on: 24 February 2011, 09:06:30 PM »
145  Puṇṇovāda Sutta
Nasihat kepada Puṇṇa


[267] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari meditasinya dan mendatangi Sang Bhagavā. [ ]Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

2. “Yang Mulia, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi memberikan nasihat singkat kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh.”

“Baiklah, Puṇṇa, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Puṇṇa menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Puṇṇa, ada bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu bergembira di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan muncul dalam dirinya. Dengan munculnya kegembiraan, Puṇṇa, maka muncul pula penderitaan, Aku katakan. [ ]Ada, Puṇṇa, suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, [268] dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu bergembira di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan muncul dalam dirinya. Dengan munculnya kegembiraan, Puṇṇa, maka muncul pula penderitaan, Aku katakan.

4. “Puṇna, ada bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu tidak bergembira di dalamnya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan, Puṇṇa, maka lenyap pula penderitaan, Aku katakan.

5. “Sekarang Aku telah memberikan nasihat singkat kepadamu, Puṇṇa, di negeri manakah engkau akan menetap?”

“Yang Mulia, karena sekarang Sang Bhagavā telah memberikan nasihat singkat kepadaku, aku akan menetap di Negeri Sunāparanta.”

“Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta ganas dan kasar. Jika mereka mencaci dan mengancam engkau, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta mencaci dan mengancam aku, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tinju.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tinju, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tinju, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan bongkahan tanah.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan bongkahan tanah, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan bongkahan tanah, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tongkat kayu.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tongkat kayu, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tongkat kayu, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak menusukku dengan pisau.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menusukmu dengan pisau, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta menusukku dengan pisau, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak membunuhku dengan pisau tajam.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta membunuhmu dengan pisau tajam, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta membunuhku dengan pisau tajam, maka aku akan berpikir: ‘Ada para siswa Sang Bhagavā yang, karena merasa muak, dan malu, dan jijik dengan jasmani ini dan dengan kehidupan, telah mencari penyerang. Tetapi aku telah memperoleh penyerang ini bahkan tanpa mencari.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

6. “Bagus, bagus, Puṇṇa! Dengan memiliki pengendalian diri dan kedamaian demikian[ ], engkau akan mampu bertahan di Negeri Sunāparanta. Sekarang, Puṇṇa, sekarang adalah waktunya engkau melakukan apa yang perlu engkau lakukan.”

7. Kemudian, dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, pergi dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, [ ]dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia melakukan perjalanan menuju Negeri Sunāparanta. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di Negeri Sunāparanta dan menetap di sana. Kemudian, selama masa vassa, Yang Mulia Puṇṇa menegakkan lima ratus umat awam laki-laki dan lima ratus umat awam perempuan dalam praktik, dan ia sendiri mencapai tiga pengetahuan sejati. Beberapa waktu kemudian, Yang Mulia Puṇṇa mencapai Nibbāna akhir.

8. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau: “Yang Mulia, Anggota keluarga Puṇṇa, yang telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya berikutnya?”

“Para bhikkhu, Anggota keluarga Puṇṇa adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkan-Ku dalam menginterpretasikan Dhamma. Anggota keluarga Puṇṇa telah mencapai Nibbāna akhir.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #77 on: 24 February 2011, 09:36:47 PM »
146  Nandakovāda Sutta
Nasihat dari Nandaka


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī bersama dengan lima ratus bhikkhunī mendatangi Sang bhagavā. Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menasihati para bhikkhunī, sudilah Sang Bhagavā memberikan instruksi kepada para bhikkhunī, sudilah Sang Bhagavā memberikan khotbah Dhamma kepada para bhikkhunī.”

3. Pada saat itu, para bhikkhu senior bergiliran dalam memberikan nasihat kepada para bhikkhunī, tetapi Yang Mulia Nandaka tidak mau menasihati mereka ketika gilirannya tiba. [ ]Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, giliran siapakah menasihati para bhikkhunī hari ini?”

“Yang Mulia, adalah giliran Yang Mulia Nandaka untuk menasihati para bhikkhunī, tetapi ia tidak mau menasihati mereka walaupun hari ini adalah gilirannya.”

4. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Nasihatilah para bhikkhunī, Nandaka. Berikanlah instruksi kepada para bhikkhunī, Nandaka. Babarkanlah khotbah Dhamma kepada para bhikkhunī, Brahmana.”

“Baik, Yang Mulia,” [271] Yang Mulia Nandaka menjawab. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Nandaka merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia bersama seorang teman pergi ke Taman Rājaka. Dari kejauhan para bhikkhunī melihat kedatangan Yang Mulia Nandaka dan mempersiapkan tempat duduk dan menyediakan air untuk mencuci kaki. Yang Mulia Nandaka duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan mencuci kakinya. Para bhikkhunī bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Yang Mulia Nandaka berkata kepada para bhikkhunī:

5. “Saudari-saudari, khotbah ini akan disampaikan dalam bentuk pertanyaan. Jika kalian mengerti maka katakanlah: ‘Kami mengerti;’ jika kalian tidak mengerti maka katakanlah: ‘Kami tidak mengerti;’ jika kalian ragu-ragu atau bingung maka kalian harus bertanya: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia? Apakah makna dari hal ini?’”

“Yang Mulia, kami cukup puas dan senang dengan Guru Nandaka dalam hal bahwa ia mengundang kami bahkan hingga sejauh ini.”

6. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia.”

“Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah telinga … hidung … lidah … badan … pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, [272] dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam landasan internal ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

7. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk-bentuk … suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … objek-objek pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam landasan eksternal ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

8. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah kesadaran-mata … [273] … kesadaran-telinga … kesadaran-hidung … kesadaran-lidah … kesadaran-badan … kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, [272] dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam kelompok kesadaran ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

9. “Saudari-saudari, misalkan sebuah lampu minyak menyala: minyaknya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan; sumbunya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan. Sekarang, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Selama lampu minyak ini menyala, minyaknya, sumbunya, dan apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi cahayanya adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan?’”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena, Yang Mulia, selama lampu minyak ini menyala, minyaknya, sumbunya, dan apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, maka cahayanya juga pasti tidak kekal dan tunduk pada perubahan.”

“Demikian pula, Saudari-saudari, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Enam landasan internal ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang dialami seseorang dengan bergantung pada enam landasan internal ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan?’”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena masing-masing perasaan muncul dengan bergantung pada kondisinya yang bersesuaian,[ ] [274] dan dengan lenyapnya kondisi yang bersesuaian itu, maka lenyap pula perasaan.”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

10. “Saudari-saudari, misalkan sebatang pohon besar memiliki inti kayu: akarnya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, batangnya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, dahan-dahannya dan dedaunannya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, dan bayangannya tidak kekal dan tunduk pada perubahan. Sekarang, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Akar, batang, dahan-dahan, dan dedaunan dari pohon besar yang memiliki inti kayu ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi bayangannya adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan?’”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena, Yang Mulia, akar, batang, dahan-dahan, dan dedaunan dari pohon besar yang memiliki inti kayu ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, maka bayangannya juga pasti tidak kekal dan tunduk pada perubahan.”

“Demikian pula, Saudari-saudari, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Enam landasan eksternal ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang dialami seseorang dengan bergantung pada enam landasan eksternal ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan?’”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena masing-masing perasaan muncul dengan bergantung pada kondisinya yang bersesuaian, dan dengan lenyapnya kondisi yang bersesuaian itu, maka lenyap pula perasaan.”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

11. “Saudari-saudari, misalkan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi dan memotongnya dengan pisau daging yang tajam. Tanpa merusak daging bagian dalamnya dan tanpa merusak kulit luarnya, ia membelah, memotong, dan mencincang urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi dengan pisau daging yang tajam. [275] Kemudian setelah membelah, memotong, dan mencincang semua itu, ia menguliti kulit luarnya dan menutupnya lagi dengan kulit yang sama. apakah ia mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya?’”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi [ ][ ]dan membelah, memotong, dan mencincang semua itu, bahkan jika ia menutupnya lagi dengan kulit yang sama dan berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya,’ namun sapi itu tetap terlepas dari kulit itu.”

12. “Saudari-saudari, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. Berikut ini adalah maknanya: ‘Daging bagian dalam’ adalah sebutan untuk enam landasan internal. ‘Kulit luar’ adalah sebutan untuk enam landasan eksternal. ‘Urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi’ adalah sebutan untuk kesenangan dan nafsu. ‘Pisau daging yang tajam’ adalah sebutan untuk kebijaksanaan muliakebijaksanaan mulia yang membelah, memotong, dan mencincang kekotoran-kekotoran bagian dalam, belenggu-belenggu, dan ikatan-ikatan.

13. “Saudari-saudari, ada tujuh faktor pencerahan ini [ ]yang melalui pengembangan dan pelatihannya, seorang bhikkhu, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Apakah tujuh ini? Di sini, Saudari-saudari, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ini adalah tujuh faktor pencerahan yang melalui pengembangan dan pelatihannya, seorang bhikkhu, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.” [276]

14. Ketika Yang Mulia Nandaka telah memberikan nasihat kepada para bhikkhunī seperti itu, ia membubarkan mereka, dengan berkata: “Pergilah, Saudari-saudari, sudah waktunya.” Kemudian para bhikkhunī, dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Nandaka, pergi dengan Yang Mulia Nandaka tetap di sisi kanan mereka. Mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi. Sang Bhagavā memberi tahu mereka: “Pergilah, Saudari-saudari, sudah waktunya.” Kemudian para bhikkhunī itu bersujud kepada Sang Bhagavā dan pergi dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

15. Segera setelah mereka pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, seperti halnya pada hari Uposatha tanggal empat belas orang-orang tidak ragu atau bingung sehubungan dengan apakah bulan penuh atau tidak, karena bulan jelas tidak penuh, demikian pula, para bhikkhunī itu puas dengan ajaran Dhamma dari Nandaka, tetapi kehendak mereka masih belum terpenuhi.”

16-26. “Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Baiklah, Nandaka, besok engkau juga harus memberikan nasihat kepada para bhikkhunī itu dengan cara yang persis sama.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Nandaka menjawab. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Nandaka merapikan jubah … (ulangi kata demi kata §§4-14 di atas, hingga) [277] … Kemudian para bhikkhunī itu bersujud kepada Sang Bhagavā dan pergi dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

27. Segera setelah mereka pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, seperti halnya pada hari Uposatha tanggal lima belas orang-orang tidak ragu atau bingung sehubungan dengan apakah bulan penuh atau tidak, karena bulan jelas penuh, demikian pula, para bhikkhunī itu puas dengan ajaran Dhamma dari Nandaka, tetapi kehendak mereka telah belum terpenuhi. Para bhikkhu, bahkan yang paling tidak maju di antara kelima ratus bhikkhunī itu adalah seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam sengsara, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #78 on: 24 February 2011, 09:53:08 PM »
147  Cūḷarāhulovāda Sutta
Khotbah Pendek
Nasihat kepada Rāhula


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, sewaktu Sang Bhagavā sedang sendirian dalam meditasi, sebuah pemikiran muncul pada Beliau sebagai berikut: “Kondisi-kondisi yang matang dalam kebebasan telah muncul dalam diri Rāhula. [ ]Bagaimana jika Aku menuntunnya lebih jauh menuju hancurnya noda-noda.”

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau berkata kepada Yang Mulia Rāhula sebagai berikut:

“Bawalah alas dudukmu, Rāhula; mari kita pergi ke Hutan Orang Buta [278] untuk melewatkan hari.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Rāhula menjawab, dan dengan membawa alas duduknya, ia mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

Pada saat itu, ribuan para dewa mengikuti Sang Bhagavā, dengan berpikir: “Hari ini Sang Bhagavā akan menuntun Yang Mulia Rāhula lebih jauh menuju hancurnya noda-noda.”

Kemudian Sang Bhagavā memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon di atas tempat duduk yang telah dipersiapkan. Dan Yang Mulia Rāhula bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Rāhula:

3. “Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia.”

“Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah bentuk-bentuk … Apakah kesadaran-mata … [279] … Apakah kontak-mata … Apakah segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia.”

4-8. “Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah telinga adalah kekal atau tidak kekal?[ ]… Apakah hidung adalah kekal atau tidak kekal … Apakah lidah adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah badan adalah kekal atau tidak kekal?… Apakah pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah objek-objek pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kontak-pikiran adalah kekal atau tidak kekal … Apakah segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak pikiran sebagai kondisinya adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia.”

9. “Dengan melihat demikian, Rāhula, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan mata, kecewa dengan bentuk-bentuk, kecewa dengan kesadaran-mata, kecewa dengan kontak-mata, dan kecewa dengan segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.

“Ia menjadi kecewa dengan telinga ... Ia menjadi kecewa dengan hidung … Ia menjadi kecewa dengan lidah … Ia menjadi kecewa dengan badan … Ia menjadi kecewa dengan pikiran, kecewa dengan objek-objek pikiran, kecewa dengan kesadaran-pikiran, kecewa dengan kontak-pikiran, [280] dan kecewa dengan segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisinya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Sewaktu khotbah ini sedang dibabarkan, batin Rāhula terbebas dari noda-noda. Dan pada ribuan para dewa itu muncul penglihatan Dhamma yang bersih tanpa noda: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #79 on: 24 February 2011, 10:31:55 PM »
148  Chachakka Sutta
Enam Kelompok Enam


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Aku akan mengungkapkan kehidupan suci yang sungguh murni dan sempurna, [ ]yaitu, enam kelompok enam. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(RINGKASAN)

3. “Enam landasan internal harus dipahami. Enam landasan eksternal harus dipahami. Enam kelompok kesadaran harus dipahami. Enam kelompok kontak harus dipahami. Enam kelompok perasaan harus dipahami. Enam kelompok keinginan harus dipahami.

(PENGURAIAN)

4. (i) “‘Enam landasan internal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, landasan-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Enam landasan internal harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam pertama. [281]

5. (ii) “‘Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-bentuk, landasan-suara, landasan-bau, landasan-rasa kecapan, landasan-objek sentuhan, landasan-objek pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke dua.

6. (iii) “‘Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke tiga.

7 (iv) “‘Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke empat.

8. (v) “‘Enam kelompok perasaan harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok perasaan harus dipahami.’ [282] Ini adalah kelompok enam ke lima.

9. (vi) “‘Enam kelompok keinginan harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. [ ]Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga … dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung … dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah … dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan … dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok keinginan harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke enam.

(DEMONSTRASI BUKAN DIRI)
 
10. (i) “Jika seseorang mengatakan, ‘Mata adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. [ ]Timbul dan tenggelamnya mata adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya mata adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Mata adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Bentuk-bentuk adalah diri’ [ ]… Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Bentuk-bentuk adalah diri.’ Dengan demikian bentuk-bentuk adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Kesadaran-mata adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Kesadaran-mata adalah diri.’ Dengan demikian kesadaran-mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Kontak-mata adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Kontak-mata adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Perasaan adalah diri’ [283] … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Perasaan adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

11. (ii) “Jika seseorang mengatakan, ‘Telinga adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya telinga adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya telinga adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Telinga adalah diri.’ Dengan demikian telinga adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Suara-suara adalah diri’ … ‘Kesadaran-telinga adalah diri’ … ‘Kontak-telinga adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian telinga adalah bukan diri, suara-suara adalah bukan diri, kesadaran-telinga adalah bukan diri, kontak-telinga adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

12. (iii) “Jika seseorang mengatakan, ‘Hidung adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya hidung adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya hidung adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Hidung adalah diri.’ Dengan demikian hidung adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Bau-bauan adalah diri’ … ‘Kesadaran-hidung adalah diri’ … ‘Kontak-hidung adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian hidung adalah bukan diri, bau-bauan adalah bukan diri, kesadaran-hidung adalah bukan diri, kontak-hidung adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

13. (iv) “Jika seseorang mengatakan, ‘Lidah adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya lidah adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya lidah adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Lidah adalah diri.’ Dengan demikian lidah adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Rasa kecapan adalah diri’ … ‘Kesadaran-lidah adalah diri’ … ‘Kontak-lidah adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian lidah adalah bukan diri, rasa-kecapan adalah bukan diri, kesadaran-lidah adalah bukan diri, kontak-lidah adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

14. (v) “Jika seseorang mengatakan, ‘Badan adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya badan adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya badan adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Badan adalah diri.’ Dengan demikian badan adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Objek-objek sentuhan adalah diri’ … ‘Kesadaran-badan adalah diri’ … ‘Kontak-badan adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian badan adalah bukan diri, objek-objek sentuhan adalah bukan diri, kesadaran-badan adalah bukan diri, kontak-badan adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

15. (vi) “Jika seseorang mengatakan, ‘Pikiran adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya pikiran adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya pikiran adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Pikiran adalah diri.’ Dengan demikian pikiran adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Objek-objek pikiran adalah diri’ … ‘Kesadaran-pikiran adalah diri’ … ‘Kontak-pikiran adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … [284] … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian pikiran adalah bukan diri, objek-objek pikiran adalah bukan diri, kesadaran-pikiran adalah bukan diri, kontak-pikiran adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

-----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #80 on: 24 February 2011, 11:08:44 PM »
Lanjutan 148  Chachakka Sutta
----------------------------------------

(ASAL-MULA IDENTITAS)

16. “Sekarang, Para bhikkhu, ini adalah jalan menuju asal-mula identitas.[ ] (i) Seseorang menganggap mata sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap bentuk-bentuk sebagai berikut … Ia menganggap kesadaran-mata sebagai berikut … Ia menganggap kontak-mata sebagai berikut … Ia menganggap perasaan sebagai berikut … Ia menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

17-21. (ii-vi) “Seseorang menganggap telinga sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap hidung sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap lidah sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap badan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Seseorang menganggap pikiran sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Seseorang menganggap objek-objek pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap kesadaran-pikiran … Seseorang menganggap kontak-pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap perasaan sebagai berikut … Seseorang menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

(LENYAPNYA IDENTITAS)

22. “Sekarang, Para bhikkhu, ini adalah jalan menuju lenyapnya identitas.[ ] (i) Seseorang menganggap mata sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap bentuk-bentuk sebagai berikut … Ia menganggap kesadaran-mata sebagai berikut … Ia menganggap kontak-mata sebagai berikut … Ia menganggap perasaan sebagai berikut … Ia menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini [ ]bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

23-27. (ii-vi) “Seseorang menganggap telinga sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap hidung sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap lidah sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap badan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Seseorang menganggap pikiran sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Seseorang menganggap objek-objek pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap kesadaran-pikiran … Seseorang menganggap kontak-pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap perasaan [285] sebagai berikut … Seseorang menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

(KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

28. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, [ ]kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia menyenanginya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia berdukacita, bersedih dan meratap, menangis dengan memukul dada dan menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada kebencian berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia tidak memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, tanpa menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian terhadap perasaan menyakitkan, tanpa membasmi kecenderungan tersembunyi pada kebodohan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, tanpa meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah tidak mungkin.

29-33. (ii-vi) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, kesadaran-telinga muncul … Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, kesadaran-pikiran muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan ... Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan … tanpa meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah tidak mungkin. [286]

(DITINGGALKANNYA KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

34. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia tidak menyenanginya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia tidak berdukacita, tidak bersedih dan tidak meratap, tidak menangis dengan memukul dada dan tidak menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan dengan meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, dengan menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian terhadap perasaan menyakitkan, dengan membasmi kecenderungan tersembunyi pada kebodohan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah mungkin.

35-39. (ii-vi) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, kesadaran-telinga muncul … Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, kesadaran-pikiran muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan ... Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan dengan meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan … dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah mungkin.

(PEMBEBASAN)

40. “Dengan melihat demikian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan mata, kecewa dengan bentuk-bentuk, kecewa dengan kesadaran-mata, kecewa dengan kontak-mata, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan keinginan.

“Ia menjadi kecewa dengan telinga … Ia menjadi kecewa dengan hidung … Ia menjadi kecewa dengan lidah … Ia menjadi kecewa dengan badan … Ia menjadi kecewa dengan pikiran, kecewa dengan objek-objek pikiran, kecewa dengan kesadaran-pikiran, kecewa dengan kontak-pikiran, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan keinginan.

41. “Karena kecewa, [287] ia menjadi bosan, melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Ketika khotbah ini sedang dibabarkan, melalui ketidakmelekatan, batin enam puluh bhikkhu terbebaskan dari noda-noda.

ko indra, urutan perasaannya:
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan
atau
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ya?

kadang menyakitkan dulu, baru menyenangkan.. kdg menyenangkan dulu, baru menyakitkan..
perlu diselaraskan?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #81 on: 25 February 2011, 12:23:31 PM »
149  Mahāsaḷāyatanika Sutta
Enam Landasan Besar


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan membabarkan khotbah kepada kalian tentang enam landasan besar. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat mata sebagaimana adanya, [ ]ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat bentuk-bentuk sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat kesadaran-mata sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat kontak-mata sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya sebagaimana adanya, maka ia terbakar oleh nafsu pada mata, pada bentuk-bentuk, pada kesadaran-mata, pada kontak-mata, pada [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.

“Ketika ia berdiam dengan terbakar oleh nafsu, terbelenggu, tergila-gila, merenungkan kepuasan, maka kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan dibangun untuknya di masa depan; [ ]dan keinginannyayang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan kesenangan pada ini dan itumeningkat. Gangguan pada jasmani dan batinnya meningkat, siksaan pada jasmani dan batinnya meningkat, demam pada jasmani dan batinnya meningkat, dan ia mengalami penderitaan jasmani dan batin.

4-8. “Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat telinga sebagaimana adanya … Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat hidung sebagaimana adanya … Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat lidah sebagaimana adanya … Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat badan sebagaimana adanya … Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat pikiran sebagaimana adanya … ia mengalami penderitaan jasmani dan batin.

9. “Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui dan melihat mata sebagaimana adanya, [ ]ketika seseorang mengetahui dan melihat bentuk-bentuk sebagaimana adanya, ketika seseorang mengetahui dan melihat kesadaran-mata sebagaimana adanya, ketika seseorang mengetahui dan melihat kontak-mata sebagaimana adanya, ketika seseorang mengetahui dan melihat [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya sebagaimana adanya, maka ia tidak terbakar oleh nafsu pada mata, pada bentuk-bentuk, pada kesadaran-mata, pada kontak-mata, pada [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.

“Ketika ia berdiam dengan tidak terbakar oleh nafsu, tidak terbelenggu, tidak tergila-gila, merenungkan bahaya, maka kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan berkurang baginya di masa depan; dan keinginannyayang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan kesenangan pada ini dan ituditinggalkan. Gangguan pada jasmani dan batinnya ditinggalkan, siksaan pada jasmani dan batinnya ditinggalkan, demam pada jasmani dan batinnya ditinggalkan, [289] dan ia mengalami kenikmatan jasmani dan batin.

10. “Pandangan seseorang yang seperti ini adalah pandangan benar. Kehendaknya adalah kehendak benar, usahanya adalah usaha benar, perhatiannya adalah perhatian benar, konsentrasinya adalah konsentrasi benar. Perbuatan jasmaninya, ucapannya, dan penghidupannya telah dimurnikan sebelumnya. [ ]Dengan demikian Jalan Mulia Berunsur Delapan menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan. Ketika ia mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, maka empat landasan perhatian juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; empat jenis usaha benar juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; empat landasan kekuatan batin juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; lima indria juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; lima kekuatan juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; tujuh faktor pencerahan juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan. Kedua hal iniketenangan dan pandangan terangmuncul dalam dirinya berpasangan dengan seimbang. [ ]Ia sepenuhnya memahami melalui pengetahuan langsung hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung. Ia meninggalkan melalui pengetahuan langsung hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung. Ia mengembangkan melalui pengetahuan langsung hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung. Ia menembus melalui pengetahuan langsung hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

11. “Dan apakah hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung? Jawabannya adalah: kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, yaitu, kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ini adalah hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung.

“Dan apakah hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung? Kebodohan dan keinginan akan penjelmaan. Ini adalah hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung.

“Dan apakah hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung? Ketenangan dan pandangan terang. [ ]Ini adalah hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung. [290]

“Dan apakah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung? Pengetahuan sejati dan kebebasan. [ ]Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

12-14. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat telinga sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

15-17. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat hidung sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

18-20. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat lidah sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

21-23. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat badan sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

24-26. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat pikiran sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #82 on: 25 February 2011, 12:30:01 PM »

ko indra, urutan perasaannya:
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan
atau
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ya?

kadang menyakitkan dulu, baru menyenangkan.. kdg menyenangkan dulu, baru menyakitkan..
perlu diselaraskan?


ini harus ditanyakan kepada penyusun Nikaya, bukan saya yg membuat urutan itu

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #83 on: 25 February 2011, 12:45:45 PM »
150  Nagaravindeyya Sutta
Kepada Penduduk Nagaravinda


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya sampai di sebuah desa Kosala bernama Nagaravinda.

2. Para brahmana perumah tangga dari Nagaravinda mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu [291] dan telah sampai di Nagaravinda. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna … (seperti Sutta 41, §2) … Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Nagaravinda pergi menemui Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

4. “Para perumah tangga, jika para pengembara sekte lain menanyakan kepada kalian sebagai berikut: ‘Para perumah tangga, petapa dan brahmana seperti apakah yang seharusnya tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan?’ maka kalian harus menjawab: ‘Para petapa dan brahmana yang belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang tidak damai dalam batin, dan yang perilakunya dalam jasmani, ucapan, dan pikiran kadang-kadang baik dan kadang-kadang burukpetapa dan brahmana demikian seharusnya tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Mengapakah? Karena kami sendiri belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, kami tidak damai dalam batin, dan perilaku kami dalam jasmani, ucapan, dan pikiran kadang-kadang baik dan kadang-kadang buruk. Karena kami tidak melihat adanya perilaku baik yang lebih tinggi di pihak para petapa dan brahmana baik itu, maka mereka seharusnya tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

“‘Para petapa dan brahmana yang belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga … sehubungan dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … sehubungan dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … sehubungan dengan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran, yang tidak damai dalam batin, dan yang perilakunya dalam jasmani, ucapan, dan pikiran kadang-kadang baik dan kadang-kadang buruk … seharusnya tidak dihormati … [292] … Karena kami tidak melihat adanya perilaku baik yang lebih tinggi di pihak para petapa dan brahmana baik itu, maka mereka seharusnya tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.’ Jika ditanya demikian, Para perumah tangga, maka kalian harus menjawab seperti ini.

5. “Tetapi, Para perumah tangga, jika para pengembara sekte lain menanyakan kepada kalian sebagai berikut: ‘Para perumah tangga, petapa dan brahmana seperti apakah yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan?’ maka kalian harus menjawab: ‘Para petapa dan brahmana yang terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang damai dalam batin, dan yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiranpetapa dan brahmana demikian seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena kami melihat adanya perilaku baik yang lebih tinggi di pihak para petapa dan brahmana baik itu, maka mereka seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

“‘Para petapa dan brahmana yang terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga … sehubungan dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … sehubungan dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … sehubungan dengan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran, yang damai dalam batin, dan yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran … seharusnya dihormati … Karena kami melihat adanya perilaku baik yang lebih tinggi di pihak para petapa dan brahmana baik itu, maka mereka seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.’ Jika ditanya demikian, Para perumah tangga, maka kalian harus menjawab seperti ini.

6. “Para perumah tangga, jika para pengembara sekte lain menanyakan kepada kalian sebagai berikut: ‘Tetapi apakah alasan kalian dan apakah bukti kalian sehubungan dengan para mulia itu yang karenanya kalian mengatakan tentang mereka: “Pasti para mulia ini [293] telah terbebas dari nafsu atau sedang berlatih untuk melenyapkan nafsu; mereka telah terbebas dari kebencian atau sedang berlatih untuk melenyapkan kebencian; mereka telah terbebas dari kebodohan atau sedang berlatih untuk melenyapkan kebodohan?”’—Jika ditanya demikian, kalian harus menjawab para pengembara itu sebagai berikut: ‘Adalah karena para mulia itu bertempat tinggal di hutan-hutan belantara yang terpencil. Karena tidak ada bentuk-bentuk yang dapat dikenali oleh mata dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka lihat. Karena tidak ada suara-suara yang dapat dikenali oleh telinga dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka dengar. Karena tidak ada rasa kecapanbau-bauan yang dapat dikenali oleh hidung dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka cium. Karena tidak ada rasa kecapan yang dapat dikenali oleh lidah dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka kecap. Karena tidak ada objek-objek sentuhan yang dapat dikenali oleh badan dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka sentuh. Ini adalah alasan kami, Sahabat-sahabat, ini adalah bukti kami yang karenanya kami mengatakan tentang para mulia itu: “Pasti para mulia ini telah terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan atau sedang berlatih untuk melenyapkannya.”’ Jika ditanya demikian, Para perumah tangga, maka kalian harus menjawab seperti ini.”

7. Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah tangga dari Nagaravinda berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Kami berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerima kami sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #84 on: 25 February 2011, 01:01:39 PM »
ini harus ditanyakan kepada penyusun Nikaya, bukan saya yg membuat urutan itu

ko, boleh minta english nya utk frasa yg font merah ini?

Lanjutan 148  Chachakka Sutta
----------------------------------------

(KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

28. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, [ ]kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia menyenanginya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia berdukacita, bersedih dan meratap, menangis dengan memukul dada dan menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada kebencian berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia tidak memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, tanpa menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian terhadap perasaan menyakitkan, tanpa membasmi kecenderungan tersembunyi pada kebodohan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, tanpa meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah tidak mungkin.

149  Mahāsaḷāyatanika Sutta
Enam Landasan Besar

3. “Para bhikkhu, ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat mata sebagaimana adanya, [ ]ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat bentuk-bentuk sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat kesadaran-mata sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat kontak-mata sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya sebagaimana adanya, maka ia terbakar oleh nafsu pada mata, pada bentuk-bentuk, pada kesadaran-mata, pada kontak-mata, pada [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #85 on: 25 February 2011, 01:24:05 PM »
151  Piṇḍapātapārisuddhi Sutta
Pemurnian Dana Makanan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: [294]

2. “Sāriputta, indria-indriamu jernih. Warna kulitmu bersih dan cerah. Kediaman apakah yang sering engkau diami sekarang, Sāriputta?”

“Sekarang, Yang Mulia, aku sering berdiam dalam kekosongan.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Sekarang, sesungguhnya, engkau sering berdiam dalam kediaman seorang manusia besar. Karena ini adalah kediaman seorang manusia besar, yaitu, kekosongan.

3. “Maka, Sāriputta, jika seorang bhikkhu berkehendak: ‘Semoga sekarang aku sering berdiam dalam kekosongan,’ ia harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan, atau di tempat-tempat di mana aku berkeliling menerima dana makanan, atau di jalan di mana aku kembali dari perjalanan menerima dana makanan, adakah keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata?’ [ ]Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan, atau di tempat-tempat di mana aku berkeliling menerima dana makanan, atau di jalan di mana aku kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ada keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan, atau di tempat-tempat di mana aku berkeliling menerima dana makanan, atau di jalan di mana aku kembali dari perjalanan menerima dana makanan, tidak ada keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

4-8. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan, atau di tempat-tempat di mana aku berkeliling menerima dana makanan, atau di jalan di mana aku kembali dari perjalanan menerima dana makanan, adakah keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga? … sehubungan dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung? … sehubungan dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah? … sehubungan dengan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan? … sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran? [295] Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan … ada keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan … tidak ada keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

9. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku?’ [ ]Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima utas kenikmatan indria belum ditinggalkan dari dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kelima utas kenikmatan indria itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

10. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah kelima rintangan telah ditinggalkan dari dalam diriku?’ Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima rintangan belum ditinggalkan dari dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kelima rintangan itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima rintangan telah ditinggalkan dari dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

11. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan telah sepenuhnya dipahami olehku?’ Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan belum sepenuhnya dipahami olehku,’ maka ia harus berusaha untuk sepenuhnya memahami kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, [296] ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan telah sepenuhnya dipahami olehku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

12. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah keempat landasan perhatian telah terkembang dalam diriku?’ Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Keempat landasan perhatian belum terkembang dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk mengembangkan keempat landasan perhatian itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Keempat landasan perhatian telah terkembang dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

13-19. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah keempat jenis usaha benar telah terkembang dalam diriku? … Apakah keempat landasan kekuatan batin telah terkembang dalam diriku? … Apakah kelima indria telah terkembang dalam diriku? … Apakah kelima kekuatan telah terkembang dalam diriku? … Apakah ketujuh faktor pencerahan telah terkembang dalam diriku? … Apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan telah terkembang dalam diriku? [297] … Apakah ketenangan dan pandangan terang telah terkembang dalam diriku? Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Ketenangan dan pandangan terang belum terkembang dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk mengembangkannya. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Ketenangan dan pandangan terang telah terkembang dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

20. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah pengetahuan sejati dan kebebasan telah ditembus olehku?’ Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Pengetahuan sejati dan kebebasan belum ditembus olehku,’ maka ia harus berusaha untuk menembus pengetahuan sejati dan kebebasan. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Pengetahuan sejati dan kebebasan telah ditembus olehku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

21. “Sāriputta, petapa dan brahmana mana pun di masa lampau yang telah memurnikan dana makanan mereka semuanya telah melakukan hal itu dengan berulang-ulang merenungkan demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan memurnikan dana makanan mereka semuanya akan melakukan hal itu dengan berulang-ulang merenungkan demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang yang memurnikan dana makanan mereka semuanya melakukan hal itu dengan berulang-ulang merenungkan demikian.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Sāriputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #86 on: 25 February 2011, 01:31:25 PM »
[ko indra, urutan perasaannya:
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan
atau
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ya?

kadang menyakitkan dulu, baru menyenangkan.. kdg menyenangkan dulu, baru menyakitkan..
perlu diselaraskan?

[/quote]

menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan

Offline Hendra Susanto

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #87 on: 25 February 2011, 02:38:52 PM »
Yumi highlight yg membingungkan itu. Nanti saya cek source textnya, ntah uda dikirim atau belum. Om uda kirim belum ya?
« Last Edit: 25 February 2011, 02:41:50 PM by Hendra Susanto »

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #88 on: 25 February 2011, 04:10:22 PM »
mungkin lebih baik editingnya tidak ke esensi isi dari katanya, lebih baik hanya ke struktur saja. Karena perubahan penggunaan kata bisa jadi malahan merubah/makin jauh dair aslinya.
There is no place like 127.0.0.1

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #89 on: 25 February 2011, 11:07:15 PM »
152  Indriyabhāvanā Sutta
Pengembangan Indria-Indria


[298] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kajangalā di hutan pepohonan mukhelu.

2. Kemudian murid brahmana Uttara, siswa dari Brahmana Pārāsariya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Uttara, apakah Brahmana Pārāsariya mengajarkan pengembangan indria-indria kepada para siswanya?”

“Benar, Guru Gotama.”

“Tetapi, Uttara, bagaimanakah ia mengajarkan pengembangan indria-indria kepada para siswanya?”

“Di sini, Guru Gotama, seseorang tidak melihat bentuk-bentuk dengan mata, ia tidak mendengar suara-suara dengan telinga. Demikianlah Brahmana Pārāsariya mengajarkan pengembangan indria-indria kepada para siswanya.”

“Kalau begitu, Uttara, maka orang buta dan orang tuli memiliki indria-indria terkembang, menurut apa yang dikatakan oleh Brahmana Pārāsariya. Karena orang buta tidak melihat bentuk-bentuk dengan mata, dan orang tuli tidak mendengar suara-suara dengan telinga.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Uttara, siswa Pārāsariya, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram, dan tidak menjawab.

3. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, Brahmana Pārāsariya mengajarkan pengembangan indria-indria kepada para siswanya dalam satu cara, tetapi dalam Disiplin Para Mulia, pengembangan indria-indria yang tertinggi adalah bukan seperti itu.”

“Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā [299] untuk mengajarkan Dhamma. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Sekarang, Ānanda, bagaimanakah pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia? Di sini, Ānanda, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. [ ]Ia memahami sebagai berikut: ‘Di sana telah muncul padaku apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Tetapi hal itu adalah terkondisi, kasar, muncul bergantungan; ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, keseimbangan.’ Apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dalam dirinya dan keseimbangan ditegakkan. [ ]Seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, setelah membuka matanya seketika menutupnya kembali atau setelah menutup matanya seketika membukanya kembali, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata.

5. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu mendengar suatu suara dengan telinga, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya seorang kuat dapat dengan mudah menjentikkan jarinya, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga.

6. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu mencium suatu bau dengan hidung, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya [300] tetesan air di atas daun teratai yang miring akan bergulir turun dan tidak berdiam di sana, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung.

7. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya seorang kuat dapat dengan mudah meludahkan gumpalan ludah yang terkumpul di ujung lidahnya, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah.

8. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya seorang kuat dapat dengan mudah merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan.

9. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya seseorang menjatuhkan setetes atau dua tetes air ke atas sebuah piringan besi yang telah dipanaskan sepanjang hari, jatuhnya tetesan air mungkin lambat, tetapi air itu akan dengan cepat menguap dan lenyap, [ ]demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran.

“Itu adalah bagaimana pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia.

10. “Dan bagaimanakah, Ānanda, seseorang adalah seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, seorang yang telah memasuki sang jalan? Di sini, Ānanda, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata … [301] mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu bau dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan; ia muak, malu, dan jijik dengan apa yang menyenangkan yang muncul, dengan apa yang tidak menyenangkan yang muncul, dan dengan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul. [ ]Itu adalah bagaimana seseorang adalah seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, seorang yang telah memasuki sang jalan.

11-16. “Dan bagaimanakah, Ānanda, seseorang adalah seorang mulia dengan indria-indria terkembang?  Di sini, Ānanda, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata … mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu bau dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. [ ]Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku berdiam dengan mempersepsikan ketidakjijikan dalam kejijikan,’ maka ia berdiam dengan mempersepsikan ketidakjijikan dalam kejijikan. Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam ketidakjijikan,’ maka ia berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam ketidakjijikan. Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku berdiam dengan mempersepsikan ketidakjijikan dalam kejijikan dan ketidakjijikan,’ maka ia berdiam dengan mempersepsikan ketidakjijikan dalam hal itu. Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam ketidakjijikan dan kejijikan,’ maka ia berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam hal itu. Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku, dengan menghindari kejijikan dan ketidakjijikan, [302] berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan,’ maka ia berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan. [ ]Itu adalah bagaimana seseorang adalah seorang mulia dengan indria-indria terkembang.

17. “Demikianlah, Ānanda, pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia telah diajarkan oleh-Ku, siswa dalam latihan yang lebih tinggi yang telah memasuki sang jalan telah diajarkan oleh-Ku, dan seorang mulia dengan indria-indria terkembang telah diajarkan oleh-Ku.

18. “Apa yang harus dilakukan untuk para siswa-Nya demi belas kasih seorang guru yang mengutamakan kesejahteraan mereka dan memiliki belas kasihan pada mereka, telah Aku lakukan untukmu, Ānanda. Ada bawah pohon ini, gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Ānanda, jangan menunda atau engkau akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~