//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)  (Read 29410 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #60 on: 21 February 2011, 08:32:58 PM »
133  Mahākaccānabhaddekaratta Sutta
Mahā Kaccāna dan
Satu Malam Keramat

[192] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Taman Mata Air Panas. Kemudian, menjelang fajar, Yang Mulia Samiddhi pergi ke mata air panas untuk mandi. Setelah mandi, ia keluar dari air dan berdiri dengan mengenakan satu jubah, mengeringkan tubuhnya. Kemudian, ketika malam hampir berlalu, sesosok dewa berpenampilan indah yang menerangi seluruh Mata Air Panas itu, mendekati Yang Mulia Samiddhi. Sambil berdiri di satu sisi, dewa itu berkata:

2. “Bhikkhu, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Teman, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Bhikkhu, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Teman, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Bhikkhu, pelajarilah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, kuasailah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, hafalkanlah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ adalah bermanfaat, dan merupakan dasar-dasar kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa itu, yang setelah itu lenyap seketika.

3. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Samiddhi mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, [193] menceritakan kepada Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi, dan berkata: “Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan kepadaku ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’.

4. “Kalau begitu, Bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Samiddhi menjawab. Sang Bhagavā berkata:

5.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu
   Atau membangun harapan di masa depan;
   Karena masa lalu telah ditinggalkan
   Dan masa depan belum dicapai.
   Melainkan lihatlah dengan pandangan terang
   Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;
   Ketahuilah dan yakinlah,
   Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.
   Saat ini usaha harus dilakukan;
   Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu?
   Tidak ada tawar-menawar dengan Mortalitas
   Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya,
   Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun,
   Tanpa mengendur, siang dan malam
   Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang bijaksana damai,
   Yang telah melewati satu malam keramat.

6. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan itu, Yang Sempurna bangkit dari duduk-Nya dan masuk ke dalam kediaman-Nya.

7. [ ]Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir: [ ]“Sekarang, Teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari duduk-Nya dan masuk ke dalam kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” [194] Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

8. Kemudian para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan memberitahunya tentang apa yang telah terjadi, dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya kepada kami.”

9. [Yang Mulia Mahā Kaccāna menjawab:] “Teman-teman, ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, [195] berpikir bahwa inti kayu harus dicari di antara dahan dan dedaunan dari sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, setelah ia melewatkan akar dan batang. Dan demikian pula dengan kalian, Para mulia, bahwa kalian berpikir bahwa aku dapat ditanya tentang makna dari hal ini, setelah kalian melewati Sang Bhagavā ketika kalian berhadapan dengan Sang Guru. Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā tahu; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan, Beliau adalah pengetahuan, Beliau adalah Dhamma, Beliau adalah yang suci; Beliau adalah yang mengucapkan, yang menyatakan, pembabar makna, pemberi Keabadian, Raja Dhamma, Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kalian seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

10. “Tentu saja, Teman Kaccāna, dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā mengetahui; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan … Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kami seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kami harus mengingatnya. Namun Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Yang Mulia Mahā Kaccāna mampu menjelaskan makna secara terperinci dari ringkasan singkat yang diberikan oleh Sang Bhagavā tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya tanpa menganggapnya merepotkan.”

11. “Maka dengarkanlah, Teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan kusampaikan.”“Baiklah, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

12. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu:

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
   Yang telah melewati satu malam keramat.
 
Aku memahami maknanya secara terperinci sebagai berikut:

13. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang menghidupkan kembali masa lalu? [196] Kesadarannya menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, Mataku adalah seperti demikian di masa lalu dan bentuk-bentuk adalah seperti demikian.’ [ ]Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia menghidupkan kembali masa lalu.

“Kesadarannya menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, ‘Telingaku adalah seperti demikian di masa lalu dan suara-suara adalah seperti demikian … Hidungku dan bau-bauan … Lidahku dan rasa kecapan … Badanku dan objek-objek sentuhan … Pikiranku adalah seperti demikian di masa lalu dan objek-objek pikiran adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia menghidupkan kembali masa lalu. Itu adalah bagaimana seseorang menghidupkan kembali masa lalu.

14. “Bagaimanakah seseorang tidak menghidupkan kembali masa lalu? Kesadarannya tidak menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, Mataku adalah seperti demikian di masa lalu dan bentuk-bentuk adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak menghidupkan kembali masa lalu.

“Kesadarannya tidak menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, Telingaku adalah seperti demikian di masa lalu dan suara-suara adalah seperti demikian … Hidungku dan bau-bauan … Lidahku dan rasa kecapan … Badanku dan objek-objek sentuhan … Pikiranku adalah seperti demikian di masa lalu dan objek-objek pikiran adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak menghidupkan kembali masa lalu.

15. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang membangun harapan di masa depan? Seseorang berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga mataku seperti demikian di masa depan dan bentuk-bentuk seperti demikian!’ Karena ia berkeinginan demikian, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia membangun harapan di masa depan.

“Seseorang berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga telingaku seperti demikian di masa depan dan suara-suara seperti demikian ... Semoga hidungku dan bau-bauan ... Semoga lidahku dan rasa kecapan ... Semoga badanku dan objek-objek sentuhan ... Semoga pikiranku seperti demikian di masa depan dan [197] objek-objek pikiran seperti demikian!’ Karena ia berkeinginan demikian, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia membangun harapan di masa depan.

16. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang tidak membangun harapan di masa depan? Seseorang tidak berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga mataku seperti demikian di masa depan dan bentuk-bentuk seperti demikian!’ Karena ia tidak berkeinginan demikian, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak membangun harapan di masa depan.

“Seseorang tidak berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga telingaku seperti demikian di masa depan dan suara-suara seperti demikian ... Semoga hidungku dan bau-bauan ... Semoga lidahku dan rasa kecapan ... Semoga badanku dan objek-objek sentuhan ... Semoga pikiranku seperti demikian di masa depan dan objek-objek pikiran seperti demikian!’ Karena ia tidak berkeinginan demikian, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak membangun harapan di masa depan.

17. “Bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Sehubungan dengan mata dan bentuk-bentuk yang muncul saat ini, kesadaran seseorang terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

“Sehubungan dengan telinga dan suara-suara yang muncul saat ini ... hidung dan bau-bauan ... lidah dan rasa kecapan ... badan dan objek-objek sentuhan ... pikiran dan objek-objek pikiran yang muncul saat ini, kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini. Itu adalah bagaimana seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

18. “Bagaimanakah, seseorang tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Sehubungan dengan mata dan bentuk-bentuk yang muncul saat ini, kesadaran seseorang tidak terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

“Sehubungan dengan telinga dan suara-suara yang muncul saat ini ... hidung dan bau-bauan ... lidah dan rasa kecapan ... badan dan objek-objek sentuhan ... pikiran dan objek-objek pikiran yang muncul saat ini, kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini. Itu adalah bagaimana seseorang tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

19. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu:

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
   Yang telah melewati satu malam keramat.
 
Aku memahami maknanya secara terperinci seperti demikian. Sekarang, Teman-teman, jika kalian menghendaki, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau tentang makna ini. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

20. Kemudian para bhikkhu, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dengan menambahkan: [199] “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan bertanya kepadanya tentang makna ini. Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

21. “Mahā Kaccāna bijaksana, Para Bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian bertanya kepada-Ku tentang makna ini, maka Aku akan menjelaskannya kepada kalian dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Mahā Kaccāna. Demikianlah maknanya, dan demikianlah kalian harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #61 on: 21 February 2011, 08:57:22 PM »
134  Lomasakangiyabhaddekaratta Sutta
Lomasakangiya dan
Satu Malam Keramat


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu, Yang Mulia Lomasakangiya sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian, pada larut malam, Candana, dewa muda berpenampilan indah yang menerangi seluruh Taman Nigrodha, mendekati Yang Mulia Lomasakangiya. Sambil berdiri di satu sisi, Candana si dewa muda berkata kepadanya:

“Bhikkhu, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?” [200]

“Teman, aku tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Teman, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Bhikkhu, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Teman, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’.

“Tetapi, Teman, bagaimanakah syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ yang engkau ingat?”

“Bhikkhu, suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, di atas batu pualam merah di bawah pohon Pāricchattaka. [ ]Di sana Sang Bhagavā membabarkan ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ kepada para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga:

3.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu
   Atau membangun harapan di masa depan;
   Karena masa lalu telah ditinggalkan
   Dan masa depan belum dicapai.
   Melainkan lihatlah dengan pandangan terang
   Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;
   Ketahuilah dan yakinlah,
   Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.
   Saat ini usaha harus dilakukan;
   Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu?
   Tidak ada tawar-menawar dengan Mortalitas
   Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya,
   Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun,
   Tanpa mengendur, siang dan malam
   Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang bijaksana yang damai,
   Yang telah melewati satu malam keramat.

4. “Bhikkhu, aku ingat syair ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ seperti demikian. Bhikkhu, pelajarilah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, kuasailah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, hafalkanlah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ adalah bermanfaat, dan merupakan dasar-dasar kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Candimaana si dewa muda, yang setelah itu lenyap seketika.

5. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Lomasakangiya merapikan tempat tinggalnya, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, melakukan perjalanan menuju Sāvatthī. Ia [201] akhirnya sampai di Sāvatthī, dan menghadap Sang Bhagavā di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, memberitahukan kepada Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi, dan berkata: “Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan kepadaku ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’.

6. “Bhikkhu, apakah engkau mengenal dewa muda itu?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bhikkhu, dewa muda itu bernama Candana. Ia menekuni Dhamma, memperhatikan, menekuninya dengan seluruh pikirannya, mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Maka, Bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Lomasakangiya menjawab Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7-14.   ‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
(Ulangi keseluruhan sutta sebelumnya, §3-10 hingga:[ ]) [202]
   Yang telah melewati satu malam keramat.’

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Lomasakangiya merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #62 on: 21 February 2011, 09:38:32 PM »
135  Cūḷakammavibhanga Sutta
Pembabaran Singkat tentang Perbuatan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di
Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian murid brahmana Subha, putra Todeyya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. [ ]Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

3. “Guru Gotama, apakah sebab dan kondisi, mengapa manusia terlihat hina dan mulia? Orang-orang terlihat berumur pendek dan berumur panjang, berpenyakit dan sehat, cantik dan buruk rupa, berpengaruh dan tidak berpengaruh, miskin dan kaya, berkelahiran rendah dan berkelahiran tinggi, bodoh dan [203] bijaksana. Apakah sebab dan kondisi, Guru Gotama, mengapa manusia terlihat hina dan mulia?”

4. “Murid, makhluk-makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terhubung dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.”

“Aku tidak memahami secara terperinci makna dari penyataan Guru Gotama, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku agar aku dapat memahami secara terperinci makna dari pernyataan Guru Gotama.”

“Maka, Murid, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Tuan,” murid brahmana Subha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

5. “Di sini, Murid, Di sini seorang laki-laki atau perempuan membunuh makhluk-makhluk hidup dan [ ]ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali dalam kondisi menderita, bukan di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, tidak dalam kesengsaraan, tidak di neraka, melainkan kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berumur pendek.  Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada umur yang pendek, yaitu, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup dan [ ]ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup.

6. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelaskasihan pada semua makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali di alam bahagia, tidak di alam surga, melainkan kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berumur panjang. [ ]Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada umur yang panjang, yaitu, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, [204] ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelaskasihan pada semua makhluk hidup.

7. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berpenyakit. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada penyakit, yaitu, seseorang yang terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau.

8. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan sehat. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kesehatan, yaitu, seseorang yang tidak terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau.

9. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan memiliki karakter pemarah dan mudah tersinggung; bahkan jika dikritik sedikit, ia menjadi tersinggung, menjadi marah, bermusuhan, dan membenci, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan memiliki rupa yang buruk. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada rupa yang buruk, yaitu, seseorang yang memiliki karakter pemarah … dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam.

10. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak memiliki karakter pemarah dan tidak mudah tersinggung; bahkan jika banyak dikritik, ia tidak menjadi tersinggung, tidak menjadi marah, tidak bermusuhan, dan tidak membenci, dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan memiliki rupa yang cantik. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada rupa yang cantik, yaitu, seseorang yang tidak memiliki karakter pemarah … dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam.

11. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan bersifat iri, seorang yang iri-hati, sakit hati, dan iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia tidak akan memiliki pengaruh. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada ketiadaan pengaruh, yaitu, seseorang yang bersifat iri … terhadap perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. [205]

12. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak bersifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak sakit hati, dan tidak iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan memiliki pengaruh. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kepemilikan pengaruh, yaitu, seseorang yang tidak bersifat iri … terhadap perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain.

13. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak memberikan makanan, minuman, pakaian, kereta, kalung bunga, wangi-wangian, salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan pelita kepada para petapa atau para brahmana. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan menjadi miskin. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kemiskinan, yaitu, seseorang tidak memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana.

14. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan menjadi kaya. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kekayaan, yaitu, seseorang memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana.

15. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan keras kepala dan sombong; ia tidak memberi hormat kepada seorang yang selayaknya menerima penghormatan, tidak bangkit berdiri untuk seseorang yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, tidak memberikan tempat duduk kepada ia yang layak menerima tempat duduk, tidak memberi jalan untuk seseorang yang seharusnya ia beri jalan, dan tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berkelahiran rendah. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kelahiran rendah, yaitu, sifat keras kepala dan sombong … dan tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

16. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak keras kepala dan tidak sombong; ia memberi hormat kepada seorang yang selayaknya menerima penghormatan, bangkit berdiri untuk seseorang yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, memberikan tempat duduk kepada ia yang layak menerima tempat duduk, memberi jalan untuk seseorang yang seharusnya ia beri jalan, dan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berkelahiran tinggi. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kelahiran tinggi, yaitu, sifat tidak [ ]keras kepala dan tidak sombong … dan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

17. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat? Apakah yang tidak bermanfaat? Apakah yang tercela? Apakah yang tidak tercela? Apakah yang harus dilatih? Apakah yang tidak boleh dilatih? Perbuatan apakah yang mengarah pada kerugian dan penderitaanku untuk waktu yang lama? Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan menjadi bodoh. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kebodohan, yaitu, seseorang tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian. [206]

18. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat? … Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan menjadi bijaksana. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kebijaksanaan, yaitu, seseorang mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian.

19. “Demikianlah, Murid, jalan yang mengarah pada umur yang pendek menyebabkan orang-orang menjadi berumur pendek, jalan yang mengarah pada umur yang panjang menyebabkan orang-orang menjadi berumur panjang; jalan yang mengarah pada penyakit menyebabkan orang-orang menjadi berpenyakit, jalan yang mengarah pada kesehatan menyebabkan orang-orang menjadi sehat; jalan yang mengarah pada rupa yang buruk menyebabkan orang-orang menjadi buruk rupa, jalan yang mengarah pada rupa yang cantik menyebabkan orang-orang menjadi cantik; jalan yang mengarah pada ketiadaan pengaruh menyebabkan orang-orang [ ]menjadi tidak berpengaruh, jalan yang mengarah pada kepemilikan pengaruh menyebabkan orang-orang menjadi berpengaruh; jalan yang mengarah pada kemiskinan menyebabkan orang-orang menjadi miskin, jalan yang mengarah pada kekayaan menyebabkan orang-orang menjadi menjadi kaya; jalan yang mengarah pada kelahiran rendah menyebabkan orang-orang menjadi berkelahiran rendah, jalan yang mengarah pada kelahiran tinggi menyebabkan orang-orang menjadi menjadi berkelahiran tinggi; jalan yang mengarah pada kebodohan menyebabkan orang-orang menjadi bodoh, jalan yang mengarah pada kebijaksanaan menyebabkan orang-orang menjadi menjadi bijaksana.

20. “Makhluk-makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terhubung dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.”

21. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putra Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #63 on: 21 February 2011, 10:36:35 PM »
136  Mahākammavibhanga Sutta
Pembabaran Panjang tentang Perbuatan


[207] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. [ ]Pada saat itu, Yang Mulia Samiddhi sedang menetap di sebuah gubuk hutan. Kemudian Pengembara Potaliputta, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, mendatangi Yang Mulia Samiddhi dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Samiddhi.

“Teman Samiddhi, aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Petapa Gotama sendiri: ‘Perbuatan jasmani adalah kosong, perbuatan ucapan adalah kosong, hanya perbuatan pikiran yang nyata.’ Dan: ‘Ada pencapaian yang dengan memasukinya seseorang tidak merasakan apa pun sama sekali.’”

“Jangan berkata begitu, Teman Potaliputta, jangan berkata begitu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā, tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti ini: [;]Perbuatan jasmani adalah kosong, perbuatan ucapan adalah kosong, hanya perbuatan pikiran yang nyata.’ Tetapi, Teman, memang ada pencapaian itu yang dengan memasukinya seseorang tidak merasakan apa pun sama sekali.”

“Berapa lamakah sejak engkau meninggalkan keduniawian, Teman Samiddhi?”

“Belum lama, Teman: tiga tahun.”

“Demikianlah, apa yang akan kami katakan kepada para bhikkhu senior ketika seorang bhikkhu muda berpikir bahwa Sang Guru harus dibela seperti demikian? Teman Samiddhi, setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, apakah yang dirasakan seseorang?”

“Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, seseorang merasakan penderitaan, Teman Potaliputta.”

Kemudian, dengan tidak menerima juga tidak menolak kata-kata Yang Mulia Samiddhi, Pengembara Potaliputta bangkit dari duduknya dan pergi.

3. Segera setelah Pengembara Potaliputta pergi, Yang Mulia Samiddhi mendatangi Yang Mulia Ānanda [208] dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan melaporkan keseluruhan percakapannya dengan Pengembara Potaliputta kepada Yang Mulia Ānanda. Setelah ia selesai berbicara, Yang Mulia Ānanda berkata kepadanya: “Sahabat Samiddhi, percakapan ini harus diberitahukan kepada Sang Bhagavā. Marilah, kita menghadap Sang Bhagavā dan memberi tahu Beliau mengenai hal ini. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sang Bhagavā kepada kita, demikianlah kita harus mengingatnya.”“Baik, Sahabat,” Yang Mulia Samiddhi menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Yang Mulia Samiddhi bersama-sama mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Yang Mulia Ānanda melaporkan keseluruhan percakapan antara Yang Mulia Samiddhi dengan Pengembara Potaliputta kepada Sang Bhagavā.

5. Ketika ia selesai, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, Aku bahkan tidak ingat pernah bertemu dengan Pengembara Potaliputta, jadi bagaimana mungkin pernah terjadi percakapan ini? Walaupun pertanyaan Pengembara Potaliputta seharusnya dianalisis terlebih dulu sebelum dijawab, namun orang sesat Samiddhi ini menjawabnya secara sepihak.”

6. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, mungkin Yang Mulia Samiddhi berkata demikian dengan merujuk pada [prinsip]: ‘Apa pun yang dirasakan adalah termasuk dalam penderitaan.’”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Lihatlah, Ānanda, bagaimana orang sesat Udāyin ini menyimpulkan. Aku tahu, Ānanda, bahwa saat ini orang sesat Udāyin ini akan menyimpulkan dengan cara keliru. Sejak awal Pengembara Potaliputta menanyakan tentang ketiga jenis perasaan. Orang sesat Samiddhi ini [209] seharusnya menjawab Pengembara Potaliputta dengan benar jika, ketika ditanya demikian, ia menjelaskan: ‘Teman Potaliputta, [ ]setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai menyenangkan, maka seseorang merasa senang. Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai menyakitkan, maka seseorang merasa sakit. Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka seseorang merasakan bukan-kesakitan-juga-bukan-kesenangan.’ Tetapi siapakah orang-orang dungu ini, para pengembara bodoh dari sekte lain, yang dapat memahami penjelasan panjang dari Sang Tathāgata tentang perbuatan? Engkau harus mendengarkan Sang Tathāgata, Ānanda, sewaktu Beliau menjelaskan penjelasan panjang tentang perbuatan.”

7. “Sekaranglah waktunya, Sang Bhagavā, sekaranglah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā untuk membabarkan penjelasan panjang tentang perbuatan. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Ānanda, [ ]ada empat jenis orang terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Di sini, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan kebohongan, mengucapkan kata-kata jahat, mengucapkan kata-kata kasar, bergosip; ia tamak, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

“Tetapi seseorang di sini membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

“Di sini seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan kebohongan, menghindari mengucapkan kata-kata jahat, [210] menghindari mengucapkan kata-kata kasar, menghindari gosip; ia tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan ia menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

“Di sini seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan ia menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

9. “Di sini, Ānanda, melalui semangat, usaha, kegigihan, ketekunan, dan perhatian benar, seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan salah, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan jahat, ada akibat dari perilaku salah; karena aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

10. “Tetapi di sini, Ānanda, [211] melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan salah, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan jahat, tidak ada akibat dari perilaku salah; karena aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

11. “Di sini, Ānanda, melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan baik, ada akibat dari perilaku baik; karena aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

12. “Tetapi di sini, Ānanda, [212] melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan baik, tidak ada akibat dari perilaku baik; karena aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

13. “Di sana, Ānanda, [ ]ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan jahat, ada akibat dari perilaku salah,’ Aku membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku juga membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

14. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan jahat, tidak ada akibat dari perilaku salah,’ Aku tidak membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ [213] Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia mengatakan: ‘Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

15. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan baik, ada akibat dari perilaku baik,’ Aku membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku juga membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.


-------------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #64 on: 21 February 2011, 10:47:59 PM »
Lanjutan 136  Mahākammavibhanga Sutta
------------------------------------------------------

16. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan baik, tidak ada akibat dari perilaku baik,’ Aku tidak membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia mengatakan: [214] ‘Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

17. “Di sana, Ānanda, [ ]sehubungan dengan orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka: sebelumnya telah melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah. [ ]Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. [ ]Dan karena ia di sini telah membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

18. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga: sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar. [ ]Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. [ ]Dan karena ia di sini telah membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

19. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga: sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar. Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. [ ]Dan karena ia di sini telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup [215] … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

20. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka: sebelumnya telah melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah. Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. [ ]Dan karena ia di sini telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

21. “Demikianlah, Ānanda, ada perbuatan yang tidak mampu dan tampak tidak mampu; ada perbuatan yang tidak mampu dan tampak mampu; ada perbuatan yang mampu dan tampak mampu; dan ada perbuatan yang mampu dan tampak tidak mampu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #65 on: 22 February 2011, 01:25:38 PM »
137  Saḷāyatanavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Enam Landasan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu penjelasan tentang enam landasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [216]

3. “Enam landasan internal harus dipahami. Enam landasan eksternal harus dipahami. Enam kelompok kesadaran harus dipahami. Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami. Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami. Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu. Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok. Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Ini adalah ringkasan dari penjelasan tentang enam landasan.

4. “‘Enam landasan internal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, dan landasan-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam landasan internal harus dipahami.’

5. “‘Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-bentuk, landasan-suara, landasan-bau, landasan-rasa kecapan, landasan-objek sentuhan, dan landasan-[ ]objek pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam landasan eksternal harus dipahami.’

6. “‘Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, dan kesadaran-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’

7. “‘Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, dan kontak-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok kontak harus dipahami.’

8. “‘Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan keseimbangan. [ ]Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... [217] Ketika menyentuh suatu objek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, seseorang mengeksplorasi objek-pikiran yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi objek-pikiran yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi objek-pikiran yang menghasilkan keseimbangan. Demikianlah ada enam jenis eksplorasi dengan kegembiraan, enam jenis eksplorasi dengan kesedihan, dan enam jenis eksplorasi dengan keseimbangan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami.’

9. “‘Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. [ ]Ada enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ada enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

10. “Di sini, apakah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika seseorang menganggap sebagai keuntungan atas suatu perolehan akan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawianatau ketika ia ingat apa yang sebelumnya telah diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubahkegembiraan muncul. Kegembiraan demikian disebut kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika seseorang menganggap sebagai keuntungan atas suatu perolehan akan suara-suara yang dikenali oleh telinga … perolehan akan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … perolehan akan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … perolehan akan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … perolehan akan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawianatau ketika ia ingat apa yang sebelumnya telah diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubahkegembiraan muncul. Kegembiraan demikian disebut kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

11. “Di sini, apakah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, kegembiraan muncul. Kegembiraan demikian adalah kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … [218] objek-objek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa objek-objek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, kegembiraan muncul. Kegembiraan demikian adalah kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

12. “Di sini, apakah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika seseorang menganggap sebagai bukan keuntungan atas suatu bukan perolehan akan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawianatau ketika ia ingat apa yang sebelumnya tidak diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubahkesedihan muncul. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika seseorang menganggap sebagai bukan keuntungan atas suatu bukan perolehan akan suara-suara yang dikenali oleh telinga … bukan perolehan akan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … bukan perolehan akan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … bukan perolehan akan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … bukan perolehan akan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawianatau ketika ia ingat apa yang sebelumnya tidak diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubahkesedihan muncul. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

13. “Di sini, apakah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, ia memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi sebagai berikut: ‘Kapankah aku dapat masuk dan berdiam dalam landasan yang saat ini telah dimasuki dan didiami oleh para mulia?’ [ ]Pada seseorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi demikian, muncul kesedihan dengan kerinduan itu sebagai kondisi. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … objek-objek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa objek-objek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, [219] ia memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi sebagai berikut: ‘Kapankah aku dapat masuk dan berdiam dalam landasan yang saat ini telah dimasuki dan didiami oleh para mulia?’ Pada seseorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi demikian, muncul kesedihan dengan kerinduan itu sebagai kondisi. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ini adalah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

14. “Di sini, apakah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, keseimbangan muncul pada seseorang biasa dungu yang tergila-gila, pada seorang biasa yang tidak terlatih yang belum menaklukkan keterbatasannya atau menaklukkan akibat [perbuatan] dan yang buta akan bahaya. Keseimbangan seperti ini tidak melampaui bentuk; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu objek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, keseimbangan muncul pada seseorang biasa dungu yang tergila-gila, pada seorang biasa yang tidak terlatih yang belum menaklukkan keterbatasannya atau menaklukkan akibat [perbuatan] dan yang buta akan bahaya. Keseimbangan seperti ini tidak melampaui objek-pikiran; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

15. “Di sini, apakah enam jenis kesedihankeseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, keseimbangan muncul. Keseimbangan ini melampaui bentuk; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … objek-objek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa objek-objek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, keseimbangan muncul. Keseimbangan ini melampaui objek pikiran; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ini adalah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami.’ [220]

----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #66 on: 22 February 2011, 08:20:30 PM »
Lanjutan 137  Saḷāyatanavibhanga Sutta
----------------------------------------------------

16. “‘Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu ditinggalkan; Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu ditinggalkan; Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian keseimbangan-keseimbangan itu ditinggalkan; Adalah demikian keseimbangan-keseimbangan itu dilampaui.

“Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu ditinggalkan; Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu ditinggalkan; Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu dilampaui.

17. “Ada, Para bhikkhu, keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman; dan ada keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan.

18. “Dan apakah, Para bhikkhu, keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman? Ada keseimbangan sehubungan dengan bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. Ini, Para bhikkhu, adalah keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman.

19. “Dan apakah, Para bhikkhu, keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan? Ada keseimbangan sehubungan dengan landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, dan landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini, Para bhikkhu, adalah keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan.

20. “Di sini, Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan, tinggalkan dan lampauilah keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman. Demikianlah ini ditinggalkan; demikianlah ini dilampaui.

“Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan ketiadaan-identifikasi, [ ]tinggalkan dan lampauilah keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan. Demikianlah ini ditinggalkan; demikianlah ini dilampaui. [221]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu.’

21. “‘Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

22. “Di sini, Para bhikkhu, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Beberapa dari para siswa-Nya tidak mau mendengarkan atau mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Beberapa dari para siswa-Nya mau mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata tidak puas dan merasakan ketidakpuasan; namun Beliau tidak-tergerak, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, Para bhikkhu, disebut landasan perhatian pertama yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.

23. “Lebih lanjut, Para bhikkhu, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Beberapa dari para siswa-Nya tidak mau mendengarkan atau mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Beberapa dari para siswa-Nya mau mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan tidak berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata tidak puas dan tidak merasakan kepuasan, dan Beliau tidak kecewa dan tidak merasakan kekecewaan; dengan senantiasa bebas dari kepuasan dan kekecewaan, Beliau berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, Para bhikkhu, disebut perhatian ke dua yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.

24. “Lebih lanjut, Para bhikkhu, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Para siswa-Nya mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan tidak berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata puas dan merasakan kepuasan; namun Beliau tidak-tergerak, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, Para bhikkhu, disebut perhatian ke tiga yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok. [222]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.’

25. “‘Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Dengan dituntun oleh penjinak gajah, Para bhikkhu, gajah yang akan dijinakkan berjalan ke satu arahtimur, barat, utara, atau selatan. Dengan dituntun oleh penjinak kuda, Para bhikkhu, kuda yang akan dijinakkan berjalan ke satu arahtimur, barat, utara, atau selatan. Dengan dituntun oleh penjinak sapi, Para bhikkhu, sapi yang akan dijinakkan berjalan ke satu arahtimur, barat, utara, atau selatan.

26. “Para bhikkhu, dengan dituntun oleh Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, orang yang akan dijinakkan berjalan ke delapan arah.

“Dengan memiliki bentuk materi, ia melihat bentuk-bentuk: ini adalah arah pertama. Tanpa melihat bentuk-bentuk secara internal, ia melihat bentuk-bentuk secara eksternal: ini adalah arah ke dua. Ia bertekad hanya pada yang indah: ini adalah arah ke tiga. Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, ia masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas: ini adalah arah ke empat. Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas: ini adalah arah ke lima. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan: ini adalah arah ke enam. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ini adalah arah ke tujuh. Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan: ini adalah arah ke delapan.

“Para bhikkhu, dengan dituntun oleh Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, orang yang akan dijinakkan berjalan ke delapan arah.

28. “[“]Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


ko, no. 27 nya di mana?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #67 on: 22 February 2011, 09:32:24 PM »
138  Uddesavibhanga Sutta
Penjelasan suatu Ringkasan


[223] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu ringkasan dan penjelasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu harus memeriksa segala sesuatu sedemikian sehingga ketika ia sedang memeriksanya, kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan dengan ketidakmelekatan ia tidak menjadi terganggu. Jika kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan jika dengan ketidakmelekatan ia tidak menjadi terganggu, maka baginya tidak ada asal-mula penderitaankelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan.”

4. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya.

5. Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir: “Sekarang, Teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari duduk-Nya dan masuk ke dalam kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

6-8. [224,225] (Seperti Sutta 133, §§8-10.)

9. “Maka dengarkanlah, Teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

10. “Bagaimanakah, Teman-teman, kesadaran disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal’? [ ]Di sini, ketika seorang bhikkhu telah melihat suatu bentuk dengan mata, jika kesadarannya mengikuti gambaran bentuk, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, [ ]terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, maka kesadarannya disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal’.

“Ketika ia telah mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu aroma dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, jika kesadarannya mengikuti gambaran objek pikiran, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran objek pikiran, terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran objek pikiran, maka kesadarannya disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal’.

11. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, kesadaran disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal’? Di sini, ketika seorang bhikkhu telah melihat suatu bentuk dengan mata, jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran bentuk, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, maka kesadarannya disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal’. [226]

“Ketika ia telah mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu aroma dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran objek pikiran, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran objek pikiran, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran objek pikiran, maka kesadarannya disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal’.

12. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, pikiran disebut ‘melekat secara internal’? [ ]Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Jika kesadarannya mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, terbelenggu oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal’.

13. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Jika kesadarannya mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal’.

14. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan dengan penuh perhatian dan kewaspadaan penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Jika kesadarannya mengikuti keseimbangan … maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal’.

15. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Jika kesadarannya mengikuti gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, maka kesadarannya disebut ‘melekat secara internal’. Itu adalah bagaimana pikiran disebut ‘melekat secara internal’. [227]

16. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, pikiran disebut ‘tidak melekat secara internal’? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Jika kesadarannya tidak mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal’.

17. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Jika kesadarannya tidak mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi … maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal’.

18. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Jika kesadarannya tidak mengikuti keseimbangan … maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal’.

19. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, maka kesadarannya disebut ‘tidak melekat secara internal’. Itu adalah bagaimana pikiran disebut ‘tidak melekat secara internal’.

20. “Bagaimanakah, Teman-teman, terjadinya gangguan karena kemelekatan? [ ]Di sini seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Bentuk materinya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan bentuk materi dan bentuk materi yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya terlena dengan perubahan bentuk materi itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan bentuk materi muncul bersama-sama  dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena kemelekatan, ia menjadi terganggu.  [228]

“Ia menganggap perasaan sebagai diri … Ia menganggap persepsi sebagai diri … Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai diri … Ia menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, [ ]atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan kesadaran dan kesadaran yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya terlena dengan perubahan kesadaran itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan kesadaran muncul bersama-sama dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena kemelekatan, ia menjadi terganggu. Itu adalah bagaimana terjadinya gangguan karena kemelekatan.

21. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, terjadinya ketanpagangguan karena ketidakmelekatan? [ ]Di sini seorang siswa mulia yang terlatih, yang [ ]menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Bentuk materinya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan bentuk materi dan bentuk materi yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya tidak terlena dengan dengan perubahan bentuk materi itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan bentuk materi tidak muncul bersama-sama dan tidak menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena ketidakmelekatan, ia menjadi tidak terganggu.

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … Ia tidak menganggap persepsi sebagai diri … Ia tidak menganggap bentukan-bentukan sebagai diri … Ia tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, [ ]atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan kesadaran dan kesadaran yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya tidak terlena dengan dengan perubahan kesadaran itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan kesadaran tidak muncul bersama-sama dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena ketidakmelekatan, ia menjadi tidak terganggu. Itu adalah bagaimana terjadinya ketanpagangguan karena ketidakmelekatan.

22. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, seorang bhikkhu harus memeriksa segala sesuatu sedemikian sehingga ketika ia sedang memeriksanya, kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan dengan ketidakmelekatan, ia tidak menjadi terganggu. Jika kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan jika dengan ketidakmelekatan, ia tidak menjadi terganggu, maka baginya tidak ada asal-mula penderitaankelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan,’ aku memahami maknanya secara terperinci seperti demikian. [229] Sekarang, Teman-teman, jika kalian menghendaki, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau tentang makna ini. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

23. Kemudian para bhikkhu, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dengan menambahkan: “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan bertanya kepadanya tentang makna ini. Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

24. “Mahā Kaccāna bijaksana, Para Bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian bertanya kepada-Ku tentang makna ini, maka Aku akan menjelaskannya kepada kalian dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Mahā Kaccāna. Demikianlah maknanya, dan demikianlah kalian harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #68 on: 23 February 2011, 08:01:42 PM »
139  Araṇavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Tanpa-Konflik


[230] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu penjelasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat. Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrem ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. [ ]Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela, melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma. Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri. Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus-terang yang tajam. Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru. Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum. Ini adalah ringkasan dari penjelasan tentang tanpa-konflik.

4. “‘Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. [ ][231] Terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar.

“Pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat—adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Terlepas dari pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat.’

5. “‘Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrem ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’ Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrem ini … menuju Nibbāna.’

6. “‘Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

7. “Bagaimanakah Para bhikkhu, terjadinya memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma? Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah … dan tidak bermanfaatdikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah … dan tidak bermanfaatadalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang.

“Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat[232] dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaatadalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang.

“Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang belum meninggalkan belenggu penjelmaan  dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang telah meninggalkan belenggu penjelmaan adalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang. Ini adalah bagaimana terjadinya memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma.

8. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, terjadinya tidak memuji dan tidak mencela dan hanya mengajarkan Dhamma? Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria … telah memasuki jalan yang salah,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Pengejaran itu adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan merupakan jalan yang salah,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma. [ ]Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria … telah [ ]memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Terlepasnya itu adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan merupakan jalan yang benar,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran penyiksaan-diri … telah memasuki jalan yang salah,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Pengejaran itu adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan merupakan jalan yang salah,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma. Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran penyiksaan-diri … telah memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Terlepasnya itu adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan merupakan jalan yang benar,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang belum meninggalkan belenggu penjelmaan … telah memasuki jalan yang salah,’ [233] tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Selama belenggu penjelmaan belum ditinggalkan, maka penjelmaan juga belum ditinggalkan,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma. Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang telah meninggalkan belenggu penjelmaan … telah memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Ketika belenggu penjelmaan ditinggalkan, maka penjelmaan juga ditinggalkan,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma.’

9. “‘Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Sekarang kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indriasuatu kenikmatan kotor, suatu kenikmatan kasar, suatu kenikmatan tidak mulia. Aku katakan jenis kenikmatan ini adalah yang seharusnya tidak dikejar, seharusnya tidak dikembangkan, seharusnya tidak dilatih, dan seharusnya ditakuti.

“Di sini, Para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini disebut kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. Aku katakan jenis kenikmatan ini adalah yang seharusnya dikejar, seharusnya dikembangkan, seharusnya dilatih, dan seharusnya tidak ditakuti. [234]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri.’

10. “‘Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata tersamar adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apa pun. Ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan bermanfaat, maka ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apa pun. Ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan bermanfaat, maka ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

[ ]“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #69 on: 23 February 2011, 08:31:34 PM »
11. “‘Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang berbicara dengan terburu-buru, tubuhnya menjadi lelah dan pikirannya menjadi bergairah, suaranya menjadi tegang dan tenggorokannya menjadi serak, dan ucapan dari seorang yang berbicara dengan terburu-buru adalah tidak jelas dan sulit dimengerti.

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang berbicara dengan tidak terburu-buru, tubuhnya tidak menjadi lelah dan pikirannya tidak menjadi bergairah, suaranya tidak menjadi tegang dan tenggorokannya tidak menjadi serak, dan ucapan dari seorang yang berbicara dengan tidak terburu-buru adalah jelas dan mudah dimengerti.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru.’

12. “‘Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Bagaimanakah, Para bhikkhu, terjadi pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum? Di sini, Para bhikkhu, di tempat berbeda mereka menyebut benda yang sama sebagai sebuah ‘piring’ [pāti], [235] sebuah ‘mangkuk’ [patta], sebuah ‘wadah’ [vittha], sebuah ‘cawan’ [serāva], sebuah ‘panci’ [dhāropa], sebuah ‘kendi’ [poṇa], atau sebuah ‘baskom’ [pisīla]. Jadi, bagaimanapun mereka menyebutnya dalam bahasa setempat, ia mengucapkannya sesuai itu, dengan kukuh melekati [ungkapan itu] dan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar; yang lainnya adalah salah.’ Ini adalah bagaimana terjadinya pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum.

“Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, terjadinya tanpa pemaksaan atas bahasa setempat dan tidak mengabaikan penggunaan umum? Di sini, Para bhikkhu, di tempat berbeda mereka menyebut benda yang sama sebuah ‘piring’ … atau sebuah ‘baskom’. Jadi, bagaimanapun mereka menyebutnya dalam bahasa setempat, tidak dengan kukuh melekati [ungkapan itu] ia mengucapkannya sesuai itu, dan berpikir: ‘Para mulia ini, tampaknya, sedang berbicara sehubungan dengan ini.’ Ini adalah bagaimana terjadinya tanpa pemaksaan atas bahasa setempat dan tidak mengabaikan penggunaan umum.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum.’

13. “Di sini, Para bhikkhu, pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah … dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah … dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat—adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, terlepas dari pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat—adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar. [236] Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrem ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Ini adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … dan adalah jalan yang salah. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, tidak memuji dan tidak mencela dan hanya mengajarkan Dhamma adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kenikmatan indriasuatu kenikmatan kotor, suatu kenikmatan kasar, suatu kenikmatan tidak muliaadalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … dan adalah jalan yang salah. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan, adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.
 
“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang benar, tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang benar, tepat, dan bermanfaat adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam yang tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam yang benar, tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam [237] yang benar, tepat, dan bermanfaat adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata seseorang yang berbicara dengan terburu-buru adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata seseorang yang berbicara dengan tidak terburu-buru adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, tanpa-pemaksaan bahasa setempat dan tanpa-mengabaikan penggunaan umum adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

14. “Oleh karena itu, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus mengetahui kondisi dengan konflik dan kami harus mengetahui kondisi tanpa konflik, dan dengan mengetahui hal-hal ini, kami akan memasuki jalan tanpa konflik.’ Sekarang, Para bhikkhu, Subhūti adalah anggota keluarga yang telah memasuki jalan tanpa konflik.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #70 on: 23 February 2011, 09:16:48 PM »
140  Dhātuvibhanga Sutta
Penjelasan tentang Unsur-Unsur


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Magadha dan akhirnya sampai di Rājagaha. Di sana Beliau mendatangi pengrajin tembikar Bhaggava dan berkata kepadanya:

2. “Jika tidak menyusahkanmu, Bhaggava, Aku akan bermalam satu malam di [ ]tempat kerjamu.”

“Sama sekali tidak menyusahkan bagiku, Yang Mulia, tetapi ada petapa lain yang telah berdiam di sini. Jika ia setuju, maka silakan tinggal selama yang Engkau kehendaki, Yang Mulia.” [238]

3. Pada saat itu, seorang anggota keluarga bernama Pukkusāti yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan pada Sang Bhagavā dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan pada saat itu ia telah mendiami tempat kerja si pengrajin tembikar. [ ]Kemudian Sang Bhagavā mendatangi Yang Mulia Pukkusāti dan berkata kepadanya: “Jika tidak menyusahkanmu, Bhikkhu, Aku akan bermalam satu malam di tempat kerja ini.”

“Tempat kerja pengrajin tembikar ini cukup luas, Sahabat. [ ]Silakan Yang Mulia tinggal selama yang Beliau kehendaki.”

4. Kemudian Sang Bhagavā memasuki rumah tempat kerja si pengrajin tembikar, mempersiapkan hamparan rumput di satu sudut, dan duduk bersila, menegakkan tubuh-Nya, dan menegakkan perhatian di depannya. Kemudian Sang Bhagavā melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk [bermeditasi], dan Yang Mulia Pukkusāti juga melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk [bermeditasi]. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini berperilaku sedemikian sehingga membangkitkan keyakinan. Bagaimana jika Aku menanyainya.” Maka Beliau bertanya kepada Yang Mulia Pukkusāti:

5. “Di bawah siapakah engkau meninggalkan keduniawian, Bhikkhu? Siapakah gurumu? Dhamma siapakah yang engkau anut?”

“Sahabat, ada Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang berita baik sehubungan dengan Gotama yang Terberkahi itu telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Aku meninggalkan keduniawian di bawah Sang Bhagavā itu; Sang Bhagavā adalah guruku; aku menganut Dhamma dari Sang Bhagavā itu.”

“Tetapi, Bhikkhu, di manakah Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap sekarang?”

“Ada, Sahabat, sebuah kota di negeri utara bernama Sāvatthī. Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap di sana sekarang.”

“Tetapi, Bhikkhu, pernahkah engkau bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya? Apakah engkau mengenalinya jika engkau bertemu dengannya?” [239]

“Tidak, Sahabat, aku belum pernah bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya, juga tidak akan mengenalinya jika aku bertemu dengannya.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah-Ku. Bagaimana jika aku mengajarkan Dhamma kepadanya.” Maka Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Pukkusāti sebagai berikut: “Bhkkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Sahabat,” Yang Mulia Pukkusāti menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis eksplorasi pikiran, dan ia memiliki empat landasan. [ ]Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai. Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian. Ini adalah ringkasan penjelasan enam unsur.

8. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’

9. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kontak-mata, landasan kontak-telinga, landasan kontak-hidung, landasan kontak-lidah, landasan kontak-badan, landasan kontak-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’

10. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kesedihan, ia [ ]mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan keseimbangan. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … [240] Ketika mencium suatu aroma dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, [ ]seseorang mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan kesedihan, ia [ ]mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan keseimbangan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’

11. “‘Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kebijaksanaan, landasan kebenaran, landasan pelepasan, dan landasan kedamaian. [ ]Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’

12. “‘Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

13. “Bagaimanakah, Bhikkhu, seseorang tidak melalaikan kebijaksanaan? [ ]Ada enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.

14. “Apakah, Bhikkhu, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, kotoran, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang, baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur tanah.

15. “Apakah, Bhikkhu, unsur air? Unsur air dapat berupa [241] internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang, baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur air.

16. “Apakah, Bhikkhu, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang, baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur api.

17. “Apakah, Bhikkhu, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, napas masuk, napas keluar, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang, baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur udara dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur udara.

18. “Apakah, Bhikkhu, unsur ruang? Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur ruang [242] internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan [lubang] itu di mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang, baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur ruang.

19. “Maka di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah. [ ]Apakah yang dikenali seseorang pada kesadaran itu? Ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyenangkan’; ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyakitkan’; ia mengenali: ‘[Ini] adalah bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan maka muncul perasaan menyenangkan. [ ]Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian ituperasaan menyenangkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkanjuga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan maka muncul perasaan menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangakitkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian ituperasaan menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyakitkanjuga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itubukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkanjuga lenyap dan sirna.’ Bhikkhu, seperti halnya dari kontak dan gesekan kedua batang kayu-api maka panas dan api dihasilkan, dan dengan terpisahnya dan terlepasnya kedua kayu-api ini maka panas yang dihasilkan itu juga lenyap dan sirna; demikian pula, [243] dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan … yang dirasakan sebagai menyakitkan … yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan … Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu …  juga lenyap dan sirna.’

20. “Kemudian di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.  Misalkan, Bhikkhu, seorang pengrajin emas yang terampil atau muridnya mempersiapkan sebuah tungku, memanaskan wadah, mengambil sejumlah emas dengan penjepit, dan memasukkannya ke dalam wadah. Dari waktu ke waktu ia meniupnya, dari waktu ke waktu ia memercikkan air ke atasnya, dan dari waktu ke waktu ia hanya melihatnya. Emas itu akan menjadi murni, lebih murni, dan sangat murni, tanpa cacat, bebas dari kotoran-kotoran logam, lunak, lentur, dan bersinar. Kemudian jenis perhiasan apa pun yang ingin ia buat dari emas itu, apakah rantai emas atau anting-anting, atau kalung, atau kalung-bunga, maka keinginannya akan terpenuhi. Demikian pula, Bhikkhu, kemudian di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.


ko, no. 19 yg bukan menyakitkan juga bukan menyakitkan => bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #71 on: 23 February 2011, 09:53:44 PM »
Lanjutan 140  Dhātuvibhanga Sutta
----------------------------------------------

21. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama. [ ]Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … [244] … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama.’

22. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi. [ ]Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi.’ Ia tidak membentuk kondisi apa pun atau menghasilkan kehendak apa pun yang condong mengarah baik pada penjelmaan atau pada tanpa-penjelmaan. [ ]Karena ia tidak membentuk kondisi apa pun atau menghasilkan kehendak apa pun yang condong mengarah baik pada penjelmaan atau pada tanpa-penjelmaan, maka ia tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami sebagai berikut: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

23. “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, [ ]ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’ Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’ Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’

24. “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia melepaskan; [“]Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia melepaskan; Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia melepaskan. Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani.’ [245] Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’ [ ]Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, yang tidak untuk disenangi, akan menjadi dingin di sini.’ [ ]Bhikkhu, seperti halnya lampu minyak yang membakar dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dan ketika minyak dan sumbunya habis, jika lampu itu tidak mendapatkan bahan bakar lagi, maka lampu itu akan padam karena kekurangan bahan bakar; demikian pula, ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani … perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’ Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, yang tidak untuk disenangi, akan menjadi dingin di sini.’

25. “Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang memiliki [kebijaksanaan ini] memiliki landasan kebijaksanaan tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebijaksanaan mulia tertinggi, yaitu, pengetahuan hancurnya segala penderitaan.

26. “Pembebasannya, karena didirikan di atas kebenaran, adalah tidak tergoyahkan. Karena itu adalah salah, Bhikkhu, yang memiliki sifat menipu, dan itu adalah benar, yang memiliki sifat tidak menipuNibbāna. Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang memiliki [kebenaran] ini memiliki landasan kebenaran yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebenaran mulia tertinggi, yaitu, Nibbāna, yang memiliki sifat tidak menipu.

27. “Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia menjalani dan menerima perolehan; [ ]sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang memiliki [pelepasan ini] memiliki landasan pelepasan yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah pelepasan mulia yang tertinggi, yaitu, pelepasan segala perolehan.

28. “Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami ketamakan, keinginan, dan nafsu; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami kemarahan, niat buruk, dan kebencian; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami kebodohan dan khayalan; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya [246] di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang memiliki [kedamaian ini] memiliki landasan kedamaian yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kedamaian mulia yang tertinggi, yaitu, damainya nafsu, kebencian, dan khayalan.

29. “Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’

30. “‘Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

31. “Bhikkhu, ‘aku’ adalah anggapan; ‘aku adalah ini’ adalah anggapan; ‘aku akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku tidak akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan. Anggapan adalah penyakit, anggapan adalah tumor, anggapan adalah anak panah. Dengan mengatasi segala anggapan, Bhikkhu, maka seseorang disebut seorang bijaksana damai. Dan sang bijaksana damai itu tidak dilahirkan, tidak menua, tidak mati; ia tidak tergoyahkan dan tidak merindukan. Karena tidak ada apa pun padanya yang dengannya ia dapat terlahir. [ ]Karena tidak terlahir, bagaimana mungkin ia dapat menjadi tua? Karena tidak menjadi tua, bagaimana mungkin ia mati? Karena tidak mati, bagaimana mungkin ia dapat tergoyahkan? Karena tidak tergoyahkan, mengapa ia harus merindukan?

32. “Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’ Bhikkhu, ingatlah penjelasan singkat tentang enam unsur ini.”

33. Pada saat itu, Yang Mulia Pukkusāti berpikir: “Sungguh, Sang Guru telah mendatangiku! Yang Sempurna telah mendatangiku! Yang Tercerahkan Sempurna telah mendatangiku!” Kemudian ia bangkit dari duduknya dan merapikan jubahnya di salah satu bahunya, dan bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, ia berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, karena bagaikan seorang dungu, bingung [247] dan bodoh, aku menyapa Sang Bhagavā sebagai ‘Sahabat’. Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā memaafkan pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhikkhu, suatu pelanggaran menguasaimu, karena bagaikan seorang dungu, bingung [247] dan bodoh, engkau menyapa-Ku sebagai ‘Sahabat’. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu demikian dan memperbaiki sesuai Dhamma, maka kami memaafkan engkau. Karena adalah kemajuan dalam Disiplin Para Mulia ketika seseorang melihat pelanggarannya demikian, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan menjalani pengendalian di masa depan.”

34. “Yang Mulia, aku ingin menerima penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā.”

“Tetapi apakah mangkuk dan jubahmu sudah lengkap, Bhikkhu?”

“Yang Mulia, mangkuk dan jubahku masih belum lengkap.”

“Bhikkhu, Para Tathāgata tidak memberikan penahbisan penuh kepada siapa pun yang mangkuk dan jubahnya belum lengkap.”

35. Kemudian Yang Mulia Pukkusāti, dengan merasa gembira dan bersukacita mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap berada di sisi kanannya, ia pergi untuk mencari mangkuk dan jubah. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Pukkusāti sedang mencari mangkuk dan jubahnya, seekor sapi liar membunuhnya.

36. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau: “Yang Mulia, anggota keluarga Pukkusāti, yang telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya berikutnya?”

“Para bhikkhu, anggota keluarga Pukkusāti adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkan-Ku dalam menginterpretasikan Dhamma. Dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, anggota keluarga Pukkusāti telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan akan mencapai Nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #72 on: 23 February 2011, 11:24:37 PM »
141  Saccavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Kebenaran-Kebenaran


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Benares di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Di Benares, Para bhikkhu, di Taman Rusa di Isipatana, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, [ ]yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di duniayaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia. Apakah empat ini?

3. Mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan kebenaran mulia penderitaan. Mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan kebenaran mulia asal-mula penderitaan … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

4. “Di Benares, Para bhikkhu, di Taman Rusa di Isipatana, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di duniayaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia ini.

5. “Kembangkanlah persahabatan dengan Sāriputta dan Moggallāna, Para bhikkhu; bergaullah dengan Sāriputta dan Moggallāna. Mereka bijaksana dan sangat membantu bagi teman-teman mereka dalam kehidupan suci. Sāriputta bagaikan seorang ibu; Moggallāna bagaikan seorang perawat. Sāriputta melatih orang-orang lain mencapai buah memasuki-arus, Moggallāna melatih untuk mencapai tujuan tertinggi.  Sāriputta, Para bhikkhu, mampu mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia.”

6. Demikianlah Sang Bhagavā berkata. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya. [249]

7. Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Teman-teman, Para bhikkhu.”“Teman,”[ ]para bhikkhu menjawab Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

8. “Di Benares, Teman-teman, di Taman Rusa di Isipatana, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya …  dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia. Apakah empat ini?

9. Mengumumkan … dan memperlihatkan kebenaran mulia penderitaan ... kebenaran mulia asal-mula penderitaan … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

10. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan.

11. “Dan apakah, Teman-teman, kelahiran itu? [ ]Kelahiran makhluk-makhluk adalah berbagai urutan penjelmaan, akan terlahir, berdiam [dalam rahim], pembentukan, perwujudan kelompok-kelompok unsur kehidupan, memperoleh landasan-landasan kontakini disebut kelahiran.

12. “Dan apakah, Teman-teman, penuaan itu? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kehidupan menurun, indria-indria melemahini disebut penuaan.

13. “Dan apakah, Teman-teman, kematian itu? Berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan makhluk-makhluk, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya tubuhini disebut kematian.

14. “Dan apakah, Teman-teman, dukacita itu? Dukacita, menyedihkan, kesedihan, dukacita batin, kesedihan batin, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkanini disebut dukacita.

15. “Dan apakah, Teman-teman, ratapan itu? mengeluh dan meratap, mengeluhkan dan meratapi, [250] keluhan dan ratapan, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkanini disebut ratapan.

16. “Dan apakah, Teman-teman, kesakitan itu? Kesakitan jamani, ketidaknyamanan jasmani, sakit, perasaan tidak menyenangkan yang muncul dari kontak jasmaniini disebut kesakitan.

17. “Dan apakah, Teman-teman, kesedihan itu? Kesedihan batin, ketidaknyamanan batin, perasaan tidak menyenangkan yang muncul dari kontak batinini disebut kesedihan.

18. “Dan apakah, Teman-teman, keputusasaan itu? Kesulitan dan keputusasaan, kesulitan besar dan kehilangan harapan, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkanini disebut keputusasaan.

19. “Dan apakah, Teman-teman, [‘]tidak memperolah apa yang diinginkan adalah penderitaan adalah penderitaan’? Bagi makhluk-makhluk yang tunduk pada kelahiran muncul keinginan: ‘O, semoga kami tidak tunduk pada kelahiran! Semoga kelahiran tidak terjadi pada kami!’ Tetapi hal ini tidak diperoleh dengan cara menginginkan, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan. Bagi makhluk-makhluk yang tunduk pada penuaan … tunduk pada penyakit … tunduk pada kematian … tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan, muncul keinginan: ‘O, semoga kami tidak tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan! Semoga dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak terjadi pada kami!’ Tetapi hal ini tidak diperoleh dengan cara menginginkan, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan.

20. “Dan apakah, Teman-teman, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, secara singkat, adalah penderitaan? Yaitu: kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ini adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, secara singkat, adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.

21. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Adalah keinginan, yang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan kesenangan dalam ini dan itu; yaitu, keinginan akan kenikmatan indria, keinginan untuk menjelma, [251] keinginan untuk tidak menjelma. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.

22. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, berhentinya, lepasnya, membiarkan, dan menolak keinginan yang sama ini. Ini disebut kebenaran mulia lenyapnya penderitaan.

23. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

24. “Dan apakah, Teman-teman, pandangan benar itu? Pengetahuan tentang penderitaan, pengetahuan tentang asal-mula penderitaan, pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan, pengetahuan tentang jalan menuju lenyapnya penderitaanini disebut pandangan benar.

25. “Dan apakah, Teman-teman, kehendak benar itu? Kehendak meninggalkan keduniawian, kehendak tanpa niat buruk, dan kehendak tanpa kekejamanini disebut kehendak benar.

26. “Dan apakah, Teman-teman, ucapan benar itu? Menghindari kebohongan, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari obrolan tanpa tujuanini disebut ucapan benar.

27. “Dan apakah, Teman-teman, perbuatan benar itu? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indriaini disebut perbuatan benar.

28. “Dan apakah, Teman-teman, penghidupan benar itu? Di sini seorang siswa mulia, setelah meninggalkan penghidupan salah, mencari penghidupannya melalui penghidupan benarini disebut penghidupan benar.

29. “Dan apakah, Teman-teman, usaha benar itu? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang belum muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan semangat untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul, [252] dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk mempertahankan kelangsungan, ketidaklenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan atas kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya.

30. “Dan apakah, Teman-teman, perhatian benar? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. … Ia berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ini disebut perhatian benar.

31. “Dan apakah, Teman-teman, konsentrasi benar itu? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini disebut konsentrasi benar.

“Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

32. “Di Benares, Teman-teman, di Taman Rusa di Isipatana, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di duniayaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia ini.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #73 on: 23 February 2011, 11:50:23 PM »
142  Dakkhiṇāvibhanga Sutta
Penjelasan tentang Persembahan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī membawa sepasang jubah baru dan mendatangi Sang Bhagavā[,]. [ ]Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sepasang jubah baru ini telah dipintal oleh saya, ditenun oleh saya, khusus untuk Sang Bhagavā. Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menerima ini demi belas kasihan.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Persembahkanlah kepada Sangha, Gotami. Jika engkau mempersembahkannya kepada Sangha, maka baik Aku maupun Sangha telah dihormati.”

Untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, … menerima ini demi belas kasihan.”

Untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Persembahkanlah kepada Sangha, Gotami. Jika engkau mempersembahkannya kepada Sangha, maka baik Aku maupun Sangha telah dihormati.”

3. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menerima sepasang jubah baru ini dari Mahāpajāpatī Gotamī. Mahāpajāpatī Gotamī telah sangat berjasa bagi Sang Bhagavā, Yang Mulia. Sebagai adik ibu-Nya, ia adalah perawat-Nya, ibu tiri-Nya, seorang yang memberi-Nya susu. Ia menyusui Sang Bhagavā ketika ibunya meninggal dunia. Sang Bhagavā juga telah sangat berjasa bagi Mahāpajāpatī Gotamī, Yang Mulia. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari arak, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan ia memiliki [254] moralitas yang disenangi oleh para mulia. [ ]Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī terbebas dari keragu-raguan terhadap penderitaan, terhadap asal-mula penderitaan, terhadap lenyapnya penderitaan, dan terhadap jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sang Bhagavā telah sangat berjasa bagi Mahāpajāpatī Gotamī.

4. “Demikianlah, Ānanda, demikianlah! Ketika seseorang, berkat orang lain, berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan, bangkit untuknya, memberikan salam penghormatan dan pelayanan sopan[.], dan dengan memberikan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari arak, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan memiliki moralitas yang disenangi oleh para mulia, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, terbebas dari keragu-raguan terhadap penderitaan, terhadap asal-mula penderitaan, terhadap lenyapnya penderitaan, dan terhadap jalan menuju lenyapnya penderitaan, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

5. “Terdapat empat belas jenis persembahan pribadi, Ānanda. [ ]Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; ini adalah persembahan pribadi jenis pertama. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Paccekabuddha; ini adalah persembahan pribadi jenis ke dua. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Arahant siswa Sang Tathāgata; ini adalah persembahan pribadi jenis ke tiga. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah Kearahatan; ini adalah persembahan pribadi jenis ke empat. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang-tidak-kembali; ini adalah persembahan pribadi jenis lima. [255] Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-tidak-kembali; ini adalah persembahan pribadi jenis ke enam. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang-kembali-sekali; ini adalah persembahan pribadi jenis ke tujuh. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-kembali-sekali; ini adalah persembahan pribadi jenis ke delapan. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang pemasuk-arus; ini adalah persembahan pribadi jenis sembilan. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah memasuki-arus; [ ]ini adalah persembahan pribadi jenis ke sepuluh. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seseorang di luar [Pengajaran] yang bebas dari nafsu akan kenikmatan indria; [ ]ini adalah persembahan pribadi jenis ke sebelas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang bermoral; ini adalah persembahan pribadi jenis ke dua belas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang tidak bermoral; ini adalah persembahan pribadi jenis ke tiga belas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada binatang: ini adalah persembahan pribadi jenis ke empat belas.

6. “Di sini, Ānanda, dengan memberikan suatu pemberian kepada seekor binatang, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus kali lipat. [ ]Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang tidak bermoral, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seribu kali lipat. Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang bermoral, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus ribu kali lipat. Dengan memberikan suatu pemberian kepada seseorang di luar [Pengajaran] yang bebas dari nafsu akan kenikmatan indria, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus ribu kali seratus ribu kali lipat.

“Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah memasuki-arus, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan yang tidak terhitung, tidak terukur. Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang pemasuk-arus? Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-kembali-sekali … kepada yang-kembali-sekali … kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-tidak-kembali … kepada seorang yang-tidak-kembali … kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah Kearahatan … kepada seorang Arahant … kepada seorang Paccekabuddha? Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?

7. “Terdapat tujuh jenis persembahan yang diberikan kepada Sangha, Ānanda. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada kedua kelompok Sangha [baik bhikkhu maupun bhikkhunī] yang dipimpin oleh Sang Buddha; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis pertama. [ ]Seseorang memberikan suatu pemberian kepada kedua kelompok Sangha [baik bhikkhu maupun bhikkhunī] setelah Sang Tathāgata mencapai Nibbāna akhir; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke dua. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada Sangha para bhikkhu; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke tiga. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada Sangha para bhikkhunī; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke empat. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dan bhikkhunī dari Sangha;’ [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke lima. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dari Sangha;’ [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke enam. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhunī dari Sangha;’ [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke tujuh.

8. “Di masa depan, Ānanda, akan ada anggota-anggota kelompok yang, ‘berleher-kuning’, tidak bermoral, dan berkarakter jahat. [  ]Orang-orang akan memberikan pemberian kepada orang-orang tidak bermoral itu demi Sangha. Bahkan meskipun begitu, Aku katakan, suatu persembahan yang diberikan kepada Sangha adalah tidak terhitung, tidak terukur. [ ]Dan Aku katakan bahwa tidak mungkin suatu persembahan yang diberikan kepada seorang individu akan lebih berbuah daripada persembahan yang diberikan kepada Sangha.

9. “Terdapat, Ānanda, empat jenis pemurnian persembahan. Apakah empat ini? Ada persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima. [ ]Ada persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi. Ada persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima. Ada persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima.

10. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima? Di sini, si pemberi adalah bermoral, berkarakter baik, dan si penerima adalah tidak bermoral, berkarakter jahat. Demikianlah persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima.

11. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi? Di sini, si pemberi adalah tidak bermoral, berkarakter jahat, dan si penerima adalah bermoral, berkarakter baik. Demikianlah persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi.

12. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima? Di sini, si pemberi adalah tidak bermoral, berkarakter jahat, dan si penerima adalah tidak bermoral, berkarakter jahat. Demikianlah persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima.

13. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima? Di sini, si pemberi adalah bermoral, berkarakter baik, dan si penerima adalah bermoral, berkarakter baik. [257] Demikianlah persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima. Ini adalah empat jenis pemurnian persembahan.”

14. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Ketika Yang Sempurna telah mengatakan hal itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

   “Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas si pemberi memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan,
   Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas si penerima memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan,
   Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas keduanya tidak memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Pemberian itu, Aku katakan, akan berbuah sepenuhnya.

   Ketika seorang yang tanpa nafsu memberi kepada seorang yang tanpa nafsu
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
  Pemberian itu, Aku katakan, adalah yang terbaik di antara pemberian-pemberian duniawi.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #74 on: 24 February 2011, 01:19:32 PM »
143  Anāthapiṇḍikovāda Sutta
Nasihat kepada Anāthapiṇḍika


[258] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, sakit parah. Kemudian ia menyuruh seseorang: “Pergilah, temui Sang Bhagavā, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, Perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian pergilah menemui Yang Mulia Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dan katakan: ‘Yang Mulia, Perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Sāriputta.’ Kemudian katakan sebagai berikut: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Perumah tangga Anāthapiṇḍika, demi belas kasihan.’”

“Baik, Tuan,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Sāriputta, ia menyampaikan pesannya, dan berkata: Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Perumah tangga Anāthapiṇḍika, demi belas kasihan. Yang Mulia Sāriputta menyanggupi dengan berdiam diri.

3. Kemudian Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia mendatangi kediaman Perumah tangga Anāthapiṇḍika bersama dengan Yang Mulia Ānanda sebagai pelayannya. Setelah sampai di sana, [259] ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada Perumah tangga Anāthapiṇḍika: “Aku harap engkau lebih baik, Perumah tangga, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

4. “Guru Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Seolah-olah seorang kuat membelah kepalaku dengan pedang tajam, demikian pula, angin kencang menembus kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang kuat mengikat kepalaku dengan tali kulit yang kuat, demikian pula, ada kesakitan hebat di kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang penjagal terampil atau muridnya membelah perut sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah dua orang kuat mencengkeram seorang yang lemah pada kedua lengannya dan memangganggnya di atas celah bara api panas menyala, demikian pula, ada kebakaran hebat dalam tubuhku. Aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata.”

5. “Maka, Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada mata, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada mata.’ [ ]Demikianlah engkau harus berlatih. Engkau harus belatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada telinga … Aku tidak akan melekat pada hidung … Aku tidak akan melekat pada lidah … Aku tidak akan melekat pada badan … Aku tidak akan melekat pada pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

6. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada bentuk-bentuk, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada bentuk-bentuk.’ Demikianlah engkau harus berlatih. Engkau harus belatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada suara-suara … Aku tidak akan melekat pada bau-bauan … Aku tidak akan melekat pada rasa kecapan … Aku tidak akan melekat pada objek-objek sentuhan … Aku tidak akan melekat pada objek-objek pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada objek-objek pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

7. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada kesadaran-mata … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-telinga … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-hidung … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-lidah … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-badan … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kesadaran-pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

8. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada kontak-mata … Aku tidak akan melekat pada kontak-telinga … Aku tidak akan melekat pada kontak-hidung … Aku tidak akan melekat pada kontak-lidah … Aku tidak akan melekat pada kontak-badan … Aku tidak akan melekat pada kontak-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kontak[ ]-pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

9. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-mata … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-telinga … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-hidung … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-lidah … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-badan … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kontak-pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

10. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada unsur tanah … Aku tidak akan melekat pada unsur air … Aku tidak akan melekat pada unsur api … Aku tidak akan melekat pada unsur udara … Aku tidak akan melekat pada unsur ruang … Aku tidak akan melekat pada unsur kesadaran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada unsur kesadaran. Demikianlah engkau harus berlatih.

11. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada bentuk materi … Aku tidak akan melekat pada perasaan … Aku tidak akan melekat pada persepsi … Aku tidak akan melekat pada bentukan-bentukan … Aku tidak akan melekat pada kesadaran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kesadaran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

12. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada landasan ruang tanpa batas … Aku tidak akan melekat pada landasan kesadaran tanpa batas … Aku tidak akan melekat pada landasan kekosongan … [261] … Aku tidak akan melekat pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

13. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada dunia ini, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada dunia ini. [‘]Aku tidak akan melekat pada dunia setelah ini, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada dunia setelah ini.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

14. [ ]“Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada apa yang dilihat, didengar, dicerap, dikenali, diperoleh, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada itu.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

15. Ketika hal ini dikatakan, Perumah tangga Anāthapiṇḍika menangis dan meneteskan air mata. Kemudian Yang Mulia Ānanda bertanya kepadanya: “Apakah engkau terjatuh, Perumah tangga, apakah engkau merosot?”

“Aku tidak terjatuh, Yang Mulia Ānanda, aku tidak merosot. Tetapi walaupun aku telah lama melayani Sang Guru dan para bhikkhu yang layak dihormati, tidak pernah sebelumnya aku mendengarkan khotbah Dhamma seperti ini.”

“Khotbah Dhamma demikian, Perumah tangga, tidak dibabarkan kepada umat-umat awam berpakaian putih. Khotbah Dhamma demikian dibabarkan kepada mereka yang telah meninggalkan keduniawian.”

“Baiklah, Yang Mulia Sāriputta, mohon agar khotbah Dhamma demikian dibabarkan kepada umat-umat awam berpakaian putih. Ada anggota-anggota keluarga dengan sedikit debu di mata mereka yang akan sia-sia karena tidak mendengarkan [khotbah] Dhamma ini. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma ini.”

16. Kemudian, setelah memberikan nasihat ini kepada Perumah tangga Anāthapiṇḍika, Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Ānanda bangkit dari duduk dan pergi. Segera setelah mereka pergi, [262] Perumah tangga Anāthapiṇḍika meninggal dunia dan muncul kembali di alam surga Tusita.

17. Kemudian, ketika malam telah larut, Anāthapiṇḍika, sekarang adalah dewa muda berpenampilan indah, mendatangi Sang Bhagavā, dengan menerangi seluruh Hutan Jeta. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “O, Hutan Jeta ini sungguh terberkahi,
   Didiami oleh Sangha yang bijaksana
   Di mana berdiam Sang Raja Dhamma,
   Sumber seluruh kebahagiaanku.

   Dengan perbuatan, pengetahuan, dan Dhamma,
   Dengan moralitas dan gaya hidup mulia
   Dengan hal-hal ini makhluk-makhluk dimurnikan,
   Bukan dengan silsilah atau kekayaan.

   Oleh karena itu, seorang bijaksana yang melihat
   Apa yang sesungguhnya menuntunnya menuju kebaikannya,
   Seharusnya menyelidiki Dhamma
   Dan memurnikan dirinya sendiri di dalamnya.

   Sāriputta telah mencapai puncak
   Dalam hal moralitas, kedamaian, dan cara-cara bijaksana;
   Bhikkhu mana pun yang telah menyeberang
   Paling jauh hanya dapat menyamainya.”

18. Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa muda Anāthapiṇḍika, dan Sang Guru menyetujuinya. Kemudian dewa muda Anāthapiṇḍika, dengan berpikir: “Sang Guru telah menyetujuiku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap seketika.

19. Ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, tadi malam ketika malam telah larut, muncul satu dewa muda berpenampilan indah yang menerangi seluruh Hutan Jeta. Setelah memberi hormat kepada-Ku, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada-Ku dalam syair sebagai berikut:

   ‘O, Hutan Jeta ini sungguh terberkahi …
   Paling jauh hanya dapat menyamainya.’ [263]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa muda itu. Kemudian dewa muda itu, dengan berpikir: “Sang Guru telah menyetujuiku,” memberi hormat kepada-Ku, dan dengan [ ]Aku di sisi kanannya, ia lenyap seketika.”

20. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Tentu saja, Yang Mulia, dewa muda itu pasti adalah Anāthapiṇḍika. Karena Perumah tangga Anāthapiṇḍika memiliki keyakinan sempurna pada Yang Mulia Sāriputta.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Sejauh menarik kesimpulan, engkau telah menarik kesimpulan dengan benar. Dewa muda itu memang adalah Anāthapiṇḍika, bukan yang lain.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything