//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)  (Read 29453 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #30 on: 19 February 2011, 04:38:33 PM »
(PERBUATAN)

22. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami perbuatan salah sebagai perbuatan salah dan perbuatan benar sebagai perbuatan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

23, “Dan apakah, Para bhikkhu, perbuatan salah? Membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan perilaku salah dalam kenikmatan indria: ini adalah perbuatan salah.

24. “Dan apakah, Para bhikkhu, perbuatan benar? Perbuatan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

25. “Dan apakah, Para bhikkhu, perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria: ini adalah perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

26. “Dan apakah, Para bhikkhu, perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari tiga jenis perilaku jasmani yang salah, penjauhan, penahanan diri, penghindaran dari perilaku jasmani yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah perbuatan [ ]benar [75] yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.
 
27. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan perbuatan salah dan memasuki perbuatan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan perbuatan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam perbuatan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling perbuatan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(PENGHIDUPAN)

28. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami penghidupan salah sebagai penghidupan salah dan penghidupan benar sebagai penghidupan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

29. “Dan apakah, Para bhikkhu, penghidupan salah? Menipu, membujuk, mengisyaratkan, merendahkan, mengejar keuntungan dengan keuntungan: ini adalah penghidupan salah.

30. “Dan apakah, Para bhikkhu, penghidupan benar? Penghidupan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

31. “Dan apakah, Para bhikkhu, penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Di sini, Para bhikkhu, seorang siswa mulia meninggalkan penghidupan salah dan memperoleh penghidupannya melalui penghidupan benar: ini adalah penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda ... matang dalam perolehan.

32. “Dan apakah, Para bhikkhu, penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari penghidupan salah, penjauhan, penahanan diri, penghindaran dari penghidupan salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah penghidupan benar yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.

33. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan penghidupan salah dan memasuki penghidupan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan penghidupan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam penghidupan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling penghidupan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(EMPAT PULUH BESAR)

34. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? [76] Pada seorang yang memiliki pandangan benar, muncul kehendak benar; [ ]pada seorang yang memiliki kehendak benar, muncul ucapan benar; pada seorang yang memiliki ucapan benar, muncul perbuatan benar; pada seorang yang memiliki perbuatan benar, muncul penghidupan benar; pada seorang yang memiliki penghidupan benar, muncul usaha benar; pada seorang yang memiliki usaha benar, muncul perhatian benar; pada seorang yang memiliki perhatian benar, muncul konsentrasi benar; pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, muncul pengetahuan benar; pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, muncul pembebasan benar. Demikianlah, Para bhikkhu, jalan dari siswa yang dalam latihan lebih tinggi memiliki delapan faktor, Arahant memiliki sepuluh faktor.

35. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Pada seorang yang memiliki pandangan benar, pandangan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan pandangan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan pandangan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

“Pada seorang yang memiliki kehendak benar, kehendak salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan kehendak salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan kehendak benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

“Pada seorang yang memiliki ucapan benar, ucapan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki perbuatan benar, perbuatan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki penghidupan benar, penghidupan salah dilenyapkan [77] … Pada seorang yang memiliki usaha benar, usaha salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki perhatian benar, perhatian salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, konsentrasi salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, pengetahuan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki pembebasan benar, pembebasan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan pembebasan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan pembebasan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

36. “Demikianlah, Para bhikkhu, terdapat dua puluh faktor pada sisi tidak bermanfaat, dan terdapat dua puluh faktor pada sisi bermanfaat. [ ]Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini telah diputar dan tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā mana pun atau siapa pun di dunia.

37. “Para bhikkhu, jika petapa atau brahmana mana pun berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka di sini dan saat ini. Jika yang mulia itu mencela pandangan benar, maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki pandangan salah. Jika yang mulia itu mencela kehendak benar, [78] maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki kehendak salah. Jika yang mulia itu mencela ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar … pengetahuan benar … pembebasan benar, maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki pembebasan salah. Jika petapa atau brahmana mana pun berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka di sini dan saat ini.

38. “Para bhikkhu, bahkan para guru dari Okkala, Vassa, dan Bhañña, [ ]yang menganut doktrin nonkausalitas, doktrin tidak-berbuat, dan doktrin nihilisme, tidak akan berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak. Mengapakah? Karena takut disalahkan, diserang, dan dibantah.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #31 on: 19 February 2011, 05:00:57 PM »
Tatha … Sutavā

Offline blood_demon

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 371
  • Reputasi: 15
  • Gender: Male
  • Om guru lian shen sidhi hum
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #32 on: 19 February 2011, 06:04:48 PM »
118  Ānāpānasati Sutta
Perhatian pada Pernafasan


9. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

15. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi empat landasan perhatian. Ketika empat landasan perhatian dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi tujuh faktor pencerahan. Ketika tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih, maka hakl itu memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati.

17. “Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas.

« Last Edit: 19 February 2011, 06:07:39 PM by blood_demon »
Om guru lian shen sidhi hum

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #33 on: 19 February 2011, 07:04:15 PM »
118  Ānāpānasati Sutta
Perhatian pada Pernapasan


(BAGIAN PENDAHULUAN)

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur, di Istana ibunya Migāra, bersama dengan banyak siswa senior terkenalYang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, Yang Mulia Mahā Kaccāna, Yang Mulia Mahā Koṭṭhita, Yang Mulia Mahā Kappina, Yang Mulia Mahā Cunda, [79] Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Revata, Yang Mulia Ānanda, dan para siswa senior terkenal lainnya.

2. Pada saat itu, para bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada para bhikkhu baru; beberapa bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada sepuluh bhikkhu, beberapa bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada dua puluh bhikkhu … tiga puluh … empat puluh bhikkhu. Dan para bhikkhu baru itu, setelah diajari dan diberikan instruksi oleh para bhikkhu senior, telah mencapai tingkat-tingkat keluhuran tinggi berturut-turut.

3. Pada saat ituhari Uposatha pada hari ke lima belas, pada malam purnama dalam upacara PavāraṇāSang Bhagavā duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, sambil mengamati keheningan Sangha para bhikkhu, Beliau berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, Aku puas dengan kemajuan ini. Pikiran-Ku puas dengan kemajuan ini. Maka bangkitkanlah lebih banyak kegigihan lagi untuk mencapai yang belum tercapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk menembus apa yang belum ditembus. Aku akan tetap berada di sini di Sāvatthī hingga bulan purnama Komudī di bulan ke empat.”

5. Para bhikkhu dari luar kota mendengar: “Sang Bhagavā akan tetap berada di Sāvatthī hingga bulan purnama Komudī di bulan ke empat.” Dan para bhikkhu dari luar kota datang ke Sāvatthī untuk menemui Sang Bhagavā.

6. Dan para bhikkhu senior semakin intensif mengajar dan memberikan instruksi kepada para bhikkhu baru; beberapa bhikkhu senior mengajar dan memberikan instruksi kepada sepuluh bhikkhu, beberapa bhikkhu senior mengajar dan memberikan instruksi kepada dua puluh bhikkhu … tiga puluh … empat puluh bhikkhu. Dan para bhikkhu baru itu, setelah diajari dan diberikan instruksi oleh para bhikkhu senior, [80] mencapai tingkat-tingkat keluhuran tinggi berturut-turut.

7. Pada saat ituhari Uposatha pada hari ke lima belas, pada malam purnama Komudī di bulan ke empatSang Bhagavā duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, sambil mengamati keheningan Sangha para bhikkhu, Beliau berkata sebagai berikut:

8. “Para bhikkhu, kelompok ini bebas dari obrolan, kelompok ini bebas dari para pengoceh. Murni terdiri dari inti kayu. Demikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang demikian adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada bandingnya di dunia inidemikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga pemberian kecil yang diberikan kepada kelompok itu akan menjadi besar dan pemberian besar menjadi lebih besardemikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga jarang terlihat di dunia inidemikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga layak menempuh perjalanan sejauh banyak liga dengan membawa tas perjalanan untuk menemuinyademikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini.

9. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhirpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

10. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itupara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

11. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah dan dengan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, telah menjadi yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke alam ini [81] untuk mengakhiri penderitaanpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

12. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah, adalah para pemasuk-arus, tidak mungkin lagi jatuh ke dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], mengarah menuju pencerahanpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

13. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan empat landasan perhatianpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini. Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni empat jenis usaha benar … empat landasan kekuatan batin … lima indria … lima kekuatan … tujuh faktor pencerahan … Jalan Mulia Berunsur Delapanpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

14. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan cinta-kasih [82] … belas kasihan … kegembiraan altruistik … keseimbangan … meditasi kejijikan … persepsi ketidakkekalanpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini. Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan perhatian pada pernapasan.

(PERHATIAN PADA PERNAPASAN)

15. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi empat landasan perhatian. Ketika empat landasan perhatian dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi tujuh faktor pencerahan. Ketika tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati.

16. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?

17. “Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik napas, penuh perhatian ia mengembuskan napas.

18. “Menarik napas panjang, ia memahami: [ ]‘Aku menarik napas panjang;’ atau mengembuskan napas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas panjang.’ Menarik napas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik napas pendek;’ atau mengembuskan napas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh [napas];’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami seluruh tubuh [napas].’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani.’

19. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kegembiraan;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kegembiraan.’ [ ]Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kenikmatan;’ [83] ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kenikmatan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami bentukan batin;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami bentukan batin.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan batin;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan batin.’
« Last Edit: 19 February 2011, 07:21:24 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #34 on: 20 February 2011, 01:48:03 AM »
20. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami pikiran;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menggembirakan pikiran;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menggembirakan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengonsentrasikan pikiran;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengonsentrasikan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan membebaskan pikiran;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan membebaskan pikiran.’

21. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan ketidakkekalan;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan ketidakkekalan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan peluruhan;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan peluruhan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lenyapnya;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lenyapnya.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lepasnya;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lepasnya.’

22. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar.

(MEMENUHI EMPAT LANDASAN PERHATIAN)

23. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, perhatian pada pernapasan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat landasan perhatian?

24. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu, dengan menarik napas panjang, memahami: ‘Aku menarik napas panjang,’ atau dengan mengembuskan napas panjang, memahami: ‘Aku mengembuskan napas panjang;’ dengan menarik napas pendek, memahami: ‘Aku menarik napas pendek,’ atau dengan mengembuskan napas pendek, memahami: ‘Aku mengembuskan napas pendek;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh [napas];’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami seluruh tubuh [napas];’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani’pada saat itu, ia berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku katakan bahwa ini adalah suatu tubuh tertentu di antara tubuh-tubuh, yaitu napas-masuk dan napas-keluar. [ ]Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

25. “Para bhikkhu, kapan pun [84] seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas panjang dengan mengalami kegembiraan;’[’] berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kegembiraan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kegembiraankenikmatan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kegembiraankenikmatan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami bentukan batin;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami bentukan batin;’ [ ]berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan batin;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan batin’—pada saat itu, ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku katakan bahwa ini adalah suatu perasaan tertentu di antara perasaan-perasaan, yaitu mengamati dengan saksama pada napas-masuk dan napas-keluar. [ ]Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

26. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas panjang dengan mengalami pikiran;’[’] berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menggembirakan pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menggembirakan pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengonsentrasikan pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengonsentrasikan pikiran;’ [ ]berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan membebaskan pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan membebaskan pikiran’pada saat itu, ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku tidak mengatakan bahwa ada pengembangan perhatian pada pernapasan pada seseorang yang lengah, yang tidak penuh kewaspadaan. Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

27. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas panjang dengan merenungkan ketidakkekalan;’[’] berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan ketidakkekalan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan peluruhan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan peluruhan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lenyapnya;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lenyapnya;’ [ ]berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lepasnya;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lepasnya’pada saat itu, ia berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Setelah melihat dengan kebijaksanaan pada ditinggalkannya ketamakan dan kesedihan, [85] ia mengamati secara saksama dengan keseimbangan. [ ]Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

28. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana perhatian pada pernapasan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat landasan perhatian.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #35 on: 20 February 2011, 02:38:15 AM »
Lanjutan 118  Ānāpānasati Sutta
------------------------------------------

(MEMENUHI TUJUH FAKTOR PENCERAHAN)

29. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, empat landasan perhatian, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh faktor pencerahan?

30. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan duniapada saat itu, perhatian yang tanpa mengendur kukuh dalam dirinya. Kapan pun perhatian yang tanpa mengendur kukuh dalam diri seorang bhikkhupada saat itu, faktor pencerahan perhatian muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

31. “Dengan berdiam penuh perhatian demikian, ia menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnya. Kapan pun, dengan [ ]berdiam penuh perhatian demikian, ia menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnyapada saat itu, faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

32. “Dalam diri seseorang yang menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnya, maka kegigihan tanpa lelah dibangkitkan. Kapan pun kegigihan tanpa lelah dibangkitkan dalam diri seorang bhikkhu yang menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnyapada saat itu, faktor pencerahan kegigihan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

33. “Dalam diri seseorang yang memiliki kegigihan yang terbangkitkan, kegembiraan yang bukan duniawi muncul. Kapan pun kegembiraan yang bukan duniawi muncul dalam diri seorang bhikkhu yang telah membangkitkan kegigihan[86] pada saat itu, faktor pencerahan kegembiraan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

34. “Dalam diri seseorang yang gembira, jasmani dan pikiran menjadi tenang. Kapan pun jasmani dan pikiran menjadi tenang dalam diri seorang bhikkhu yang gembirapada saat itu, faktor pencerahan ketenangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

35. “Dalam diri seseorang yang jasmaninya tenang dan yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Kapan pun pikiran terkonsentrasi dalam diri seorang bhikkhu yang jasmaninya tenang dan yang merasakan kenikmatanpada saat itu, faktor pencerahan konsentrasi muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

36. “Ia secara saksama memperhatikan dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian. Kapan pun seorang bhikkhu secara saksama memperhatikan dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikianpada saat itu, faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

37. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

38. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

39. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … [87] … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

40. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana empat landasan perhatian, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh faktor pencerahan.  [88]

(MEMENUHI PENGETAHUAN DAN PEMBEBASAN SEJATI)

41. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, tujuh faktor pencerahan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati?

42. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. [ ]Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan.

43. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana tujuh faktor pencerahan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #36 on: 20 February 2011, 03:26:15 AM »
119  Kāyagatāsati Sutta
Perhatian pada Jasmani


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk di dalam aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini muncul di antara mereka: “Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, bagaimana hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bahwa perhatian pada jasmani, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah besar dan bermanfaat besar.”

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasi-Nya pada malam itu, memasuki aula pertemuan, dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau bertanya kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan diskusi apakah yang terhenti?” [89]

“Di sini, Yang Mulia, kami sedang duduk di aula pertemuan, di mana kami berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, diskusi ini muncul di antara kami: ‘Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, bagaimana hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bahwa perhatian pada jasmani, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah besar dan bermanfaat besar.’ Ini adalah diskusi kami, Yang Mulia, yang terhenti ketika Sang Bhagavā datang.”

3. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, perhatian pada jasmani dikembangkan dan dilatih agar berbuah besar dan bermanfaat besar?

(PERHATIAN PADA PERNAPASAN)

4. “Di sini seorang bhikkhu, [ ]pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik napas, penuh perhatian ia mengembuskan  napas. Menarik napas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik napas panjang’; atau mengembuskan napas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas panjang.’ Menarik napas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik napas pendek’; atau mengembuskan napas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami seluruh tubuh.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan; dengan ditinggalkannya hal-hal itu, pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(EMPAT POSTUR)

5. “Kemudian, Para bhikkhu, ketika berjalan, seorang bhikkhu memahami: ‘aku sedang berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘aku sedang berdiri’; ketika duduk, ia memahami: ‘aku sedang duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘aku sedang berbaring’; atau ia memahami bagaimanapun posisi tubuhnya. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [90]

(KEWASPADAAN PENUH)

6. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju dan mundur; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika melihat ke depan dan ke belakang; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika menekuk dan meregangkan anggota-anggota badannya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika buang air besar atau buang air kecil; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan, berdiri, duduk, tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(KEJIJIKAN – BAGIAN-BAGIAN TUBUH)

7. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, terbungkus oleh kulit, sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing.’ Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, beras merah, kacang, kacang polong, padi-padian, dan beras putih, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya:[’] Ini adalah beras-gunung, ini adalah beras-merah, ini adalah kacang, ini adalah kacang polong, ini adalah padi-padian, ini adalah beras putih’, demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ... sebagai dipenuhi kotoran: Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … dan air kencing.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [91]
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #37 on: 20 February 2011, 04:01:23 AM »
(UNSUR-UNSUR)

8. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: ‘Di dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur udara.’ Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya, setelah menyembelih seekor sapi, duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dipotong dalam beberapa bagian; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: ‘Di dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur udara.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(PERENUNGAN SEMBILAN TANAH PEKUBURAN)

9. “Kemudian, Para bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, [  ]satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, memucat, dengan cairan menetes, seorang bhikkhu membandingkan jasmani yang sama ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

10. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, dimakan oleh burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis ulat, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [92]

11-14. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, kerangka tulang dengan daging dan darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging dan darah, yang terangkai oleh urat … tulang belulang yang tercerai-berai berserakan ke segala arahdi sini tulang lengantangan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tulang rusuk, di sana tulang dada, di sini tulang lengan, di sana tulang bahu, di sini tulang leher, di sana tulang rahang, di sini gigi, di sana tengkorakseorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

15-17. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulangnya memutih, berwarna seperti kulit-kerang …, tulang-belulangnya menumpuk, tulang-belulang yang lebih dari setahun …, tulang-belulangnya hancur dan remuk menjadi debu, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(JHĀNA-JHĀNA)

18. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian [ ]menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembapan membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu [93] basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

19. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingankonsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

20. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, [94] dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

21. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.


------------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #38 on: 20 February 2011, 04:29:21 AM »
Lanjutan 119  Kāyagatāsati Sutta
-------------------------------------------

(KEMAJUAN MELALUI PERHATIAN PADA JASMANI)

22. “Para bhikkhu, siapa pun juga yang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani telah memasukkan ke dalam dirinya kondisi-kondisi bermanfaat apa pun juga yang berhubungan dengan pengetahuan sejati. [ ]Seperti halnya siapa pun juga yang memperluas pikirannya menjangkau samudra raya telah memasukkan dalam pikirannya sungai-sungai apa pun juga yang mengalir ke samudra; demikian pula, siapa pun juga yang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani telah memasukkan ke dalam dirinya kondisi-kondisi bermanfaat apa pun juga yang berhubungan dengan pengetahuan sejati.

23. “Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya. Misalkan seseorang melemparkan sebongkah bola batu berat ke atas gundukan tanah liat yang basah. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Apakah bola berat itu akan masuk ke dalam gundukan tanah liat basah itu?”“Benar, Yang Mulia.”[95] “Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

24. “Misalkan terdapat sepotong kayu kering tanpa getah, dan seseorang datang membawa kayu api sebelah atas, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan sepotong kayu kering tanpa getah itu dengan kayu api sebelah atas?”“Dapat, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

25. “Misalkan terdapat sebuah kendi air yang kosong di letakkan di atas sebuah bidang, dan seseorang datang dengan membawa persediaan air. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu menuangkan air ke dalam kendi itu?”“Dapat, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

26. “Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya. Misalkan seseorang melemparkan sebuah bola benang yang ringan pada sebidang daun pintu yang terbuat dari inti kayu. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Apakah bola benang yang ringan itu dapat masuk menembus daun pintu yang terbuat dari inti kayu itu?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.
 
27. “Misalkan terdapat sepotong kayu basah bergetah, dan seseorang datang membawa kayu api sebelah atas, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ [96] Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkannya dengan [ ]sepotong kayu basah bergetah itu?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

28. “Misalkan, di atas sebuah bidang, terdapat sebuah kendi air yang penuh dengan air hingga ke pinggirnya, dan seseorang datang dengan membawa persediaan air. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu menuangkan air ke dalam kendi itu?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

29. “Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, jika ia mengarahkan pikirannya pada pencapaian apa pun yang dapat dicapai melalui pengetahuan langsung, maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apa pun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai. Misalkan, di atas sebuah bidang, terdapat sebuah kendi air yang penuh dengan air hingga ke pinggirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya. Jika seorang kuat menepuknya, apakah air itu akan memercik keluar?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, jika ia mengarahkan pikirannya pada pencapaian apa pun yang dapat dicapai melalui pengetahuan langsung, maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apa pun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

30. “Misalkan terdapat sebuah kolam persegi empat di atas tanah datar, dikelilingi oleh dinding, penuh dengan air hingga ke pinggirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya. Ketika seorang kuat melepaskan dindingnya, apakah airnya akan keluar?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani … maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apa pun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

31. “Misalkan terdapat sebuah kereta di atas tanah datar di persimpangan jalan, ditarik oleh kuda dari keturunan murni, menunggu dengan tongkat kendali siap digunakan, sehingga seorang pelatih terampil, seorang kusir kuda-kuda yang harus dijinakkan, dapat menaikinya, dan memegang tali kekang di tangan kirinya dan tongkat kendali di tangan kanannya, mengendarainya ke sana kemari melalui jalan-jalan yang ia pilih. [“]Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani … maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apa pun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

(MANFAAT DARI PERHATIAN PADA JASMANI)

32. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada jasmani telah berulang-ulang dipraktikkan, dikembangkan, dilatih, digunakan sebagai kendaraan, digunakan sebagai landasan, ditegakkan, digabungkan, dan dijalankan dengan baik, maka sepuluh manfaat ini dapat diharapkan. Apakah sepuluh ini?

33. (i) “Seseorang menjadi penakluk ketidakpuasan dan kesenangan, dan ketidakpuasan tidak menaklukkan dirinya; ia berdiam setelah mengatasi ketidakpuasan pada saat munculnya.

34. (ii) “Seseorang menjadi penakluk ketakutan dan kekhawatiran, dan ketakutan dan kekhawatiran tidak menaklukkan dirinya; ia berdiam setelah mengatasi ketakutan dan kekhawatiran pada saat munculnya.

35. (iii) “Seseorang menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, dan kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan ucapan-kasar, kata-kata yang tidak menyenangkan dan perasaan jasmani yang telah muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan.

36. (iv) “Seseorang sesuai kehendaknya dan tanpa kesulitan atau kesusahan memperolah empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan [98] memberikan kediaman yang nyaman di sini dan saat ini.

37. (v) “Seseorang mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … (seperti Sutta 108, §18) … ia mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahmā.

38. (vi) “Dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengarkan kedua jenis suara, surgawi dan manusia, suara-suara yang jauh maupun dekat.

39. (vii) “Seseorang memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu … (seperti Sutta 108, §20) … pikiran tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.

40. (viii) “Seseorang mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, [99] satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampaunya.

41. (ix) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk-rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai perbuatan mereka.

42. (x) “Dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.

43. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada jasmani telah berulang-ulang dipraktikkan, dikembangkan, dilatih, digunakan sebagai kendaraan, digunakan sebagai landasan, ditegakkan, digabungkan, dan dijalankan dengan baik, maka sepuluh manfaat ini dapat diharapkan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #39 on: 20 February 2011, 04:56:10 AM »
120  Sankhārupapatti Sutta
Kemunculan Kembali Melalui Aspirasi

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang kemunculan kembali sesuai dengan aspirasi seseorang. [ ]Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia.” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para mulia kaya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu, bertekad padanya, mengembangkannya. [100] Aspirasi-aspirasinya ini dan tekadnya yang tidak berubah ini, yang dikembangkan dan dilatih demikian, menuntun menuju kemunculan kembali di sana. Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

4-5. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para brahmana kaya! … di tengah-tengah para perumah tangga kaya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

6. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam surga Empat Raja Dewa berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam surga Empat Raja Dewa!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga … para Yāma … para dewa di alam surga Tusita … para dewa yang bergembira dalam penciptaan … para dewa yang menguasai ciptaan dewa lainnya berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa yang menguasai ciptaan dewa lainnya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

12. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan [101] … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Seribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Seribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. [ ]Bagaikan seseorang dengan penglihatan baik meletakkan sebutir biji kecil di tangannya dan memeriksanya, demikianlah Brahmā Seribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Seribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

13-16. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Dua Ribu … Brahmā Tiga Ribu … Brahmā Empat Ribu … Brahmā Lima Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Lima Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia lima ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bagaikan seseorang dengan penglihatan baik meletakkan lima butir biji kecil di tangannya dan memeriksanya, demikianlah Brahmā Lima Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia Lima Ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Lima Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

17. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Sepuluh Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Sepuluh Ribu berdiam dengan bertekad meliputi [102] satu sistem dunia sepuluh ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bagaikan sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikianlah Brahmā Sepuluh Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia sepuluh ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Sepuluh Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

18. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Seratus Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Seratus Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seratus ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bagaikan sebuah perhiasan terbuat dari emas terbaik, yang dengan sangat terampil ditempa di atas tungku oleh seorang pengrajin emas yang cerdas, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikianlah Brahmā Seratus Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seratus ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Seratus Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

19-32. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa Bercahaya  … para dewa dengan Cahaya Terbatas … para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas … para dewa dengan Cahaya Gemilang … para Dewa Agung … para dewa dengan Keagungan Terbatas … para dewa dengan Keagungan Tanpa Batas … para dewa dengan Keagungan Gemilang … [103] … para dewa dengan Buah Besar … para dewa Aviha … para dewa Atappa … para dewa Sudassa … para dewa Sudassī … para dewa Akaniṭṭha berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa Akaniṭṭha!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

33-36. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam landasan ruang tanpa batas … para dewa di alam landasan kesadaran tanpa batas … para dewa di alam landasan kekosongan … para dewa di alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu, bertekad padanya, mengembangkannya. Aspirasi-aspirasinya ini dan tekadnya yang tidak berubah ini, yang dikembangkan dan dilatih demikian, menuntun menuju kemunculan kembali di sana. Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

37. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘O, bahwa dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, aku di sini dan saat ini dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda!’ Dan dengan menembusnya dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Para bhikkhu, bhikkhu ini sama sekali tidak muncul kembali di mana pun juga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


yg no. 33-36.
“Kemudian, seorang bhikkhu  … para dewa di alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa <= ada ini juga?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #40 on: 20 February 2011, 01:48:25 PM »
121  Cūḷasuññata Sutta
Khotbah Pendek tentang Kekosongan


[104] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra.

2. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Ānanda bangkit dari meditasinya, mendatangi Sang Bhagavā, setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

3. “Yang Mulia, pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Nagaraka. Di sana, Yang Mulia, aku mendengar dan mempelajari hal ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Sekarang, Ānanda, Aku sering berdiam dalam kekosongan.’ [ ]Apakah aku mendengar dengan benar, Yang Mulia, apakah aku mempelajarinya dengan benar, memperhatikannya dengan benar, mengingatnya dengan benar?”

“Tentu saja, Ānanda, engkau mendengar hal itu dengan benar, mempelajarinya dengan benar, memperhatikannya dengan benar, mengingatnya dengan benar. Seperti sebelumnya, Ānanda, demikian pula sekarang aku juga sering berdiam dalam kekosongan.

4. “Ānanda, seperti halnya istana Ibunya Migāra ini kosong dari gajah-gajah, sapi-sapi, kuda-kuda jantan, dan kuda-kuda betina, kosong dari emas dan perak, kosong dari kumpulan laki-laki dan perempuan, dan hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada Sangha para bhikkhu; demikian pula, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi desa, tidak memperhatikan persepsi orang-orangmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi hutan. [ ]Pikirannya memasuki persepsi hutan itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami sebagai berikut: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi desa, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi orang-orang, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  ketergantungan tunggal pada persepsi hutan.’ [ ]Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi desa; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi orang-orang. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi hutan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa [105] yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

5. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi orang-orang, tidak memperhatikan persepsi hutanmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi tanah. [ ]Pikirannya memasuki persepsi tanah itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Seperti halnya kulit seekor sapi jantan menjadi bebas dari lipatan jika direntangkan dengan seratus pasak; demikian pula, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan perbukitan dan cekungan di tanah ini, tidak memperhatikan sungai-sungai dan jurang, bidang bertunggul dan berduri, pegunungan dan tempat-tempat yang tidak datarmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi tanah. Pikirannya memasuki persepsi tanah itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi orang-orang, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi hutan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi tanah.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi orang-orang; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi hutan. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi tanah.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

6. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi hutan, tidak memperhatikan persepsi tanahmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas. [ ]Pikirannya memasuki persepsi landasan ruang tanpa batas itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi hutan, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga [106] yang bergantung pada persepsi tanah, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi hutan; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi tanah. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

7. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi tanah, tidak memperhatikan persepsi landasan ruang tanpa batasmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas. Pikirannya memasuki persepsi landasan kesadaran tanpa batas itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi tanah, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan ruang tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi tanah; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan ruang tanpa batas. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

8. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi landasan ruang tanpa batas, tidak memperhatikan persepsi landasan kesadaran tanpa batasmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan. Pikirannya memasuki persepsi landasan kekosongan itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan ruang tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan ruang tanpa batas; [107] bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kesadaran tanpa batas. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

9. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi landasan kesadaran tanpa batas, tidak memperhatikan persepsi landasan kekosonganmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Pikirannya memasuki persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan kekosongan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kesadaran tanpa batas; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kekosongan. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

10. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi landasan kekosongan, tidak memperhatikan persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsimemperhatikan ketergantungan tunggal pada konsentrasi pikiran tanpa gambaran. [ ]Pikirannya memasuki konsentrasi pikiran tanpa gambaran itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan kekosongan, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan [108] dikondisikan oleh kehidupan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kekosongan; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

11. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi landasan kekosongan, tidak menuruti persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsimenuruti ketergantungan tunggal pada konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Pikirannya memasuki konsentrasi pikiran tanpa gambaran itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Konsentrasi pikiran tanpa gambaran ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun juga yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ [ ]Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

12. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada noda keinginan indria, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada noda penjelmaan; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada noda kebodohan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari noda keinginan indria; bidang persepsi ini adalah kosong dari noda penjelmaan; bidang persepsi ini adalah kosong dari noda kebodohan. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, [109] tidak menyimpang, dan murni, yang mulia dan tidak terlampaui.

13. “Ānanda, para petapa dan brahmana mana pun di masa lampau yang telah masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya telah masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. Para petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. Para petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang yang masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. Oleh karena itu, Ānanda, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #41 on: 20 February 2011, 02:12:23 PM »
122  Mahāsuññata Sutta
Khotbah Panjang tentang Kekosongan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kapilavatthu dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau pergi untuk melewatkan hari ke kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Pada saat itu, terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. [ ]Ketika Sang Bhagavā melihat ini, [110] Beliau berpikir: “Ada banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”

Pada saat itu, Yang Mulia Ānanda, bersama dengan banyak bhikkhu, sedang sibuk membuat jubah di Ghāṭā kediaman Sakya. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi-Nya dan pergi ke Ghāṭā kediaman Sakya. Di sana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda.

“Ānanda, terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”

“Yang Mulia, banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Ada banyak bhikkhu menetap di sana. Ini adalah waktunya bagi kami untuk membuat jubah, Yang Mulia.”

3. “Ānanda, seorang bhikkhu tidak bersinar dengan menyenangkan teman-teman, dengan bergembira bersama teman-teman, dengan menekuni kegembiraan bersama teman-teman; dengan menyenangkan perkumpulan, dengan bergembira bersama perkumpulan, dengan menekuni kegembiraan bersama perkumpulan; sesungguhnya, Ānanda, tidaklah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menyenangkan teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kegembiraan bersama teman-teman; yang menyenangkan perkumpulan, yang bergembira bersama perkumpulan, yang menekuni kegembiraan bersama perkumpulan, akan tanpa kesulitan atau kesusahan, [ ]jika ia menghendaki, dapat memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. [ ]Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari perkumpulan, jika ia menghendaki maka ia akan dapat, tanpa kesulitan atau kesusahan, memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan.

4. “Sesungguhnya, Ānanda, tidaklah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menyenangkan teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kegembiraan bersama teman-teman; yang menyenangkan perkumpulan, yang bergembira bersama perkumpulan, yang menekuni kegembiraan bersama perkumpulan akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam [kebebasan pikiran] yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan. [ ]Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari perkumpulan, maka ia akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam [kebebasan pikiran] yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan. [111]

5. “Aku tidak melihat bahkan satu jenis bentuk pun, Ānanda, yang dari perubahannya tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan dalam diri seseorang yang menggemarinya dan bergembira di dalamnya.

6. “Akan tetapi, Ānanda, ada kediaman ini yang telah ditemukan oleh Sang Tathāgata: untuk masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal dengan tidak memperhatikan segala gambaran. [ ]Jika, sewaktu Sang Tathāgata sedang berdiam demikian, Beliau didatangi oleh para bhikkhu atau para bhikkhunī, oleh para umat awam laki-laki atau perempuan, oleh raja-raja atau menteri-menteri, oleh para penganut sekte lain atau murid-murid mereka, maka dengan pikiran yang bersandar pada keterasingan, cenderung dan condong pada keterasingan, menarik diri, gembira dalam pelepasan keduniawian, dan sama sekali menyingkirkan hal-hal yang menjadi landasan bagi noda-noda, Beliau tanpa mengecualikan berbicara kepada mereka dengan suatu cara yang dapat membubarkan mereka.

7. “Oleh karena itu, Ānanda, jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal,’ maka ia harus mengukuhkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya. Dan bagaimanakah ia mengukuhkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya?

8. “Di sini, Ānanda, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengukuhkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya. [112]

9. “Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal. [ ]Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya tidak masuk ke dalam kekosongan secara internal atau memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketenangan. [ ]Sewaktu ia sedang memperhatikan ketenangan, pikirannya tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketenangan, pikiranku tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

10. “Kemudian bhikkhu itu harus mengukuhkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya pada gambaran konsentrasi yang sama itu seperti sebelumnya. [ ]Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal. Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya masuk ke dalam kekosongan secara internal dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketenangan. Sewaktu ia sedang memperhatikan ketenangan, pikirannya masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketenangan, pikiranku masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

11. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berjalan, maka ia berjalan, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berjalan demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerang.’ [113] Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu. Dan ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berdiri, maka ia berdiri … jika pikirannya condong untuk duduk, maka ia duduk … jika pikirannya condong untuk berbaring, maka ia berbaring, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berbaring demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerang.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #42 on: 20 February 2011, 03:05:13 PM »
12. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berbicara, maka ia berketetapan: ‘Pembicaraan demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang para raja, para perampok, para menteri, para prajurit, bahaya-bahaya, peperangan, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, kalung bunga, wangi-wangian, sanak saudara, kendaraan-kendaraan, desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, negeri-negeri, para perempuan, para pahlawan, jalan-jalan, sumur-sumur, orang-orang mati, hal-hal sepele, asal-mula dunia, asal-mula lautan, apakah hal-hal itu adalah demikian atau tidak demikian: pembicaraan demikian tidak akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

“Tetapi ia berketetapan: ‘Pembicaraan demikian yang membahas tentang kemurnian, yang mendukung kebebasan pikiran, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: pembicaraan demikian akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

13. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, [114] jika pikirannya condong untuk berpikir, maka ia berketetapan: ‘Pikiran demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pikiran keinginan indria, pikiran berniat buruk, dan pikiran kekejaman: pikiran demikian tidak akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

“Tetapi ia berketetapan: ‘Pemikiran demikian adalah mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang melatihnya menuju pelenyapan penderitaan sepenuhnya, yaitu, pikiran pelepasan keduniawian, pikiran tanpa niat-buruk, dan pikiran tanpa-kekejaman: pikiran-pikiran demikian akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

14. “Ānanda, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. [ ]Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

15. “Di sini, seorang bhikkhu harus terus-menerus memeriksa pikirannya sebagai berikut: ‘Apakah ada kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apa pun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku?’ jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apa pun di antara kelima utas kenikmatan indria ini memang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria belum ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu. Tetapi jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Tidak ada kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apa pun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

16. “Ānanda, terdapat lima kelompok unsur kehidupan ini yang terpengaruh oleh kemelekatan. [ ]Sehubungan dengannya, seorang bhikkhu harus berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya sebagai berikut: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah [115] munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya.’

17. “Ketika ia berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, maka keangkuhan ‘aku’ yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini ditinggalkan dari dalam dirinya. Ketika itu, bhikkhu itu memahami: ‘Keangkuhan “aku” yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

18. “Kondisi-kondisi ini adalah seluruhnya bermanfaat dan memiliki hasil bermanfaat; kondisi-kondisi ini mulia, melampaui duniawi, dan tidak terjangkau oleh Yang Jahat.

19. “Bagaimana menurutmu, Ānanda? Kebaikan apakah yang dilihat oleh seorang siswa sehingga ia ingin berdekatan dengan Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

20. “Ānanda, seorang siswa seharusnya tidak mendekati Sang Guru demi khotbah-khotbah, syair-syair, dan penjelasan-penjelasan. Mengapakah? Sejak lama, Ānanda, engkau telah mempelajari ajaran-ajaran, menghafalkannya, membacanya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran,m dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Tetapi pembicaraan-pembicaraan demikian yang membahas tentang kemurnian, yang mendukung kebebasan pikiran, dan yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: demi pembicaraan demikian maka seorang siswa seharusnya mendekati Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi.

21. “Karena hal ini, Ānanda, kegagalan seorang guru dapat terjadi, kegagalan seorang murid dapat terjadi, dan kegagalan seorang yang menjalani kehidupan suci dapat terjadi.

22. “Dan bagaimanakah kegagalan seorang guru terjadi? Di sini, seorang guru mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, [116] belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Guru ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan guru. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan guru terjadi.

23. “Dan bagaimanakah kegagalan seorang murid terjadi? Seorang murid dari guru itu, meniru keterasingan gurunya, [ ]mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Murid ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan murid. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan murid terjadi.

24. “Dan bagaimanakah kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci terjadi? Di sini, seorang Tathāgata muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjungi-Nya, namun ia tidak menjadi tersesat, atau menjadi dipenuhi dengan keinginan, tidak menyerah pada keinginan, dan tidak kembali kepada kemewahan. [117] Tetapi seorang murid dari guru ini, meniru keterasingan gurunya, mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Orang ini yang menjalani kehidupan suci dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Demikianlah terjadinya kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci memiliki akibat yang lebih menyakitkan, akibat yang lebih pahit, daripada kegagalan guru atau kegagalan murid, dan hal ini bahkan dapat mengarah menuju kesengsaraan.

25. “Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama. Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai musuh, bukan sebagai teman? Di sini, Ānanda, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa-Nya demi belas kasihan: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswa-Nya tidak ingin mendengarkan atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka melakukan kekeliruan dan berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai musuh, bukan sebagai teman.

26. “Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai teman, bukan sebagai musuh? Di sini, Ānanda. Di sini, Ānanda, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa-Nya demi belas kasihan: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswa-Nya ingin mendengar dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka tidak melakukan kekeliruan dan tidak berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai teman, bukan sebagai musuh. [118] Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.

27. “Aku tidak akan memperlakukan engkau seperti seorang pengrajin tembikar memperlakukan tanah liat kasar yang basah. Berulang-ulang untuk mencegah kalian, Aku akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Berulang-ulang untuk menegur kalian, Aku [ ]akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Inti yang benar akan bertahan [terhadap pengujian].”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #43 on: 20 February 2011, 03:40:03 PM »
123  Acchariya-abbhūta Sutta
Mengagumkan dan Menakjubkan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk di aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini muncul di antara mereka: “Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, betapa sakti dan berkuasanya Sang Tathāgata! Karena Beliau mampu mengetahui tentang para Buddha masa lampauyang mencapai Nibbāna akhir, memotong [kekusutan] proliferasi, mematahkan siklus, mengakhiri lingkaran, dan mengatasi segala penderitaanbahwa kelahiran para Bhagavā itu adalah seperti demikian, nama mereka adalah demikian, suku mereka adalah demikian, moralitas mereka adalah demikian, kondisi [konsentrasi] mereka adalah demikian, kebijaksanaan mereka adalah demikian, kediaman mereka [di dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasan mereka adalah demikian.

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, Para Tathāgata adalah mengagumkan dan memiliki kualitas-kualitas mengagumkan. Para Tathāgata adalah menakjubkan dan memiliki kualitas-kualitas menakjubkan.” [119]

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasi-Nya pada malam itu, memasuki aula pertemuan, dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau bertanya kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan diskusi apakah yang terhenti?”

“Di sini, Yang Mulia, kami sedang duduk di aula pertemuan, di mana kami berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, diskusi ini muncul di antara kami: ‘Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan ... kebebasan mereka adalah demikian.’ Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada kami: “Teman-teman, Para Tathāgata adalah mengagumkan dan memiliki kualitas-kualitas mengagumkan. Para Tathāgata adalah menakjubkan dan memiliki kualitas-kualitas menakjubkan.” Ini adalah diskusi kami, Yang Mulia, yang terhenti ketika Sang Bhagavā datang.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Kalau begitu, Ānanda, jelaskanlah dengan lebih lengkap tentang kualitas-kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Tathāgata.”

3. “Aku mendengar dan mempelajari ini, Yang Mulia, dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, Ānanda, Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita.’ [ ]Bahwa [120] dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, Ānanda, Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita. Ini kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

4. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta berada di alam surga Tusita.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

5. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Sepanjang umur kehidupan penuh Sang Bodhisatta berada di alam surga Tusita.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

6. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibu-Nya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

7. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibu-Nya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui para dewa muncul di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya. Dan alam ruang antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunyacahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa juga muncul di sana. [ ]Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: “Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!” Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

8. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, empat dewa muda datang untuk menjaganya di empat penjuru agar tidak ada manusia atau bukan-manusia atau siapa pun dapat mencelakai Sang Bodhisatta atau ibunya.’ [ ]Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

9. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, sang ibu menjadi sungguh-sungguh bermoral, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, perilaku salah dalam kenikmatan indria, kebohongan, dan anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan kelengahan.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā. [121]

10. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, tidak ada pikiran indriawi yang muncul pada ibunya sehubungan dengan laki-laki, dan ia tidak tersentuh oleh laki-laki mana pun yang memiliki pikiran bernafsu.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

11. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, sang ibu memperoleh kelima utas kenikmatan indria, dan memilikinya, ia menikmatinya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

12. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, tidak ada penderitaan apa pun yang muncul pada sang ibu; ia bahagia dan bebas dari kelelahan jasmani. Ia melihat Sang Bodhisatta di dalam rahimnya dengan seluruh bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan organ-organ indria. Misalkan terdapat seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau cokelat menembus mengikat sebuah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, dan seseorang yang berpenglihatan baik, memegangnya dengan tangannya, mengamatinya sebagai berikut: “Ini adalah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau cokelat menembus mengikatnya.” Demikian pula, ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya ... lengkap dengan organ-organ indria.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā. [122]

13. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: Tujuh hari setelah kelahiran Sang Bodhisatta, sang ibu meninggal dunia dan muncul kembali di alam surga Tusita.’ [ ]Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

14. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: Para perempuan lain melahirkan setelah mengandung anaknya dalam rahim selama sembilan atau sepuluh bulan, tetapi tidak demikian dengan ibu Sang Bodhisatta. Ibu Sang Bodhisatta melahirkan-Nya setelah mengandung-Nya selama tepat sepuluh bulan.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

15. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: Para perempuan lain melahirkan dalam posisi duduk atau berbaring, tetapi tidak demikian dengan ibu Sang Bodhisatta. Ibu Sang Bodhisatta melahirkan-Nya dalam posisi berdiri.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

16. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, pertama-tama para dewa menerima-Nya, kemudian manusia.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

17. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, Beliau tidak menyentuh tanah. Empat dewa muda menerimanya dan mengangkatnya di depan sang ibu dengan mengatakan: “Bergembiralah, O, Ratu, seorang putra dengan kekuasaan luar biasa telah engkau lahirkan.”’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

18. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, Beliau keluar dalam keadaan bersih, tidak berlumuran [123] air atau cairan atau darah atau kotoran apa pun juga, bersih, dan tanpa noda. Misalkan terdapat sebutir permata yang diletakkan di atas sehelai kain Kāsi, maka permata itu tidak mengotori kain atau kain mengotori permata. Mengapakah? Karena kemurnian keduanya. Demikian pula Sang Bodhisatta keluar ... bersih, dan tanpa noda.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

19. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, dua pancuran air memancar dari angkasa, satu sejuk dan satu hangat, untuk memandikan Sang Bodhisatta dan ibunya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

20. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Segera setelah Sang Bodhisatta lahir, Beliau berdiri tegak dengan kaki menginjak tanah; kemudian Beliau berjalan tujuh langkah ke arah utara, dan dengan payung putih memayungi-Nya, Beliau mengamati tiap-tiap penjuru dan mengucapkan kata-kata seorang Pemimpin Kelompok: “Akulah yang tertinggi di dunia; Akulah yang terbaik di dunia; Akulah yang terkemuka di dunia. Inilah kelahiran-Ku yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru bagi-Ku.”’ [ ]Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

21. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui para dewa muncul di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya. Dan bahkan alam ruang antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunya[124] cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa juga muncul di sana.’ Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: “Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!” Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa ... Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

22. “Karena itu, Ānanda, ingatlah ini juga sebagai kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Tathāgata: Di sini, Ānanda, bagi Sang Tathāgata, perasaan-perasaan dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; persepsi-persepsi dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; pikiran-pikiran dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya. [ ]Ingatlah ini juga, Ānanda, sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

23. “Yang Mulia, karena bagi Sang Bhagavā, perasaan-perasaan dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; persepsi-persepsi dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; pikiran-pikiran dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnyaIni juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Sang Guru menyetujuinya. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda.




2. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk di aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasi-Nya pada malam itu, memasuki aula pertemuan,

ko, itu memang ada "malam"? (kmbli dari menerima dana makan)  :-?
« Last Edit: 20 February 2011, 03:43:37 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #44 on: 20 February 2011, 03:50:05 PM »

2. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk di aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasi-Nya pada malam itu, memasuki aula pertemuan,

ko, itu memang ada "malam"? (kmbli dari menerima dana makan)  :-?

jika sekelompok bhikkhu berkumpul dan berdiskusi setelah makan siang, dan pada malam harinya Sang Buddha datang ketika diskusi masih berlangsung, apa salahnya?

 

anything